Pages

Thursday, May 17, 2012

PEMBEBASAN BUDAYA KARO

PEMBEBASAN BUDAYA KARO

Tulisan ini untuk menyambut Musyawarah Nasional Himpunan Masyarakat Karo
Indonesia (HMKI) di Hotel Sibayak Brastagi, 19-20 Juni 2006.
Diperuntukkan sebagai visi Karo dan Kekaroan dalam Gerakan Moral
Kebudayaan Karo (GMKK).
Selain di berbagai mailing list, tulisan ini juga dapat disimak di
www.tanahkaro.com di kolom Joey Bangun.

Sebuah Pidato Kebudayaan!

Pembebasan Budaya Karo

Oleh Joey Bangun
(Penulis adalah Budayawan Karo)

Tulisan ini didekasikan pada orang yang menganggap Karo adalah Batak Karo.
A. PERADABAN KARO Peradaban sama dengan bahasa Inggris yang disebut
civilization. Maka untuk merumuskan istilah peradaban, kita meminjam
pengertian yang sudah berkembang dalam ilmu pengetahuan mengenai
civilization.

Menurut Encyclopedia American, pengertian civilization telah berkembang
sesuai dengan perkembangan sifat manusia dan pengendalian diri. Dalam abad
ke 20 konsep ilmu antropologi tentang kebudayaan, yaitu jumlah keseluruhan
perilaku manusia sebagai hasil pelajaran (learned behavior, yang berbeda
dari instinctive behavior) yang memperkuat pertumbuhan manusia dalam
penguasaan pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai
prilaku yang lebih luhur.

Secara lain kita dapat menyimpulkan suku Karo sebagai salah satu etnik
lahir dari penyatuan perilaku manusia yang bertumbuh sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dalam bertingkah laku untuk mencapai keluhuran
peradaban.

Leonardo Da Vinci, seniman dan manusia renaisans Eropa, adalah contoh
utama, betapa di zaman itu kesenimanan dan keilmuan, serta keahlian
teknologi dapat menyatu dalam diri seorang anak manusia, jika potensi rasa
(pengamatan empiris, intuisi, imajinasi, kreativitas) dengan daya pikir
(pengamatan empiris, analisis, mengembangkan teori) tidak tersendat dan
terkukung seperti yang cukup lama terjadi pada manusia Indonesia (Baca :
manusia Karo) sejak masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi
yang justru menjerumuskan kebudayaan ke titik keprihatinan. Leonardo Da
Vinci beruntung hidup di zaman renaisans Eropa yang membuka lingkungan baru
bagi berkembangnya kreativitas manusia di zaman itu di Eropa termasuk
peradabannya.

Seorang penulis bernama Dan Brown yang telah kaya dengan imajinasi Da
Vinci Codenya justru telah salah mengejawantahkan maksud-maksud dari
kemurnian karya seni Da Vinci itu sendiri. Dan Brown tidak menyadari dengan
imajinasi kolektifnya tentang karya seni Leonardo Da Vinci telah menyeretnya
pada pemahaman yang salah tentang makna Opus Dei dan Holy Grail.

Problematika yang diangkat seolah menghantam peradaban yang telah
berlangsung berabad-abad. Hal ini membuat kita harus mengkaji lagi
perspektif sejauh mana keberadaan karya Da Vinci dan pengaruhnya dengan
perkembangan kebudayaan dan perdababan. Adakah kebohongan dibalik semuanya.
Leonardo Da Vinci seolah mengingatkan kita kembali untuk menggali lagi
kebenaran akan akar dari peradaban kita. Kebudayaan Karo diungkit-ungkit
kembali hubungannya dengan kebudayaan Batak (Baca : Toba). Adakah kebenaran
dibalik pengkaitan dua etnik yang secara peradaban berbeda itu?

B. CIKAL BAKAL KARO
Dibanding dengan propinsi lain di Indonesia, Sumatera Utara memang unik.
Disana ada tujuh suku berdiam berdasarkan pengelompokkan geografis dan
etnis, Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing, Melayu dan Nias. Lalu
kemudian ditambah lagi dengan sebuah suku yang secara resmi tidak ada
pengakuan keaslian yaitu Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Tapi mengapa dengan mudah saja kita mengatakan kalau 5 suku pertama yang
tersebut diatas tergabung dalam satu nama yaitu Batak. Tapi kenapa tidak ada
Batak Melayu atau Batak Nias yang secara geografis masih satu daerah.

Di dalam buku Leluhur, marga-marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan
Legenda, Drs. Richard Sinaga menulis bahwa semua etnis Batak berasal dari
keturunan Raja Batak yang merupakan cikal bakal suku Batak yang akhirnya
berkembang menjadi etnis Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan
Mandailing, bahkan etnis Nias juga disebutkan punya keterkaitan dengan
Batak. Untuk suku Karo, beliau menulis konon dua anak laki-laki Raja
Isumbaon yaitu Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang pergi merantau ke Dairi
lalu ke Tanah Karo. Mereka itulah generasi Nini Karo yang merupakan cikal
bakal suku Karo.

Kesimpulan yang diambil Richard Sinaga justru telah bertentangan dengan
konsep ilmu Antropologi tentang peradaban kebudayaan yang disebutkan diatas.
Nyaris semua ahli sejarah Karo akan cepat menyangkal apa yang dikatakan
Sinaga.

Rita Smith Kipp menulis, julukan Batak dibuat oleh kolonial Belanda untuk
membedakan antara mereka yang belum beragama (epithet in origin) dengan suku
Melayu yang telah menjadi Muslim. Tetapi menurut orang Melayu julukan Batak
ini justru negatif yaitu orang yang masih terbelakang (primitif) yang makan
anjing dan babi. Hal ini mungkin saja adanya pengaruh pola politik pecah
belah (devide et impera) dari kolonial untuk membedakan etnis dengan tujuan
tertentu yang berkaitan dengan imperialisme.

Menurut Budayawan Karo Darwan Prinst, di dalam legenda suku Karo dikatakan
bahwa sebuah kerajaan besar bernama Haru pernah berdiri di Sumatera.
Kerajaan Haru inilah yang menjadi cikal bakal suku Karo.

Tengku Lukman Sinar seorang sejarahwan Sumatera Utara dalam makalahnya
pada Kongres Kebudayaan Karo 1995 di Brastagi menampilkan bukti-bukti bahwa
Deli Tua adalah ibukota Kerajaan Haru. Adapun bukti-bukti itu ialah Hikayat
Aceh, W. Marsden Histrory of Sumatra, Tabal Mahkota Asahan, Negara
Kertagama, John Anderson, Bustanussalatin, Peta Kuno dan Wan Sulong Bahar
Barus. Kesimpulan makalah Tengku Lukman Sinar itu menunjukkan cikal bakal
suku Karo dari eksistensi kerajaan Haru.

Belum lagi pengaruh-pengaruh imigran India (Hindu) yang datang. Beberapa
bukti kebudayaan Karo dalam pengaruh Hindu adalah nama Sembiring Singombak
yang banyak berasal dari klan India contohnya Brahmana, Colia, Depari,
Meliala dan sebagainya. Upacara agama pemena dan kepercayan filosofi agama
sangat berhubungan dengan Hindu. Seperti Kerja Mbelin Paka Waluh dan
Erkiker.

Beberapa sub Merga diakui datang dari beberapa daerah seperti Dairi, Toba,
Simalungun. Hal ini terlihat dari adanya kemiripan merga. Tapi pendatang
beradaptasi dengan peradaban yang sudah ada. Bukan malah mempengaruhi
peradaban dan menjadi ispirator peradaban itu.

Jadi darimanakah datangnya Karo itu? Berbagai versi telah muncul seperti
layaknya versi diatas. Seorang Antropolog Karo pernah mengatakan pada saya,
seratus tahun lagi mungkin ada ahli sejarah Karo yang mengatakan kalau suku
Karo berasal dari Amerika. Karena nama saya Joey Bangun sesuai ejaan
Amerika. Teoritis antropologi yang sempurna.

Jadi penyimpulan terhadap suatu etnis (baca : Peradaban Karo) ini tidak
bisa terburu-buru ataupun dengan sederhana tanpa menggali lebih lagi. Suatu
kesimpulan-kesimpulan kerdil yang muncul akan mengguratkan
perbedaan-perbedaan tentang asal muasal. Justru hal ini akan menjadi
penghalang bagi kita untuk mengembangkan kebudayaan yang telah mengantar
kita pada titik peradaban saat ini.

C. EKSISTENSI KARO
Pernahkah ada yang menyadari sebelum pendudukan kolonialiasme di tahun
1866 di Sumatera Timur tidak ada yang menyebut Karo sebagai Batak Karo?
Saya menyimpulkan apa yang dikatakan Rita Smith Kipp dalam bukunya The
Early Years of A Dutch Colonial Mission The Karo Field adalah benar.
Penamaan Batak pada Karo adalah istilah untuk menyatukan suku-suku yang
belum beragama ketika itu selain Melayu (Islam).

Mulailah terlihat eksistensi penamaan Batak Karo pada masyarakat Karo.
Penegasan itu semakin terlihat ketika Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
sebagai komunitas masyarakat Karo terbesar tetap eksis memakai nama itu
tersebut hingga kini. Padahal nama itu merupakan warisan Belanda yang
seharusnya sudah ditanggalkan sejak dulu.

Budayawan Karo seperti Masri Singarimbun, Henry Guntur Tarigan bahkan
sampai Roberto Bangun pernah mempersoalkan ini pada Moderamen GBKP. Tapi
nama GBKP sepertinya sudah merakyat dan kalau diganti menjadi GKP (Gereja
Karo Protestan) sudah ada pula yang memakainya yaitu Gereja Kristen Pasundan
(GKP).

Jadi tidak ada kata mufakat untuk itu. Biarlah Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) hanya sekedar nama yang lama yang sudah merakyat tapi sama sekali
tidak mencampuradukkan keterkaitan Batak dalam eksistensi masyarakat Karo
pada GBKP. Dan hampir semua jemaat GBKP mengakui hal ini.

Tanah Karo yang subur itu telah menyeret masyarakatnya pada pola
kolegalitas. Superior etnik pun secara tidak langsung muncul. Contohnya, di
masa dulu sekitar tahun 1960an ke bawah masih ada sebutan, "Lit Tebandu?".
Suatu sebutan untuk orang Batak (baca : Toba) sebagai aron yang menunggui
ladang. Hal ini menyiratkan saat itu Karo adalah tuan tanah sedangkan orang
Toba adalah pekerja tanah yang digaji. Kita bisa bayangkan perekonomian Karo
dibanding Toba ketika itu. Saat ini era diatas 1960an muncul lagi istilah,
"Lit Jawandu?". Sebutan ini kembali lahir untuk menunjukkan orang Jawa
sebagai pekerja yang mengolah tanah orang Karo. Hal ini pula yang secara
tidak langsung disebut Superior Etnik.

Selama 7 tahun saya tinggal di tanah orang Sunda. Pola hidup masyarakat
Sunda hampir sama dengan masyarakat Karo. Hidup di tanah yang subur,
bercuaca dingin, kreatifitas tinggi dan pola kekerabatan yang kental pada
kolegalitas. Seperti orang Karo, orang Sunda tidak mau dikatakan orang Jawa
padahal sebetulnya tinggal di pulau Jawa. Malah mereka menganggap remeh
orang Jawa. Terlihat dari pandangan mereka bagi kaum pendatang yang datang
ke tanah mereka. Mereka akan mengukung diri pada kolegalitas.
Tapi apakah kolegalitas bersifat positif? Dalam mengkaji pola kekerabatan
etnik hal ini tentu mempererat dan menjaga pola tradisi sosialisasi etnik
tersebut secara turun temurun.

Sedang sisi negatifnya justru hal ini mengukung kita dalam menerima
perkembangan dari luar. Bahkan hal ini menuntun kita pada pola percaya tidak
percaya. Yakni mempercayai sesuatu jika sudah melihat terlebih dahulu.
Akhirnya memendam kita pada kepercayaan diri untuk berkembang. Tidak apa,
hal ini memang membuat kita tidak berkembang secara kelompok. Tapi malah
kita sudah lahir dengan jiwa single fighter. Jiwa kepribadian orang Karo ini
yang membuat dia merantau kemana saja akan berhasil.

Kembali ke persoalan Batak. Di masa modern ini kita masih terkukung
dengan warisan kolonialisme yang membutakan kita pada peradaban tempo dulu.
Sebagai contoh orang Karo merasa mereka masih menyimpan kemurnian budayanya.
Berbeda dengan Simalungun atau Pak-pak yang budayanya terintimidasi dengan
budaya Toba. Sehingga kadang mereka tidak menolak kalau dikatakan Batak.
Bahkan katakanlah Mandailing, mereka sudah bersatu dengan etnis yang disebut
Tapanuli.

Jadi kekecewaan masyarakat Karo bisa dikatakan sudah memuncak. Apa sebab?
Imbasnya pada kata Batak ini. Misalnya saja, jika ada orang Batak bikin ulah
maka secara langsung Karo akan kena getahnya. Karena sudah ada kesimpulan
Karo merupakan bagian dari Batak. Malah jika ada orang Karo yang berhasil di
bidangnya, orang Batak memonopoli kalau hal ini adalah keberhasilan Batak.
Hal ini sangat merugikan Karo. Sehingga jika ada orang Batak yang berhasil
di bidangnya, orang Karo tidak terlalu bangga dan malah adem ayem saja. Toh
itukan Batak bukan Karo. Akhirnya orang Indonesia dengan mudah mengatakan
kalau Sumatera Utara adalah orang Batak.

Monopoli Batak ini terlihat di harian Waspada yang suatu hari yang
mengatakan kalau Guru Patimpus Sembiring Pelawi pendiri kota Medan adalah
keturunan Raja Batak. Penulisnya dengan mudah mencoreng-moreng silsilah
tanpa mengikutkan orang Karo sebagai penyimpulnya. Jangan-jangan Pa Garamata
(Kiras Bangun), pahlawan nasional dari Karo nantinya akan dikatakan dari
Batak.

Saya jadi teringat kuan-kuanen Batak sama dengan Inggris. Negara Superior
yang menganggap dirinya lebih unggul dibanding negara mana saja. Sehingga
adanya pemaksaan bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional. Bahkan
Skotlandia, Wales, Irlandia, negara sekitarnya dipaksa untuk bersatu dalam
nama Great Britain. Belum lagi mereka menganggap negara-negara pesemakmuran
merupakan bagian dari mereka.

Monopoli kata Batak ini telah melahirkan suku Karo pada dilematisasi.
Malah generasi muda Karo yang sudah sampai titik jenuh diombang-ambing lalu
dengan mudah menarik kesimpulan begitu saja tanpa mengerti arti sejarah dan
peradaban itu sendiri.

Hal inilah perlu adanya pembebasan budaya Karo pada titik dimana pengakuan
jati diri sebagai Karo. Karo adalah Karo. Batak adalah Batak. Peradaban
sudah berbeda. Biarlah kebudayaan Karo bebas mengembangkan citra dirinya
dalam tahap yang lebih berarti lagi,
Kesemrautan kebudayaan ini telah membuat kita pada perdebatan yang tidak
berujung. Walau saya sudah masuk ke dalam kesemrautan ini, kiranya tulisan
ini bisa meluruskan pola pikir kita semua sebagai generasi muda Karo.

Kalau hal ini semua dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin, dengan
berkat Tuhan Yang Maha Esa kita dapat menyaksikan hadirnya peradaban Karo
diantara peradaban lain. Bukan lagi peradaban Batak.
Pembebasan budaya Karo ini telah mengantar kita pulang pada kemurnian
peradaban kita yaitu peradaban Karo.

Bukalah matamu hai kawan
janganlah terlena dalam keremangan
kita punya nalar dan pikiran
juga keagungan peradaban

(Joey Bangun, Penyair)

Bujur ras Mejuah-juah kita kerina!

Cempaka Putih, 19 Juni 2006
Pkl 23.23 WIB
Ditulis ketika Ukraina vs Saudi Arabia




Sumber:
http://dir.groups.yahoo.com/group/gbkp/message/3064

No comments:

Post a Comment