Pages

Saturday, July 7, 2012

Serobot Lahan Perladangan Barisan Manik (2)

Serobot Lahan Perladangan Barisan Manik (2)
JARKOMSU - JARKOMSU

Tanah budidaya (non kawasan hutan) yang ada di Desa Bongkaras seluruhnya berstatus tanah milik dan tidak pernah mengenal tanah ulayat atau tanah marga. Tidak ada satu kelompok pun yang berhak untuk mengklaim tanah yang ada di Desa Bongkaras sebagai tanah komunal, tanah ulayat atau tanah marga atau tanah Sulang Silima, termasuk Cibro.

Perambahan dan penyerobotan tanah milik warga Desa Bongkaras oleh kelompok yang mengatasnamakan diri Sulang Silima adalah kejahatan, perbuatan teror dan meresahkan masyarakat. Selama satu abad Desa Bongkaras dan Tungtung Batu, masyarakatnya dikenal hidup rukun dan damai penuh toleransi, tidak ada kasus dan konflik tanah di tengah masyarakat.

LOKASI KASUS
Lokasi kasus tanah milik warga Bongkaras di kawasan perladangan Barisan Manik, berbatasan dengan Desa Bongkaras, Tungtung Batu dan Desa Bonian, Kecamatan Silima Punggapungga, Dairi, Sumatera Utara. Jarak ke lokasi sekitar 20 Km dari Sidikalang (Ibukota Kabupaten Dairi). Akses ke Desa ini dapat ditempuh melalui kenderaaan roda empat dan dua sekitar 1 jam dari Sidikalang atau 5 jam dari Medan ke arah barat. Tofografi bergelombang dengan kontur tanah variasi datar, gelombang dan perbukitan. Jumlah penduduk sekitar 300 KK ber-etnis Pakpak, Simalungun, dan Toba. Mata pencaharian utama berrupa padi sawah, ikan mas, kopi, gambir, nira, dan tanaman semusim.

Desa Bongkaras berbatasan dengan Desa Tungtungbatu (Timur), hutan lindung/NAD (Selatan dan Barat), Desa Bonian (Utara). Wilayah Desa Bongkaras dibelah sungai Bongkaras. Terdapat 7 wilayah perladangan penduduk, yaitu Barisan Manik, Parudang-udangan, Sikalombun, Simantas, Batu Hapur, Salapsap dan Panapal. Dari etimologi/asal kata, seluruh nama sungai, desa, dan wilayah perladangan terasebut berasal dari bahasa Simalungun dan Toba (non Pakpak). Penamaan ini diberi oleh penghuni atau pemiliknya bukan pihak lain.

SISTEM KEKERABATAN SULANG SILIMA
Sejalan dengan orde reformasi di tanah air, di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat berkembang wacana “tanah adat sulang silima”. Phenomena ini sejalan dengan meningkatnya nilai tanah dan masuknya PT Dairi Prima Mineral yang memberi peluang atau kemungkinan pemberian kompensasi atau ganti rugi atas tanah. Gejala memprihatinkan berkembang dengan niat sekelompok orang merampas hak-hak orang lain (tanah milik orang lain) dengan mengatasnamakan Sulang Silima. Ini menghianati hukum adat Pakpak itu sendiri. Wacana Sulang Silima dipakai untuk memperjuangkan kepentingan orang atau kelompok tertentu dengan merampas dan mengabaikan hak-hak orang lain.

“Sulang Silima” tidak sama dengan masyarakat hukum adat, akan tetapi merupakan bentuk hubungan kekerabatan. “Sulang silima” adalah hubungan kekerabatan (kinship) keluarga luas pada masyarakat Pakpak, yakni jaringan hubungan darah (genealogical based relationship) dan perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau ikatan daerah dengan seseorang lainnya, seperti ayah dan anak atau kakak adik, dan senina (denggan sebeltek). Selain dari hubungan darah, kekerabatan juga dibentuk karena perkawinaan, yakni seorang menjadi kerabat bagi yang lain atas ikatan perkawinan, contohnya kakak atau adik ipar, berru atau kula-kula. Lingkup kekerabatan tersebut biasanya paling kecil adalah keluarga inti, lalu keluarga luas, dan komunitas. Setiap keluarga atau keluarga luas (extended family) Pakpak mengenal sulang silima, yakni sanina, kula-kula, berru, kula-kula ni kula-kula, berru ni berru (bere).

“Sulang Silima “ adalah bentuk hubungan kekerabatan atau kinship. Sulang silima merupakan struktur sosial dari satu satuan sosial, katakanlah keluarga luas. Pada masyarakat Pakpak, Sulang silima terbentuk karena hubungan perkawinaan sehingga membentuk lima kelompok kekerabatan, yaitu dengngan sebeltek atau senina (semarga), kula-kula (pemberi anak gadis), berru (penerima anak gadis), dan diperluas lagi kelompok kulakula ni kula dan berru ni berru (bere).

Dalam setiap pengambilan keputusan adat, misalnya saat kelahiran, perkawinan dan kematian pada masyarakat Pakpak selalu melibatkan seluruh kelompok kekerabatan tersebut. Hubungan kekerabatan Sulang silima adalah abstrak, tidak bisa dilihat mata, namun hubungan dan peran antara kelompok kekerabatan tersebut dapat terlihat dalam interaksi sosial pada aktifitas adat.

Misalnya dalam acara “rading berru” yaitu pemberian tanah dari keluarga tertentu kepada berru-nya (atau marga lain penerima anak gadisnya) atau pihak lain, maka dilakukan melibatkan dengan sebeltek/senina (semarga), kula-kula (pemberi anak gadis), berru (penerima anak gadis), dan kelompok lainnya. Saat ini peran Sulang Silima tidak lagi mengurusi tanah karena sudah diatur dalam hukum positif (peraturan perundangan), namun peran tersebut dominan pada praktik upacara adat sepanjang lingkaran hidup (life cycle), seperti adat kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Anggapan “sulang silima“ adalah masyarakat hukum adat adalah keliru. Kalaupun mau disebut masyarakat hukum adat, yang tepat adalah komunitas adat Tungtung Batu misalnya, bukan komunitas adat Sulang Silima. Kalau masyarakat Tungtung Batu ingin disebut masyarakat hukum adat, tentu harus memenuhi berbagai kriteria dan dikukuhkan melalui Perda Kabupaten Dairi. Di sisi lain, masyarakat hukum adat yang sudah degradasi, tidak dibenarkan dihidupkan kembali (Dr Abdurrahman, Hakim Agung, Seminar Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat, KLH, Jakarta, 3 Des 2009). (bersambung ke-3)


JARKOMSU
http://suarakomunitas.net/baca/17346/serobot-lahan-perladangan-barisan-manik-2.html

No comments:

Post a Comment