Pages

Friday, September 28, 2012

Makam Tua di Kecamatan Pulau Raja

Makam Tua di Kecamatan Pulau Raja

Bukti Sejarah Sultan Asahan Pertama yang Terlupakan

Jumat, 11 Juni 2010 | 09:38:32
Perjalanan Sultan Alaudin Riyah Syah Al Qatar, kakek dari Sultan Iskandar Muda ternyata banyak meninggalkan situs sejarah di Asahan yang terlupakan oleh Pemkab Asahan. Padahal jika saja situs sejarah asal usul Kerajaan Asahan dipertahankan, bukan tidak mungkin ini akan bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Asahan. Salahsatu situs sejarah yang sama sekali dilupakan Pemkab Asahan adalah makam tua di Kecamatan Pulau Raja yakni makam Sultan Asahan pertama yakni Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah.
KISARAN,sumutcyber-Sampai tahun 1946, Asahan merupakan salah satu Kesultanan Melayu yang struktur kerajaannya tidak jauh berbeda dari struktur negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka pada masa itu. Namun pada tahun 1946, sistem kerajaan di Asahan telah digulingkan oleh sebuah pergerakan anti kaum bangsawan dalam sebuah revolusi berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. Kesultanan-kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Deli, Langkat, Serdang, Kualuh, Bilah, Panai dan Kota Pinang juga mengalami nasib serupa.

Kepada METRO grup sumutcyber  sejarawan Asahan Zasnis Sulung mengatakan, kondisi makam Sultan Asahan pertama ini sangat memprihatinkan. Di mana semak belukar tampak tumbuh subur di areal makam Raja pertama Kesultanan Asahan tersebut. Bukan hanya itu, saat ini makam yang telah berusia ratusan tahun itu kini terancam hilang akibat abrasi yang terjadi akibat tanah di lokasi makam telah terkikis aliran Sungai Asahan.

Zasnis menilai selama ini Pemkab Asahan tak peduli untuk menggali dan melestarikan budaya sebagai cikal bakal peradaban masyarakat Asahan tersebut. Padahal begitu banyak situs dan cagar budaya peninggalan peradaban masa lalu Asahan, yang terbengkalai dan pupus dimakan zaman, karena tak tersentuh pemeliharaan dari Pemkab Asahan.

Selain dapat meningkatkan PAD, jika situs sejarah ini dirawat dengan baik maka akan dapat meningkatkan ilmu pendidikan bagi para generasi muda di Asahan.

Adapun situs dan cagar budaya Asahan yang terbengkalai selama ini, misalnya lokasi kerajaan Tao dan Asia Muka di Pulau Maria, Teluk Dalam yang berdiri pada abad ke-1 Masehi. Lokasi kerajaan P’oli dan makam-makam tua di Sipule-pule Air Batu abad ke 6 Masehi. Lokasi kerajaan Simargolang dan makam-makam tua di Dolok Maraja, Marjanji Aceh dan Pulau Rakyat Tua, abad ke 14 Masehi. Lokasi koloni Jawa Hindu di Gua Kanili (Batu Kanihir), Aek Kopas, Bandar Pasir Mandoge, abad ke 14 Masehi. Lokasi kerajaan Kesultanan Asahan di Tangkahan Sitarak (Pulau Raja). Makam Puteri Ungu, Raja Aceh Sultan Alauddin Riyat Syah dan Sultan Asahan Pertama, Abdul Jalil Rakhmad Syah, yang juga sebagai orang pertama pembawa agama Islam masuk ke Asahan abad 15 Masehi yang berlokasi di masjid Pulau Raja Pekan.

Kehadiran Raja Aceh, Sultan Alauddin Riyat Syah Al Qahar (Sultan Alaidin Mahkota Akam Johan Berdaulat) yakni Sultan Aceh ke XIII (1537-1568 M) ke Sungai Asahan yang menjadi awal berdirinya Asahan. Jika diinterpretasikan, ada dua versi yang mengundang kedatangan raja Aceh itu pada tahun 1540 Masehi lalu. Menurut versi legenda, armada laut kerajaan Aceh itu mendarat di Asahan untuk mencari Puteri Hijau yang lepas dari tangkapan panglimanya di Kuala Deli (Belawan), sehingga menyisir pesirir pantai Sumatera Timur hingga sampai ke Sungai Asahan. Tapi mereka gagal menemukannya.

Versi kedua adalah fakta sejarah, yang meceritakan setelah Sultan Alauddin Riayat Syah Al Qahar berhasil menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua, yang dikuasai Sultan Johor, tahun 1539 Masehi, maka sekitar tahun 1540 Masehi, Sultan Aceh telah membawa armada lautnya yang sangat besar untuk mengejar Sultan Johor yang melarikan diri dari Deli Tua. Tapi Sultan Johor gagal ditemukan, karena telah berlayar kembali ke negerinya Johor melalui pantai Kuala Tanjung.

Karena gagal menemukan musuhnya Sultan Johor, maka Raja Aceh dan rombongan angkatan perangnya telah memasuki Sungai Asahan yang tak berpenghuni sejauh tiga tanjung arah ke hulu. Mereka telah beristirahat di Dusun Persembahan, sekarang masuk wilayah Desa Sei Paham, Kecamatan Sei Kepayang. Dan di tempat inilah para serdadu kerajaan Aceh itu menemukan sejenis rumput berdaun lebar dan berbulu keras yang bisa dipergunakan untuk mengasah dan membersihkan karat-karat yang melekat pada keris, pedang, tombak, lembing, dan meriam yang berkarat akibat pengaruh air laut yang asin.

Peristiwa itu diprediksi terjadi tahun 1540 M, atau setelah raja Aceh menaklukkan kerajaan Melayu di Deli Tua. "Untuk mengetahui tanggal dan bulannya, sebaiknya dibentuk sebuah tim kebudayaan untuk melakukan penelitian ke Nangroe Aceh Darussalam (NAD), atau meminta bantuan para pakar sejarah Melayu dan Aceh, di saat kapan kira-kira raja Aceh Sultan Alauddin Riayat Syah melakukan penyerangan ke Johor setelah melakukan peperangan di Deli Tua," kata Zasnis Sulungs.

Akhirnya Raja Aceh menamakan rumput ini dengan nama rumput "asahan" dan bibit-bibit rumput itu telah mereka ambil sebanyak-banyaknya untuk ditanam di negeri Aceh.

Ketika agak bingung karena tak menemukan orang di hilir sungai yang berarus deras dan jernih ini, tiba-tiba Raja Aceh melihat beberapa tungkul jagung bakar dan kulit cempedak hanyut dari hulu ke hilir. Menurut raja Aceh, ini membuktikan keberadaan manusia di bagian hulu sungai jernih ini. Lalu ia memerintahkan para hulubalangnya untuk berangkat ke hulu dengan membawa sekoci, untuk mencari warga yang ada di daerah ini untuk mengetahui apakah negeri ini mempunyai seorang raja berdaulat.

Ketika para hulubalang kerajaan Aceh itu berlayar ke hulu, mereka menemukan kampung bernama Tualang di tepian sungai itu. Kemudian hulubalang Aceh tersebut bertemu dengan orang bernama Sibayak Lingga marga Karo-karo, yang bertugas sebagai hulubalang Raja Simargolang dari dinasti ke III, yang ketika itu bersemayam di Huta Bayu, sekarang Pancuran Raja, Desa Rahubing, Kecamatan Rahubing.

Dalam pertemuan tersebut, utusan raja Aceh telah meminta Sibayak Lingga supaya membawa rajanya Simargolang menemui raja Aceh yang sedang menunggu dihilir sungai itu. Karena itu Sibayak Lingga langsung berlayar ke hulu sungai itu untuk menemui Raja Simargolang.

Tapi celakanya Raja Simargolang merasa enggan dan takut menemui Raja Aceh yang perkasa itu, mengingat ia tidak bisa berhasa Melayu atau Aceh dan bahasa yang dikuasainya hanya bahasa Batak Toba. Demikian juga dengan para keluarga raja dan putera mahkota raja Simargolang, tak satupun yang sudi menemui raja Aceh, juga karena merasa takut.

Setelah melalui rapat kerajaan di sopo godang, maka diputuskanlah orang yang pantas mewakili raja Simargolang menemui raja Aceh terebut, hanyalah hulubalang Sibayak Lingga, terlebih karena ia bisa berbahasa Aceh, Melayu, Karo dan Batak. Maka ketika itu juga Sibayak Lingga dihiasi dengan pakaian adat kebesaran kerajaan Simargolang, sehingga penampilan sangat gagah berwibawa. Dengan diiringi beberapa pengawal, lalu mereka berangkat ke hilir menemui raja Aceh dengan mempergunakan kapal kerajaan yang dihiasi dengan megah.

Ketika sampai ke kapal kerajaan Aceh, maka Sibayak Lingga langsung dibawa para hulubalang menghadap Sultan Alauddin Riayat Syah. Dan Sultan Aceh itu telah menyambut Sibayak Lingga dengan sukacitanya, karena ketika itu Sibayak Lingga telah membawa barang-barang persembahan kiriman Raja Simargolang, berupa beberapa kain ulos, duplikat tungkat tunggul panaluan dan pedang pusaka.

Ketika itu raja Aceh bertanya kepada Sibayak Lingga, apa nama negeri tempatnya tinggal ini. Ketika itu Sibyak Lingga menjawab, bahwa nama negeri ini adalah "Pardembanan" (dialek Batak=Tempat makan sirih).

Tapi raja Aceh meminta Sibayak Ligga supaya menabalkan negeri ini dengan nama "Asahan", karena ditemukannya sejenis rumput yang bisa mengasah di tempat ini dan supaya raja Aceh itu bisa mengingat keberadaan negeri ini. Jadi saat raja Aceh menabalkan nama Asahan.

Saat itu raja Aceh bertanya, kenapa masyarakat tidak ada yang membangun perkampungan di hilir sungai yang subur dan indah ini. Lalu, Sibayak Lingga menjawab, karena raja Simargolang dan rakyatnya semua adalah orang gunung, yang hanya bisa bekerja sebagai petani di sawah atau ladang, berburu dan mencari damar dan rotan di hutan. Sedang untuk bekerja dibagian pantai atau menjadi nelayan mereka belum punya pengalaman.

Makanya raja Aceh meminta Sibayak Lingga supaya membangun kampung baru di hilir sungai yang juga telah ditabalkan Sultan Alauddin Riayat Syah dengan nama Asahan itu, supaya memeroleh kemakmuran dan apabila raja Aceh itu melawat ke negeri yang indah ini mudah menemuinya. Setelah memberikan separangkat pakaian kerajaan Aceh berikut sebuah meriam locok yang kecil, dan sebilah rencong berhulu gading, maka raja Aceh mengucapkan kata perpisahan. Dan setelah bersusun sembah Sibayak Lingga pun turun dari kapal kerajaan Aceh itu dan kembali ke istana Simargolang.

Sedangkan raja Aceh dengan armada lautnya yang besar itu telah meninggalkan Sungai Asahan menuju negeri Johor di semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan telah melakukan peperangan hebat di sana. Tempat pertemuan raja Aceh dengan Sibayak Lingga tersebut, kemudian hari dinamakan kampung Persembahan, disebabkan Sibayak Lingga pernah menyampaikan persembahan kepada raja Aceh di tempat ini. Tak lama kemudian Sibayak Lingga pun memohon izin kepada Raja Simargolang untuk menunaikan perintah raja Aceh, membangun perkampungan baru di hilir Sungai Asahan itu, yang kemudian kampung itu dinamakan kampung Tualang, sekarang berada dalam areal perkebunan PT Padasa Teluk Dalam. Kenapa dinamakan kampong Tualang, karena di tempat ini ditemukan sebatang kayu Tualang (kayu raja) yang sangat besar, dan pada saat ini telah tumbang dan yang tertinggal sekarang ini hanya tunggulnya sepanjang sekitar 4 meter, yang menurut masyarakat di tempat itu terbilang angker. Karena beberapa orang pekerja perkebunan dimasa lalu sudah pernah hilang raib tak berkesan di tempat ini. (Syafruddin Yusuf, ) 



Sumber:
http://www.sumutcyber.com/?open=view&newsid=11755&cat=&pid=10

3 comments: