Pages

Thursday, June 7, 2012

Melihat Edensor di Paluta


Melihat Edensor di Paluta

Oleh: Annisa F. Rangkuti


Tahu Edensor? Itu loh, sebuah desa di Derbyshire, Inggris yang disebut-sebut oleh Andrea Hirata dalam bukunya yang berjudul sama. Dalam bukunya tersebut Andrea menggambarkan Edensor sebagai sebuah tempat impian dengan pemandangan khas pedesaan di tanah Eropa. Setidaknya itu menurut pemahaman dan imajinasiku sebagai pembaca yang belum pernah menginjakkan kaki di benua yang penuh daya tarik tersebut. Andrea dengan gaya menulisnya yang memikat berhasil mengantarkanku ke sana, ke tempat dimana jutaan mimpi bermula.
Edensor, Derbyshire-UK (google.com)
Edensor, Derbyshire-UK (google.com)
“Bus merayap. Aku makin dekat dengan desa yang dipagari tumpukan batu bulat berwarna hitam. Aku begetar menyaksikan nun di bawah sana, rumah-rumah penduduk berselang-seling di antara jerejak anggur yang telantar dan jalan setapak yang berkelok-kelok. Aku terpana dilanda dé jàvu melihat hamparan desa yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang desa berukir ayam jantan itu, dengan pohon-pohon willow di pekarangan itu, dengan bangku-bangku batu itu, dengan jajaran bunga daffodil dan astuaria di pagar peternakan itu. Aku seakan menembus lorong waktu dan terlempar ke sebuah negeri khayalan yang telah lama hidup dalam kalbuku.”

Seperti Andrea, aku pun terpesona dan turut menjadikan tempat itu sebagai landasanku berpijak suatu hari nanti. Namun kemudian keterpesonaanku pada Edensor berhasil ditandingi oleh keterpesonaanku pada suatu tempat, masih di daerah kampung halamanku sendiri, yang bagiku sesungguhnya tak kalah memesona keindahannya.

Ini berawal dari perjalananku dalam rangka mudik lebaran ke kota kelahiranku, Padang Sidempuan, yang terakhir berstatus kotamadya di Tapanuli Selatan. Memang bukan kota ini yang ingin kuceritakan, tetapi sebuah desa di kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta). Aku dan keluargaku ke tempat itu untuk bersilaturrahim dengan salah seorang kerabat kami, adik perempuan ayahku, yang biasa kupanggil dengan “bou”. Selama ini aku belum pernah ke tempat itu karena biasanya bou dan suaminya yang datang mengunjungi kami di Medan, sekalian mengunjungi anaknya yang ada di kota Stabat. Selama itu pula aku menggambarkan Padang Bolak sebagai padang yang luas, sesuai dengan arti nama tempat tersebut. Seperti cerita orangtuaku tentang tempat itu, aku pun membayangkan padang yang gersang, minim pepohonan, hanya sedikit lahan rerumputan dan semak belukar, dan banyak ternak seperti kerbau atau lembu yang merumput di lahan itu.

Jarak yang ditempuh dari kota Padang Sidempuan ke tempat itu kira-kira 4 jam. Bukan semata-mata karena jaraknya yang jauh, tapi jalan menuju ke sana yang rusak parah, apalagi bila sudah melewati kota Gunung Tua dan memasuki kabupaten Paluta. Masalah yang seperti ini memang merupakan lagu lama di daerah ini, sama seperti kerusakan jalan di Aek Latong, Sipirok, ibukota Tapanuli Selatan, yang jalannya amblas beberapa meter tanpa ada perbaikan berarti.

Sungguh melelahkan memang perjalanan menuju desa di Padang Bolak itu. Jalan yang menanjak, masih diberati dengan lubang-lubang besar di sana sini. Menoleh ke kiri dan ke kanan, hanya tampak pohon-pohon kelapa sawit yang rapat di sisi-sisi hampir di sepanjang jalan. Kebanyakan masih berupa bibit-bibit pohon sawit muda. Area ini tampaknya memang cocok untuk ditanami jenis palma, sehingga konon banyak pengusaha perkebunan yang baru membeli dan membuka beberapa hektar lahan gersang ini untuk usaha yang menghasilkan banyak keuntungan itu.

Padang Bolak, Paluta-Sumut (dok. pribadi)
Padang Bolak, Paluta-Sumut (dok. pribadi)
Setelah jejeran perkebunan kelapa sawit, kemudian tampaklah sisi lain area pebukitan itu berupa padang-padang rumput yang sangat luas. Maka tak heran bila banyak sekali dijumpai gerombolan ternak seperti, kerbau, lembu, atau bahkan kuda yang sedang merumput di sabana itu. Sebenarnya tak jauh berbeda dengan khayalanku, namun apa yang kulihat sesungguhnya lebih indah. Bila kita berdiri di salah satu padang rumput yang lebih tinggi, maka yang terhampar adalah pemandangan yang luar biasa.
Bukit-bukit landai yang berbaris di sekeliling tempat itu bagaikan gundukan tanah berumput raksasa yang memagari sabana dan desa-desa di sekitarnya. Sejauh mata memandang hanyalah pepohonan dan rerumputan hijau beratapkan langit biru dihiasi mega-mega putih bersih. Rumah-rumah penduduk tak banyak terlihat karena jalan menuju desa itu masih cukup jauh dan agak menurun, tertutupi luasnya permadani beludru berwarna hijau. Gambaran yang sering kulihat di foto-foto bertema pemandangan alam. Tetapi menikmati keindahannya langsung sungguh terasa berbeda. Langit sangat cerah dan terik, namun terasa teduh karena semilir angin dan karena terbius oleh keindahan pemandangannya yang menyejukkan mata.

Seketika aku terpesona dan langsung menghubungkan ingatanku dengan Edensor. Mungkin akan sama rasanya seperti aku kelak melihat desa nun jauh di sana itu. Tapi bedanya, ini tidak kuimpikan, tidak kurencanakan dan tidak kuduga akan kualami, namun aku merasakan emosi yang kukira akan sama dengan bila aku melihat Edensor. Rasa merinding haru, ekstase penuh sampai ke puncaknya, hingga lidahku tak mampu berkata-kata karena benar-benar terpana akan keindahannya. Sungguh, aku merasakan anugerahNya melingkupiku hingga aku memiliki semangat untuk terus bermimpi sampai benar-benar kuinjakkan kaki di Edensor yang sesungguhnya.


Sumber:
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/02/27/melihat-edensor-di-paluta/

No comments:

Post a Comment