Pages

Friday, May 4, 2012

Utusan Damai di Kemelut Perang


Utusan Damai di Kemelut Perang

Agama yang dianut oleh suatu suku bangsa berkaitan erat dengan sejarah bangsa tersebut. Suku Batak misalnya, sebagian besar beragama Kristen Protestan, sedangkan suku Minang dan Aceh beragama Islam. Bagaimana bisa demikian, padahal ketiganya berdekatan?
Buku ini tidak saja menguraikan sejarah penyebaran agama Kristen di Sumatera Utara oleh Misi Protestan Jerman pada tahun 1860 – 1897, namun juga ideologi yang mendasari misi tersebut dan hubungan antara zending dengan pemerintah kolonial, yang saling mendukung satu sama lain.
Jerman tidak memiliki jajahan di wilayah Nusantara, namun mengirim misionaris ke wilayah tersebut. Mengapa?
Setelah Perang Padri berakhir pada 1837, Belanda memperluas wilayahnya ke Barus, Tapus dan Singkil, namun belum sampai ke Tanah Batak. Meskipun demikian, Belanda ingin mengetahui kondisi di wilayah tersebut, sehingga dikirimlah F.W. Junghuhn untuk melakuka penelitian pada tahun 1840. Junghuhn – seorang pemikir bebas yang anti Kristen – menyarankan agar dilakukan penginjilan seperlunya di Tanah Batak, antara lain untuk mencegah mereka menjadi Islam, dengan harapan apabila mereka memiliki agama yang sama tidak akan melawan pemerintah kolonial. Selanjutnya lembaga alkitab Belanda (NBG) mengirim Van der Tuuk – seorang ateis - untuk menerjemahkan alkitab dalam bahasa Toba pada tahun 1851, dilanjutkan dengan penginjilan oleh H.W. Witteveen pada tahun 1859.
Penginjilan oleh misionaris Jerman yaitu Rheinische Missiongesellschaft (RMG) dimulai sesudah sembilan misionarisnya terbunuh dalam Perang Banjar. Direktur RMG yang berkunjung ke Amsterdam untuk menjajaki pemindahan misionarisnya dari Kalimantan tertarik untuk bekerja sama setelah melihat terjemahan injil Van der Tuuk di kantor NBG. Demikianlah, maka pada bulan Oktober 1861 dikirim tiga misionaris dari RMG ke Bunga Bondar, Sipirok dan Pangaloan, menyusul tiga misionaris Belanda yang telah ada sebelumnya. Setelah ini Nommensen, misionaris paling berhasil yang dianggap pendiri HKBP, turut bergabung.
Penulis buku ini berusaha mengungkapkan, bahwa tujuan dan aktivitas zending ini tidak sungguh-sungguh mulia atau sejalan dengan perjuangan bangsa. Untuk itu diuraikan ideologi yang mendasari RMG (dan Eropa pada umumnya) pada waktu itu terhadap bangsa kulit berwarna, yaitu rasisme dan nasionalisme, yang menganggap semua bangsa non kulit putih primitif, malas, kafir dan lebih rendah sehingga harus dikuasai dan dididik oleh bangsa kulit putih yang lebih unggul dalam segalanya melalui penginjilan dan kolonialisme. Yang menarik, laporan dari peneliti Belanda menyebutkan bahwa bangsa Batak lebih mirip bangsa Eropa dibandingkan bangsa Melayu lainnya. Meskipun demikian, karena mereka menganggap semua yang dimiliki pribumi primitif, maka kebudayaan asli berusaha dilenyapkan, sehingga tarian atau alat musik tradisional Batak pun dilarang. Sebagaimana kita ketahui, hal ini terjadi di seluruh dunia terhadap semua suku bangsa yang mendapat penginjilan.
Perjuangan Singamangaraja untuk mempertahankan kemerdekaan Tanah Batak juga tidak sejalan dengan aktivitas zending yang ternyata mendukung penaklukan Belanda atas wilayah Toba pada tahun 1878.
Untuk mendukung pernyataan di atas, penulis meneliti surat-surat asli para misionaris yang berasal dari laporan rutin mereka kepada RMG, termasuk surat Nommensen pada saat terjadi Perang Toba. Pihak zending pada umumnya merasa lebih aman apabila melakukan misi di daerah yang telah dikuasai atau ditaklukkan oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka sering menyarankan pemerintah untuk segera menguasai daerah-daerah tersebut. Dalam perang Toba bahkan mereka berperan sebagai penghubung kedua belah pihak, antara lain mendekati pihak pribumi agar tunduk kepada Belanda apabila ingin selamat dan tidak mencegah Belanda untuk melakukan pembakaran atas kampung-kampung yang melawan penaklukan.
Uraian penulis mungkin kurang menyenangkan untuk diterima bagi mereka yang selama ini menganggap zending dan para misionaris hanya memiliki kebaikan semata, sehingga penulis sejarah lainnya tidak menyinggung keterlibatan zending sebagai partner pemerintah kolonial. Oleh karena itu buku ini juga merupakan kritik terhadap buku mengenai perjuangan Singamangaraja, misalnya, yang tidak menyebut peran zending dalam membantu penaklukan wilayah Toba. Meskipun demikian penulis juga mengakui bahwa berkat zending, yang banyak mendirikan sekolah di Tanah Batak dan juga pemerintah kolonial yang membangun infrastruktur, maka suku Batak mendapatkan pendidikan dan kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dari rekan sebangsanya di Jawa.
Membaca buku ini akan menambah pengetahuan kita tentang sebagian sejarah Sumatera Utara yang cukup menarik, yang diuraikan dengan ringkas dan jelas, antara lain disertai dengan terjemahan beberapa surat para misionaris saat perang Toba.
Penulis buku ini, Profesor Uli Kozok adalah ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawaii.
______________________________
Judul : Utusan Damai di Kemelut Perang – Peran Zending dalam Perang Toba
Pengarang : Uli Kozok
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor, Jakarta
Tahun : 2010, Desember
Tebal : 210 hal

Sumber:

No comments:

Post a Comment