Pages

Friday, May 4, 2012

Kristenisasi Dan Kolonialisme Di Batak


PENDAHULUAN
Relasi antara kristenisasi dan kolonialisme Belanda telah lama bergulir menjadi perbincangan serius di kalangan peminat sejarah pekabaran Injil di Indonesia.  Kenyataan ini membuat pihak Kristen, termasuk Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), hari ini merasa bahwa hal tersebut merupakan beban sejarah.[1] Di satu sisi banyak penulis yang berusaha mengungkapkan kaitan keduanya sebagai semacam simbiosis mutualisme, sementara di pihak lain berupaya menegasikannya.
W.B. Sidjabat, akademisi Kristen, menegaskan bahwa misi penginjilan sama sekali terlepas dari kolonialisme. Ia berargumen bahwa tujuan Belanda sangat berbeda dengan maksud bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis ke dunia Timur memiliki 2 (dua) tugas yaitu berdagang dan sekaligus menyebarkan agama Kristen. Sementara niat Belanda hanya untuk berdagang. Sebagai penguat argumentasi, Sidjabat memperlihatkan bukti kasus berupa kasus pengusiran orang Portugis dan Spanyol oleh Hideyoshi dari Jepang pada tahun 1595. Sikap Hideyoshi ini dilatarbelakangi oleh tindakan orang Portugis dan Spanyol yang berusaha menyebarkan Kristen di Jepang. Sementara orang Belanda, menurut Sidjabat, diterima baik oleh Jepang pada tahun 1600, sebab hanya bermaksud berdagang dan bukan menyebarkan agama Kristen.[2] Contoh yang digunakan oleh Sidjabat ini tidak tidak cukup kuat untuk mendukung gagasannya. Orang-orang Belanda justru membuktikan bahwa mereka tidak berbeda dengan bangsa Spanyol maupun Portugis. Belanda juga mengalami nasib serupa, diusir dari Jepang akibat menyebarkan agama Kristen.[3]
Terkait Pekabaran Bible di Tanah Batak, W.B. Sidjabat mengarahkan bahwa para pejuang Batak yang mengambil sikap anti-kolonialis tidak pernah memiliki “masalah” dengan para zending. Sidjabat membuat sebuah imaginasi bahwa sejak Sisingamangaraja X hingga XII senantiasa memelihara hubungan baik dengan para misionaris asing tersebut.[4] Tulisan W.B. Sidjabat ini sejatinya adalah upaya menyelamatkan wajah zending dari konklusi yang mengarahkan kepada adanya relasi antara misionarisme dan kolonialisme. Pendekatan yang bersifat hitam putih semacam ini agaknya tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Juga kurang didukung dengan bukti yang berasal dari catatan para penginjil asing itu sendiri yang justru memperlihatkan fakta sebaliknya.
“BATAK” DAN EVASIVE IDENTITY
Berdasarkan kajian etnologi, Daniel Perret, seorang akademisi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Perancis – merupakan salah satu ilmuwan yang berkecimpung mendalami tema ini dengan mengambil lingkup penelitian di Tanah Batak – memperlihatkan bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah “keluarga besar Batak” baru terjadi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan disertasi J. Pardede tahun 1975, sebagaimana disebutkan oleh Perret, mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” merupakan sebuah terminologi baru yang diciptakan oleh pihak asing.[5]
Perret menyebutkan bahwa perbedaan antara “Batak” dan “Melayu”, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan para penulis, hanya terletak pada faktor kanibalisme.[6] Dalam literatur sekitar tahun 1290-an, Marcopolo menyebutkan bahwa Kerajaan Ferlec (Perlak), wilayah Aceh bagian Timur, belum lama menjadi penganut Islam. Rakyat kerajaan ini sebelumnya merupakan para penyembah berhala. Hal ini hanya berlaku bagi penduduk yang tinggal diperkotaan. Namun penduduk yang tinggal di wilayah lebih pedalaman di Sumatera bagian Utara masih hidup seperti binatang. Marcopolo mengambarkan bahwa mereka memakan daging apa pun baik dalam keadaan bersih maupun kotor, termasuk daging manusia.[7]
Friedrich Martin Schnitger, sarjana ilmu Purbakala dalam penelitiannya pada 1935 di sebuah Candi di Padang Lawas, Batak sebelah Selatan, mengungkapkan bahwa keberadaan Agama Hindhu-Budha dari sekte Bhairawa turut mempengaruhi kanibalisme di “tanah Batak”. Candi-candi tersebut dibangun secara tidak serentak selama masa antara abad XXI sampai XXIV.[8] Pemujaan kaum Bhairawa ini dilakukan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka, sebab bau tersebut disetarakan dengan wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka. Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula. Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah tulang rusuk bagian bawah. Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulangkali. Sang pendeta yang mengalami kondisi trance kemudian menari-nari sambil bersuara histeris. Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi ritual persetubuhan dengan para perempuan.[9] Secara rinci ritual ini meliputi perilaku antara lain bersemadi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng[10] serta termasuk persetubuhan.
Nicolo de’ Conti yang pernah tinggal di kota Samudra (Sumatra) pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama tempat “Batech” yang dikaitkan dengan sebuah populasi yang bersifat kanibal dan gemar berperang. Keberadaan bangsa kanibal ini telah diketahui sejak abad II M, melalui tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan bahwa bagian utara Sumatra merupakan daerah yang dihuni masyarakat pemakan manusia. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga awal abad XX.[11]
Oleh karena itulah, awalnya sebutan nama  “Batak” awalnya dianggap sebagai sebuah penghinaan bagi penduduk setempat. Nama “Batak” tidak dipakai oleh orang setempat ketika berbicara tentang diri mereka sendiri. Kata ini menjadi semacamevasive identity yang secara umum digunakan untuk menunjuk “orang lain” atau untuk memperlihatkan sebuah kategori yang meliputi pemakan babi darimanapun asalnya.[12] Van der Tuuk, ahli Bahasa yang bekerja untuk Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), dalam suratnya tertanggal 15 November 1855, pernah mengusulkan kepada pengurus NBG agar  istilah “Batak” dan “Melayu” tidak digunakan secara resmi. Usulan ini penyebabnya adalah istilah “Batak” telah berubah menjadi ungkapan yang bersifat makian. Keberadaan ungkapan ini selanjutnya juga menegaskan bahwa orang Melayu yang telah memeluk Islam seolah derajatnya lebih tinggi dari orang yang berada di wilayah yang sekarang disebut “Batak”. Sebagai gantinya van der Tuuk mengusulkan penyebutan seperti “Mandailing”, “Angkola”, dan lain sebagainya.[13]
Daniel Perret mengungkapkan adanya fenomena yang lebih aneh bahwa sebutan “Batak” justru digunakan oleh penduduk dusun untuk  mengidentifikasi para misionaris Belanda dan orang Tiong Hwa, karena alasan yang sama, yaitu mereka memakan babi. Sebutan “Batak” tampaknya juga tidak dapat ditemukan dalam karya sastra era pra-kolonial.[14] Dalam perkembangan waktu selanjutnya istilah “Batak” ini kemudian diterima sebagai sebuah identitas etnis tertentu. Daniel Perret mengungkapkan, setelah keberadaan”orang-orang Batak” diterima oleh orang Barat, kemudian mulailah diciptakanlah batas-batas “Tanah Batak”.[15]
Versi lain tentang arti “Batak” dapat ditemukan dalam buku Riwayat Poeloe Soematrayang ditulis pada 1903 oleh Dja Endar Moeda, tokoh yang mendapat julukan sebagai “Raja Koran Sumatra”. Menurut Dja Endar Moeda, sebagaimana dikutip oleh Baharuddin Aritonang dalam buku Orang Batak Berpuasa, istilah “Batak” memiliki makna “orang yang pandai berkuda”.[16] Pemaknaan istilah yang terakhir ini tentu baru timbul pada era yang lebih belakangan. Sebab jika istilah tersebut sekedar bermakna “ahli berkuda” maka tidak akan menimbulkan evasive identity, sebuah identitas yang pada masa lalu justru sedapat mungkin dihindari.
Berdasarkan kajian etnografi yang dilakukan oleh Daniel Perret di atas, dapat dikemukakan sebuah benang merah bahwa istilah “Batak” merupakan identitas yang sengaja diciptakan pada sekitar era kolonialisme di daerah Sumatra Utara. Penciptaan istilah yang awalnya “kurang” dikenal oleh etnis setempat ini sangat mungkin memiliki kepentingan yang identik dengan sebuah upaya segregasi sosial. Studi Perret menunjukkan adanya pola dimana istilah “Batak” sengaja dimuncul sebagai pembeda sebuah etnis di Sumatra Utara dengan bangsa Melayu yang identik memeluk Islam. Pertanyaan apakah pemunculan identitas “Batak” ini merupakan bagian dari strategi misionarisme terhadap suatu etnis tertentu, kurang terpotret dengan jelas dalam kajian Daniel Perret. Namun bisa dicermati, bahwa saat ini etnis “Batak” seringkali diidentikkan pula sebagai “etnis Kristen”, meskipun terdapat kenyataan bahwa dari etnis ini juga terdapat kalangan pemeluk agama Islam. Selanjutnya, kita hanya berharap akan muncul kajian lain yang akan mengungkapkan fenomena ini secara lebih jelas.
KEPENTINGAN KOLONIAL
Kehadiran para zendeling di tanah Batak, terutama di dataran tinggi Toba, tidak disetujui oleh Sisingamangaraja XII yang mulai memeritah sejak 1867. Penguasa daerah ini beranggapan bahwa kehadiran mereka merupakan wahana dan alat pemerintah kolonial untuk menganeksasi wilayahnya. Perlawanan Sisingamangaraja selama 30 tahun ditujukan kepada para penginjil dan sekilagus pemerintah kolonial Belanda. Kekhawatiran Sisingamangaraja ini beralasan. Berdasarkan laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Rheinische Missions-Gessellschaft (RMG)[17] yang bergerak di Sumatra dalam majalah Berichte der Rheinische Missions-Gessellshaft(BRMG) tahun 1869 dan 1871, sebagaimana diungkap oleh Uli Kozok, mengungkapkan bahwa ketika Batakmission mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868, para misionaris memanfaatkan kesempatan tersebut dengan membuat pernyataan yang mendukung sepenuhnya aneksasi tanah Batak. Bahkan misionaris Johannsen menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang membawa kesenangan bagi Silindung”.[18]
Pada 1877, empat tahun setelah perang Aceh, Sisingamangaraja XII memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Aceh mengusir para misionaris yang dianggap sebagai pelopor kekuasaan Belanda. Pada Januari 1878 para misionaris diperintahkan segera meninggalkan wilayah Sisingamangaraja. Disebabkan peritiwa inilah maka para misionaris meminta bantuan kepada tentara Belanda. Dalam laporan resmi lembaga penginjilan Jerman Jahresberichte der Rheinischen Missiongessellschaft, sebagaimana dikutip Uli Kozok, para misionaris bukan hanya berperan mendampingi tentara kolonial Belanda namun juga berupaya melemahkan semangat perjuangan rakyat Batak dan sekaligus memuluskan upaya penjajahan di wilayah tersebut. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
“Ekspedisi itu sangat berhasil dan berlangsung dengan sangat cepat pula – dari awal Februari hingga akhir Maret. Ekspedisi itu begitu luar biasa berhasil karena Silindung menjadi pangkalan yang sangat aman [bagi tentara Belanda], dan karena tentara dipandu dan dinasihati oleh para misionaris yang sangat mengetahui masyarakat Batak dan daerahnya. Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan yang lain, yaitu meyakinkan bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri”.[19]
Daniel Perret dalam disertasinya mengungkapkan, berdasarkan masukan dari J.T. Cremer, seorang anggota Tweede Kamer, pengembangan agama Kristen di “Batak” memiliki fungsi yang cukup strategis bagi penguasa kolonial Belanda. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dengan berpindah agama menjadi Kristen, orang “Batak” tidak akan menimbulkan masalah bagi penjajah Kolonial. Berdasarkan latar belakang ini maka keputusan mendirikan misi segera diambil. Apalagi keberadaan Islam yang mulai masuk ke Bataklanden, dirasakan sebagai sebuah potensi bahaya bagi kepentingan penjajah.[20]
Hal yang bisa menjelaskan bahwa Kristenisasi menguntungkan bagi pemerintah Kolonial ini dapat pula dilihat dari beberapa perintis penginjilan seperti Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Menurut Prof. Dr. Uli Kozok, akademisi Jerman yang banyak melakukan penelitian di Sumatra Utara, Junghuhn mungkin merupakan orang pertama yang menganjurkan penginjilan dilakukan di Batak. Menariknya dokter yang tertarik pada dunia botani dan geologi ini merupakan tokoh anti-Kristen dan cukup liberal untuk ukuran orang pada jaman itu. Junghuhn menganjurkan adanya penginjilan sebab ia mencoba “memperkenalkan agama kontra Islam”. Pencegahan agar Islam tidak masuk dan berkembang di Batak merupakan “kebijakan yang teramat penting”.[21]

Tokoh lain yang penting dikemukakan adalahHerman Neubronner van der Tuuk (1824-1894). Sebagai ahli bahasa, ia dipekerjakan oleh Nederlands Bijbelgenootschap (NBG), lembaga bible Belanda, untuk meneliti Bahasa Batak dan menerjemahkan Injil ke Bahasa Toba. Saat mempekerjakannya, NBG telah menyadari sejak awal bahwa Van der Tuuk berpaham atheis. Sikap antipatinya terhadap kekristenan ditujukkan dengan menjuluki para penginjil sebagai “pengobral buku murahan”. Meskipun ia seorang atheis namun ia memiliki kesimpulan yang hampir sama dengan Junghuhn bahwa orang Batak harus dikristenkan untuk membendung pengaruh Islam yang hakikatnya bersifat anti-Belanda.[22]
Manifestasi simbiosis mutualisme antara misionarisme dan kolonialisme semakin ditegaskan oleh sikap pemerintah kolonialis Belanda terhadap penganut dan penganjur agama Islam (da’i). Daniel Perret mengungkapkan bahwa bagi orang Islam, pemerintah Kolonial hanya membebaskan mereka dari kerja paksa di tempat-tempat yang memiliki tempat ibadah saja. Sebagai tambahan Pemerintah Kolonial Belanda juga melarang para mubaligh memasuki kuta Kristen, sementara misionaris Kristen dibiarkan bebas pergi ke daerah kantong-kantong muslim.[23] Hal ini sengaja dilakukan sebagai upaya untuk membendung penyebaran Islam dan memperbanyak kantong-kantong Kristen.
Misionaris terkemuka di Batak adalah Ludwig Ingwer Nommensen. Ia dianggap sebagai semacam “saint” atau “tokoh suci” dan bahkan digelari sebagai “Rasul suku-bangsa Batak” di kalangan orang Batak Protestan.[24] Penginjilannya pertama kali dimulai dari lembah Silindung pada tahun 1862. Tokoh Nommensen ini pernah menjadi salah satu pemimpin tertinggi gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Dalam kancah peran, Nommensen yang mendapat gelar sebagai “rasul” senantiasa menyandang atribut ke-“suci”-annya. Termasuk dalam relasinya dengan pemerintahan Kolonialis Belanda, peran Nommensen diangkat sedemikian rupa sehingga sosoknya terlihat bersih dari noda-noda berdarah penjajahan.
Dr. Ichwan Azhari yang memberikan pengantar buku karya Uli Kozok “Utusan Damai di Kemelut Perang”, tidak kurang menceritakan adanya upaya untuk “membela” reputasi Nommensen. Tulisan Uli Kozok menunjukkan bahwa Nommensen ternyata tidak anti penjajahan dan bahkan mendukungnya sepenuh hati. Melalui surat-suratnya Nommensen mengakui keterlibatannya dalam perang Toba. Ia menyebut dirinya bergabung bersama pasukan Belanda dan turut menumpas perlawanan para pahlawan Batak yang menentang kolonialisme di lembah Silindung. Saat buku Uli Kozok “Utusan Damai” pertama diterbitkan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, pernah digelar diskusi yang menghadirkan Uli Kozok (penulis Buku), Dr. J. Hutauruk (mantan ephorus atau pucuk pimpinan HKBP), dan Limantina Sihaloho (peneliti dari Gereja Kristen Protestan Simalungun atau GKPS). Baik Dr. J. Hutauruk maupun Lamantina Sihaloho tidak meragukan kebenaran dokumen Nommensen yang menjadi dasar bagi penulisan buku Utusan Damai. Lamantina nampak bersikap netral dengan menyatakan agar generasi muda mau meneliti secara kritis terhadap sumber sejarah sejarah baru tanpa harus terbebani dengan hal yang bersifat doktrinatif. Berbeda pandangan dengan Lamantina, Dr. Simanjuntak meragukan otentitas dokumen Nommensen yang digunakan oleh Uli Kozok. Ia beranggapan bahwa penulis buku Utusan Damaitidak menggunakan teks asli tulisan tangan Nommensen, melainkan tulisan Nommensen yang sudah diterbitkan, sehingga tidak menutup kemungkinan pernyataan Nommensen itu telah diedit oleh pihak RMG.[25]
Namun anggapan Dr. J. Hutauruk ini segera terbantah pada penerbitan ulang bukuUtusan Damai. Uli Kozok mengkonfirmasi bahwa semua naskah tulisan tangan Nommensen masih tersimpan rapi di Pusat Arsip RMG yang namanya kini sudah berubah menjadi Pusat Arsip VEM di Wuppertal. Dalam penerbitan edisi buku selanjutnya, Uli Kozok menyertakan bukti-bukti tulisan tangan Nommensen tersebut. Dengan demikian keraguan terhadap otentisitas sumber buku telah terjawab. Artinya, tegas Dr. Ichwan Azhari, “pengakuan Nommensen yang turut terlibat bersama pasukan Belanda menyerang para pejuang Batak yang menentang kolonialisme berasal dari sumber yang otentik”.[26] Dalam perkiraan Dr. Ichwan Azhari arsip dan karya tulis Nommensen dan para misionaris Jerman lainnya selama masa 150 tahun di Sumatra meliputi nominal di atas 100 ribu lembar. Sekumpulan sumber karya ilmiah yang menanti sentuhan untuk dipublikasikan.
Müller Krüger, penulis Kristen, menekankan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama dan pemerintah sendiri baru masuk ke Batak setelah Injil diberitakan selama 11 tahun lamanya.[27] Senada dengan Müller Krüger, W.B. Sidjabat, akademisi Kristen lainnya, menekankan bahwa kebanyakan penginjilan dimulai dari prakarsa pribadi atau kelembagaan misionaris. Individu dan kelembagaan ini bergerak secara mandiri dan bukan bergerak atas inisiatif pribadi atau bukan pula badan milik pemerintah kolonial Belanda. Dalam kasus Tapanuli, menurut Sidjabat, pekerjaan penginjilan diprakarsai oleh RMG dari Jerman.[28]Hingga pada akhirnya tulisan-tulisan Nommensen mengungkapkan fakta yang berseberangan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat defensif tersebut. Penginjilan yang dilakukan atas prakarsa pribadi da organisasi non pemerintah berjalan dengan kesuksesan yang terbatas atau boleh dikatakan kurang berhasil. Perlawanan rakyat pribumi dan sikap antipati pejuang-pejuang kemerdekaan “Batak” menjadi hambatan yang cukup mengganjal. Dengan demikian tidak ada pilihan lain bagi penginjil selain ikut terlibat langsung bersama pemerintah Belanda menumpas para pejuang kemerdekaan di “Batak”.
Usaha memotret keterlibatan penginjil dalam upaya aneksasi “Batak” sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah akademisi maupun rohaniawan Kristen sendiri. Umumnya, upaya-upaya eksploratif ini kalah “pamor” dengan statemen-statemen apologetik yang berusaha menyembunyikan “beban sejarah” penginjilan ini. Sebagai contoh ungkapan salah seorang pemimpin Jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang menyebutkan bahwa pos misi Jerman adalah pos orang Toba untuk menjarah tanah Simalungun. Catatan Christiaan De Jonge, seorang akademisi Kristen, secara lebih lugas menjelaskan pandangan paling mendasar dari penginjil secara umum bahwa pekabaran Injil menyetujui status quo yaitu bercokolnya penjajah Belanda di nusantara, sebab menguntungkan kemajuan gereja.[29]

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Uli Kozok menggarisbawahi bahwa kebanyakan penginjil, baik Katholik maupun protestan, sepenuhnya mendukung kolonialisme dan tidak pernah ada pernyataan menentang kolonialisme baik dari pihak gereja Katholik maupun dari pihak gereja Protestan.[30] Hal ini bukan berarti bahwa penginjil selalu menyetujui tindakan pemerintah kolonial, namun hampir tidak ada sikap anti-kolonialisme dari kalangan mereka. Lebih jelas lagi, tulisan-tulisan Nommensen sebagai pelaku penginjilan menegaskan hal yang sama bahwa penginjilan dan kolonialisme memiliki wujud yang sebangun dalam kepentingan aneksasi terhadap tanah “Batak”.
RASIALISME SEBAGAI MOTIVASI PENGINJIL
            Penyebaran Injil di Indonesia yang dilakukan dimasa lampau oleh orang asing, bagi sejarawan Kristen pribumi selalu digambarkan dengan bahasa-bahasa bercorak slogan. Istilah-istilah yang ada dipilih berdasarkan pertimbangan diksi untuk mengagungkan proses yang berjalan sehingga terlihat mulia. Dapat dijumpai bahwa pekabaran Injil diwartakan sebagai penyebaran “penyebaran berita gembira”, “kedamaian”, “keselamatan”, dan lain sebagainya. Hal yang paling jarang disentuh adalah ideologi primordial yang dimiliki penginjil yang dibawa langsung dari negeri tempat mereka berasal.
Para penginjil pada era ini memang memiliki semangat mengkristenkan dunia timur secara masif dan terencana. Namun fakta telanjang yang kurang mendapat perhatian dinegeri-negeri jajahan asing yang menjadi ladang misionaris adalah ketiadaan persamaan derajat. Tokoh spiritual RMG seperti Ludwig von Rohden (1815-1889) dan Friedrich Fabri (1824-1891) nyatanya termasuk diantara orang terasuki oleh paham yang dominan pada masa itu, yakni rasisme. Terkait hal ini menurut Rohden, meskipun Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak menyebutkan keberadaan Asia Tenggara, ia menciptakan interpretasi bahwa bangsa-bangsa di kawasan ini merupakan keturunan Ham[31] yang menurut Bible ditakdirkan sebagai budak. Rohden berpendapat bahwa warna kulit keturunan Nuh, yang dikenal sebagai “bapak manusia” menentukan derajad dosa yang dipikulnya. Semakin hitam warna kulit suatu bangsa, maka semakin berdosa bangsa tersebut. Ia berkesimpulan bahwa negro yang paling rendah sekalipun, karena warna kulitnya yang hitam, akan berangsur-angsur menjadi berkulit putih apabila menganut Agama Protestan. Hal ini diungkapkan oleh Rohden  sebagai berikut:
Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun temurun menjadi lebih putih”.[32]
Interpretasi Bible sebagaimana dilakukan oleh pimpinan penginjilan semacam Rohden, menurut pi juga Uli Kozok, tidak hanya membenarkan kolonialisme tetapi juga perbudakan. Bangsa kulit putih diposisikan berhak menjajah dan mengeksploitasi bangsa kulit berwarna, termasuk bangsa di nusantara. Penjajahan malah merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam. Uli Kozok menggambarkan bahwa menurut cara pandang ini, salah satu cara mengangkat martabat bangsa yang tekutuk (karena memiliki kulit berwarna) adalah dengan mengkristenkan mereka. Akan tetapi meskipun sudah menjadi Kristen, menurut pendapat ini, bangsa keturunan Ham tetap lebih rendah dari ras Eropa yang menjadi keturunan Yafet.[33]
Pemahaman yang dianut Rohden tidak terlalu berbeda dengan pendapat Fabri. Fabri menganggap bahwa bangsa Batak lebih unggul dari bangsa Melayu. Namun bangsa Batak tetap lebih rendah daripada ras kulit putih karena dosa yang dipikul keturunan Ham abadi dan tidak berkurang kendati mereka sudah memeluk agama Kristen.[34]Selama menjadi Direktur RMG, lembaga penginjilan Jerman, Fabri bahkan tiba pada kesimpulan bahwa penjajahan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengatasi persoalan sosial yang semakin nyata di Jerman. Menurutnya, kepentingan misi hakikatnya sejajar dengan kepentingan penjajah. Oleh karenanya penginjilan harus menjadi alat untuk merintis penjajahan. Teori ini dirumuskan oleh Fabri dalam ceramahnya yang berjudul “Die Bedeutung geordneter politischer Zustände für die Entwicklung der Mission” (Keadaan Politik yang Stabil sebagai faktor Pendukung Penginjilan) pada Sechste Kotinentale Missionkonferenz (Konferensi Penginjilan Eropa Daratan) yang berlansung di Bremen pada 20-23 Mei 1884. Bersama mantan missionaris RMG, C.G. Bütter dan superintendent missionaris Merensky, Fabri menjadi salah satu perintis konsep Penginjilan Kolonial (Koloniale Missionsauffassung). Fabri juga dijuluki sebagai “bapak gerakan kolonial” dan “laba-laba dalam sarang jajahan”. [35]
Bahkan RMG sendiri sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam penginjilan, menurut Uli Kozok, benar-benar terlibat dalam perdagangan senjata dan memasok senjata kepada suku-suku yang bertikai. Termasuk terlibat dalam perdagangan senjata dan amunisi yang terjadi pada tahun 1879-1880, kurun yang sama dengan ketika orang “Batak” yang beragama Kristen dipersenjatai oleh tentara kolonial Belanda untuk menumpas perjuangan Sisingamangaraja.[36]
Pengganti Fabri sebagai direktur RMG, August Schreiber memang berupaya menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Namun ia tetap memiliki keyakinan bahwa perampasan wilayah merupakan sebuah kewajaran. Menurutnya, bangsa pribumi seharusnya bersyukur kepada penjajah. Schreiber sempat mengeluhkan bahwa “sayang sekali hal ini jarang disadari oleh bangsa yang ditaklukkan.”[37]
PENUTUP
Usaha-usaha apologetik untuk memisahkan relasi antara missionarisme dan kolonialisme sedang berlangsung dalam dunia akademis. Pengaruhnya telah masuk dalam kajian bidang sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam kasus yang terjadi di Indonesia, kebanyakan penginjil asing dan sebagian pribumi yang bergerak, sepenuhnya mendukung kolonialisme dan tidak pernah ada pernyataan menentang kolonialisme baik dari pihak gereja Katholik maupun dari pihak gereja Protestan. Sebagaimana pernyataan Uli Kozok, ini bukan berarti bahwa penginjil selalu menyetujui tindakan pemerintah kolonial, namun hampir tidak ada sikap anti-kolonialisme dari kalangan mereka.
Kasus Nommensen merupakan contoh gambaran fakta telanjang. Selama ini ia dianggap sebagai “orang suci” yang telah “membawa damai” bagi tanah Batak. Telah banyak tulisan-tulisan yang memuji perannya dalam aktivitas sebagai penginjil di lembaga penginjilan Jerman (RMG) yang dianggap tidak berkompromi dengan penjajah. Namun melalui pengungkapan terhadap tulisan tanggannya, baru diketahui beberapa masa kemudian bahwa ia telah terlibat dalam proses aneksasi tanah Batak oleh pemerintah kolonial Belanda. Termasuk tidak bisa dinafikan adalah keterlibatannya dalam penumpasan para pejuang Batak. Kadangkala pemerintah kolonial memang bertindak seolah membatasi aktivitas penginjilan. Namun hakikatnya hal ini bersifat pengaturan semata. Bagaimanapun, pemerintah kolonial mendapatkan keuntungan secara langsung maupun tidak langsung dari pribumi yang telah dikristenkan. (susiyanto)
Sukabumi, 5 Agustus 2011
Penulis: Susiyanto
Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com

FOOTNOTE

[1] Lihat Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003). Hal. 7
[2] Lihat artikel Dr. W.B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 23
[3] Belanda melanggar perjanjian untuk tidak menyebarkan agama Kristen di Jepang. Akibatnya, benteng Belanda di pantai selatan Pulau Honsyu, Deshima, dihancurkan oleh Jepang akibat pelanggaran tersebut. Belanda memang masih diperbolehkan berada di Jepang, namun dengan kontrol dan pembatasan yang sangat ketat. Jumlah kapal Belanda yang keluar masuk diawasi. Hubungan Belanda dengan Jepang akhirnya memburuk. Kamp konsentrasi orang Belanda yang ada di Jepang akhirnya dibubarkan pada tahun 1868. Lihat Dri Arbaningsih. Kartini Dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi ”Bangsa”. (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005). Hal. 70-71. Juga Th. Muller Kruger. Sedjarah Geredja di Indonesia. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959). Hal. 30
[4] Lihat Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010). Hal. 102. Sisingamangaraja XII, misalnya, bahkan berusaha menentang masuknya penginjil ke wilayah kekuasaannya karena dianggap sebagai alat penjajahan Belanda. Sisingamangaraja justru menjalin hubungan baik dengan Aceh yang beragama Islam. Lihat Pdt. Dr. Jan S. Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Cetakan II. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2005). Hal. 114
[5] Daniel Perret. Kolonialisme Kolonialisme dan Etnisitas:Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Diterjemahkan dari judul asli La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010). Hal. 22
[6] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 67
[7] Marcopolo. Para Kanibal dan Raja-raja: Sumatera Utara Pada 1290-an. Dalam Anthony Reid (ed.). Sumatera Tempo Doeloe: dari Marcopolo Sampai Tan Malaka.  Diterjemahkan dari Witnesses to Sumatra: A Travelers Anthology oleh Tim Komunitas Bambu. (Komunitas Bambu, Jakarta, 2010). Hal. 6-11
[8] Lihat tulisan Friedrich Schnitger. Reruntuhan Kerajaan Tak Bernama. Dalam Anthony Reid (ed.). Sumatera … Hal. 258. Lihat juga tulisan Ny. Dra. S. Soeleiman.Peninggalan-peninggalan Purbakala di Padang Lawas. Dalam Jurnal AMERTA No. 2. (Dinas Purbakala Republik Indonesia, Jakarta, 1954). Hal. 21
[9] Friedrich Schnitger. Reruntuhan … Hal. 257-258
[10] Ny. Dra. S. Soeleiman. Peninggalan … Hal. 22
[11] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 55-56
[12] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 73
[13] J. L. Swellengrebel. Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara. Jilid I (1820-1900). Hal. 133
[14] Hikayat Deli yang ditulis pada era sekitar seperempat pertama abad XIX, istilah “Batak” sama sekali tidak dipergunakan. Padahal dalam teks tersebut setiap penyebutan nama kelompok-kelompok manusia selalu disebut dengan kata “orang” yang diikuti dengan nama tempat. Dalam Syair Putri Hijau yang pertama kali diterbitkan oleh Rahman tahun 1924, namun telah populer pada masa sebelumnya, istilah “Batak” atau “Melayu” juga tidak ditemukan. Demikian juga dalam Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting yang diterbitkan pada 1927 dan 1930, tidak memuat sebutan “Batak” atau “Karo” dan hanya nama-nama marga saja yang dipergunakan. Kata “Batak” juga tidak dijumpai dalam pustaha Toba maupun Simalungun. Lihat: Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 74-75. Istilah pustaha di “Batak” mengacu pada sebutan untuk buku atau kitab yang dibuat dari kulit kayu. Biasanya sebuah pustahaberisi catatan tentang sihir, ramalan, dan pengobatan serta sedikit diantaranya berbicara tentang sejarah atau legenda. Lihat: Rene Teygeler. Pustaha: A Study into the production process of the Batak Book. Dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) Vol. 149 No. 3. (Leiden, 1993). Hal. 593-594
[15] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 75
[16] Baharuddin Aritonang. Orang Batak Bepuasa. Cetakan II. (PT Gramedia, Jakarta, 2008). Hal. 4-5
[17] Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) didirikan pada tahun 1828 dan berpusat di kota Barmen, Jerman. Sejak tahun 1836 utusan-utusannya bekerja di Kalimantan-Tenggara, tetapi karena pemberontakan suku Dayak pada tahun 1859, RMG mencari lapangan baru. RMG selanjutnya menuai keberhasilan di Batak, Sumatra Utara (1861) dan Pulau Nias (1865). Lantas masuk ke Mentawai (1901) dan Enggano (1903).  Lihat Dr. H. Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja. Cetakan IX. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991). Hal. 311
[18] Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai …. Hal. 21-22. Resistensi terhadap pengaruh Barat, termasuk kolonialisme dan Kristenisasi, juga berpusat pada sosok Sisingamangaraja XII yang melancarkan serangan-serangan terhadap sejumlah markas Belanda. Lihat Anthony Reid (ed.). Sumatera Tempo Doeloe … Hal. 240. Juga Dr. Th. van den End. Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Cetakan III. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 265-266
[19] Lihat dalam laporan Jahresberichte der Rheinischen Missiongessellschaft Tahun 1878 hal. 31 sebagaimana dikutip Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 23
[20] Lihat Daniel Perret. Kolonialisme …. Hal. 260-261
[21] Prof. DR. Uli Kozok. Utusan Damai... Hal. 23
[22] Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 28-29. Terkait pengutusan van der Tuuk sebagai ahli Bahasa dan penterjemah Bible ke Bahasa Batak lihat Th. Müller Krüger.Sedjarah Geredja di Indonesia. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1959). Hal. 181-187. Juga J. L. Swellengrebel. Mengikuti Jejak Leijdecker …. Jilid I (1820-1900). Hal. 125-128
[23] Daniel Perret. Kolonialisme … Hal. 264
[24] Lihat Dr. H. Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar. Sejarah Gereja .. Opcit. Hal. 316. Juga Dr. Ichwan Azhari dalam Kata Pengantar buku Prof. Dr. Uli Kozok. Utusan Damai … Opcit. Hal. 7. Juga Th. Müller Krüger. Sedjarah Geredja … Opcit. Hal. 184
[25] Lihat kata pengantar Dr. Ichwan Azhari dalam Uli Kozok. Utusan Damai … Ibid. Hal. 7-9
[26] Kata Pengantar Dr. Ichwan Azhari dalam Uli Kozok. Utusan Damai … Ibid. Hal. 9-10
[27] Th. Müller Krüger. Sedjarah Geredja … Opcit. Hal. 187
[28] Lihat artikel Dr. W.B. Sidjabat. Latar Belakang … Opcit. Hal.  24
[29] Lihat footnote Martin Lukito Sinaga. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang Jaulung Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun. (PT LkiS, Yogyakarta, 2004). Hal. 62
[30] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 85
[31] Ham merupakan salah satu nama keturunan Nuh menurut Perjanjian Lama, kitab umat Kristen dan sekaligus Yahudi. Dalam kitab Kejadian 9: 18 sampai 29 dikisahkan bahwa Ham (ayah dari Kanaan) melihat ayahnya, Nuh, yang sedang telanjang akibat mabuk lantas memberitahukan kepada kedua saudaranya yaitu Sem dan Yafet. Sem dan Yafet, menutupi tubuh ayahnya tersebut sambil memalingkan muka. Setelah sadar dari mabuknya, Nuh mengetahui perbuatan anak bungsunya (Ham). Nuh kemudian mengucapkan kutukan kepada Kanaan (anak Ham) bahwa ia akan menjadi budak bagi Sem dan Yafet.
[32] Lihat Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 60
[33] Uli Kozok. Utusan Damai …. Hal. 60-61
[34] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 65
[35] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 67
[36] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 70
[37] Uli Kozok. Utusan Damai … Hal. 71-71
Sumber:

No comments:

Post a Comment