Pages

Thursday, June 21, 2012

Menara Pandang Tele Di Ketinggian Harian


Menara Pandang Tele Di Ketinggian Harian


Di salah satu belokan yang terus menanjak mengarah ke puncak, disanalah, sebongkah, sebentuk menara berada, tepat di sisi kiri jalan. Unik dan sekaligus aneh melihat menara setinggi itu di tengah-tengah gunung yang saya yakin populasinya sangat sedikit ini. Namun, itulah dia Menara Pandang Tele yang saya tuju. Tidak ada tanda-tanda spesifik yang menyatakan bahwa saya akan segera tiba di menara tersebut, hanya ketekunan melihat kondisi jalan dan lingkungan sekeliling yang membuat saya yakin bahwa saya sudah sampai di tempat yang dituju. Tidak juga dengan Lae, sang supir yang telah saya pesan sebelumnya untuk menurunkan saya di Tele. Jauh panggang dari api, ia tidak terlihat akan menurunkan kecepatannya sama sekali. Akhirnya, saya memberhentikan Sampri tersebut agar saya bisa menikmati Menara Pandang Tele ini. Sempat terbersit dalam pikiran saya, “jangan-jangan ini menara pertama, atau kedua dan ada satu menara lagi makanya si Lae tidak mau memberhentikan kendaraannya”. Maklum, mengingat pengalaman saya di Sitinjau Lauik, ternyata ada dua gazebo pandang dengan posisi salah satu gazebo lebih tinggi dan lebih memiliki pemandangan yang luar biasa. Nggak mau salah, saya sempatkan dahulu donk bertanya kepada sang supir, namun sayangnya jawaban yang diberikan nggak jelas atau dia nggak terlalu memahami maksud pertanyaan saya. Daripada ribet dan ujung-ujungnya terlewat, saya akhirnya memberhentikan Sampri yang saya tumpangi dan membayar biaya perjalanan dari Pangururan sebesar Rp. 15.000 untuk 22 KM dengan medan rusak, sempit, dan menanjak dalam waktu 30 menit.
Saya baru tahu bahwa jalur yang baru saja saya lewati adalah jalur yang terkenal rawan sehubungan dengan sempitnya badan jalan, medan jalan yang berbatu-batu dan kondisi yang terus menanjak. Ini menjelaskan mengapa lintas barat Samosir sangat jauh dari hingar bingar turis. Kendaraan yang melewati tempat ini bisa dihitung dengan jari dan kebanyakan merupakan Sampri yang beroperasi antara Sidikalang atau Dolok Sanggul menuju Pangururan. Mencapai Menara Pandang Tele, saya tidak menjumpai satu orang pun. Apakah tempat wisata ini dibuka? Saya mencoba melihat keadaan sekeliling sambil memasuki areal menara.
Menara Pandang Tele adalah sebuah menara yang terletak di tepi jalan negara Pangururan – Sidikalang. Menara ini terletak di sisi kiri kalau anda berjalan dari arah Pangururan. Menara empat lantai ini (dihitung dari lantai dasar) adalah menara pandang biasa yang dibangun untuk menikmati pemandangan sekeliling Tanah Toba. Keunikan menara ini hanya terletak di bagian atap menara yang dibangun menyerupai arsitektur atap rumah Bolon sejumlah empat buah mengarah ke empat penjuru. Untuk menaiki menara, hanya terdapat pilihan tangga saja. Dari lantai dasar menara, Gunung Pusuk Buhit, Danau Toba, desa-desa di sekeliling Tele dan sejumlah air terjun terlihat cukup jelas. Walaupun pemandangan dari lantai teratas akan jauh lebih baik, namun perbedaannya tidak terlalu signifikan, dan terdapat kaca yang menghalangi pandangan langsung ke sekeliling. Menara ini dibangun pada era akhir 1980-an dan diresmikan pada 22 April 1988 oleh Bupati Tapanuli Utara saat itu, Drs. G. Sinaga. Ya, pada saat itu, wilayah yang kini menjadi wilayah Samosir masih merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara sebelum akhirnya mekar menjadi Toba Samosir dan akhirnya Kabupaten Samosir (tulisan Menara Pandang Tele di puncak menara sudah ditambahkan dengan Kabupaten Samosir). Areal sekeliling menara ini dikenal dengan nama Panorama Indah Tele.
Sedang asyik-asyiknya kami berfoto ria dan mengamati keindahan panorama di sekeliling, tiba-tiba datanglah dua orang pria berjaket menghampiri kami. Nggak memperkenalkan diri, mereka tiba-tiba saja berceloteh tentang Menara Pandang Tele dan kemudian menanyakan asal usul kami. Sembari menjawab pertanyaan kedua pria tersebut, saya dan teman saya masih asyik berfoto-foto di sekeliling menara. Saya sebetulnya sudah bisa menebak sich maksud dari kedatangan mereka, namun saya tunggu sampai mereka mengatakannya. Oleh karena itu, saya cuek berfoto sambil mengobrol dengan mereka. Mereka bahkan menawarkan kami untuk naik ke atas menara, sambil mereka menjadi pemandunya. Sayang, kami masih senang berada di bawah dan mengeksplorasi keadaan sekeliling sehingga kami menunda naik ke atas. Lama nggak disusul, akhirnya mereka turun kembali dan mendapati saya dan rekan saya masih asyik berkeliling di bawah. Sambil menunggu saya dan rekan saya yang lama nggak naik-naik ke atas karena asyik mengeksplorasi sekeliling, akhirnya mereka memberanikan diri berkata, “biaya retribusinya Rp. 2.000 per orang”. Hooo...jadi mereka menunggu biaya retribusinya ternyata. Ya, saya jadi ingat akan Museum Huta Bolon di Simanindo yang tidak ditunggui namun begitu turis terdeteksi datang, mereka akan keluar untuk menerima uang retribusi tiket masuk. Wajar sich, Menara Pandang Tele ini sangat sepi. Mungkin dahulu pernah ramai sehingga dibangunlah menara pandang ini di sisi barat Danau Toba. Namun saat ini, hampir satu jam kami berkeliaran di Menara Pandang Tele ini, tidak ada seorang pengunjung lain pun terlihat. Segera, setelah membayar biaya retribusi sebesar Rp. 2.000 per orang, mereka kembali ke pondokan di seberang warung satu-satunya di Tele ini yang tampaknya merupakan tempat berkumpul orang-orang yang hidup di Tele. Soal nama “Tele” itu sendiri, saya nggak terlalu yakin bahwa “Tele” adalah bahasa Batak. Saya lebih mengasosiasikan “Tele” yang dimaksud sebagai cara untuk melihat jarak jauh, seperti pada lensa tele. Apakah mungkin ada teman-teman yang tinggal di Dairi, Samosir, atau Humbang Hasundutan yang bisa memberikan informasi mengenai ini?
Dari ketinggian menara, saya bisa melihat jalan berliku-liku yang kami lalui sebelumnya dari arah Pangururan. Dari atas, sangat jelas terlihat bahwa jalan yang kami lalui tadi adalah jalan yang sangat sepi. Kalau beruntung, anda bisa mendapatkan satu buah motor, atau sebuah mobil bergerak anggun di jalan meliuk-liuk tersebut. Bagian dalam menara sebenarnya sebuah ruang aula kecil yang dapat digunakan sebagai pengamat hampir di segala sisinya (lantai tertinggi, semua sisinya) untuk melihat pemandangan. Lucunya, lantai menara terbuat dari keramik yang sebenarnya bagus, namun sayangnya menjadi licin kalau hujan. Pada saat kunjungan, sedang terjadi hujan gerimis rintik-rintik di Tele sehingga terdapat sejumlah genangan di sisi menara yang tidak tertutup. Alhasil, saya harus berjalan pelan-pelan untuk menyusuri tangga agar tidak terpeleset. Plus, tangga yang agak sedikit curam membuat saya harus berhati-hati menyusurinya. Untungnya, bagian dalam dari aula merupakan tempat tertutup. Selain angin kencang pegunungan yang ditahan oleh kaca jendela yang lebar, bagian dalam aula terlindung dari hujan dan sengatan panas matahari. Sayangnya, kaca yang melingkari aula pemandangan justru membuat foto-foto pemandangan yang saya ambil menjadi bias karena memantulkan bayangan kaca. Filter CPL yang sedianya bisa mengoreksi bayangan berlebihan tersebut pun tidak mampu menghilangkan keseluruhan pantulan. Sayang sekali.
Ya, Tele memang merupakan titik tertinggi di wilayah sekitar. Hampir semua objek foto dan pemandangan terletak di bawah menara ini. Saya senang bisa berkunjung ke menara ini dan melihat Danau Toba dari sudut yang berbeda. Buat teman-teman yang sekiranya berminat mampir di menara ini, usahakan agar jangan terlalu sore biar nggak susah menunggu Sampri yang melintas yach. Repot juga khan kalau sampai kemalaman di Tele, masak iya harus tidur di dalam menara? Pagi dan siang hari sih hawanya sejuk dan segar. Namun, saya percaya pada malam hari suhu di tempat ini akan luar biasa dingin.


Sumber:

No comments:

Post a Comment