Pages

Wednesday, May 21, 2014

“ENDENG-ENDENG” ALA Masyarakat Batak Muslim Labuhanbatu Utara, Sebuah Metamorfosa Hakikat Nilai Adat dari Sakralisme Menuju Hedonisme dan Dari Sosialisme Menuju Materialisme

“ENDENG-ENDENG” ALA Masyarakat Batak Muslim Labuhanbatu Utara, Sebuah Metamorfosa Hakikat Nilai Adat dari Sakralisme Menuju Hedonisme dan Dari Sosialisme Menuju Materialisme

Tulisan ini bertujuan untuk mencari jati diri, revitalisasi dan pelurusan hakikat adat istiadat  dan budaya yang berlaku bagi sebagian masyarakat suku Batak di Kabupaten Labuhanbatu Utara, Propinsi Sumatera Utara.

TINJAUAN HISTORIS
Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) yang terletak di Propinsi Sumatera Utara sekitar 250 km ke arah selatan Kota Medan (ibu kota Propinsi Sumatera Utara) dengan luas wilayah 354.580 ha berada di kawasan bukit barisan dan pesisir timur pulau Sumatera 99.25. o – 100.05.o Bujur Timur dan 01o58’’ – 02o50’’ Lintang Utara dengan ketinggian 0 – 2.151 meter di atas permukaan lautKabupaten Labura berbatasan langsung dengan Kabupaten Asahan, Padang Lawas Utara, Tapanuli Utara, Toba Samosir dan Labuhanbatu (induk).

Pada awalnya daerah ini menjadi bagian dari Kabupaten Labuhanbatu, namun seiring dengan berkembangnya arus otonomi daerah, Pemerintah RI menetapkan Kabupaten Labuhanbatu dimekarkan menjadi 03 (tiga) Kabupaten. Untuk itu dikeluarkanlah UU No. 23 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhanbatu Utara, dan kini Labura berdiri sendiri sebagai salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara.

Ada 03 (tiga) suku mayoritas yang menempati daerah ini yakni Batak Toba, Batak Mandailing dan Suku Jawa. Padahal sebagaimana dimaklumi bahwa pesisir pantai timur merupakan basis hunian bagi suku Melayu yang membentang mulai dari daerah Langkat, Medan, Bedagai, Asahan hingga daerah Propinsi Riau. Oleh sebab itu, suku Melayu tentulah menjadi suku asli penghuni Kabupaten Labura pada awalnya. Namun migrasi penduduk yang berdatangan ke Labura baik dari selatan maupun dari utara seolah-olah membuat suku Melayu tidak lagi dominan di daerah ini.

EKSISTENSI DAN KAJIAN ADAT BUDAYA
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa tulisan ini mengarah pada persoalan adat istiadat yang berlaku di Kabupaten Labura khususnya bagi masyarakat suku Batak Muslim yang berdomisili di kawasan Kecamatan Aek Natas, Kecamatan NA IX-X, Kecamatan Kualuh Selatan dan Kecamatan Gaya Baru Merbau dan mungkin saja berlaku juga di kawasan kecamatan lain di sekitarnya, di mana telah memiliki tradisi dan adat istiadat secara turun temurun sejak puluhan atau mungkin ratusan tahun silam.

Migrasi penduduk dari daerah Toba (Tapanuli Utara) ke arah timur dan berbaur dengan masyarakat Melayu serta Batak Mandailing yang bermigrasi dari selatan mengaburkan adat dan tradisi yang berlaku di daerah ini. Kajian ini berlaku bagi masyarakat Batak yang beragama Islam, karena suku Batak Toba yang beragama Kristen memiliki tradisi sendiri yang mungkin kadar metamorfosanya sangat kecil dibandingkan dengan adat Batak Toba di daerah aslinya.

Pada dekade tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an, tidak begitu jelas tahun-tahun sebelum kelahiran penulis, sebagian masyarakat Batak Muslim di Labura memiliki tradisi dan adat budaya yang unik dan tidak ditemukan di daerah lain. Adat istiadat ini biasanya akan terlihat pada acara-acara perkawinan (walimatul ‘ursy) yang dikenal dengan istilah “PABAGAS BORU” (mengawinkan anak perempuan). Sebagai gambaran, acara perkawinan ditandai dengan datangnya calon mempelai dan keluarga calon mempelai pria ke rumah kediaman calon mempelai wanita di mana akan dilaksanakan acara akad nikah dan naik pelaminan untuk ditepungtawari oleh seluruh undangan dan keluarga serta esok harinya akan diadakan acara upah-upah, sejenis acara pemberian do’a restu dan kata-kata nasihat bagi pengantin, semoga kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Itulah esensi dari acara naik pelaminan.

Akad nikah biasanya langsung dilaksanakan setelah kedatangan calon mempelai pria, umumnya pada sore hari dan acara akad nikah akan tuntas sebelum malam hari (sebelum masuk waktu shalat maghrib). Selanjutnya, bila pengantin laki-laki berasal dari kampung lain, maka pihak penyelenggara acara yang biasanya disebut pihak “SUHUT” atau juga “SUHUT SIHABOLONAN” akan mencarikan rumah tetangga atau teman sekampung sebagai pangkalan dan penginapan bagi keluarga mempelai pria.

Malam hari sekitar pukul 21.00, acara naik pelaminan dimulai. Kedua mempelai yang baru saja resmi menikah sore tadi didudukkan bersanding di atas pelaminan didampingi oleh pendamping laki-laki dan perempuan yang sering diistilahkan sebagai “PANDONGANI”.

Penyambutan acara naik pelaminan ini ditandai dengan tampilnya sekelompok pemainzikir berdah memakai rebana sedikitnya 6 personil. Pemain zikir berdah ini telah terlebih dahulu memulai acara zikir yang berkumandang tanpa alat musik, baru kemudian pengantin naik pelaminan.
Selanjutnya acara menortor (menarikan bunga yang disebut “BUNGA INAI”),  bunga buatan dari kertas diletakkan di dalam botol mirip botol kecap atau botol minuman dari kaca yang dihias sedemikian rupa. Penentuan siapa yang akan menortor diatur oleh seorang MC atau protokol berdasarkan data yang dimilikinya dalam daftar menurut urutan kekerabatan. Urutan tersebut mencakup:
  1. Suhut (keluarga penyelenggara pesta)
  2. Hula-hula atau keluarga dari pihak keluarga ibu si penyelenggara atau keluarga pihak istri si penyelenggara.
  3. Anak boru atau keluarga penyelenggara dari sisi perempuan
Sistem kekerabatan ini tentunya menggambarkan masih adanya peristilahan “DALIHAN NATOLU” yang diangkat dari tatanan kekerabatan suku Batak.

Alunan lagu pengiring menortor ini disebut “BERDAH” atau disebut juga oleh masyarakat sebagai “BORDAH” mengumandangkan lagu pengiring yang boleh dipilih oleh si penortor. Jumlah penortor pada awalnya terdiri dari 1 atau 2 orang, lalu kemudian menjadi ramai karena diikuti oleh rekan serumpunnya, misalnya posisi seorang penortor adalah pihak hula-hula, maka siapa saja yang merasa pada posisi hula-hula boleh ikut menortor dan pengantin pun biasanya didaulat untuk ikut serta menortor.

Tradisi memberikan ulos atau mangulosi dalam adat Batak Toba di dalam adat ini juga ada pada saat menortor, namun interprestasinya berbeda. Ulos diganti dengan kain sarung atau kain panjang/pulikat sebagaimana terdapat dalam tradisi dari adat Mandailing yang disebut “ABIT’ dan “SALENDANG”. Interpretasi yang lebih jauh lagi diganti dengan sejumlah uang yang diserahkan sambil menortor kepada tuan rumah (biasanya ayah si pengantin perempuan).

Jumlah uang yang diserahkan tidaklah mempunyai ketentuan, namun tentunya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Tidak ada pencatatan atas jumlah uang yang diserahkan. Bagi warga yang ekonominya lumayan baik, tentu saja mampu memberi dalam jumlah yang lebih besar. Tradisi memberikan abit, salendang atau pun uang tidaklah menjadi sebuah keharusan. Seseorang tidak dilarang menghadiri pesta perkawinan walaupun tidak mampu memberikan apa-apa kecuali do’a atau diistilahkan “PASU-PASU” bagi pengantin.

Acara menortor pada malam hari tersebut bisa berakhir sampai pukul 03.00 WIB dini hari. Rombongan penutup biasanya diisi oleh pihak muda-mudi sebagai tanda perpisahan dan selamat jalan bagi rekannya yang mendahului mereka menikah. Lagu-lagu yang dipilih oleh pemain berdah pun mempunyai khas untuk acara penutup ini, yakni berjudul “IDONG-IDONG” yang berisi pesan-pesan perpisahan dan do’a kepada pengantin.

Bila mengamati lirik/syair lagu dari tembang pengiring yang dilantunkan oleh pemain berdah, dapat disimpulkan bahwa acara ini lebih dominan kepada adat Mandailing karena lagunya berbahasa Mandailing.

Keseokan harinya, pesta berlanjut. Ketika matahari merambat naik dan semakin terik, pengantin yang didandani pakaian teluk belanga (pakaian khas adat Melayu) diarak keluar rumah menuju halaman luas di perkampungan. Berjarak sekitar 100 meter dari rumah tempat pelaminan berada, dibuat sebuah anjungan darurat yang terbuat dari bambu, mirip seperti pelaminan berhiaskan kain panjang dan janur (daun kelapa yang masih muda). Anjungan ini diberi nama “NACAR”. Pengunjung ramai berkumpul dan berkeliling membentuk lingkaran. Dua pasang pemain pencak silat telah dipersiapkan.

Dua orang persis berada di depan pengantin dan dua orang lagi berada di depan nacar. Diiringi gendang dari pemain zikir berdah, pemain pencak silat pun mulai beraksi semakin mendekat ke nacar disusul oleh pengantin dan keluarga pendampingnya  berjalan pelan-pelan mengikuti pemain pencak silat yang pada akhirnya kedua pasang pemain pencak silat itu pun bertemu di depan nacar dan mengakhirinya dengan bersalaman, bersamaan dengan itu, pengantin pun tiba di nacar dan duduk berdampingan. Acara selanjutnya adalah pemberian tepung tawar kepada pengantin sesuai urutan kekerabatan (suhut, hula-hula dan anak boru) dipandu oleh protokol.

Usai acara tepung tawar di nacar, pengantin kembali diarak ke rumah dan menuju pelaminan. Setelah pengantin duduk di pelaminan, acara tortor kembali digelar untuk sesi terakhir. Namun acara menortor pada siang ini hanya sebentar dan dilanjutkan dengan acara upah-upah. Di hadapan pengantin terletak daging upah-upah dari kambing yang telah disembelih semalam sore.

Penyampaian kata upah-upah biasanya dimulai dari keluarga terdekat yang biasanya berisi do’a dan nasihat kepada pengantin dalam menjalani hidup berumah tangga.

Usai acara upah-upah, pengantin turun dari pelaminan. Dilanjutkan dengan acara pamitan kepada keluarga karena pengantin wanita pada sore hari itu juga dibawa oleh pengantin pria ke rumahnya di kampung halamannya. Acara pamitan ini sekaligus menutup acara pesta perkawinan atau acara pabagas boru tersebut.

Seperti itulah illustrasi acara adat istiadat pabagas boru bagi masyarakat Batak Muslim di Labura sebelum tahun 90-an. Namun berbanding situasi saat ini, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi mata acara maupun hakikat dari adat setempat yang mengalami metamorfosis.
Dari serangkaian acara pabagas boru ala masyarakat Batak Muslim Labura ini, kelihatan bahwa acara tersebut mengadopsi tradisi tiga suku sekaligus, yakni Melayu, Batak Toba dan Batak Mandailing.

Pencamburbauran tradisi tersebut membuat adat yang berlaku tersebut menjadi kabur dan tidak kelihatan identitas pribadinya. Namun, anggaplah bahwa adat tersebut sebagai adat tersendiri yang telah baku tanpa harus mengklaim bahwa adat ini adalah milik suku Batak Toba atau milik suku Melayu atau milik suku Batak Mandailing. Persoalan yang akan dibahas di sini adalah metamorfosa yang saat ini terjadi dan nyaris meninggalkan makna dan hakikat acara pabagas boru itu sendiri.

Saat ini, zikir berdah telah tiada. Zikir berdah telah diubah dan ditinggalkan dengan munculnya grup model baru bernama “Endeng-Endeng”. Mendengar kata “endeng-endeng”, yang terlintas di benak kita adalah kebudayaan adat Mandailing yang disertai gendang dan suling dengan lagu-lagu bersyair bahasa Mandailing. Isi liriknya adalah do’a bagi pengantin. Namun tidak demikian halnya, meskipun tidak boleh dinafikan bahwa ada beberapa lagu yang juga mengandung isi yang sama dengan esensi endeng-endeng ala Batak Mandailing.



Endeng-endeng yang ada di Labura ini memakai alat organ didampingi oleh gendang dan tamborin. Lagu-lagunya bukan saja lagu endeng-endeng melainkan lagu dangdut, lagu jawa seperti misalnya Lagu Gundul Pacul bahkan lagu India yang jauh meninggalkan hakikat dan koridor walimatul ‘ursy, atau menambah wacana baru dengan menyertakan nuansa kejawaan atau keiindiaan. Orientasinya bukan lagi adat, melainkan “happy dan enjoy”. Lagu apa pun jadi, asal bisa membuat senang dan acara menortor menjadi lebih antusias dan semarak. Tortor yang dilakukan pun terkadang seperti gaya orang mabuk di Diskotik, bergerak bebas sesuka hati. Selangkah lagi bermetamorfosis, endeng-endeng ini tidak mustahil menjadi ajang hedonisme, di mana para pemain endeng-endeng dan penortor sama-sama mabuk minum arak, karena orientasinya adalah enjoy, mirip seperti pesta merayakan tahun kelahiran dewa matahari di jaman kerajaan Romawi ribuan tahun yang lalu. Apakah adat istiadat masyarakat ini masih dalam tahap pencarian jati diri? Siapakah yang bertanggungjawab atas keutuhan, keberhasilan dan konformitas adat istiadat ini? Sangat sulit menemukan jawabnya.

Penulis kurang memahami apakah di Toba atau di Mandailing ada komite atau semacam dewan yang mengawasi adat istiadat seperti yang ada di Daerah Istimewa Aceh. Yang pasti, di Labura tidak ada komite yang melindungi originalitas adat seperti ini. Hal ini sangat masuk akal, karena memang apa dan bagaimana patokan adat yang berlaku juga tidak pernah ada. Sehingga adat yang berlaku saat ini bergulir seperti bola di lapangan terbuka. Dia sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan komunitasnya.

Dari aspek sosialnya, walimatul ‘urusy yang ada sekarang telah bergerak jauh ke arah materialisme. Tradisi memberi sarung dan kain panjang masih terus berlanjut dan meningkat dari ketidakwajiban bergerak menjadi hampir wajib. Pemberian uang pada saat menortor saat ini menjadi hal WAJIB.

Kalau tidak percaya, silahkan hadir di salah satu acara pabagas boru, anda akan melihat bahwa tidak ada satu orang pun yang tampil ikut menortor di depan pelaminan yang tidak menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik acara. Bila seseorang tidak mempunyai uang, dia tidak akan menghadiri acara pesta adat tersebut. Jadi kesimpulannya, adat adalah uang. Yang tidak punya uang tidak beradat.

Konyolnya, di setiap acara menortor, telah dipersiapkan panitia pendaftar yang akan mencatat berapa besar angka rupiah yang akan ditortorkannya. Hasil catatan ini akan menjadi dokumentasi bagi penyelenggara untuk menjadi panduan berapa besar yang akan dibayarkannya kepada orang lain, ketika orang  itu menyelenggarakan pesta. Jadi, PESTA ADAT telah berubah menjadi PESTA 

UANG. Inilah pembelajaran yang buruk tentang pergeseran nilai dan makna adat budaya di mata generasi baru, seolah-olah eksistensi adat budaya adalah sesuatu yang menyulitkan. Tidak sedikit terdengar suara-suara masyarakat yang mengeluhkan kesulitan di dalam adat yang berlaku saat ini. Terlebih bagi mereka yang berada pada tingkat ekonomi pas-pasan. Puncak kesulitannya adalah manakala penyelenggara pesta adalah saudara dekat, teman, tetangga atau kerabat akrab yang sangat tidak mungkin untuk tidak dihadiri. Ujung-ujungnya harus meminjam uang agar bisa menghadiri pesta pernikahan tersebut. Bayangkan, begitu sulitnya adat  di Labura saat ini.

Yang paling fatal dari dampak materialisasi adat ini adalah berubahnya niat suci untuk berwalimatul ‘ursy agar kelak anaknya yang menikah menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah dinodai oleh mimpi-mimpi untuk menerima uang dalam jumlah yang besar, apalagi dia sadar bahwa selama ini dia telah banyak mengeluarkan isi dompetnya di saat orang lain berpesta, sangatlah wajar bahwa dia dipengaruhi oleh harapan-harapan itu. Nah, apakah tujuan untuk menyelenggarakan acara walimatul ‘ursy dari aspek spritualnya akan tercapai? Tentu saja tidak. Karena materiaisme telah menguasai niat dan fikiran kita.

Bila dikaji dari peran adat, apapun definisi, batasan atau pengertian adat, tetaplah adat adalah lembaga yang harus bisa berperan memanusiakan manusia atau lembaga yang bisa membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah, yang buruk menjadi baik, yang jelek menjadi cantik, yang lemah menjadi kuat, yang rusak menjadi benar, atau apa pun istilahnya, namun begitulah idealnya ADAT. Yang besar membantu yang kecil, yang kecil menghormati yang besar, sehingga tercipta kesetaraan dalam hidup manusia, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Itulah idealnya manusia yang memegang teguh adat. Jadi kesimpulannya, adat harus membuat manusia menjadi lebih baik. Manakala adat membuat manusia semakin sulit, sudah saatnya adat ditinggalkan. Untuk apa beradat, kalau akhirnya mempersulit bagi diri sendiri.

PENUTUP
Tidak jelasnya identitas adat budaya yang berlaku di komunitas Batak Muslim di Labura khususnya dalam hal pesta pabagas boru menjadi pemicu bergulirnya dinamika tanpa batas seperti bola bergulir di lapangan lepas, bergerak kemana saja arah yang diinginkan komunitasnya. Sangatlah perlu untuk merumuskan suatu kepastian adat budaya sehingga mempunyai standar pasti. Hal ini sesungguhnya dapat diwujudkan dengan membuat diskusi terbuka yang diikuti seluruh stakeholder termasuk pemuka-pemuka adat untuk mendapatkan sebuah kesepakatan tentang pola adat yang akan diterapkan.

Sudah saatnya mengembalikan hakikat adat budaya, yakni memudahkan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, tidak sebaliknya adat membuat wacana baru yang mempersulit hidup dan ruang gerak manusia. Salah satu hal nyata adalah menghilangkan kesan materialisasi adat budaya ke arah sejatinya, yaitu mendudukkan setiap anggota masyarakat sama rata, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah untuk menjamin kepemilikan harkat dan martabat manusia sebagai hamba Allah tanpa eksklusivisme dan tirani.

Untuk menjaga kelestarian adat yang terbebas dari penyelewangan dan modifikasi yang mengarah pada larinya hakikat adat budaya, dipandang perlu untuk membentuk komite pengawasan adat budaya setempat.

Demikianlah tulisan ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kelestarian adat budaya di Labura demi tegaknya harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya.
Adakah pembaca budiman yang ingin memberi komentar?


Sumber:
http://amrimunthe.wordpress.com/2012/04/03/endeng-endeng-ala-masyarakat-batak-muslim-labura-sebuah-metamorfosa-hakikat-nilai-adat-dari-sakralisme-menuju-hedonisme-dan-dari-sosialisme-menuju-materialisme/

No comments:

Post a Comment