Pages

Monday, June 4, 2012

Jejak Orang Sasak Purba (1)


Jejak Orang Sasak Purba (1)


Asal-usul orang Sasak tidak mungkin diketahui dari sumber-sumber tulisan dari masa purba itu atau dengan mempercayai sumber-sumber lisan. Petunjuk yang paling meyakinkan tentang leluhur orang Sasak adalah melalui bahasa yang digunakan dan benda-benda hasil kebudayaan mereka.
Kita percaya bahwa bahasa Sasak yang digunakan penduduk asli Pulau Lombok saat ini tidak serta merta tercipta. Demikian pula dengan penemuan-penemuan arkeologi warisan kebudayaan Neolitikum (Zaman Batu Muda) berupa kapak lonjong dan kapak persegi di berbagai belahan Nusantara belakangan ini. Semuanya itu tidak mungkin tersebar dengan sendirinya, melainkan pasti memiliki rentetan kronologi yang bisa dirunut. Atau, dengan kata lain, mustilah ada kelompok manusia pendukungnya yang berperan aktif dalam persebaran bahasa dan artefak tersebut melalui aktivitas migrasi (perpindahan) mereka.
Diagram: Alur Penyebaran Kebudayaan Neolitikum di Indonesia
Para ahli linguistik menyimpulkan bahwa kronologi dari persebaran suatu keluarga (filum) bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Bahasa Sasak memiliki kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti Bali, Sunda, Jawa, Batak, Banjar, Minangkabau, dan Bugis. Juga mirip dengan bahasa Tagalog (Filipina), Tetum (Timor Leste), Maori (Selandia Baru), Fiji (Republik Fiji), Samoa (Samoa Barat dan Samoa Amerika), Tahiti (Perancis), Chamorro (Guam dan Mariana Utara), dan Hawai (negara bagian Amerika Serikat). Penyelidikan linguistik menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa tersebut merupakan rumpun bahasa Austronesia yang nenek moyangnya berasal dari Yunan Utara (Cina).
Diagram: Out of Africa (Migrasi Manusia Purba)
Kesimpulan tersebut setali tiga uang dengan hasil penelitian arkeologi. Persebaran kapak lonjong, kapak bahu, dan kapak persegi di Nusantara menunjukkan adanya migrasi (perpindahan) Yunan Utara ke kepulauan Nusantara hingga ke pulau-pulau yang tersebar di Lautan Pasifik. Sebelum bermigrasi ke Nusantara, bangsa Yunan Utara tersebut bergerak menuju ke Selatan memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam atau Indochina).
Bangsa yang berasal dari Yunan Utara tersebut berimigrasi ke Indonesia (Nusantara) dalam dua gelombang utama, yaitu:
  1. Kelompok orang-orang Yunan yang pertama kali bermigrasi ke Nusantara disebut Bangsa Malanesia atau Papua Melanosoid yang merupakan ras Negroid. Mereka bermigrasi pada Zaman Es (Pleistocene) antara 1,6 juta – 100 ribu tahun yang lalu. Bangsa Melanesia ini memunyai ciri-ciri kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting, mulut lebar, dan hidung mancung. Bangsa ini sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa keturunannya, seperti Suku Sakai (Siak) di Riau, dan suku-suku bangsa Papua Melanosoide yang mendiami Pulau Irian dan pulau-pulau Melanesia. Ketika bangsa Malanesia tersebut bermigrasi, pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa masih menyatu dengan Benua Asia (interglasial-Pleistocene). Sedangkan Maluku dan Papua masih menyatu dengan Ausralia, sementara Sulawesi dan kepulauan Nusa Tenggara masih sebagai pulau-pulau tersendiri.[1]
  2. Gelombang kedua adalah Bangsa Melayu yang merupakan rumpun bangsa Austronesia yang termasuk golongan Ras Malayan Mongoloid. Bangsa Melayu ini melakukan migrasi ke Nusantara dalam dua kelompok yang disebut Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda).
    A. Proto Melayu (Melayu Tua): Arus migrasi kelompok ini berlangsung sekitar tahun 2000 SM, menyebar dari daratan Asia ke Semenanjung Melayu, Nusantara, Philipina dan Formosa serta Kepulauan Pasifik sampai Madagaskar. Bangsa ini masuk ke Nusantara melalui dua jalur, yaitu Barat dan Timur, dan membawa kebudayaan Neolithikum (Batu Muda).
    Bangsa Proto Melayu yang merupakan ras Malayan Mongoloid ini memiliki ciri-ciri antara lain: Kulit sawo matang, rambut lurus, badan tinggi ramping, bentuk mulut dan hidung sedang. Yang termasuk keturunan bangsa ini adalah Suku Toraja (Sulawesi Selatan), Suku Sasak (Pulau Lombok), Suku Dayak (Kalimantan Tengah), Suku Nias (Pantai Barat Sumatera) dan Suku Batak (Sumatera Utara) serta Suku Kubu (Sumatera Selatan).
    B. Deutro Melayu (Melayu Muda): Adapun migrasi kelompok kedua ini berlangsung sekitar tahun 500 SM. Bangsa ini masuk ke Indonesia membawa kebudayaan logam (perunggu).
    Bangsa Deutro Melayu yang juga merupakan ras Malayan Mongoloid hampir sama dengan bangsa Proto Melayu, sehingga memiliki ciri-ciri yang hampir sama pula. Bangsa ini berkembang menjadi Suku Aceh, Suku Minang, Suku Jawa, Suku Bali, Suku Bugis dan Makasar di Sulawesi dan sebagainya.
    Diagram: Bangsa Yunan sebagai Cikal-bakal Suku-suku Bangsa Awal di Indonesia
    Teori migrasi bangsa Yunan Utara tersebut sekaligus menjelaskan mengapa bahasa Sasak memiliki begitu banyak varian, baik dalam bahasa maupun karakteristik budayanya. Pun menjelaskan tentang suku-suku lain di Indonesia yang serumpun dengan Suku Sasak, seperti Suku Toraja (Sulawesi Selatan), Suku Dayak (Kalimantan Tengah), Suku Nias (Pantai barat Sumatera), Suku Batak (Sumatera Utara), dan Suku Kubu (Sumatera Selatan), yang mana semua suku-suku itu termasuk ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua).
    Di Nusantara terdapat sedikitnya 50 populasi etnik dengan karakteristik budaya dan bahasa tersendiri. Sebagian besar dari populasi itu, yakni yang berciri fisik Mongoloid, memunyai bahasa yang tergolong dalam satu filum (keluarga) bahasa yakni bahasa-bahasa Austronesia, yang menunjukkan mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sedangkan di Indonesia bagian timur dan Irian (kepulauan Melanesia) terdapat satu populasi dengan bahasa-bahasa yang tergolong dalam berbagai bahasa Papua Melanosoid.
    Pada masa kini, kenyataannya ciri fisik dan bahasa yang digunakan orang-orang Suku Sasak lebih mencerminkan keturunan Austronesia. Oleh sebab itu, sebagian ahli berpendapat bahwa Pulau Lombok tidak pernah dilewati oleh arus migrasi pada masa Zaman Es (Pleistocene), ketika terjadinya migrasi Ras Negroid tersebut.
    Namun penemuan dan penggalian arkeologi belakangan ini memperlihatkan fakta sebaliknya bawha Pulau Lombok merupakan bagian tidak terpisahkan dari jalur migrasi manusia dan hewan serta penyebaran budaya yang berasal dari Zaman Es (Pleistocene) di Indonesia.
    Penemuan-penemuan terbaru pada tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan kehidupan manusia purba di Pulau Lombok berlangsung sejak masa Zaman Es (Pleistocene) antara 1,6 juta hingga 100 ribu tahun yang lalu. Tahun 2000 misalnya, ditemukan kapak perimbas, kapak genggam, dan fosil tulang di sebuah sungai di Desa Pelambik, Kabupaten Lombok Tengah. Sepanjang 14-28 Oktober 2003, Tim Peneliti Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan jejak alat paleolitik di Desa Batukliang dan Desa Buktik, Kabupaten Lombok Tengah, serta di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Utara.
    Dengan demikian, temuan-temuan arkeologis tersebut semakin membuktikan bahwa pada zaman Pleistocene (antara 1,6 juta – 100 ribu tahun yang lalu) Pulau Lombok memang sudah didiami oleh manusia yang berciri Ras Negroid. Artinya, mereka itulah nenek moyang orang Sasak yang tertua.
    Kendati begitu, ciri Negroid lambat laun menghilang dari penduduk Pulau Lombok hingga saat ini. Belum ada penelitian serius yang menjawab hal itu. Namun, secara apriori dapat dikatakan, leluhur Lombok dari Ras Negroid itu terdesak atau membaur dengan saudara mudanya dari Ras Melanosoid yang datang kemudian.
    Temuan arkeologis lainnya di Pulau Lombok, yakni artefak dari masa zaman Megalitikum (kebudayaan batu besar) berupa topeng pipih terbuat yang dari lempengan emas 18 karat berukuran 8 x 12 sentimeter dan puluhan manik-manik di Dusun Lendang Berora, Desa Sigar Penjalin, Pemenang, Kabupaten Lombok Barat pada tahun 1996. Topeng emas berbentuk wajah manusia lengkap dengan mata, hidung, dan mulut itu diduga berfungsi sebagai penutup wajah mayat dalam upacara penguburan. Sedangkan manik-manik emas berfungsi sebagai perhiasan.
    Selain topeng emas, pada Juli 1996 juga ditemukan mata tombak terbuat dari besi, periuk tanah liat yang teknik pembuatannya masih sederhana serta keris, tetapi semuanya sudah rusak akibat berkarat.
    Pada Januari 2004, empat potong kerangka manusia purba ditemukan oleh seorang perajin batu bata di Dusun Lendang Berora, Desa Sigar Penjalin, Pemenang, Lombok Barat. Kerangka itu memiliki ciri, berbadan lebih tinggi dari manusia biasa dan bertaring. Selain kerangka, juga ditemukan enam butir emas berbentuk pelor roda sepeda.
    Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memperkirakan benda-benda purbakala yang ditemukan di situs Lendang Berora itu merupakan artefak paling tua, baik yang terbuat dari emas, besi dan benda-benda gerabah, seperti periuk dan kendi yang dikenal sejak zaman prasejarah atau megalitikum.
    Oleh: Mahbub Karumbu – http://karumbutribun.blogspot.com
    Editor : Rifki H
    Link Asli:
    Bibliografi:
    1. Dwi Hartini. Masyarakat Prasejarah Indonesia. Jakarta: Anugerah Solusindo Infotama.
    2. Nugroho Notosusanto, dkk. Sejarah Nasional Indonesia, Vol. I. Jakarta: Balai Pustaka.
    [1] Pendapat berbeda dikemukakan oleh Arysio Santos yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya bencana banjir pada Zaman Es itu, pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa Tenggara masih menyatu dengan semenanjung Malaysia dan benua Asia. Sedangkan Sulawesi, Maluku dan Irian masih menyatu dengan benua Australia dan terpisah dengan Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Lihat, Arysio Santos, Atlantis the Lost Continents Finally Found, (Jakarta: Ufuk Press).



    Sumber:







    No comments:

    Post a Comment