Pages

Monday, May 19, 2014

Budaya Batak Angkola

Budaya Batak Angkola

Sopo Godang

Marga dan Tarombo
Dalian Na Tolu
Upacara Adat Perkawinan
Upacara Adat Mangupa
Bahasa Batak Angkola-Mandailing
Turi-turian

Kami merangkum seluruh informasi di laman ini dalam sebuah e-book.
Anda boleh mengunduhnya sebagai sumber rujukan pada menu Download.
Anthropology mengenal Batak ethnic group atau suku bangsa Batak sebagai suku bangsa yang secara geografis berasal/mendiami wilayah-wilayah yang disebut sebagai
“tanah” (land) dengan
5 sub-culture atau sub-ethnic group sebagai berikut:
  1. Batak Angkola-Mandailing
  2. Batak Toba
  3. Batak Pakpak (Dairi)
  4. Batak Karo
  5. Batak Simalungun
Suku bangsa Batak secara geografis menjadi tuan tanah atau landlord atas wilayah-wilayah tertentu atau tanah-tanah kediaman mereka. Pemujaan atas tanah-tanah mulia itu dikenal lewat sebutan
Tanah Mandailing, Tanah Simalungun, Tanah Karo, dan sebagainya.

Subsuku Angkola–Mandailing berasal dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan —hingga tahun 2008 mengalami pemekaran wilayah menjadi 5 kabupaten yakni
Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Kota Padang Sidempuan (Pasid), Kabupaten Padang Lawas (Palawas), Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta),
dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina)—
yang terletak di antara Rao (Provinsi Sumatra Barat) dan Pahae (Tapanuli Utara), Samudra Hindia, dan Rokan Hulu (Riau).

Batak Angkola-Mandailing mendiami wilayah yang dialiri dua sungai besar dan bertemu di muara Batang Gadis menuju Samudra Hindia.

Kedua sungai itu adalah Sungai Batang Angkola dari Gunung Lubuk Raya, dan Sungai Batang Gadis dari Gunung Kulabu.

Subkultur Angkola-Mandailing ada juga yang menyebut diri mereka sebagai Orang Angkola, Orang Mandailing, atau Orang Selatan (Par Selatan).

Budaya etnis Angkola–Mandailing memadukan tradisi dan agama Islam : “Hombar do adat dohot ugamo” (custom alongside religion).

Adakalanya diungkapkan juga dengan kata-kata: “Hombar do adat dohot ibadat” (adat dengan ibadat/agama adalah berdampingan ).

Penyebaran Islam di Tanah Angkola—Mandailing dilakukan oleh pasukan Paderi dari Minangkabau dari dua arah yang berbeda, yakni Pasukan Tuanku Rao atau Pakih Muhammad Lubis dari Huta Godang,
bergerak dari Muarasipongi menuju Panyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, dan Rura Silindung (Tarutung-Tapanuli Utara) pada tahun 1816. Sedangkan, Pasukan Tuanku Tambusai
atau Hamonangan Harahap melalui Sibuhuan, Padang Lawas, Padang Bolak, dan Sipirok beberapa tahun kemudian.

Orang Batak memiliki warisan budaya yang bernilai luhur dan memiliki filosofi yang mendalam dan sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat orang Batak.

Marga dan Tarombo

Marga ialah identitas seorang Batak. Coba bayangkan, jika orang Batak tidak memiliki marga ..:)
Peran marga dalam kehidupan budaya Batak sangat penting dan berpengaruh.
Selain daripada identitas, marga juga merupakan bentuk terjemahan dan penerapan dari dalian na tolu sebagai landasan budaya Batak.

Istilah marga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari
keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui pihak
laki-laki atau ayah (patrilineal).

Pada umumnya orang Batak mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan) dan tiap-
tiap marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek-moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris,
dan senantiasa mereka tempatkan di awal silsilah keturunan (tarombo) mereka.

Tarombo ialah catatan tentang silsilah keturunan.Dengan adanya tarombo ini, setiap marga dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai
sekarang.Tarombo menjadi sumber sejarah asal-usul orang Batak di masa lalu.

Dengan tarombo, seseorang mengetahui, apakah ia harus memanggil satu sama lain dengan kahanggi (saudara semarga), namboru atau bouk (saudara perempuan Ayah), udak (paman, saudara laki-laki Ayah),
iboto atau ito (saudara perempuan), ompung, tulang, nantulang, borutulang, amangboru, amangtua, amanguda, nanguda, inangtua atau nattobang, pariban,
dan seterusnya.

Marga dan tarombo adalah warisan budaya Batak yang memiliki nilai-nilai luhur.
Menurut sejarahnya, leluhur asli suku bangsa Batak ialah Si Raja Batak yang bermukim di daerah Pusuk Buhit di kampung Sianjur Mula-Mula, di pinggiran Danau Toba, lebih kurang 8 km arah barat Kota Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir.

Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13).
Si Raja Batak memiliki tiga orang anak, yaitu Guru Tateabulan, Raja Isombaon, dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.
Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memperoleh 5 orang putra— Si Raja Biak-Biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Malau Raja— dan 4 orang putri, yaitu: Si Boru Pareme,
Si Boru Anting Sabungan, Si Boru Biding Laut, Si Boru Nan Tinjo.
Si Boru Pareme yang kawin dengan Tuan Sariburaja melahirkan seorang putra yang diberi nama Si Raja Lontung.

Si Raja Lontung yang merupakan putra pertama dari Tuan Sariburaja mempunyai 7 orang putra—Tuan Situmorang (keturunannya bermarga Situmorang), Sinaga Raja (keturunannya bermarga Sinaga), Pandiangan (keturunannya bermarga Pandiangan),
Toga Nainggolan (keturunannya bermarga Nainggolan),Simatupang (keturunannya bermarga Simatupang), Aritonang (keturunannya bermarga Aritonang), Siregar (seluruh keturunannya bermarga Siregar)—
dan 2 orang putri, yaitu: Si Boru Anakpandan yang kawin dengan Toga Sihombing, Si Boru Panggabean yang kawin dengan Toga Simamora.

Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina (Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu), Pasia Boruna Sihombing Simamora.
Siregar merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara ini.

Menurut hikayat, Si Raja Lontung bermukim di Desa Banuaraja yang terletak di daerah perbukitan sebelah atas Desa Sabulan, di pinggiran Danau Toba, berseberangan dengan Pangururan di Pulau Samosir. Pada suatu masa, terjadi banjir besar yang melanda Desa Banuaraja dan Sabulan.

Anak-anak keturunan Si Raja Lontung terpaksa mengungsi. Sinaga dan Pandiangan ke Urat-Samosir, Nainggolan ke Nainggolan-Samosir, Simatupang dan Aritonang ke Pulau Sibandang, dan Siregar ke Aeknalas-Sigaol. Sedangkan, Situmorang hanya sampai di Sabulan.

Suatu ketika Aritonang memanggil adiknya Siregar dari Aeknalas-Sigaol ke Desa Aritonang di Muara, yang akhirnya kemudian menetap dan beranak-pinak di situ. Selanjutnya dari Desa Aritonang-lah marga Siregar menyebar ke sekitar Muara.

Konon kabarnya, kemarau panjang pernah melanda Muara yang menyebabkan gagal panen sehingga beberapa keturunan marga Siregar merantau ke arah Siborongborong-Humbang dan langsung membangun kampung di sana yang diberi nama Lobu Siregar.

Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dari sini ada sebagian dari mereka yang menjelajah ke arah Pangaribuan dan sebagian lagi menuju Desa Sibatangkayu. Setelah bermukim beberapa lama, dari sini mereka berangkat lagi ke Bungabondar, Sipirok hingga ke Angkola-Tapanuli Selatan.

Mendengar saudara-saudaranya berhasil di perantauan, keturunan marga Siregar yang masih tinggal di Muara, akhirnya berpindah ke Tarutung-Silindung dan mendirikan kampung yang diberi nama Desa Simarlala Pansurnapitu. Dari desa itu, mereka berpindah lagi menuju Pantis-Pahae dan beranak-pinak di sini.

Keturunan marga Siregar yang dari Pantis ini menjelajah dan mendirikan kampung di Onanhasang, di sekitar Pahae. Dari Onanhasang, keturunannya merantau lagi dan mendirikan kampung di Simangumban dan Bulupayung.

Dengan demikian, penelusuran asal-muasal Toga Siregar berawal dari perjalanan panjang perantauan marga Siregar; mulai dari Banuaraja-Sabulan di Pangururan, Kabupaten Samosir, menyebar ke daerah Muara, Humbang Hasundutan (Dolok Sanggul), Pangururan, Bungabondar, Sipirok, Pahae, Simangumban, dan Bulupayung. Meskipun, ada yang berpindah-pindah,
tetapi di tiap-tiap perkampungan yang dibuat selalu ada keturunannya yang tinggal di sana, berkembang-biak dan beranak-pinak serta memiliki tanah, desa atau “huta”. Itulah sebabnya mengapa orang-orang bermarga Siregar selalu mengatakan dirinya berasal dari huta-huta tersebut.
Toga Siregar memiliki 4 orang anak (yang kemudian akan menjadi marga-marga), yaitu: Silo, Dongoran, Silali, dan Siagian.

Keempat keturunan Toga Siregar ini sering dijuluki Si Opat Ama.
      Dari keempat anak ini lahir pulalah marga-marga Siregar:
  1. Silo (dari kata Silogo-logo=nama sejenis kuda)
    Silo
    Sormin
    Baumi
  2. Dongoran
    Dongoran
    Salak
    Pahu
  3. Silali (dari kata lali=nama sejenis burung elang)
    Silali Toruan (=Ritonga)
    Silali Dolok
  4. Siagian
Marga Siregar digolongkan ke dalam subsuku Batak Angkola-Mandailing.Nama-nama marga lainnya adalah: Harahap, Hasibuan, Dalimunte, Mardia, Pulungan, Lubis, Nasution, Rangkuti, Parinduri, Daulae, Matondang, Batubara, Tanjung
dan Lintang.
Marga Siregar yang umumnya bermukim di daerah Tapanuli Selatan berada di wilayah Angkola (Padangsidempuan dan sekitarnya), Batangtoru, Mandailing (Panyabungan—Kotanopan), Padang Lawas
(Gunung Tua dan sekitarnya), Sibuhuan, dan Sipirok.
Orang-orang bermarga Siregar ini pun sudah berbaur maupun kawin campur antarsubkultur dan menyebar ke seluruh pelosok nusantara dan seantero dunia.

Dalian Na Tolu
Dalian na tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem kekerabatan dalam melaksanakan aktivitas sosial-budaya.
Konsep hubungan fungsional antarmarga dalian na tolu (three pillars)-
pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak boru (barisan menantu)-dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang terdiri atas:
  1. Kahanggi, yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki
  2. Anak boru, yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin
  3. Mora, yaitu keluarga laki-laki dari saudara istri
Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak Angkola-Mandailing.
Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya
Dalam sistem kekerabatan dalian na tolu,interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing
terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na urang siorus na lobi
(si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai
na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela
kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).

Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru
berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak mora.

Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora).
Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa
manjuljulkon morana.
Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi.

Untuk hal ini, para orangtua senantiasa mem beri nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap
hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.
Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:
  1. Kahanggi : saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka
  2. Anak boru : saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki
  3. Mora : saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka
Apabila jaringannya diperluas-selain daripada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut-maka dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan, yakni mora ni mora dan pisang raut.
Mora ni mora adalah kelompok mora dari mora dan pisang raut adalah anak boru ni anak boru (anak boru dari anak boru).

Menurut filosofi orang Batak Angkola-Mandailing, seluruh tali-temali jaringannya dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya.
“Tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan dan anggota masyarakat dalam satu sistem sosial dalian na tolu yang secara simbolik dianalogikan
sebagaimana layaknya sebuah “jala” seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Dalian Na Tolu
Olong (kasih sayang) adalah nilai budaya tertinggi dan paling abstrak yang merupakan landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu sehingga masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora,kahanggi dan anak boru yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai orang-orang yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama). Sebagai konsekuensinya, orang Batak menjadi sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat) dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).

Sejalan dengan terciptanya suatu sistem sosial yang ideal berupa jaringan besar, maka orang Batak secara filosofis-simbolik memolakan dirinya seperti sebuah jala berbentuk segitiga sama sisi. Setiap sudutnya merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan.
Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora,dan pada dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru.

Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan ketiganya
sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya berupa segi-tiga besar. Di dalamnya secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segitiga-segitiga kelompok kekerabatan yang kecil-kecil mengikuti pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segitiga besar itu bersama segitiga-segitiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem dalian na tolu.

Upacara Adat Perkawinan
Acara adat dalam etnis Batak Angkola–Mandailing terdiri atas siluluton (duka cita) dan siriaon (suka cita).

Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita.
Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola-Mandailing dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
1) Sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) Perkawinan tanpa persetujuan orangtua yang disebut dengan marlojong
Kedua cara ini masing-masing ada aturannya, tata cara, dan tata tertib yang harus selalu dipatuhi oleh setiap orang Angkola-Mandailing.

Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun berikut:
Aha na tubu di lambung ni suhat        Apa yang tumbuh dekat keladi
Ulang baen margonjong-gonjong      Jangan dibuat berderet lagi
Adong na marbagas dipabuat              Ada yang kawin dilamar pasti
Dung i muse adong na marlojong        Namun, ada yang kawin lari
Prosesi upacara perkawinan Angkola-Mandailing dimulai dari musyawarah adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa
yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam
dalian na tolu.
Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun secara bergiliran dengan pembicara sebagai berikut:
  1. Juru bicara yang punya hajat pesta (suhut) pangatak pengetong (penyusun acara/protokoler)
  2. Suhut (yang punya hajat pesta)
  3. Anak boru suhut (menantu yang punya hajat)
  4. Pisang raut (ipar dari anak boru)
  5. Paralok-alok (peserta musyawarah yang turut hadir)
  6. Hatobangan (raja adat di kampung tersebut/Noblemen-of-Village)
  7. Raja torbing balok (raja adat dari kampung sebelah)
  8. Raja panusunan bulung (raja diraja adat/ pimpinan sidang)
Upacara perkawinan akan dibuka dengan nasihat perkawinan seperti berikut:
Muda dibaen na tu gas-gas, jari-jari on ma na lima
Muda dibaen na marbagas, angkon malo manggolom na lima
Muda istri sigolom sada, angkon suami na i sigolom dua
Muda ibaen na mar ruma tangga, ulang bei sai marlua–lua
Bila berangkat ke ladang bersemak, gunakan jari yang lima
Bila sudah berumah tangga, pegang erat nasihat yang lima
Bila istri menggenggam kesatu, suami genggam yang kedua
Bila sudah berumah tangga, jangan lagi bermain main
Para pembicara akan bersahut-sahutan seperti ditunjukkan pada transkrip di bawah ini:
  1. Juru bicara suhut: Ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan sidang pesta adatDiharoro ni anak ni rajasongoni anak ni namoranadung martoru abaranamarnayang ni lakka
  2. Suhut: Permohonan agar diadakan pestaTakkas ma hami olat ni niat, anak ni raja dohot namora palaluonsian harani dison hami pasahatonsongoni dohot manyorahon
  3. Anak boru : Mengiring mora(pihak mertua)Manatap ma tu torutu siamun tu siambirangpangodoan ni ami anak boruulang lang-lang pagusayang
  4. Pisang raut: Ikut menyerahkanOn ma pangidoan ni pisang rautari on ma ari ulang lusutmuda lewat on horbo lusutsarsar ma nadung luhut
  5. Hatobangan boru/pisang raut : Memberikan jawaban atas permintaan suhutAnak melpas ma tu namambalosisangape namangalusimanjawab saro sonnarihata ni suhut habolonan nakkinan i
  6. Raja kampung : Menjawab permintaanMuda pola tabo ima na bornok, sombu rohapuas dilala
  7. Raja kampung sebelah : Menjawab permintaan mudaAu raja i tobing balok sian naritti, hujagit hutarimo andungmunu onmuda saro di naritti jolo hudokkon
  8. Raja panusunan bulung: Memutuskan sidangDalan dalan tu Sidimpuan boluson parsabolasMadung dapot hasimpulan tolu noli ta dokkonHoras …horas… horas
Upacara Adat Mangupa
Di zaman dulu, ritual mangupa erat kaitannya dengan religi kuno sipelebegu
yang dianut oleh nenek moyang orang Batak pada masa itu.

Sejak agama Islam masuk dan dianut oleh umumnya etnis Angkola-Mandailing, pelaksanaan acara tradisi mangupa
mengacu kepada ajaran agama Islam di samping ajaran adat. Kata-kata nasihat dalam acara mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam.
Upacara adat mangupa atau mangupa tondi dohot badan dilaksanakan untuk memulihkan dan atau
menguatkan semangat (spirit) serta badan.

Bahan untuk mangupa dinamakan pangupa yang berupa hidangan yang porsinya bervariasi
sesuai dengan jumlah hadirin/undangan.
Pangupa yang terkecil terdiri atas telur ayam kampung, garam dan nasi, yang dilaksanakan ala kadarnya
oleh halak sabagas (orang satu rumah).
Pangupa yang sedang adalah pangupa manuk (pangupa ayam).
Pangupa yang besar adalah pangupa hambeng (pangupa kambing), dan
yang terbesar adalah pangupa horbo (pangupa kerbau).
Secara simbolik, bahan yang terkandung dalam pangupa seperti telur bulat yang terdiri atas kuning telur dan putih telur;
mencerminkan “kebulatan” (keutuhan) tondi dan badan.

Upacara mangupa dilaksanakan supaya “Horas tondi madingin, pir tondi matogu” yang bermakna
“Selamatlah tondi dalam keadaan dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan
sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang dijalani.”
Kecuali pangupa kecil yang hanya dilaksanakan oleh orang dalam satu rumah, upacara mangupa juga melibatkan
dalihan na tolu (tungku yang tiga penyangganya).
Di samping dalihan na tolu, upacara mangupa yang sedang dan besar juga melibatkan unsur lain, yakni hatobangon
(orang yang dituakan) dari jiran tetangga sekampung dan raja panusunan bulung (pengayom suatu dalihan na tolu tertentu)
yang bertindak sebagai pemimpin upacara/penyimpul.
Upacara mangupa yang terbesar melibatkan pula raja-raja na bona bulu (raja-raja dari kampung asal marga-marga),
raja-raja torbing balok (raja-raja kampung sekitar), dan raja-raja desa na walu
(raja-raja dari desa-desa pada delapan penjuru angin).

Bahasa Batak Angkola-Mandailing
Bahasa Batak Angkola adalah salah satu bahasa yang ada di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Ada lima ragam bahasa Batak Angkola-Mandailing, yakni :
  1. Hata somal
  2. Hata andung
  3. Hata teas dohot jampolak
  4. Hata sibaso
  5. Hata parkapur
    • Hata somal ialah bahasa pengantar yang dipakai untuk berkomunikasi dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari.
    • Hata andung dikategorikan sebagai bahasa sastra karena dipandang oleh masyarakat memiliki nilai-nilai keindahan.
      Pemakaian hata andung sangat luas dalam upacara adat perkawinan atau kematian seperti pada tradisi mangandung (meratap), makkobar, marjamita,
      dan mangupa-upa
      (upacara untuk memanggil tondi guna membangkitkan semangat hidup seseorang).
    • Hata teas dohot jampolak ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau mencaci-maki seseorang.
    • Hata sibaso ialah ragam bahasa yang secara khusus digunakan sibaso dan datu (dukun).
Sibaso dan datu merupakan dua tokoh yang ditautkan dengan sistem kepercayaan sipelebegu (pemujaan roh-roh).

Di masa lalu, sistem kepercayaan animisme ini dianut oleh kebanyakan orang Batak sebelum masuknya agama Islam.
Sibaso dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi dengan alam gaib
atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu dapat dirasuki oleh roh leluhur
untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala bencana (malapetaka) seperti kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah.

Upacara pemanggilan roh-yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam-disebut pasusur begu atau marsibaso.

Menurut tradisi sipelebegu, upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit seperti
musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk.

Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat. Datu dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer
(penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati).
Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu.
Ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, ada pula datu yang menjurus kepada spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu
Datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun).Datu ipon khusus menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi.
Dan datu natarsilpuk khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir atau patah tulang.

Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di sini karena
seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke sawah,
menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru.

Di samping itu, kemampuannya dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu dibutuhkan
untuk menangkal atau menyembuhkan penyakit akibat guna-guna. Seorang datu selalu diserahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena ia dipandang sebagai
gudang ilmu . Datu sebagai pendamping raja mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk memberikan berbagai macam traditional wisdom (kearifan tradisional) yang sangat dibutuhkan guna
kesempurnaan hidup komunitas huta.
  • Hata parkapur ialah ragam bahasa yang dipergunakan orang zaman dahulu kala pada saat mereka berada di hutan untuk mencari kapur barus.
Misalnya kosakata mata. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata
andung
adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot. Contoh lain , kata daun sirih dalam hata somal adalah burangir,
dalam hata andung adalah simanggurak, dan dalam hata sibaso atau datu adalah situngguk. Selain daripada itu, kata harimau dalam hata somal adalah babiat,
sedangkan dalam hata parkapur adalah ompung i, raja i, na gogo i.

Turi-turian
Turi turian adalah bahasa Batak, yang berarti cerita rakyat yang disampaikan secara lisan.
Sama seperti seni tradisi lainnya, turi-turian adalah anonim (tidak diketahui siapa yang pertama sekali menciptakannya), tetapi hidup di tengah-tengah dinamika kehidupan masyarakat.

Turi-turian disampaikan orangtua kepada anak cucunya sebagai cerita lisan supaya mereka mendapatkan pandangan hidup yang dapat menjadi landasan etos dan etika dalam melakukan kegiatan sehari hari.

Dan agar generasi muda dapat mengambil hikmah dari ilmu (poda) yang diturunkan nenek-moyang orang Batak Angkola-Mandailing.
    Dari wilayah Angkola ada :
  • Asal-usul ni gorar ni Huta Batu Nadua
  • Carito ni sada Ina-ina na pistar
  • Carito ni Si Biaok
  • Carito ni Jabukkuk dohot Si Japitung
  • Carito ni Si Bisuk na Oto
    Dari wilayah Sipirok ditemukan :
  • Si Bisuk Na Oto
  • Asal-usul Tor Simago-mago
  • Ursa dohot kerek
  • Landut dohot joling-joling
  • Si Jabar dohot Si Samir
    Dari wilayah Padang Bolak ada beberapa cerita seperti :
  • Si Pogos
  • Si Kancil na pistar
  • Si Bisuk na Oto
  • Sada Ina-ina na pistar
  • Si Jabukkuk dohot Si Japitung
    Dari wilayah Mandailing ada cerita :
  • Turi-turian Ni Raja Gorga Di Langit
  • Si Jahidin
  • Si Lundu Ni Pahu
  • Nan Sondang Milong-ilong
  • Si Sampuraga
  • Si Baroar
  • Si Aji Malim Deman
  • Si Raja Onas di Mandailing
  • Turi-turian Ni Si Tapi Surat Tagan
  • Jalak Maribo dohot Ompu Sagadon
      Turi-turian mengandung aspek sejarah, pendidikan, dan nilai-nilai budaya tradisional.
    Nilai-nilai pendidikan di dalam cerita:
  • Agar patuh pada Orangtua Cerita Si Jabir dohot Si Samir, adalah bekas anak raja yang ayahnya telah menjadi budak, tetapi mereka masih tetap sangat hormat pada orang tuanya. Akhirnya, setelah dewasa mereka kembali menjadi raja atas karunia Allah.
  • Jangan bangga dengan harta karena itu hanyalah titipan Allah Si Pogos menceritakan orang miskin yang kaya mendadak sehingga lupa diri, dan pada akhirnya miskin kembali.
  • Agar Remaja Jangan Berbuat Tak Senonoh Cerita Asal-usul ni Gorar ni Huta Batu Na Dua (Sidimpuan) yang mengisahkan hubungan seksual dua orang kakak beradik yang kurang iman.Mereka dikutuk menjadi dua batu besar dempet, Batu na dua…
  • Agar Jangan Membuang Anak karena bisa jadi dia lebih suci daripada AndaIni terdapat dalam cerita Si Biaok
  • Agar Jangan Meremehkan Orang Cerita ini terdapat dalam Raja na Martua dohot Mora
  • Agar Berhati hati dalam hidup Cerita Si Bisuk Na Oto yang menipu seorang haji, dan cerita Sada Ina-ina na Pistar yang menyelamatkan suaminya dari penipuan

 

Sumber:

http://margasiregar.wordpress.com/budaya/

No comments:

Post a Comment