Pages

Saturday, July 7, 2012

Mempersoalkan Partisipasi Politik Perempuan dalam Masyarakat Adat

Mempersoalkan Partisipasi Politik Perempuan dalam Masyarakat Adat

Melalui buku ini, Yayasan Sada Ahmo(YSA), lembaga swadaya masyarakat yang sejak 1990 mulai bekerja di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, mengungkapkan hasil studi mengenai sulitnya perempuan melaksanakan hak politiknya dalam lingkungan masyarakat adat. Studi kasus ini muncul atas respon terhadap isu kuat yang sedang berkembang di wilayah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yakni dengan pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten: Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Dairi.  Pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan partisipasi dan representasi kepentingan perempuan? Kepentingan siapa yang diperjuangkan? Kalau memang kepentingan rakyat, maka bagaimana dengan partisipasi perempuan dalam perencanaan?

Berlatar belakang soal itu, Yayasan Sada Ahmo melakukan diskusi panel sehari yang menghadapkan kelompok ide pemekaran kabupaten Dairi yang sangat memahami seluk-beluk masyarakt dan geografis Pakpak dengan kelompok yang mengkritisi esensi ekonomi pemekaran wilayah, kondisi Dairi dan partisipasi perempuan, khususnya perempuan Pakpak.

Sudah diketahui, bahwa kehidupan masyarakat adat sangatlah partriakhal, sehingga tidak mudah memperjuangkan partisipasi politik perempuan dalam masyarakat tersebut.

Buku ini sebuah bunga rampai paparan narasumber dan proses diskusi panel sehari yang berbicara banyak mengenai masyarakat adat Pakpak dan pemekaran Dairi yang dari berbagai sudut pandang dan partisipasi perempuan. Sangat menarik untuk dibaca, karena memberikan gambaran nyata tentang kondisi dan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat adat Pakpak.

Etnis Pakpak menjadi bagian dari sub-etnis Batak. Ini berdasar pada kemiripan dan kesamaan bahasa, struktur sosial dan sistem kekerabatan. Masyarakat Pakpak juga menganut prinsip patrilinieal, yang sama dengan masyarakat Batak. Secara geografis, sub-etnis Pakpak berbatasan langsung dengan sub-etnis Batak. Wilayah Pakpak dapat dikatergorikan kedalam lima sub atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama Pakpak selima suak, yakni Suak Pakpak Simsim, Suak Pakpak Keppas, Suak  Pakpak Pegagan, Suak Pakpak Kelasen dan Suak Pakpak Boang. Ternyata salah satu Suaknya yakni suak Pakpak Boang berwilayah administrasi di wilayah Aceh (Aceh Selatan dan Aceh Singkel).

Berdasarkan data statistik, Pakpak adalah suku minoritas di Kabupaten Dairi. Ketidakpercayaan dan ketidakkonsistenan masyakarakat Pakpak dalam mempertahankan identitas diri suku Pakpak justru memperkuat posisi minoritasnya daripada masyarakat di Kabupaten Dairi lainnya. Contoh, pemakaian bahasa asli Pakpak. Orang Pakpak ketika berada di luar Pakpak dengan sukarela menggunakan bahasa orang lain dibanding memperkenalkan bahasanya sendiri atau pencantuman nama marga. Jarang orang Pakpak menggunakan marga asli Pakpak. Pasti ada penggantian nama marga. Demikian halnya dengan adat perkawinan Pakpak sudah mulai pudar, karena orang Pakpak tidak pernah menggunakan adatnya ketika melakukan perkawinan. Jika dilihat dari sisi positifnya, mereka orang yang mudah beradaptasi. Dari sisi negatifnya, mudah kehilangan identitas diri dan budaya.

Dengan kondisi itu timbul pemikiran masyarakat bagaimana cara mencapai kemajuan, maka harus ada percepatan dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Pemekaran wilayah adalah solusi, menurut mereka. Ini didasarkan pada kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan dan otonomi daerah. Tekad masyarakat Pakpak menjadi kabupaten sendiri untuk meningkatkan atau memperpendek rentang kendali pemerintahan sehingga efesien dalam pembangunan dan pelayanan pada masyarakat.

Meskipun dari tingkat SDM, orang Pakpak memerlukan peningkatan kapasitas. Dari sisi lain, Pakpak mempunyai kekuatan SDA yang bagus (hasil hutan dalam APBD 2,5 milyar pada 2002). Akan tetapi, masalah utama yang disoroti dalam upaya pemekaran ini hanyalah penguasaan sumberdaya antara daerah dan pusat, kembalinya kekuasaan pemerintahan daerah ke tangan masyarakat adat, dll. Masalah otonomi perempuan seakan-akan luput bahkan tidak mendapatkan prioritas dalam upaya pemekaran. Meskipun posisi dan peran perempuan di masyarakat adat Pakpak sangat minim.

Pendampingan YSA selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa posisi perempuan Pakpak marginal. Karena mengalami bentuk kekerasan dan diskriminasi karena memandang laki-laki lebih penting daripada perempuan. Salah satunya, partisipasi politik perempuan dalam pemerintahan daerah. Di Dairi diakui oleh anggota Komite Pemekaran bahwa belum ikutnya perempuan dalam rencana pemekaran. Sangat jelas para pencetus kebijakan di Dairi umumnya, Masyarakat Pakpak khususnya, tidak mempunyai perhatian terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender. Dalam pelaksanaan pemerintahan, tidak pernah melibatkan perempuan secara aktif. Perempuan hanya dilibatkan secara pasif. Suara perempuan tidak pernah didengar dalam proses pengambilan keputusan. Dukungan perempuan diperoleh secara significant bila perempuan dilibatkan secara aktif dalam proses pemekaran.

Perbelakuan otonomi daerah memiliki makna penting bagi kehidupan politik perempuan. Perempuan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik pemerintahan di daerah masing-masing. Akan tetapi, yang terjadi jauhnya posisi dan peran perempuan dalam prose situ. Untuk itu, dituntut kemauan politik Pemerintahan Daerah untuk mengubah paradigma dan sikap yang sesuai dengan democratic governance yakni semangat yang mendorong partisipasi warga perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan publik.

Kasus yang terjadi di Dairi yakni tidak adanya transparansi dan akuntabilitas proses-proses politik pemerintahan daerah, missal proses pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD). Perempuan tidak pernah tahu dan tentu tidak dilibatkan partisipasinya dalam proses pemilihan tersebut. Mereka hanya mengetahui hasil pemilihannya tanpa mengetahui siapa calonnya. Dalam hal ini, partispasi  politik perempuan telah dikebiri dengan jelas. Pertanyaan yang muncul oleh narasumber dalam discus itu: akankah sama dalam pelaksanaan? Bagaimana komitmen para pencetus pemekaran wilayah terhadap kaum perempuan?

Buku ini memberikan gambaran kasus nyata tentang kuatnya sistem partriarkhal dalam kehidupan masyarakat adat. Diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan jelas terjadi. Dukungan dan bantuan berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan perempuan di masyarakat adat Pakpak khususnya dan masyarakat adat lain umumnya, sehingga mereka akan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya. *****(LS)

Judul        : Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah
Penyusun : Wahyudhi, Dina Lumbantobing, Lister Berutu
Penerbit   : The Aisa Foundation & Yayasan Sada Ahmo
Cetakan   : Agustus, 2002
Halaman   : 122 hal+v

*Tulisan dimuat di Buletin Perempuan Bergerak edisi II/April-Juni 201, dengan judul “Perempuan Masyarakat Adat dalam Tantangan”, yang diterbitkan oleh Yayasan Kalyanamitra.


Sumber:
http://kalyanamitra.or.id/blog/?p=649

No comments:

Post a Comment