Pages

Saturday, May 24, 2014

Kearifan Lokal Mandailing dalam Pengurangan Resiko Bencana



                       Kearifan Lokal Mandailing dalam Pengurangan Resiko Bencana

http://www.sumbaronline.com/foto_berita/31aa.jpg

Oleh : Moechtar Nasution *)

PERJALANAN bangsa yang gemah ripah loh jinawi ini penuh dengan dinamika yang panjang.untuk menemukan identitas kebangsaan dan kenegaraannya mulai dari zaman kerajaan yang menandai babakan baru sejarah hingga hari ini proses pembentukan peradaban masih terus berlangsung terutama dalam pergelutan dan pergumulan pemikiran.

Warisan peradaban yang ada hingga hari ini adalah bentuk kristalisasi nenek moyang kita mulai ide, gagasan dan saran yang harus diakui merupakan sumbangan terbesar dalam proses pembentukan jati diri kita sebagai bangsa (state) dan negara (nation).

Sejarah melalui penggalan noktah yang tersisa mengabarkan kepada kita bahwa jauh sebelum munculnya kerajaan – manusia prasejarah bahkan sudah mengenal pemimpin yang disebut dengan Primus Interpares atau seseorang yang memiliki kepandaian, kharismatik dan kepemimpinan melebihi anggotanya.

Maka tidak salah kemudian jika disebutkan bahwa kearifan lokal yang merupakan salah satu penyumbang nilai-nilai kepemimpinan sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu yang kemudian terus berkembang sesuai dengan transformasi zaman.

Pancasila sendiri sebagai dasar negara merupakan hasil penggalian dari nilai-nilai kearifan yang banyak berkembang dimasyarakat nusantara seperti kearifan lokal masyarakat jawa yang dikenal dengan 5 M yakni madon, main, maling, mateni dan mabok.(Ismaun, 1981: 79).

Hampir semua suku bangsa dan komunitas adat dinusantara memiliki kearifan lokal masing-masing dalam bentuk nyanyian, syair, dendang, filosofi, dan sebagainya. Kearifan lokal (local wisdom) tumbuh subur ditengah masyarakat kendatipun dizaman globalisasi sekarang banyak sudah yang hilang bahkan tak berbekas tergerus oleh erosi akibat proses westernisasi.

Kendatipun masih ada yang tersisa namun ini tidak banyak lagi sehingga terkadang generasi muda sudah tidak memaknainya lagi sebagai warisan kebudayaan dan peradaban. Umumnya kearifan lokal ini berkembang sangat pelan karena hanya mengandalkan tradisi lisan yakni mulut ke mulut dari generasi kegenerasi.

ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) salah satu lembaga dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah memberikan penghargaan Sasaka Award untuk tradisi masyarakat Simeulue yakni nyanyian (nandong) yang menceritakan tindakan menghadapi tsunami dan memerintahkan supaya pergi kebukit yang tinggi.

Ingatan masyarakat yang masih kental dengan nandong inilah kemudian yng menjadi pedoman ketika terjadi bencana tsunami tahun 2004 sehingga masyarakat melakukan evakuasi besar-besaran.

Kebesaran nama Mandailing sudah terkenal kemana-mana bahkan pada tahun 1365, Mpu Tantular menuliskannya dalam buku Negerakertagama. Kopi Mandailing juga memiliki andil untuk membesarkan nama Mandailing hingga keluar negeri.

Berbicara tentang kearifan lokal masyarakat Mandailing dalam pengurangan resiko bencana (prb) dapat kita lihat dari kehadiran “Lubuk Larangan” yang merupakan sumber kearifan dan kebijaksanaan dalam kerangka pemeliharaan sumber daya alam khususnya sungai.

Lubuk larangan secara sederhana didefinisikan sebagai tempat pemeliharaan ikan secara alamiah. Hampir semua desa yang dialiri oleh sungai terutama sungai sungai besar seperti aek batang gadis, aek pohon dan sebagainya akan membuat lubuk larangan sebagai salah satu wahana untuk menjaga ekosistem dan lingkungan hidup yang biasanya akan dibuka (panen) ketika hari raya besar keagamaan Islam misalnya hari raya Idul Fitri.

Pada saat itu, semua penduduk berbondong-bondong bersama dengan perantau yang pulang kampung untuk menyisir sungai mencari ikan dengan berbagai alat seperti jala dan sebagainya. Keunikan lubuk larangan ini tercermin dari larangan yang disertai dengan pemberian sangsi jika ada masyarakat yang mengambil ikan disungai sebelum waktu panen lubuk larangan.

Pemberian sangsi ini merupakan kesepakatan bersama masyarakat sehingga kemudian secara sadar semua penduduk melakukan pengawasan terutama dari Naposo Bulung terhadap lubuk larangan dari ulah-ulah oknum yang jahil seperti pencurian ikan dimalam hari.

Rasa tanggung jawab yang tinggi ini akan menjadikan masyarakat tunduk dan patuh terhadap aturan atau hukum lokal ini sehingga kemudian menghasilkan sungai yang alami dimana habitat ikan bisa berkembang biak dengan baik. Disadari atau tidak, perkembangan populasi ikan ini akan berdampak positif terhadap terjaganya ekosistem sungai dari segala bentuk gangguan manusia.

Durasi waktu lubuk larangan ini sampai kepanen tergolong lama hingga mencapai satu tahun sehingga populasi ikan juga semakin bertambah banyak. Jika semua desa yang dialiri sungai mulai dari hilir sampai hulu memiliki lubuk larangan maka konstribusinya jelas akan menghasilkan sungai yang tertata dengan baik dari segala kerusakan.

Keunikan lain dari lubuk larangan ini adalah adanya pemberian uang untuk mengganti tiket (karcis) sebagai tanda peserta lubuk larangan yang dibuka untuk umum. Semua hasil dari tiket ini biasanya setelah dimusyawarahkan oleh penduduk akan disumbangkan kepada pembangunan mesjid dan keperluan membantu anak yatim atau untuk yang lain.

“Songon siala sampagul, rap tuginjang rap tu toru, muda malamun saulak lalu, muda magulang rap margulu” ungkapan tradisional ini mengartikan bahwa kebersamaan, persatuan, kesatuan, persaudaraan dan kekeluargaan bagi masyarakat adalah segalanya sehingga dengan demikian maka hasil perolehan uang dari tiket tadi akan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Lubuk larangan ini boleh disebut merupakan bukti sensitivitas, kepekaan, kepedulian dan tanggungjawab masyarakat Mandailing terhadap lingkungan hidup untuk mencapai hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan sebaliknya.

Lubuk larangan mengajari kita tentang pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sungai untuk kelangsungan hidup manusia. Kearifan lokal masyarakat Mandailing lainnya yang memiliki hubungan dengan pengurangan resiko bencana terdapat dalam poda (ajaran kebajikan, nasehat).

Hingga dewasa ini ada poda yang dilestarikan umumnya didesa-desa melalui gerakan pemberdayaan masyarakat – biasanya dipelopori oleh Tim Penggerak PKK yakni poda nalima terdiri dari pais rohamu, paias pamatangmu, pais parabitonmu, paias bagasmu, paias pakaranganmu. Nasehat ini amat sangat berguna dalam pembentukan karakter generasi muda terlebih lagi dizaman globalisasi dewasa ini.

Poda yang berkaitan dengan pengurangan resiko bencana ini adalah paias pakaranganmu. Makna substansi dari paias pakaranganmu ini adalah menjaga kebersihan halaman rumah. Tentunya yang dimaksud halaman rumah adalah bukan hanya halaman yang ada didepan rumah semata, namun juga seluruh halaman yang mengitari rumah dan yang dibersihkan juga bukan hanya sampah namun juga seluruh hal-hal yang tidak membuat mata sedap untuk melihat seperti parit yang kotor.

Makna filosofinya adalah bagaimana halaman rumah bisa tertata dengan baik – dengan memanfaatkan halaman rumah untuk kepentingan yang lain. Bagi masyarakat Mandailing sejak zaman dahulu, halaman rumah biasanya dipergunakan untuk lahan tanaman tanaman tradisional yang erat kaitannya dengan kesehatan seperti layaknya kita kenal sekarang istilah apotik hidup atau Toga (Tanaman Obat Keluarga).

Jika ada sanak saudara yang mengalami penyakit, maka oleh ahli pengobatan alternatif atau dikenal dengan istilah datu biasanya akan menyuruh untuk mengumpulkan bahan obat-obatan yang berasal dari tanam-tanaman – dan biasanya juga tanaman ini ada dipekarangan rumah.

Pemanfaatan lahan pekarangan rumah dengan tanaman obat-obatan memberi bukti kepada kita betapa sesungguhnya masyarakat Mandailing amat sangat erat hubungannya dengan alam dan lingkungan. Paias pakaranganmu ini turut memberikan andil yang besar bagi penghijauan dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu secara alamiah.

Tentunya anda pasti mengenal Gordang Sambilan? Kesenian Mandailing ini sarat dengan kekayaan bunyi-bunyian alam yang menandakan masyarakat Mandailing sudah sangat harmoni dengan alam. Bisa disebutkan bahwa gordang sambilan adalah musikalisasi suara alam.

Coba simak alunan suara gordang sambilan maka akan ditemukan alunan suara seperti gemuruh api yang membakar hutan (gondang roba namosok), atau alunan suara batu yang menggelinding dari gunung (gondang sampuara batu magulang) atau juga alunan suara tepian sungai (gondang hadadingin).

Masyarakat Mandailing menjadikan alam sebagai inspirasi dan sumber musik yang tertata secara apik mulai dari suara yang merdu sekali seperti suara dedaunan yang tertiup angin sampai kepada suara gemuruh yang menakutkan seperti suara api yang membakar hutan seakan-akan mereka membakar hutan untuk membuka lahan pertanian.

Gordang sambilan ini juga salah satu kearifan lokal masyarakat Mandailing yang jika dikaitkan dengan harmoni alam akan menjadi pelajaran sekaligus pembelajaran manusia dizaman sekarang ini tentang sinergi manusia dengan alam.

Bacalah sajak dengan judul Mandailing dalam buku “Sibulus-Bulus Sirumbuk-Rumbuk” yang dicetak pertama kali tahun 1872 di Batavia - karya tokoh pemikir dan peletak nilai pendidikan di Mandailing yakni Willem Iskander, disitu terlihat jelas bagaimana esksotisme panorama alam Mandailing yang dilukiskan melalui kata demi kata.

Selain menceritakan keindahan alam, sajak ini juga menceritakan bagaimana keadaan masyarakat ketika itu dalam aktifitas keseharian dan merupakan bentuk perlawanan terhadap penguasa. Hal menarik bagi penulis adalah bagaimana Willem Iskander memberikan pencerahan melalui sajak tersebut tentang bencana.

Kita selama ini hanya mengenal Willem Iskander dalam persfektif pendidikan an sih, namun lebih dari itu ternyata sosok Sati Nasution ini juga adalah orang yang sangat peduli dengan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan bencana. Didalam sajak ini, ditemukan bait yang bercerita tentang banjir.

“Muda ro sirumondop udan, Magodangma batang aek, Dibaen sompit adabuan, Jadi tudarat doma manaek” (Jika hujan turun, Sungaipun banjir, Karena sempit tempat mengalir, jadi kedaratlah melimpah). Tentunya apa yang dituliskan tokoh kebanggaan masyarakat Mandailing dalam bidang budaya ini benar adanya, jika sungai mengalami pendangkalan atau penyempitan maka dipastikan air sungai akan melimpah kedaratan pada saat banjir karena sungai sudah tidak bisa menampung debit air lagi.

Bagi penulis apa yang disampaikan Willem Iskander ini sungguh merupakan kearifan sekaligus kecemerlangan pola pikirnya dalam menatap masa depan wilayah Mandailing. Kecermatannya menuliskan tentang banjir ini sangat mungkin dipengaruhi oleh letak geografis Mandailing yang dipenuhi dengan banyaknya sungai sungai besar seperti yang disebutkan dibait-bait sebelumnya seperti aek Batang Gadis, aek Godang, dan Batang Singkuang.

Tahun 2013 banjir bandang melanda sebagian wilayah kecamatan Panyabungan dan kecamatan Naga Juang. Sesungguhnya apa yang dituliskann ya ini merupakan ilmu pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran bagi kita.

Amatilah fenomena banjir yang terjadi sekarang ini hampir diseluruh pelosok negeri kita. Harapan kita tentunya para pemimpin kita bisa menggali kearifan-kearifan lokal milik leluhur kita untuk dipelajari guna memberikan konstribusi bagi pembangunan pemerintahan dan pembangunan kemasyarakatan menuju terciptanya manusia Indonesia yang seutuhnya.

Jika Willem Iskander saja sudah mencermati fenomena banjir pada ratusan tahun yang lalu lantas pertanyannya sekarang apakah kita sudah bisa mengambil hikmah dari peristiwa banjir yang melanda negeri kita sekarang ini…

*) Penulis adalah • Kepala Pusat Penelitian Sekolah Tinggi Agama Islam Mandailing Natal, Sekretaris Forum Relawan Penanggulangan Bencana Mandailing Natal, Wakil Ketua DPD AMPI Mandailing Natal, Sekretaris Markas Cabang Laskar Merah Putih Mandailing Natal, Sekretaris MPKT Karang Taruna Mandailing Natal, Sekretaris Depicab SOKSI Mandailing Natal


Sumber: http://www.sumbaronline.com/berita-18241-kearifan-lokal-mandailing-dalam-pengurangan-resiko-bencana.html#sthash.ljZ8mzCn.dpuf

No comments:

Post a Comment