Pages

Thursday, June 21, 2012

KASUS BAHASA BATAK (1)


Kasus Bahasa Batak
Bagian I (Dari Dua Tulisan)
Pada gilirannya kebertahanan dialek atau bahasa itu berdampak terhadap implementasi kebijakan bahasa nasional di Indonesia
Dua faktor mempengaruhi kebertahanan Bahasa Batak, yakni ciri budaya orang Batak dan amalan agama.  Pengaruh kedua faktor itu terhadap kebertahaan Bahasa Batak bervariasi di antara subsuku Batak Angkola/Mandailing, Toba, Simalungun, Karo dan Papak/Dairi.  Tingkat kebertahaan Bahasa Batak oleh subsuku Batak mulai dari yang terkuat sampai ke terlemah membentuk kontinum dan berdampak secara bervariasi terhadap implementasi kebijakan bahasa nasional di Indonesia, khusunya di Provinsi Sumatra Utara.
Pendahuluan
Suku Batak bermukim di Provinsi Sumatra Utara.  Bahasanya disebut Hata Batak atau Bahasa Batak.  Orang Batak terbagi ke dalam subsuku Angkola/Mandailing, Toba, Simalungun, Karo dan Pakpak yang masing-masing memiliki dialek atau bahasa.  Masing-masing subsuku Batak itu juga memiliki ciri budaya, karakter dan temperamen yang mempengaruhi kebertahanan dialek atau bahasanya.
Faktor lain yang mempengaruhi kebertahanan Bahasa Batak adalah agama.  Secara spesifik ajaran dan amalan agama potensial menguatkan atau menurunkan kebertahanan bahasa dan pengaruhnya bervariasi di antara subsuku Batak itu.  Berdasarkan kedua faktor itu, ditemukan bahwa tingkat kebertahanan Bahasa Batak bervariasi di antara subsuku Batak dan membentuk kontinum dengan kebertahanan yang terkuat di satu ujung dan yang terlemah di ujung lain kontinum itu.
Pada gilirannya kebertahanan dialek atau bahasa itu berdampak terhadap implementasi kebijakan bahasa nasional di Indonesia dalam hal kebertahanan itu menguatkan atau menghambat implementasi kebijakan bahasa nasional.  Makalah ini membahas sifat penutur Bahasa Batak dan agama mereka, yang telah berpengaruh dalam kebertahanan dialek atau bahasa mereka.  Uraian dan bahasan didasarkan pada pengamatan umum dan wawancara yang dilakukan penulis di lapangan terutama berdasarkan percakapan dengan penutur Bahasa Batak di desa.  Secara pesifik kebertahanan Bahasa Batak berdampak terhadap implementasi kebijakan bahasa nasional di Provinsi Sumatra Utara.
Orang Batak merupakan satu suku bangsa Indonesia.  Indonesia merupakan negara multisuku dan multibahasa dengan 746 bahasa daerah di samping satu bahasa nasional atau bahasa negaranya, yakni Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008).  Satu dari bahasa daerah itu adalah Hata Batak atau Bahasa Batak.  Suku Batak bermukim di daerah yang terbentang dari dataran tinggi berpegunungan di barat sampai ke dataran rendah dekat pantai di sebeleh timur Provinsi Sumatra Utara.
Suku Batak terbagi ke dalam lima subsuku, yakni Angkola/Mandailing, Toba, Simalungun, Karo and Pakpak/Dairi (ada yang mengelopokkan ke dalam enam subsuku dengan memisahkan Angkola dan Mandailing).  Masing-masing subsuku itu memiliki daerah permukiman.  Orang Angkola/Mandailing pada awalnya bermukim di bagian selatan Provinsi Sumatra Utara sampai ke daerah yang berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat.  Subsuku Angkola/Mandailing menggunakan dialek Bahasa Batak dengan cirinya tersendiri.
Tempat tinggal orang Toba pada awalnya adalah di tengah Provinsi Sumatra Utara.  Orang Simalungun berdiam di timur laut provinsi itu.  Orang Simalungun mendiami daerah bergunung dan dataran rendah dengan perkebunannya.  Orang Karo mendiami dataran tinngi Karo di utara.  Orang Pakpak/Dairi berdiam di barat daya provinsi itu.
Kecuali permukiman orang Angkola/Mandailing, yang langsung berbatasan dengan daerah permukiman orang Toba, keempat suku yang lain bertetangga dengan Danau Toba di tengah yang menghubungkan permukiman keempat subsuku itu.  Dengan kata lain, secara geografis Danau Toba menjadi penghubung keempat subsuku Toba, Simalungun, Karo and Pakpak/Dairi.
Walaupun masing-masing subsuku Batak telah memiliki permukiman sendiri, telah terjadi perpindahan sesama subsuku Batak itu.  Dengan kata lain telah terjadi perpindahan orang Batak dari permukiman awalnya terutama ke bagian timur provinsi itu dengan pertumbuhan sosial dan ekonomi yang pesat.  Permukiman orang Toba umumnya berbatu-batu, pegunungan, udik dan tandus.  Fenomena alam itu membuat orang Toba menjadi perantau yang paling banyak dan tangguh di antara subsuku Batak.
Sewaktu penjajahan Belanda di Indonesia, penguasa Belanda membuka perkebunan (tembakau, karet, kelapa sawit, kakao, tebu, teh) di bagian timur provinsi itu dengan dataran rendahnya yang subur.  Pembukaan perkebunan di jalur yang subur itu memerlukan banyak buruh, yang mengakibatkan penguasa Belanda mendatangkan orang Cina dan Jawa sebagai pekerja atau kuli.  Pembukaan perkebunan di daerah subur itu telah meningkatkan ekonomi, bisnis, perdagangan dan kesempatan sosial yang baik.
Dampak sosial dan ekonomi ini telah menggalakkan kedatangan orang Toba dan Angkola/Mandailing ke bagian timur provinsi itu.  Perpindahan berarti gangguan terhadap daerah orang lain.  Setelah kemerdekaan Indonesia dari Belanda, semakin banyak orang Toba pindah ke daerah Simalungun.  Perpindahan ini telah menggangu daerah subsuku Batak yang lain.  Sebagai perantau yang terbesar, orang Toba telah pindah ke daerah subsuku Simalungun, Karo and Pakpak/Dairi.  Perpindahan subsuku Toba ke daerah subsuku Batak yang lain telah menimbulkan pertentangan.
Telah terjadi keresahan dan pertentangan di antara orang Toba dan orang Simalungun, Karo dan Pakpak/Dairi ketika mereka menempati daerah subsuku Batak itu.  Namun, pertentangan itu tidak berlangsung lama karena orang Batak diikat oleh folosofi hidup yang sama.  Petentangan hanya terjadi sebagai pertentangan abang dan adik.  Setelah kemerdekaan Indonesia, perpindahan subsuku Batak itu ke daerah lain semakin besar
Masing-masing subsuku Batak memiliki filsafat hidup yang terealisasi dalam ciri budaya, karakter dan temperamen mereka.  Akan tetapi, orang Batak memiliki dasar budaya dan pandangan hidup yang sama, yang dua di antaranya sangat mendasar, yakni ikatan marga yang turun temurun dan tiga pilar hidup yang dikenal sebagai dalihan na tolu (fisafat tiga tungku).
Orang Batak menganut sistem patriahat dengan garis keluarga dan turunan dientukan oleh garis laki-laki.  Secara rinci, seseorang mewarisi marga ayahnya, ayahnya mewarisi marga itu dari kakeknya dan kakeknya mewarisi marga itu dari buyutnya dan demikianlah seterusnya ke atas.  Jadi, seseorang yang bermarga Saragih akan mewariskan marga Saragih itu kepada semua keturunannya.  Akibat dari pewarisan marga itu adalah perempuan dengan marga Saragih akan memiliki keturunannya semua dengan marga suaminya.  Misalnya seorang perempuan yang bermarga Saragih dan menikah dengan laki-laki bermarga Purba akan memilki marga Purba untuk semua keturunannya.
Dengan demikian, keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, terutama di masa lalu, dianggap sial dan mendapat kutukan karena garis keturunan ayahnya akan hilang atau marga ayahnya akan berhenti.  (Pandangan ini saat ini sudah berubah dan tidak relevan dengan zaman).
Perkawinan semarga sangat terlarang dan dianggap pelanggaran adat atau keyakinan Batak dan dengan demikian mendapat hukuhan berat.  Laki-laki yang menikah semarga dianggap menikahi adik atau kakak kandungsnya dan disebut marharom atau harom (dianggap haram).  Di masa lalu ketika orang Batak masih menganut keyakinan animisme, perkawinan semarga dihukum dengan keduanya diusir dari daerah permukiman atau dibunuh.
Filsafat hidup orang Batak yang dikenal sebagai daihan na tolu bermakna tiga tiang, tiga pilar, atau tungku hidup, yakni tondong, boru dan sanina.  Orang Batak yakin bahwa keberhasilan dalam hidup hanya dapat dicapai dengan merujuk fungsi dan peran ketiga tiang itu.  Filsafat hidup itu merinci hak dan kewajiban seseorang sebagai anggota masyarakat.
Filsafat itu menentukan seseorang berfungsi sebagai tondong, boru atau sanina berdasarkan kekerabatan perkawinan, famil atau keluargai.  Tondong adalah seseorang yang menikahkan putrinya kepada seorang laki-laki.  Dengan kata lain, tondong adalah mertua atau pemberi istri kepada seorang laki-laki.  Tondong sangat dihormati menantunya dan semua keluarga menantunya.  Boru adalah seseorang yang menikahi anak perempuan seseorang.  Dengan kata lain, boru adalah penerima istri atau menantu laki-laki dengan semua keluarganya.  Boru diwajibkan melayani dan berbakti kepada tondongnya.  Sanina adalah saudara laki-laki seseorang.
Dengan kata lain, sanina adalah abang atau adik laki-laki seseorang dengan semua keluarganya.  Seseorang didampingi atau dibantu oleh saninanya dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapinya.  Jika terjadi masalah pada seseorang, dia menyelesaikannya dengan meminta fungsi dan peran ketiga tiang: tondong, boru dan sanina.  Pelaksanaan filsafat hidup itu masing berlangsung bagi orang Batak sampai saat ini.  Namun demikian telah terjadi modifikasi dan adaptasi sejalan dengan ajaran agama Islam dan Kristen.  ***** (Prof Amrin Saragih, PhD, MA : Penulis adalah Kepala Balai Bahasa Medan dan Guru Besar Universitas Negeri Medan )






No comments:

Post a Comment