Pages

Tuesday, June 12, 2012

Guru (TABIB) Dalam Masyarakat Karo


Guru (TABIB) Dalam Masyarakat Karo

Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo. Upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relaif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarkat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka. Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena.

Demikian juga halnya dengan apa yang disebut dengan guru. Konsep guru ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut pemena atau perbegu. Penyebutan kata pemena ini disepakati sejak tahun 1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahpahaman orang-orang di luar orang Karo atas pengertian kata perbegu. Kata perbegu bagi orang di luar orang Karo seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh jahat lainnya. Sementara kata pemena berarti asli, berasal dari kata bena yang berarti awal atau yang pertama (asli). Jadi kata pemena dapat diartikan merupakan kepercayaan yang asli (pertama) dari orang-orang Karo sebelum masuknya pengaruh agama seperti Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha.

Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam “kosmos” mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanaya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari “kosmos” (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai “mikro-kosmos” (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai ‘keseimbangan dalam manusia’. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian.

Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai “makro-kosmos”. Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu; beraspati taneh (inti kehidupan tanah), beraspati rumah (inti kehidupan rumah), beraspati kerangen (inti kehidupan hutan), beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia.

Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput).

Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan, seperti dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia.

Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah dalam tubuh.

Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut:
“enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe sider bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho, pinang meciho maka meciholah penuri-nurin Dibata si lakuidah. Maka ula kari abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati rumah ujung kayu bena kayu".
("Ini aku datang memohon ijin kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah dari segala sisi, kuletakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih bersih dan bagus demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan terang atau jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak terlihat. Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin dariku, kepada nenek beraspati rumah, baik yang ada di ujung kayu ataupun di pangkal kayu".)

Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib diatunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama
menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap maelewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam satu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu.

Sebutan i jah dan i jenda tidak berarati adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karaena itulah disebuat deangan i jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya.

Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan kehidupan.

Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meinggal, seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijulluki sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus). Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam hari.

Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari “makro-kosmos”.

Menurut seorang guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
“I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita.”
(“Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit bagi manusia dan mencelakakan kita.”)

Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen yang dipanggil “Pa Jawi”. “Pa Jawi adalah seorang guru pembuat langir (berlangir). Pa Jawi harus menentukan berapa jumlah tumbuh-tumbuhan yang harus dipakai sebagai bahan upacara dan juga mantera-mantera yang diucapkan untuk jeniss penyembuhan yan berbeda pula. Untuk membuat pangir seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan bahan-bahan seperti; jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat buah, daun-daunan tertetnu seperti besi-besi, sangka sempilet, kalinjuhang dan lain-lain, juga beberapa ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Karo disebut buku-buku, seperti; ruas tebu, ruas batang bambu, ruas batang jagung dan lain-lain. Dimana pemilihan jenis tumbuhan ini disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang secara simbolik dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat tumbuhan itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali keseimbangannya dan sembuh dari penyakit.

Pa Jawi mengatakan bahwa:
“si sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka si ban pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana, banci idahna ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin atena, pemindona makana ia engganggui, adi enggo si eteh, maka si ban pangirna, bereken kai si i pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca bage e maka si sakit pe malem ka lah ia, malem pinakit”.
(Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa yang sakit, lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat melihat mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus itu, ditanya apa kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah diketahui lalu dibuatkan pangir untuk si pasien dan dipenuhi permintaan mahluk halus itu, jika demikian, maka sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh)

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit atau keadaan tidak seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian tahap berikutnya menentukan jenis upacara penyembuhan dan pengobatan; jenis obat dan jenis mantera yang diperlukan.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa sebutan untuk jenis guru, seperti; guru tua dan guru si nguda/ guru sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik dengan perhitungan waktu, arah dan tempat), guru nendung (peramal dengan bertanya pada roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru si erkata kerahung/ guru perseka-seka, yaitu seseorang yang memiliki suara siulan di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si dua lapis pernin matana (seseorang yang dapat melihat roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang yang disertai dan dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan penyembuhan dan upacara-upacara ritual), guru si baso (seseorang yang dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya sehingga kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang telah meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya sebagai medium (perantara) untuk berbicara dengan kearabt-kerabat yang masih hidup, guru perseluken (seseorang yang ahli mengundang roh-roh gaib memasuki tubuh orang lain sehingga kemasukan), guru nabas (seorang ahli mantera), guru permag-mag ( seseorang yang ahli dalam penyampaian doa melalui nyanyian), guru pertapa (pertapa), guru pertawar (penyembuh dengan ramuan obat-obatan), guru perbegu ganjang (pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli guna-guna atau peamu racun), guru baba-baban (ahli jimat isebut juga guru perberkaten), guru si majak panteken (ahli membuat pangir/langir baik sebagai obat penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru ini mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat).

SIAPA MENJADI GURU
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika paroses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertenu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga.

Mengingat setiap guru harus mempunyai apa yang disebut dengan jenujung (junjungan) yaitu roh gaib pelindung/pnolong, maka orang-orang yang kelahirannya istimewa saja yang dapat mempunyai jenujung. Jenujung ini diyakini berasal dari benua datas (dunia atas). Junjungan ini dianggap memiliki kemampuan gaib yang dapat melindungi para guru dan membantunya dalam praktek-praktek penyembuhan ataupun pengobatan. Junjungan ini diyakini pula dapat melindungi para guru dari niat jahat orang lain terhadapnya yang hendak mencelakakanya.

Beberapa ciri tanda kelahiran yang dianggap istimewa seperti; janin yang dililit oleh tali pusar, leher janin terbungkus oleh selaput pembungkus janin, dan lain-lain. Sementara itu, beberapa ciri fisik bawaan dari lahir yang juga dianggap sebagai hal istimewa adalah; jumlah gigi seri yang hanya dua buah, jumlah jari kaki ataupun tangannya lebih banyak dari orang biasa, adanya daging tumbuh pada daerah tertentu di tubuhnya. Tetapi hal ini tidaklah selalu harus ada pada setiap guru secara mutlak.

Keahlian dapat pula dimiliki melalui belajar, bertapa, keturunan, atau atas kehendak roh-roh gaib melalui peristiwa mimpi, didatangi roah gaib keramat dengan jalan kesurupan, tiba-tiba lehernya mengeluarkan suara siulan yang berdesis, atau terlebih dahulu menderita suatu penyakit yang disebabkan oleh roh-roh gaib, lalu setelah sembuh diadakan suatu upacara untuk meresmikan roh gaib keramat tersebut menjdi jenujungnya (junjungan). Setelah peresmian menjadi junjungan ini, maka seseorang sudah menjadi guru dan dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit ataupun mampu mengundfang roh-roh gaib lainnya. Seeorang dapat pula menolak menjadi guru walaupun dia bermimpi didatangi roh-roh gaib yang meyuruhnya menjadi seorang guru. Penolakan ini juga harus dilakukan melalui suatu upacara ritual, sama halnya dengan penerimaan menjadi guru yang juga harus dilakukan melalui suatu ritual yang disebut petampeken jenujung. Ritual petampeken jenujung atau penolakan jenujung ini dapat dilakukan oleh jenis guru yang disebut dengan guru si baso. Guru si baso ini cenderung terdiri dari kaum wanita.


Sumber:
http://silima-merga.blogspot.com/2012/02/guru-tabib-dalam-masyarakat-karo.html

No comments:

Post a Comment