Pages

Wednesday, June 20, 2012

Rekonstruksi Eksekusi Tawanan Di Huta Siallagan


Rekonstruksi Eksekusi Tawanan Di Huta Siallagan


Yuk, kita coba lihat proses rekonstruksi eksekusi yang dilakukan beratus-ratus tahun yang lampau oleh Raja Siallagan dan para tetua adat di Huta Siallagan ini. Jangan kuatir, proses rekonstruksinya ini nggak menyeramkan loch, beberapa pemandu bahkan bisa membawakannya dengan gaya jenaka. Pokoknya asyik dech, melihat dan mempelajari sejarah dengan cara santai dan menyenangkan seperti ini. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, setiap kita memasuki Huta Siallagan, anda akan dihampiri oleh satu orang yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Nah, kelebihan mereka bukanlah sekedar memandu anda dalam menjelaskan objek-objek menarik di Huta Siallagan ini, namun hingga melakukan proses rekonstruksi eksekusi para penjahat masyarakat atau tawanan perang yang tertangkap. Soal biaya, silahkan dibicarakan saja sebab tidak ada patokan khusus untuk harga. Umumnya, para pemandu wisata ini menargetkan rombongan walaupun tidak menutup kemungkinan juga kami yang hanya berdua ini ditawarkan jasa mereka.
Batu Parsidangan yang terletak persis di atas pelataran dan di bawah Pohon Hariara adalah tempat para tetua adat dan Raja Siallagan menyidang penjahat yang ditangkap. Sebelumnya, penjahat tersebut dipasung di kurungan “Schand Blok” yang berada persis di depan kediaman Raja Siallagan. Proses menyidang dan mengeksekusi tawanan ini ditentukan oleh kalender Batak yang tidak saja mampu menghitung hari perkawinan, namun juga waktu upacara adat, hingga proses eksekusi tawanan. Nah, dimanakah proses eksekusi tawanan tersebut dilangsungkan? Kita harus bergerak ke belakang, ke bagian belakang kampung dimana terdapat semacam batu besar dengan kursi-kursi batu melingkarinya. Agak mirip dengan Batu Parsidangan, tapi disinilah tempat tawanan dieksekusi. Proses penentuan hukuman mati ini juga bukan proses sembarangan loch. Ada ketentuannya bagaimana seorang penjahat sampai dikenakan hukuman mati. Biasanya, tawanan yang sampai dikenakan hukuman mati adalah mereka yang memiliki ilmu gaib luar biasa atau penjahat yang sangat meresahkan masyarakat.
Pada saat pengeksekusian, sang tawanan akan dibawa oleh algojo ke batu pengeksekusian. Awalnya, sang tawanan konon dipersilahkan untuk makan yang enak-enak, dan minum tuak. Tujuannya apa? Bukan sekedar permintaan terakhir sich hehehe namun agar ia menjadi mabuk dan tidak terlalu sadarkan diri. Setelah itu, kepala sang tawanan akan ditutup oleh kain Ulos. Nah, tawanan ini kan umumnya memiliki ilmu gaib yang kuat. Agar ilmu gaibnya bisa hilang sebelum ia dieksekusi, maka pertama-tama sang algojo akan memukul-mukul sang tawanan yang sudah direbahkan telentang di atas batu. Tujuannya, untuk menghilangkan ilmu gaib yang ada di tubuh tawanan tersebut. Setelah dipukul-pukul, kemudian algojo akan menggunakan pisau kecil untuk menyayat lengan sang tawanan kemudian meneteskan air perasan jaruk limau ke dalam sayatan tersebut. Duh, mikirinnya aja sudah bikin ngilu nggak sich? Nah, di kala tawanan tersebut menjerit-jerit kesakitan karena luka yang diberi limau tersebut, disanalah diartikan bahwa ilmu gaib orang tersebut sudah lenyap dan proses eksekusi bisa dilanjutkan. Konon, orang-orang batak jaman dahulu banyak yang kebal terhadap benda tajam loch. Ini berkaitan dengan ilmu gaib terutama ilmu hitam yang mereka kuasai.
Nah, setelah ilmu gaibnya dipastikan lenyap, sang algojo akan membuka kitab aksara Batak untuk kemudian mendaraskan mantra-mantra sebelum proses eksekusi dijalankan. Setelah selesai, inilah bagian yang paling mengerikan : tubuh sang tawanan dikuliti hidup hidup dan isinya dibiarkan terburai. Hiiiii. Nah, tawanan yang sudah setengah mati secara harafiah tersebut akhirnya dibawa ke batu dengan ceruk untuk menempatkan kepala. Dari posisi telentang dengan isi perut berhamburan, sang tawanan ditempatkan dalam posisi nungging dengan kepala berada di ceruk batu tersebut. Dinilah klimaks dari tugas seorang algojo berada. Kepala sang tawanan harus putus dalam sekali tebas. Nggak heran, pedang pemancung yang digunakan harus benar-benar tajam. Konon, katanya kalau sampai nggak putus, kepala sang algojolah yang akan menjadi taruhannya. Wih, tugas yang teramat berat yach? Nah, disinilah para tetua adat dan masyarakat yang menyaksikan akan beramai-ramai bersorak-sorak ketika kepala sang tawanan sudah lepas dari tubuhnya. Kepala tersebut akan diarak keliling kampung dan kemudian dimasak untuk disantap Raja Siallagan sementara bagian-bagian tubuhnya dibagikan kepada para penduduk untuk dikonsumsi. Pesta yang mengerikan yach? Konon, Raja Siallagan ini mendapat bagian jantungnya agar ilmu gaib yang masih tersisa di orang tersebut bisa diserap ke dalam tubuh raja. Makin saktilah Raja Siallagan yach? Nah, setelah memakan tubuh sang tawanan ini, Raja menggunakan darah orang tersebut sebagai minuman pencuci mulut. Mengerikan yach? Untung saja, tulang-tulangnya tidak ikut-ikutan sampai dikonsumsi melainkan dibuang ke Danau Toba (persis di belakang tempat eksekusi ini adalah Danau Toba). Kalau jaman dahulu sudah ada panci presto, mungkin akan muncul menu tawanan penyet atau tawanan tulang lunak kali yach? Hihihi.
Mungkin saja cerita saya yang terlalu bombastis dan terlalu menegangkan. Namun, aslinya, rekonstruksi peristiwa ini menyenangkan. Sang pemandu mampu melontarkan lelucon jenaka agar rekonstruksi yang diadakan tidak terlalu serius. Bahkan, ketika sang terdakwa yang seharusnya sudah mati tersebut kembali terhuyung-huyung bangun, sang pemandu menginstruksikan agar ia kembali di posisinya semula dengan adegan : mati. Hahahaha. Beruntungnya kami, kami terkena imbas dari rombongan turis yang memang meminta agar rekonstruksi penyembelihan dilakukan. Lumayan, tontonan menarik ini saya dapatkan dengan gratis. Salah seorang relawan yang bersedia menjadi contoh tawanan adalah salah seorang peserta tour yang tampaknya memang paling sering menjadi korban diantara teman-teman seperjalannya. Hehehe. Tidak lupa, kalau anda terkesan akan cerita ini dan Huta Siallagan, anda sangat dihimbau sekali untuk melakukan donasi agar Huta Siallagan ini tetap menarik dan hidup dari masa ke masa. Apresiasi itu penting loch agar sejarah tetap hidup.
Untungnya, ritual mengerikan semacam ini terjadi ratusan tahun yang lampau saat Raja Siallagan dan penduduk Ambarita masih menganut kepercayaan tradisional Batak, Pelebegu. Semenjak kedatangan Bangsa Eropa ke Indonesia, sudah beberapa kali pula ritual mengerikan ini dicoba untuk dihapus seiring dengan kristenisasi yang dilakukan oleh sejumlah misionarisnya. Sayang, proses kristenisasi yang terjadi tidak selalu mulus. Beberapa misionaris mendapat pertentangan dari masyarakat. Bahkan, sejumlah misionaris dilaporkan hilang saat menyebarkan agama kristen di wilayah Ambarita. Kemanakah mereka? Sudah jelas, mereka berakhir di batu pemancungan lantaran Raja Siallagan tidak percaya dengan ajaran kristen. Namun, tersebutlah seorang misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwig Nommensen yang melakukan pendekatan dengan cara berbeda. Ia tidak melakukan proses kristenisasi dengan cara frontal. Terlebih dahulu, ia mempelajari Bahasa Batak dan Melayu. Nah, pendekatan yang dilakukan oleh Nommensen inilah rupanya pendekatan terbaik yang bisa diterima oleh warga Huta Siallagan di Ambarita. Segera, setelah kristen masuk ke dalam Ambarita, ritual penyembelihan ini dihapus sama sekali. Sekarang, Ambarita dan Huta Siallagan adalah desa wisata yang menyenangkan dengan sejarah menarik di masa lalu untuk dipelajari. Nah, sudah tertarikkah anda menyambangi Huta Siallagan?


Sumber:
http://www.indahnesia.info/2011/10/rekonstruksi-eksekusi-tawanan-di-huta.html

________________________________________________________________



Sisa Praktik Kanibalisme Raja Siallagan


Pernah dengar sarkasme yang berbunyi “Orang Batak Suka Makan Orang”? “Hati-hati, ntar dimakan sama orang Batak lho” untuk menggambarkan Orang Batak tuh galak dan “sadis”. Seram yach? Walaupun sarkasme konotatif semacam ini sudah jarang terdengar lagi, tapi perkataan semacam ini pernah melekat dan menjadi stereotipe Bangsa Batak beberapa puluh tahun yang lalu. Kini, perkataan semacam ini sudah jarang terdengar lagi sich. Namun, pernyataan konotatif ini ternyata memiliki sejarah tersendiri loch. Konon, ungkapan ini berasal dari sebuah kampung Batak yang terletak di pedalaman Samosir. Di Kampung tersebut, memang pernah ada kisah makan-memakan manusia sehingga muncul stereotipe semacam ini di masyarakat. Untuk mencari tahu kisah tersebut, kita harus bergerak ke utara ke Huta Siallagan, Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Memasuki Huta Siallagan, ternyata tempat ini mirip dengan kampung Batak pada umumnya. Huta Siallagan ini terdiri atas deretan Ruma Bolon dan Sopo. Bagian ini cukup standard dan nggak ada yang terlalu istimewa sich. Tempat ini tidak ubahnya kampung Batak pada umumnya. Yang istimewa dan unik dari situs ini adalah adanya deretan bentuk batu-batu berbentuk kursi, tersusun melingkari meja batu di tengahnya yang tepat berada di tengah-tengah kampung. Kompleks batu-batu inilah yang disebut Batu Parsidangan karena fungsinya memang untuk menyidang (perhatikan betapa Bahasa Batak cukup dekat hubungannya dengan bahasa Indonesia). Kompleks Batu Parsidangan ini berada tepat di bawah satu pohon besar dengan akar melilit yang biasa dikenal sebagai Pohon Hariara (pohon hari ketujuh), pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di kampung-kampung. Disinilah kisah stereotipe itu berasal. Dahulu, Raja Siallagan memang memiliki kebiasaan untuk mengadili penjahat di dalam masyarakat atau musuh politiknya di Batu Parsidangan ini. Sebelum disidangkan, tawanan tersebut biasanya dipasung di Ruma Raja Siallagan. Nah, Raja Siallagan akan menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik untuk menyidang sang tawanan dan mengeksekusinya. Proses menyidang tawanan atau penjahat ini akan dilakukan bersama dengan para tetua adat di Huta Siallagan pada masa itu. Apabila memang terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke belakang kampung untuk dieksekusi, dibedah hidup-hidup, lalu kemudian dipancung. Selesai? Nggak juga, sebab potongan-potongan tubuhnya akan dibagikan untuk dimakan beramai-ramai dan Raja Siallagan tentu mendapat jantungnya. Darah sang terdakwa akan dijadikan minuman pencuci mulut. Tulang belulangnya akan dibuang ke Danau Toba. Agak menyeramkan dan nggak kebayang yach? Namun, justru dari kisah yang pernah terjadi ratusan tahun lampau inilah masyarakat Batak memperoleh stereotipe semacam itu. Untungnya, praktik kanibalisme ini sudah tidak dijalankan hingga saat ini. Walaupun mendapat kesulitan, terutama dengan sejumlah misionaris yang ditawan dan dipancung di Huta Siallagan ini, namun Bapak Ingwer Ludwig Nommensen, rasulnya Orang Batak berhasil mempelajari bahasa Batak untuk kemudian melakukan kristenisasi dan menghentikan praktik menyeramkan ini. Terbukti, setelah kedatangan Nommensen, Raja Siallagan yang sebelumnya menganut Pelebegu, mau masuk Kristen dan berjanji untuk tidak melanjutkan ritual kanibalisme lagi. Sekarang, Huta Siallagan di Desa Ambarita ini hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja untuk mengenang sejarah. Keturunan Raja Siallagan masih berdiam di seputaran Desa Ambarita ini. Beberapa makam keturunannya pun bisa ditemukan di tempat ini.Tertarik menyambangi Huta Siallagan ini?


Sumber:


No comments:

Post a Comment