Pages

Friday, September 28, 2012

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (V)

Menyusuri Ulos Batak, Berkelana dengan Sandra (V)
by Mja Nashir on Saturday, 16 October 2010 at 07:29 ·
LAPPET, GUNUNG TOBA & WARISAN ANAK CUCU (Sebuah tulisan perjalanan - Bagian Kelima)

Pangururan - Samosir, 21 juni 2010. Di tepi Toba, hotel Saulina Resort, aku terbangun. Seketika kubuka gorden jendela kamar yang menghadap ke arah danau. Nyala semburat merah menyeruak di langit yang masih gelap. Semburat merah yang seketika menggerakkan tanganku meraih kamera, membuka pintu dan menghempaskan tubuhku ke bibir danau. Di bawah langit bersemburat merah yang perlahan menyepuh menjadi keemasan kusaksikan beberapa nelayan memulai pagi dengan perahu-perahu kecil. Desing mesin berputar menyibak air menjadi riak-riak yang berloncatan. Perahu-perahu melaju, meninggalkan garis-garis tegas di atas danau. Matahari perlahan menampakkan wajahnya.

        Dari garis pantai pulau Samosir kulihat kamar Sandra Niessen masih tertutup rapat. Aku rasa dia pasti sudah bangun dan sedang sibuk dengan laptopnya. Dia selalu rajin menulis dan meng-update blog nya, www.bataktextiles.blogspot.com dengan berita-berita baru. Dia kelola blog itu sebagai media pengabaran. Pengabaran Project Pulang Kampung-nya yang merupakan jalan memulangkan kembali hasil risetnya tentang ulos Batak - berupa buku “Legacy in Cloth – Batak Textiles of Indonesia” (KITLV Press Leiden, 2009) - kepada tanah ini, Tano Batak. Tanah yang telah melahirkan ulos, tradisi luhur secara turun temurun dalam kebudayaan Batak. Tradisi ulos ini merupakan sebuah pengetahuan yang menurut Sandra telah berlangsung sejak empat ribu tahun silam.

        Di hotel baru ini, kamar Sandra bersebelahan dengan kamarku. Kamar-kamar lain berderet di  samping kanan kiri tak berpenghuni. Sejak tadi malam, barangkali kamilah yang menyewa hotel yang baru berdiri ini. Aku suka hotel ini, tidak begitu besar, bersih, tempatnya eksotik, di tepi danau berpantai landai. Jika orang dari bangunan hotel memandang ke danau maka ia akan memperoleh view danau yang cantik. Sedangkan jika dari garis pantai memandang ke arah bangunan hotel maka akan mendapatkan view yang tak kalah artistik. Seperti yang sedang kulihat sekarang dari tepi pantai ini. Bungalow memanjang dengan pintu-pintu kamar terasa unik dengan latar belakang bukit hijau. Kupandangi bukit itu pada garis tepi kiri, mengingatkan kembali pada bukit-bukit kemarin kami mendaki. Seekor burung gereja terbang berkepak-kepak di langit yang makin membiru. Seketika melesat ke bawah dan hinggap di atap kamar Sandra.

Pada saat itu pula Sandra telah berdiri di halaman depan kamarnya menyambut pagi hari. Kami saling menyalam selamat pagi. Bicara sebentar memastikan perjalanan hari ini. Kemudian segera mandi.

                                                                                 ***

        Mobil kami meninggalkan Saulina menuju ke arah kota. Pagi ini kami telah membuat janji dengan Arthur Sihotang. Dia akan mempertemukan kami dengan anak Ompu Borsak. Sebelum bertemu Arthur, kami putuskan untuk sarapan pagi terlebih dulu. Di dalam mobil Pak Jery menanya kami apakah semua sudah beres dan tak ada yang ketinggalan. Kuingat-ingat kembali semua. Rasanya tak ada yang tertinggal. Apalagi handphone, seingatku sudah masuk dalam saku celana. Pagi ini HP ku menjadi vital fungsinya sebagai penghubung ke Arthur.  Selain mendapatkan HP ketika kurogoh saku celanaku kutemukan sebuah kunci pintu. Ah..kunci pintu kamar hotel itu…aku lupa mengembalikannya! Kuserahkan kunci pada Pak Jery. Untung Pak Jery bersedia mengembalikan setelah sampai di rumah makan.

        Jalanan kota Pangururan mulai ramai dengan aktivitas pagi. Aku dan Sandra turun di pertigaan, di depan warung makan. Pak Jery memutar mobil, balik arah menuju hotel.  Kasihan Pak Jerry, aku telah merepotkannya dengan kecerobohanku. (Maafkan aku Pak Jery.)

        Di warung ini ternyata tak ada menu yang bisa membuat kami berselera makan. Apalagi Sandra seorang vegetarian. Kami urung masuk ke warung lalu berjalan kaki menyusuri trotoar mencari rumah makan lain yang tepat. Ada sebuah rumah makan Padang, kami masuk ke dalam. Sudah seperempat jam kami duduk namun tak ada pelayanan. Pelayan sedang makan sendiri tanpa peduli, meskipun sejak awal dia lihat kami. Aku berdiri hampiri pelayan. Belum ada makanan, katanya. Ah..kenapa dari tadi tak memberitahu kami terlebih dulu. Hatiku kecut mendapati kenyataan ini. Waktu seperti terbuang sia-sia. Rasanya aku seperti mau marah, tapi seketika kuurungkan. Kemarahan cuma sia-sia dan buang-buang energi untuk hal yang percuma. Kembali kami menyusuri trotoar ke arah lain, menenggelamkan perasaan kecut tadi pada keramaian jalan. Di ujung jalan orang-orang menyapa kami ramah. Beberapa di antaranya menawari kami untuk mengantar ke suatu tempat dengan mobil angkutan, mengira kami adalah wisatawan. Kulihat di seberang beberapa laki-laki duduk di meja sambil menikmati kopi dan bersantap pagi. Melihat nikmatnya mereka menyeruput kopi menjadi petunjuk tepat bagi kami.

        Kupesan secangkir kopi dan Sandra memesan teh hangat. Sejak awal perjalanan di daerah danau Toba, di setiap warung makan sering kali berjumpa butir-butir telur rebus terhidang di piring-piring di atas meja. Telur rebus jadi makanan ‘alternatif’ favorit kami. Sampai kadang Sandra membawanya untuk bekal di perjalanan. Tapi kali ini kami ingin makan yang lain. Pada salah satu meja makan yang ramai orang di depan kami, mata Sandra menemukan jenis makanan yang baru kulihat kali ini. Makanan itu juga tersaji di atas piring-piring. Warnanya putih. Orang-orang mengunyahnya sambil ngobrol. Penjual sibuk melayani. Sandra memesan makanan itu. Orang-orang kaget mendengar Sandra berbahasa mereka. Suasana pun menjadi semakin akrab. Penjual melayani kami dengan baik. Menghidangkan makanan yang masih hangat itu dengan piring di atas meja kami.

        “Inilah yang namanya lappet, Mas,” ujar Sandra sambil mengunyah kue lappet. “Dulu di Harianboho bersama almarhum Ompu Sihol saya selalu menikmati lappet ini. Seingatku, itulah pertama kali saya makan kue ini. Sejak itu selalu rindu kue ini. Enak sekali. Saya suka kue ini.”

        Aku pun mengangguk sembari mengunyah lappet. Menghadapi kue khas tradisional Batak yang bulat sederhana berasa maknyus ini, mulut dan lidahku mencoba menjejaki asal muasalnya. Ada rasa bermula dari tepung beras, juga kelapa serta gula aren yang diolah menjadi satu sedemikian rupa. “Ya betul. Enak sekali,” kataku pada Sandra. Kami menyantapnya dengan lahap butir demi butir. Sesekali kuselingi dengan teguk kopi. Mantap. Paten dinikmati dengan kopi yang masih panas ini.

        Kami menyantap lappet hingga tandas. Sampai akhirnya kedua mataku menangkap seseorang yang kukenal baik, baju merah topi merah, berjalan melintasi trotoar. Pasti dia tak melihat kami karena kami berada di dalam, dan keberadaan kami terhalang oleh orang-orang di meja depan. Seketika aku berdiri, berlari ke depan dan berteriak, “Pak Jery!!!

                                                                                     ***

        Kami bertemu Arthur Sihotang saat kami isi bensin untuk mobil kami. Arthur Sihotang adalah pemuda tangkas, ramah dan ringan tangan dalam hal menolong. Sejak bertemu di persawahan Sihotang kemarin sore, aku yakin sekali akan berjumpa dengannya lagi. Dan pagi ini ia datang dengan sepeda motor untuk menepati janji, mengantar kami ke anak Ompu Borsak.

        Sepeda motornya bergerak di depan, memandu mobil kami. Dari jalanan kota Pangururan kami masuk di jalan lengang dan tenang. Athur berhenti memarkir motor di depan sebuah rumah lalu mengetuk pintu. Pak Jery memarkir mobil di seberang jalan. Beberapa detik kemudian kulihat seorang bapak muncul. Tubuh gemuk, wajah bersahaja. Kami semua turun menjabat tangannya. Ia mempersilakan kami masuk. Rumahnya lumayan besar dan baik. Interior tertata rapi dan bersih. Kami duduk di ruang tamu. Kulihat beberapa lemari kaca berisi ulos-ulos Batak. Mungkin si Bapak, atau keluarga di rumah ini punya usaha jualan ulos, demikian fikirku.

        Pemuda Arthur berpamitan pada kami karena dia cuma izin keluar sebentar dari kantornya. Kami sangat berterimakasih atas pertolongan dan kesediaannya meluangkan waktu. Usai berjabat tangan dan memberi salam, dia keluar meninggalkan kami.

        Kepada anak Ompu Borsak Sandra menunjukkan selembar foto berlaminasi. Foto Ompu Borsak dan anak perempuannya. “Saya mencari ibu ini. Ibu ini katanya masih hidup,” kata Sandra.

        “Ya, itu mamak saya dan di sebelahnya adik saya. Keduanya masih hidup,” ujar bapak ini. “Mamak kami sekarang berusia 87 tahun.”

        “Jadi oleh sebab itu … boleh saya minta tolong pada bapak. Saya ingin memberikan buku ini pada mereka. Mereka digambarkan dalam buku, pada lembar 73. Mereka menolong saya dulu. Sekarang saya mau kasih buku untuk mengucap terima kasih pada mereka. Jadi boleh saya minta tolong pada bapak untuk menyerahkan buku ini pada mereka?," tanya Sandra.

        “Ya Bisa. Bisa,” jawab Si bapak antara senang dan terharu.

        “Terimakasih,” ujar Sandra. “Sebelumya saya akan menulis di buku ini..nama ibumu dan adikmu.”

        “Sebentar ..” Si bapak meraba saku baju. Yang dicari tak ada di situ.. “Saya ambil kacamata dulu”

        Ia ambil kacamata di ruang lain, ketika kembali sudah mengenakannya. Duduk lagi di sebelah Sandra. Anggota keluarga muncul, mengerumuni kami di ruang tamu. Ikut menikmati pertemuan ini. Pada halaman depan buku, Sandra menuliskan nama Ompu Borsak dan anaknya. Juga sebuah nama - Soroptimists, Arnhem - yang membantu Sandra dalam pemberian buku untuk Ompu Borsak dan keluarganya ini.

         “Saya senang dulu berjumpa dengan ibumu di daerah Sihotang. Dengannya kami banyak cerita tentang kisah zaman dulu. Cerita tentang zaman perang dengan Belanda di mana semuanya banyak dibakar oleh Belanda. Ibumu orang yang baik sekali dan halus. Dari ibumu ini saya banyak dapat pengetahuan tentang kehalusan seorang raja di zaman dulu. Selain itu beliau banyak tunjukkan kepada saya bagaimana ibu-ibu di zaman dulu bertata busana, mengatur rambutnya, memakai perhiasan telinga, cara berbicara, cara menghormati raja dan segala macam itu,” ujar Sandra mengenang pelajaran dari Ompu Borsak yang merupakan anak ni raja di Sihotang. “Saya kepingin sekali bertemu dengan ibumu. Sayang sekali saya tidak bisa sampai ke sana karena waktu yang tidak memungkinkan. Jadi saya minta tolong kepada bapak untuk menyampaikan salam saya melalui buku ini.”

                                                                                    ***

         Pagi telah membuka pintu siang. Mobil kami keluar dari jalanan kota Pangururan. Sebuah pertigaan memberi arah dengan tanda; ke kiri Ronggur Ni Huta, ke kanan Palipi. Kami mengarah ke kanan. Hari ini kondisi jalan lebih bagus, lebih besar dari kemarin. Kendati demikian Danau Toba masih setia terbentang luas di samping kami, di jalan bertype ringroad ini. Jika kemarin danau ini berada di kiri sekarang ia berada di kanan. Selalu ada dalam sepanjang perjalanan kami.

         Di daerah Simbolon, kecamatan Palipi kami berhenti. Hidung kami mencium bau belerang yang menyeruak ke udara. Batu-batu memutih berasal dari panas belerang itu bertebaran di sana-sini, di sepanjang tepi danau. Ini adalah pemandangan serupa untuk kali yang ke kedua sejak kami berada di Pangururan. Seperti di Pangururan, daerah ini banyak terdapat sumber air panas alam (hotspring) yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi mandi. Rekahan-rekahan batu belerang yang terhampar serta sumber-sumber air panas ini rasanya menjadi artefak-artefak yang memberi pesan kuat padaku bahwa dulunya danau toba ini memang sebuah gunung.

        Konon, Toba adalah gunung berapi yang sangat besar (super volcano) yang meletus pada 74.000 tahun silam. Jauh sebelum gunung Krakatau meletus yang pertama kali. Menurut beberapa sumber yang pernah kubaca, dari letusan gunung mahadahsyat ini telah melontarkan sekitar 800 kilometer kubik debu vulkanik ke atmosfer dan ke hampir semua permukaan bumi. Bahkan sampai di Kutub Utara dan sempat menutupi radiasi matahari. Membuat bumi membeku dingin selama bertahun-tahun (zaman es). Konon, dari letusan gunung Toba ini pula yang menyebabkan ledakan dahsyat yang akhirnya menenggelamkan sebuah benua di dunia ini yang terkenal dengan peradaban Atlantis. Dan sampai sekarang ilmuwan-ilmuwan di muka bumi, abad demi abad masih terus mencari di mana letak benua yang hilang ini.

        Membayangkan kejadian ribuan tahun silam itu membuatku tak sadar jika Sandra ternyata sudah berjalan kaki menuju sebuah kedai. Di kedai ada seorang nenek. Padanya Sandra mencoba melakukan investigasi. Menyaring kembali ingatan orang tua ini tentang 'tradisi biru' ulos Batak yang memanfaatkan tumbuhan salaon sebagai pewarna itom (biru/indigo). Rupanya nenek ini dulunya seorang partonun yang memanfaatkan salaon. Namun sudah lama ia tidak menenun ulos lagi. Padanya Sandra bertanya apakah masih ada partonun yang masih menenun di sekitar sini. Menurutnya sudah tidak ada lagi. Dari kedai itu kami melanjutkan perjalanan.

       Mata Sandra masih terus memandang keluar melalui jendela di sampingnya. Ia teringat dari daerah ini ia mendapat ulos warna itom dari salaon yang dalam dan indah. Ulos yang berawal dari pertemuan dengan penenun tua di tahun 1986 di pasar Pangururan. Dan tempat tinggal penenun tua itu di daerah ini. Sandra masih mengingat baik keindahan dan kedalaman ulos darinya. Namun Sandra tak ingat persis di mana letak tempat tinggalnya. Sandra menyebut penenun ini dengan nama Boru Hite. “Saya tak tahu nama marga suaminya dan tak tahu namanya. Seingatku hanya Boru Hite saja,” ujar Sandra. Pertemuan Sandra dengan Si Boru Hite di rumahnya itu kurasakan sebagai pertemuan yang terakhir. “Waktu ke rumahnya, dia tunjukkan saya sebuah tas dan dia bilang pada saya, ‘coba lihat dalam tas ini. Ini ada benang itom untuk satu ulos lagi. Kalau benang-benang ini sudah saya tenun maka saya tidak punya benang itom lagi. Dan saya tidak akan menenun lagi.”

        Kalimat ompung Boru Hite pada Sandra itu seperti mengungkapkan sesuatu yang dalam. Sebuah pesan yang mengisyaratkan bahwa tugasnya sebagai partonun di Bumi ini akan berakhir secara sempurna dengan selesainya ulos terakhir yang ia tenun dari benang itom terakhirnya. “Pasti dia sudah meninggal dunia. Dia sudah tua waktu itu,” kenang Sandra.

                                                                                ***

        Di sepanjang jalan kecamatan Palipi  Pulau Samosir, di tengah pesona danau dengan batu-batu belerang bertebaran di sana-sini mengingatkanku pada pertemuan dengan 'Si Suling Maut" – Tulang Marsius Sitohang - yang ternyata lahir dari daerah ini. Baru beberapa hari lalu kami melakukan spontanitas bersama antara pembacaan puisiku - 'Bumi, Bunyi, Sunyi' - dengan permainan Sulim Andung-nya di atas makam Raja Sisingamangaraja XII di Bakkara lalu di Balige ( http://www.facebook.com/video/video.php?v=427310124711 )

Mengingatnya, secara otomatis adalah mengingat kembali sahabat-sahabatku; Irwansyah Harahap, Erwin Landy, Mark Renner, Raja Tonggo, dan lain-lain yang beberapa hari lalu kami semua bersama melintasi lereng-lereng pada bukit-bukit di seberang danau itu dengan Land Rover. Pertemuan-pertemuan antar manusia bagiku mempunyai misterinya sendiri. Setiap pertemuan selalu membawa pesan. Pesan untuk bergerak ke depan. Begitu juga pertemuanku dengan Sandra ini. Pertemuan yang akhirnya saling menghubungkan satu sama lain.

        Kami berhenti lagi di sebuah warung yang ramai orang. Orang-orang di sini ramah. Selain memberi petunjuk pada tempat yang kemungkinannya masih ada partonun, kami diberi informasi pula bahwa ada situs rumah tua dengan sarkofagus kubur batu tak jauh dari warung ini. Kami memutuskan untuk melihat situs ini dulu sebelum ke arah huta yang ada partonun.  Seorang lelaki ramah mengantar kami. Kaki kirinya cacat dan jalannya tidak normal. Ia berjalan tanpa rasa risi, seperti sudah biasa sehari-hari. Kami melewati gang kecil sebelah warung tadi.  Setelah 50 meter lalu belok kiri. Melewati rerimbun pohon kami masuk ke halaman sepi sunyi. Di pelataran rumah-rumah tua, peti kubur batu hening melebur ke alam raya.

                                                                                   ***

        Setengah kilo meter dari warung mobil kami menyeberang ke kanan dan masuk gang kecil. Di mulut gang berjejer rumah-rumah kampung. Kami terus bergerak. Lalu persawahan membentang di kanan kiri.  Suasana lengang dan asri. Tak ada satupun orang yang tampak di huta ini. Usai melintas sawah, Pak Jery menghentikan mobil, memarkir di depan sebuah rumah.

        Aku dan Sandra menyusuri huta. Berjalan kaki sampai mentok pada jalan yang seketika menjadi buntu. Di sebelah rumah paling pojok berdiri sebuah gubuk. Seorang lelaki melihat kami, membuka pintu. Pintu gubuk menganga, kulihat beberapa orang bermain bilyard di dalamnya. Dengan bahasa Batak Sandra menanya. Lelaki ini menunjuk dengan jari, ke arah kami bermula tadi. Kembali ia masuk ke gubuknya. Kami pun kembali ke mobil kami.

        Rupanya Pak Jery sedang ngobrol dengan pemilik rumah tempat dia memarkir mobil. Dari Pak Jery wanita ini tahu bahwa kami sedang mencari seorang penenun di huta ini. Wanita ini mengantar kami ke sebuah rumah kayu. Rumah sederhana dan tua, tempat mertua.

        Dari arah pintu rumah kulihat dalam cahaya meremang seorang nenek khusyuk mengerjakan sesuatu dengan tangan-tangannya. Di lantai kayu helain pandan berserak. Tampak dia sedang menganyam pandan-pandan menjadi sebuah kerajinan anyaman. Barangkali kerajinan anyaman ini untuk keperluan hidup sehari-hari. Mengingat lebih mudah dipasarkan dan lebih mudah dapat uang dari pada menenun berhari-hari lamanya yang juga belum tentu harganya bisa sebanding dengan lamanya pekerjaan serta tingkat kehalusannya.

         Semula kami tidak tahu kalau dia adalah seorang partonun. Dari ambang pintu Si menantu memanggilnya dengan suara keras dalam bahasa Batak. Memberitahu kedatangan kami. Seketika nenek ini berdiri di pintu.

       “Inilah alat tenunku!”, berseru nenek itu di pintu. Tangannya memegang bilah-bilah bambu panjang berdebu dan sudah kuno. Melihatnya aku merasakan seperti menyaksikan ksatria tua yang masih mampu berdiri sigap dengan pedangnya. Matanya memandangi bilah bambu itu, “Aku sudah tidak menggunakannya lagi.”

       Sejurus kemudian ia keluarkan lembar-lembar ulos karyanya. Ulos-ulos antik nan cantik. Kulihat wajah Sandra takjub mengamati. Pada wajah nenek yang penuh keriput kulihat kedua matanya berkilat-kilat. Ia tersenyum bangga akan karya-karyanya yang sedang diapresiasi secara luar biasa oleh Sandra. “Jika aku sudah tiada maka ulos-ulos inilah untuk anak cucuku. Untuk keluargaku.”

        Pada bagian wajah di bawah telinga kulihat nenek ini menderita semacam kanker. Penyakit itu telah membuat dirinya untuk memotong rambut menjadi pendek. 90 tahun umur Si nenek. Namun motorik tubuhnya masih tangkas dan kuat. Ia turun dari tangga kayu dengan trengginas. Di pelataran rumah para keluarga dan tetangga telah berkumpul. Begitu cepat rasanya suasana semula sepi seketika menjadi ramai. Dengan gesit Si nenek melangkah ke arah mereka. Di antara kerumunan orang, kepada nenek ini Sandra menjelaskan bukunya. Sambil jongkok nenek membuka-buka buku. Ia komentari foto-foto ulos yang nama-nama dan jenisnya masih dikenalnya dengan baik. Setiap kali gerak tangannya membalik-balikkan halaman demi halaman kulihat matanya bergerak seperti loncatan-loncatan flashback masa-masa silamnya. Sampai kudengar ia berteriak keras gembira.

Hudon tano.. hudan tano!!!”, teriaknya. Kedua bola matanya berbinar-binar.

        Kulihat ia menyeka matanya yang berkaca-kaca lantaran takjub dan haru seperti tak percaya melihat benda itu lagi. Jari di tangannya yang penuh keriput menunjuk kembali pada gambar hudon tano atau genthong-genthong dari tanah liat. Hudon tano biasanya digunakan oleh para partonun di jaman dulu sewaktu membuat warna alam dari tumbuhan salaon, seperti hudon tano milik almarhum Ompu Sihol di buku yang sedang dilihatnya ini. Sepanjang kami menyusuri pelosok Tano Batak sudah tak ada lagi yang memakai hudon tano yang artinya sudah tak ada lagi yang membuat ulos dengan warna alam dari tumbuhan salaon. Pun hudon tano telah berlalu menjadi masa lalu bagi seorang nenek yang ada di hadapanku.

        Kepada nenek bernama Ompu Nerda Boru Marbun ini Sandra menyerahkan buku Legacy In Cloth atas nama Ria Tobing. Seorang sahabat berdarah Batak di Belanda yang banyak membantu Sandra dalam proses pengerjaan buku, termasuk yang menangani publikasi dan marketingnya.  Ompu Nerda bergembira menerima. Selain mengucap terimakasih pada Sandra, kepada anak menantu ia berkata, “Selain ulosku…jika aku mati, buku ini untukmu.”

Di pelataran rumah Ompu Nerda menangkupkan kedua telapak tangan. Menggerakkan tubuhnya bersuka cita. Bersyukur, memuji kepada Sang Pencipta. Menari manortor. Meski tanpa gondang. Tanpa uning-uningan. (***mjansr2010***)

                                                                              ***
=======
MJA Nashir, ditulis kembali di rumah sahabat, Mas Ipung-Mbak Marie Pang (Yogyakarta) berlanjut di TujuhlangiT Jawa Tengah, Oktober 2010.



http://www.facebook.com/note.php?note_id=447382062855

No comments:

Post a Comment