Pages

Tuesday, June 12, 2012

Profil Kabupaten Simalungun


Profil Kabupaten Simalungun
Diterbitkan Mei 18, 2007
Bupati : T Zulkarnain Damanik
Wakil Bupati : Pardamean Siregar

LAHAN pertanian yang subur dan luas menjadi modal utama perekonomian Simalungun dan menjadikan daerah ini lumbung padi terbesar kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Terletak pada ketinggian 369 meter di atas permukaan laut, Simalungun mampu menarik perhatian masyarakat luar daerah sejak zaman kolonial.

Kehadiran pemerintahan kolonial memberi arti penting bagi perkembangan pertanian. Irigasi yang bersumber dari bendungan, salah satu bentuk pembangunan zaman kolonial, dimanfaatkan petani untuk mengairi sawah.

Lahan sawah, termasuk ladang, tersebar merata di setiap kecamatan. Tahun 2001 misalnya, petani Simalungun memproduksi beras 293.179 ton, 190 persen dari kebutuhan lokal. Simalungun setiap tahun surplus beras yang disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional.

Swasembada pangan Simalungun teruji puluhan tahun dan masih akan terus berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, niat petani menanam padi tidak begitu kuat. Tahun 1995, petani bersemangat menanam kelapa sawit sehingga tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu Simalungun sebagai penghasil beras. Produksi beras Simalungun tahun 1995 surplus 149.255 ton.

Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua produksi terbesar di Sumatera Utara.

Dukungan tenaga kerja pertanian tanaman pangan sangat besar. Kecamatan Dolok Panribuan dan Tanah Jawa yang berbatasan dengan Kabupaten Asahan di timur serta delapan kecamatan lainnya di barat merupakan daerah-daerah dengan tenaga kerja pertanian tanaman pangan lebih dari 50 persen. Kecamatan Dolok Silau yang berbatasan dengan Kabupaten Karo di barat menjadi penyedia tenaga kerja pertanian tanaman pangan terbesar (83,4 persen). Sementara Kecamatan Tapian Dolok yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan sebaran penduduk merata dalam lapangan pekerjaan: pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertanian lainnya, industri pengolahan, serta jasa.

Potensi perkebunan semakin memantapkan pertanian sebagai sektor unggulan. Kegiatan ekonomi daerah tahun 2001 Rp 4,2 triliun, 62 persen disumbang oleh pertanian. Di sektor pertanian, hampir 50 persen ditunjang hasil perkebunan.

Kelapa sawit menjadi komoditas utama. Tahun 2001 tak kurang 489.335 ton dihasilkan dari areal 24.787 hektar. Kelapa sawit merupakan produksi perkebunan rakyat terbesar kedua di Sumut setelah Kabupaten Labuhan Batu. Perkebunan besar dengan lahan hampir 70.000 hektar kelapa sawit memproduksi sekitar satu juta ton tahun 2001. Karet dan cokelat menjadi pendukung kontribusi perkebunan. Saat ini ada dua badan usaha besar yang dikelola pemerintah dan swasta.

Jumlah tenaga kerja perkebunan tidak merata di setiap kecamatan. Ada tiga kecamatan dengan tenaga kerja setidaknya 20 persen, yakni Dolok Batu Nanggar, Jorlang Hataran, dan yang terbesar Sidamanik (28,5 persen) berbatasan langsung dengan Danau Toba.

Fluktuasi produksi karet dialami oleh perkebunan yang dikelola pemerintah lima tahun terakhir. Setelah penurunan produksi tahun 1997, tahun 2001 meningkat 38 persen dari tahun sebelumnya menjadi 8.608 ton. Peningkatan produksi sangat tajam juga terjadi pada komoditas cokelat. Tahun 2000 perkebunan hanya memproduksi 2.076 ton kakao. Setahun berikutnya naik menjadi 13.630 ton. Namun, ini masih di bawah produksi tahun 1999 yang mencapai 16.032 ton.

Tanaman yang membuat prihatin adalah teh. Produksi teh yang terpusat di Kecamatan Raya dan Sidamanik ini mulai anjlok. Penurunan produksi secara tajam dimulai tahun 2000, dari 100.498 ton tahun sebelumnya menjadi 75.796 ton, dan tinggal 15.340 ton tahun 2001.

Dalam menjual hasil panen, petani Simalungun sangat bergantung pada pedagang dan tengkulak, yang sebagian besar dari luar daerah. Kehadiran industri besar, seperti PT Good Year Sumatra Plantations yang didirikan tahun 1970, cukup membantu petani memasarkan hasil panen mereka. Meskipun memiliki perkebunan sendiri, perusahaan pengolahan karet ini mampu menampung karet hasil perkebunan rakyat. Setelah diolah menjadi bahan setengah jadi, produknya dijual ke luar daerah dan ekspor.

Melihat produksi pertanian yang melimpah, sepantasnya Pemerintah Kabupaten Simalungun memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan industri pengolahan. Meski masih belum maksimal, aktivitasnya mampu memberikan kontribusi Rp 721,6 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam bidang ini di berbagai kecamatan memang masih sedikit, satu sampai empat persen. Satu-satunya kecamatan dengan jumlah tenaga kerja besar dalam bidang ini adalah Tapian Dolok, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli Serdang, dengan 12,7 persen tenaga kerja.

Perpaduan pengembangan antara pertanian sebagai sumber bahan baku, industri sebagai wahana pemberi nilai tambah, dan perdagangan akan menjadikan Simalungun sebagai daerah agroindustri, agrobisnis, dan juga agrowisata.

Jhon Hugo Silalahi, luas 4.369 km2, 21
kecamatan, 237 desa, 14 kelurahan (251), penduduk
855.591 jiwa, 184.132 KK.

Simalungun di Tengah Eksistensi

I. Pengantar
Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

I. Pengantar

Isu pemekaran Simalungun sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Simalungun sekarang ini. UU Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab II Pasal 5 ayat 4 mengatakan, “Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup: faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.” Dan di Bab I Pasal 2 ayat 9 disebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Hal ini menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang memberikan ruang bagi terpeliharanya warisan sejarah dan kultur dari sebuah daerah seperti Kabupaten Simalungun yang senama dengan etnis Simalungun sebagai penduduk aslinya. Untuk itu, dalam tulisan ini penulis berusaha untuk menjelaskan jalan sejarah Simalungun dari sisi eksistensinya di Sumatera Timur sebelum kemerdekaan-yang menurut hemat penulis penting dalam memutuskan pemekaran Simalungun. Wacana pemekaran dan gerakan pro-kontra hendaknya dicermati dan dipertimbangkan dari berbagai aspek, khususnya aspek historis, kultur dan sosiologinya Simalungun, agar pemekaran – yang katanya untuk mensejahterakan masyarakat tidak berbalik menjadi ajang menyengsarakan rakyat kecil dan hanya menguntungkan para elite politik yang berebut kekuasaan.

II. Simalungun dalam Administrasi Kolonial

Dari catatan pejabat-pejabat kolonial Belanda nama “Simalungun” boleh disebut relatif baru, pada ekspedisi Controleur Labuhan Deli, JAM van Cats Baron de Raet pada 28 Desember 1866, daerah ini masih disebut Timoerlanden (Tanah Timur) (Tideman, 1922:211-213). Sedangkan JA Kroesen controleur Labuhan Ruku dalam laporannya tahun 1890 menyebut Simeloengoen. Orang Karo hingga abad XX masih menyebut Batak Timur. Secara tertib administrasi kolonial Belanda, baru sejak 12 Desember 1906 nama Simeloengoen” dikukuhkan dengan dibentuknya Afdeeling Simeloengoen en Karolanden dalam lingkup Provinsi Oostkust Sumatra yang berkedudukan di Medan, yang pengesahannya dilakukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Lembaran Negara (Staatsblad) No. 531 tahun 1906 di Batavia (Staatsblad No. 531). Pada tahun 1907 ketujuh raja-raja Simalungun meneken pernyataan takluk pada Belanda dengan Korte Verklaring. Lantas Simalungun dibagi atas tujuh daerah swapraja atau landschap yang berpemerintahan sendiri (otonom) dengan daerah distrik dan onder distrik sebagai berikut:

No Kerajaan/Landschap
Distrik/Partuana Raja/Zelfbestuur
1 Siantar
1. Siantar

2. Bandar

3. Sidamanik
Damanik
2 Tanoh Djawa
1. Tanoh Djawa

2. Bosar Maligas

3. Djorlang Hataran

4. Dolog Panribuan
Sinaga
3 Panei
1. Panei

2. Dolog Batu Nanggar

Prba Dasuha

4 Raya
1. Raya

2. Raya Kahean
Saragih Gaiungging

5 Dolog Silou
1. Dolog Silou

2. Silou Kahean
Purba Tambak

6 Poerba
Poerba Purba Pakpak

7 Silimahuta
Silimahuta Purba Girsang

Dengan suku bangsa Simalungun atau Batak Timur mempunyai jalan sejarah yang unik yang berbeda dengan suku-suku dan puak di Sumatera Utara ini. Jadi kalau kita bicara tentang Simalungun kita harus mengenal lebih dahulu siapa yang disebut Suku bangsa (halak) Simalungun itu.

III. Asal-Usul, Kependudukan dan Potret Kehidupan Tradisional

Sampai sekarang, asal-usul orang Simalungun masih diliputi oleh banyak misteri, sama halnya dengan asal-usul raja-raja Simalungun yang dibungkus oleh legenda dan mitos (Liddle, 1970:22). Sedikit saja sumber yang menjelaskan asal-usul raja-raja tersebut, itupun tidak mencerminkan asal-usul seluruh marga yang disebut halak Simalungun. Yang menarik, tidak satupun naskah kuno itu merujuk asal-usul raja-raja Simalungun dari Toba atau Tapanuli, malah Partikkian Bandar Hanopan mengacu pada Pagarruyung di Sumatera Barat sebagai asal-usul raja Dolog Silou, Panei dan Silimakuta (Lihat, Partikkian Bandar Hanopan: Naar his in Batakschrift op Paper Met Watermerk, 1845, Bundel VT. 238, hlm. 8-9). Dalam partikkian yang ditransliterasi Latin oleh P. Voorhoeve dan JE Saragih dijelaskan asal-usul raja Silou marga Purba Tambak yang disebut dari Pagarruyung-Sumatera Barat.

Dalam perbincangan penulis dengan Tuan Mr Djariaman Damanik mantan Kajati Sumut dan Bali, beliau mengatakan dari hasil penelitiannya, Suku bangsa Simalungun termasuk rumpun Proto Melayu yang berasal dari Hindia Belakang, diduga dari Nagore (India Selatan). Berdasar gelombang masuknya ke Simalungun, leluhur suku bangsa Simalungun kemungkinan besar berasal dari dua keturunan nenek moyang. Gelombang pertama dari Hindia Belakang melalui Aceh (pesisir timur) dan sebagian dari Singkel (pesisir barat) yang menurunkan marga asli Simalungun, Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur) yang kemudian menurunkan cabang-cabang marga, sedang gelombang kedua disebut merupakan peleburan suku-suku bangsa yang kemudian masuk ke Simalungun dan memakai adat dan budaya Simalungun yang secara populer disebut “namarahap Simalungun” yang berasal dari Toba, Samosir, Karo, Pakpak dan Jawa. (Purba, 1982). Selama berabad-abad nenek moyang suku bangsa Simalungun ini berdiam di pantai dan setelah masuknya orang-orang Melayu dari Malaka akibat serbuan Portugis tahun 1511 berangsur-angsur mereka terdesak hingga mencapai pedalaman Sumatera sampai ke pinggiran Danau Toba (Bnd. Batara Rangti, 1977, 148-152).

Ypes, etnolog yang lama tinggal di Tanah Batak menyebutkan bahwa suku bangsa Batak yang mendiami pegunungan sekitar Dolok Pusuk Buhit, leluhurnya semula berasal dari utara Pulau Sumatera yaitu di daerah Pasai dari sana menyebar ke Gayo-Alas dan sebagian lagi ke pinggiran Danau Toba. Neuman menyebutkan bahwa marga Tarigan yang ada di Tanah Karo berasal dari marga Purba di Dolog (Silou) Simalungun. Fakta ini oleh Neuman dihubungkannya dengan banyaknya cabang marga Tarigan yang persis sama dengan cabang marga Purba di Simalungun (Sinar, 1971-87). Lagipula tidak adanya marga Tarigan yang menjadi penguasa (sibayak) di Tanah Karo memberi kesan bahwa mereka adalah marga pendatang di sana. Dengan demikian dari penelitian para ahli di atas kemungkinan tradisi bermarga yang ada pada suku-suku bangsa rumpun Batak itu diawali ketika mereka masih berada di daerah Gayo, dan terformasi di daerah persebaran suku-suku bangsa tersebut dalam tahapan berikutnya.

Dengan begitu, anggapan yang menyatakan etnis Simalungun asli (Proto Simalungun) merupakan bagian “peralihan” dari suku bangsa Batak Toba dan Karo bertentangan dengan sejarah Simalungun. Tradisi lisan masyarakat asli Simalungun sebagaimana dituturkan MD. Purba menjelaskan kalau marga-marga Simalungun yang empat itu (Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba) bukan berasal dari Toba-Samosir, melainkan marga asli yang lahir dan mengalami perkembangannya masing-masing di Simalungun. Keempat induk marga (hoofdmargas) ini di kemudian hari menyebar ke luar daerah Simalungun yaitu Tapanuli dan daerah tetangga Simalungun, pada saat berkecamuknya serangan invasi pasukan ekspedisi dari Jawa-Hindu, Chola dan Aceh ke Simalungun

IV. Potret Kehidupan Tradisional

1. Bahasa dan Aksara

Suku bangsa Simalungun mempunyai bahasa dan aksara tersendiri yang berbeda dengan suku-suku bangsa lainnya. Menurut penelitian P. Voorhoeve sebagai pejabat taalambtenaar di Simalungun sejak tahun 1937, bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang banyak mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan kekhasan bahasa Simalungun dibanding bahasa-bahasa yang dikategorikan ke dalam rumpun bahasa-bahasa Batak. Voorhoeve (Sinalsal No. 90/September 1938 hlm. 22-23), menyebutkan bahwa kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati uy, dalam kata apuy dan babuy, g dalam kata dolog, b dalam kata abad, d dalam kata bagod dan ah dalam kata babah, sabah juga ei dalam kata simbei, dan ou dalam kata sopou, lopou, Uli Kozok (1999:14), seorang filolog mengatakan bahasa Simalungun ditinjau dari sejarahnya merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum bahasa Batak Toba dan Mandailing terbentuk. Dari sini, nyatalah bahwa bahasa Simalungun lebih tua umurnya ketimbang bahasa Batak Toba dan Mandailing. Henry Guntur Tarigan (Saragih, 2000:339), menyebut empat dialek bahasa Simalungun: Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), Jahe-jahe (dekat pesisir pantai timur). Ragam jenis pemakaiannya seperti berikut ini:

a. Bahasa Tingkatan:

* Terhadap raja (kaum bangsawan) contohnya, paramba (hamba), dongan (beta), janami (baginda), modom (mangkat). Bahasa tingkatan ini sering dipakai oleh orang Simalungun dalam komunikasinya sehari-hari dengan raja atau keluarga kerajaan.

* Tingkatan usia, yaitu yang dipakai dalam pergaulan antara seseorang yang posisinya lebih muda dengan yang lebih tua dan sebaliknya atau sesuai dengan tingkatannya dalam partuturan (hubungan kekerabatan). Misalnya: ho dipakai yang lebih tua kepada yang lebih muda, ham dari yang lebih muda kepada yang lebih tua atau kepada yang derajatnya dianggap lebih tinggi, hanima sebutan untuk menyebut sekumpulan orang dalam posisi yang lebih rendah atau nasiam yang ditujukan kepada sekelompok orang yang lebih tua dari pembicara. Bagi orang Simalungun adalah tabu menyebut orang yang lebih tua dan sembahannya dengan kata ho atau hanima.

b. Bahasa ratap tangis, dipakai pada saat berkabung, sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Misalnya, inang na umbalos artinya bibi, si humoyon artinya perut, simanohut artinya mata, dan lain-lain.

c. Bahasa simbol dengan memakai medium atau benda-benda tertentu dengan maksud menyampaikan maksud-maksud tertentu. Misalnya dalam permainan onja-onja di mana seorang pemuda memakai benang merah untuk menyatakan bahwa sampai mati akan tetap berjuang mendapatkan cinta gadis idamannya.

d. Bahasa datu atau guru, bahasa yang dipakai para dukun dengan memakai bahasa mantera atau tabas yang merupakan campuran dari berbagai bahasa dengan maksud-maksud tertentu.

Dengan begitu, penelitian Voorhoeve dan filolog asing itu menegaskan kenyataan bahwa, suku bangsa Simalungun merupakan suku bangsa tersendiri yang memiliki bahasa, adat istiadat, kebudayaan dan aksara sendiri yang disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.

2. Sistem Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, ubi. Banyak proses yang harus dilalui ketika mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh gamot yang merupakan wakil raja di daerah (Purba, 1982:156). Biasanya, di antara perladangannya didirikan bangunan rumah tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan untuk melindungi mereka dari serangan binatang buas maupun menghalau binatang-binatang yang dapat merusak tanaman mereka. Selain itu ada juga yang mengolah persawahan (sabah) seperti di Purba Saribu dan Girsang Simpangan Bolon dengan luas yang relatif sedikit dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk padi bersama-sama dengan para pemuda di losung huta. Di sini biasanya, pada zaman dahulu para pemuda itu akan memilih pasangannya.

Guru Jason Saragih menceritakan dalam otobiografinya, orang Simalungun di hilir (jahei-jahei) juga sudah ada yang berdagang hasil hutan dari Simalungun ke Padang Badagei di dekat pesisir timur bahkan sampai ke Penang di Semenanjung Malaka. Pedagang dari Aceh, Bugis, Asahan, dan Cina datang dari Bandar Khalipah melayari Sungai Padang ke hulu. Mereka membawa barang-barang dagangan kain, bedil, mesiu, timah, pinggan pasu, pahar, dondang, garengseng, kuali bahkan candu (opium). Hal ini dibuktikan dengan dipakainya banyak mata uang asing dalam transaksi dagang di Simalungun. Di samping menggunakan uang sebagai alat penukar, mereka juga mengadakan tukar menukar barang secara langsung dengan sistem barter. Pada masa kecil Jaulung Saragih orang Simalungun sudah memakai mata uang asing dalam transaksi dagang, seperti mata uang Spanyol dan Inggris yang disebut: ringgit alus, ringgit burung, ringgit tuha, ringgit tukkot (Saragih, 1977:35-36). Banyak peralatan dan hiasan tradisional Simalungun yang berasal dari luar Sumatera Timur. Di pantai Laut Tawar (horisan) penduduk biasanya menangkap ikan yang disebut martoba dan sebagian ada juga yang menjualnya ke pasar (tiga), seperti Haranggaol, Tambunrea dan Ujungsaribu dekat perbatasan dengan Karo (Tongging Sipituhuta).

3. Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari orang Simalungun sering diejek sebagai pemalas, penakut, tidak punya inisiatif, kurang giat bekerja. Hendrik Kraemer (1958:55) dalam kunjungannya ke Tanah Batak selama bulan Februari-April 1930 melaporkan bahwa dibanding orang Batak Toba, orang Simalungun berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan kurang bersemangat secara alamiah ketimbang orang Toba di tengah-tengah keriuhan modernisasi. Walter Lempp (1976:52), menyebutkan watak atau tabiat orang Simalungun yakni: “Orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras dan meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa”. Pejabat kolonial Belanda, Kroesen menyebut adanya ungkapan orang Simalungun “Djawa Silepahipoen” membuktikan hal ini. Sebenarnya Djawa Silopakipon artinya Djawa giginya putih, sebab orang Simalungun memiliki kebiasaan untuk mengikir giginya dan melumurinya dengan “saloh” (getah kayu berwarna hitam) hingga giginya berubah menjadi hitam. C.Westenenk menyebut bahwa, pada tahun 1365 koloni Jawa Hindu sudah terdapat di Sumatera bagian Selatan yang mendesak orang Minangkabau berimigrasi hingga ke Sumatera Timur (Tideman, 1922: 58-60).

J. Tideman (1922:113-114) mengakui bahwa ada sifat yang kurang baik secara rohani maupun jasmani dari suku bangsa Simalungun (Timoer Bataks). Hal ini menurut Tideman disebabkan oleh tekanan yang begitu lama hingga bertahun-tahun antara lain oleh perbudakan (parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, Tideman juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar pada suku bangsa ini, khususnya di kalangan rakyat. Wabah penyakit juga menghambat mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja. Praktek kanibalisme yang banyak didengung-dengungkan oleh orang luar tentang suku-suku bangsa di pedalaman, menurut Tideman sudah tidak dipraktekkan lagi dan sesungguhnyalah bahwa orang Batak bukan kanibal sejati menurut anggapan sebagian orang.

Solidaritas suku bangsa Timur ini lebih rendah bila dibandingkan dengan orang Toba (Nota, 1909:538-539). Pengaruh kaum pendatang dan suku-suku bangsa tetangga juga turut membentuk karakter suku ini. Di dekat perbatasan dengan suku Batak Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam dan Melayu (Westenberg, 1904:9). Selain itu orang Simalungun juga kurang mau menonjolkan dirinya. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata”. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Sesuatu keputusan barulah diambil setelah dipikirkan masak-masak, dan tidak akan mengingkarinya (Damanik, 1984:25-27). Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang semberono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan atau keputusan, seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu adalah tetap, artinya tidak akan pernah berubah lagi.

4. Struktur Sosial: “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”

Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terhisab ke dalam organisasi sosial yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu terdiri dari : Tondong, Sanina, Boru. Sedangkan Lima Saodoran terdiri dari: Tondong, Tondong ni Tondong, Sanina, Boru dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori). Menurut D. Kenan Purba, adanya struktur (kerangka susunan) lembaga adat ini sekaligus memberi gambaran atau besar kecilnya suatu upacara adat itu menurut besar kecilnya perhelatan adat yang akan dilaksanakan.

Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun diikat oleh hubungan kekerabatan lewat perkawinan (martondong-maranakboru). Hal ini dimungkinkan karena konsep puangbolon (permaisuri) dan puangboru (isteri yang pertama) yang merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja sebelumnya. Untuk Kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging, puang bolon haruslah puteri raja Panei, Badjalinggei atau Guru Raya dari marga Purba Dasuha, Kerajaan Purba dari marga Purba Pakpak haruslah putri raja Siantar dari marga Damanik, Kerajaan Dolog Silou dari marga Purba Tambak haruslah putri raja Raya dari marga Saragih Garingging, Kerajaan Panei dari marga Purba Dasuha haruslah putri raja Siantar marga Damanik, Kerajaan Siantar marga Damanik haruslah dari putri tuan Silampuyang atau Sipoldas dari marga Saragih Sidauruk dan Kerajaan Tanoh Jawa marga Sinaga Nadihoyong Hataran dari putri raja Siantar marga Damanik.

5.Stratifikasi Sosial

a.Golongan Partuanon (Upper Class)

Golongan bangsawan di tengah-tengah suku bangsa Simalungun disebut partuanon atau partongah. Partongah adalah yang dianggap sebagai kelas tertinggi di Simalungun. Baik partuanon maupun parbapaan status sosialnya ditentukan oleh hubungan darah antar keluarga kerajaan yang sesudah masuknya pemerintah kolonial Belanda dijadikan bagian dari distrik administratif pemerintah kolonial (Saragih, 1979:28). Raja dilihat oleh masyarakat Simalungun sebagai pribadi yang merupakan representasi kuasa ilahi di bumi dengan konsepsi “Naibata na taridah” (Tuhan yang kelihatan di bumi) dan itulah sebabnya kaum bangsawan (khususnya raja) disebut “toehanta” atau “radjanta” (toehannami atau radjanami/djanami). Liddle mengungkapkan adanya semacam pengakuan spontan dari masyarakat atau rakyat kerajaan bahwa apa pun yang raja lakukan dan perintahkan adalah hukum yang tidak dapat dibantah.

Wolfgang Clauss (1985:49) menyebut, kaum aristokrat tradisional Simalungun dipercaya dapat memberikan berkat dengan kekuatan supernatural power (kekuatan adikodrati) bersama penguasa bawahannya. Kebangsawanan Simalungun ditentukan oleh hubungan silsilah dari keturunan raja-raja mereka. Poligami merupakan hal yang umum di kalangan raja dan partuanon Simalungun, yang umumnya berasal dari puteri-puteri raja atau kaum bangsawan dari kerajaan atau partuanon lain, dalam rangka mempererat hubungan politik. Dari isteri-isteri raja, telah ditentukan satu di antaranya sebagai permaisuri utama yang disebut puangbolon yang biasanya sudah ditentukan menurut adat adalah puteri bangsawan dari kerajaan lain. Hanya putera yang dilahirkan puangbolon-lah yang menurut adat dapat diangkat menjadi raja (Tideman 1922: 108). Adapun isteri raja yang lainnya, diberi nama sesuai dengan kapasitas atau tugasnya sehari-hari di rumah bolon atau istana raja. Misalnya di Kerajaan Purba yang diperintah raja marga Purba Pakpak, puangbolon adalah putri raja Siantar bermarga Damanik dengan nasipuang yang lainnya, seperti: puang pardahan (yang mempersiapkan makanan untuk raja), puangparorot (khusus menjaga putera-puteri raja), puangpaninggiran (pemimpin pada upacara kesurupan dan paniaran), puang pamongkot (pemimpin upacara memasuki rumah baru), puang siappar apei (menggelar tikar di istana), puang siombah bajud (pemimpin pada saat upacara adat yang memakai sirih atau demban), puang bona (isteri pertama raja di mana putera yang dilahirkannya dapat diangkat menjadi raja apabila puang bolon tidak ada melahirkan putera raja), puang panangkut (isteri raja pimpinan upacara spiritual), puang mata (dengan tugas umum di rumah bolon), puang juma bolag (yang memimpin pekerjaan di ladang raja/juma bolag) (Purba, 1991:8). Pengaruh raja begitu kuatnya terhadap rakyatnya.

b. Golongan Paruma (Rakyat Kebanyakan/Middle Class)

Golongan menengah disebut paruma, yaitu masyarakat merdeka. Status mereka bebas yang membedakan mereka dengan jabolon (hamba sahaya). Posisi paruma tidak selamanya permanen, ada kalanya seorang paruma terangkat statusnya menjadi partuanon dengan faktor-faktor dan proses tertentu, seperti pada saat raja memberinya gelar kehormatan atau beroleh kepercayaan/mandat dari raja sebagai wakilnya di daerah dengan pertimbangan loyalitas atau karena perkawinan.

Paruma yang kaya (paruma dongok-dongok) sering menjadi objek pemerasan, sehingga berbelanja ke pasar (tiga) selalu diusahakannya untuk membawa uang seperlunya. Demikian pula dari hasil buruan wajib dilaporkan kepada raja dan menyisihkan sebagian darinya untuk raja yang disebut dongkei raja. Raja juga berhak untuk meminta apa saja yang ia inginkan dari paruma, termasuk anak gadisnya; umumnya paruma tidak banyak yang menolak, karena adalah suatu kehormatan besar apabila raja memanggil tondong kepada mereka. Selain itu, paruma juga harus siap sedia apabila sesewaktu raja memerintahkan mereka untuk memobilisasi umum berperang melawan kerajaan lain. Itulah sebabnya mengapa menjamurnya padepokan persilatan (hadiharon) di Simalungun ketika itu.

c. Golongan Jabolon (Hamba Sahaya/Lowest Class)

Sebelum dihapuskannya perbudakan di Simalungun sejak tanggal 1 Januari 1910 atas inisiatif kaum Kristen Simalungun kepada pemerintah kolonial Belanda, perbudakan adalah sesuatu yang lazim di Simalungun. Ini berkaitan dengan struktur masyarakat yang feodal. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi jabolon. Ter Haar (1933:7) yang pernah menjadi asisten residen di Simalungun menjelaskannya sebagai berikut: anakbabi, yaitu anak-anak terlantar yang tidak mempunyai orang tua yang jelas karena lahir dari perkawinan sumbang atau perzinahan, jabolon taban, yaitu orang yang menjadi budak karena kalah perang, jabolon gayang-gayang na tading, yaitu isteri dan anak laki-laki yang meninggalkan majikannya secara diam-diam dan akhirnya tertangkap kembali, jabolon ayoban, yaitu budak akibat kalah perang dan dijadikan sebagai rampasan, jabolon na dapot i parlintunan, yaitu budak yang melarikan diri dan tertangkap di perbatasan kerajaan, jabolon tarutang, yaitu budak akibat tidak dapat membayar hutang biasanya lazim karena kalah berjudi, jabolon tangga yaitu sekeluarga dijadikan budak karena alasan-alasan tertentu (Lihat juga Tideman, 1922:110-111).

Namun, secara umum kaum partongah dan orang-orang kayalah yang biasanya memiliki banyak budak yang disuruh untuk melakukan pekerjaan di rumah bolon atau di ladang raja. Di rumah bolon yang merupakan pusat sosial politik kerajaan Simalungun beratus-ratus budak dipekerjakan di sana. Dan masing-masing budak memiliki pimpinan masing-masing sebagai kordinator pekerjaan sehari-hari. Sebagai contoh di rumah bolon Kerajaan Raya pada zaman Tuan Rondahaim Saragih terdapat 100 budak laki-laki dan 100 budak perempuan, mereka sehari-hari melayani raja dan keluarganya serta seluruh gamot atau pejabat kerajaan (Saragih, 1977:259).

Umumnya para budak tinggal di rumah tersendiri yang diperuntukkan untuk kediaman mereka dan sangat sulit untuk menerima kebebasan mereka kembali, kecuali ada yang menebus mereka atau raja berkenan membebaskan mereka dari statusnya yang hina itu. Mereka juga dilarang untuk kawin di luar kelas mereka. Mereka dianggap sebagai milik majikannya dan bekerja tanpa diberikan upah. Perlakuan para raja dan majikan mereka kadang di luar prikemanusiaan dan pembangkangan terhadap perintah pimpinan tak jarang diganjar dengan hukuman yang sangat berat (Saragih, 1979:28-29).

Sumber : khairul ikhwan
http://jhonrido.wordpress.com/2007/05/18/profil-kabupaten-simalungun/

No comments:

Post a Comment