Pages

Friday, May 4, 2012

BIARLAH ILMU PENGETAHUAN MENJAWABNYA


BIARLAH ILMU PENGETAHUAN MENJAWABNYA

REP | 30 March 2012 |
“Biarlah Ilmu Pengetahuan yang akan Menjawabnya…”

Selasa Siang (27/3/2012) Ketut Wiradnyana dan Taufiqurrahman Setyawan, dari Balai Arkeologi Medan (Balar) menyelesaikan penelitian mereka di Loyang Mendale. Sebuah ceruk (Rock shelter) di pinggiran Timur Kota Takengon. Berjarak kurang dari 2 kilometer dari pusat kota.

Di Loyang Mendale, Ketut dan rekan-rekannya sesame peneliti, termasuk kepala Balar Medan, mendapatkan banyak temuan tentang masa lalu di Dataran Tinggi Gayo, tentang sebuah kawasan hunian manusia prasejarah yang berusia ditaksir 4400 tahun silam.

“Saya tidak menutup lokasi eksavasi, seperti biasa dilakukan. Saya kuatir, akar-akar pohon sekeliling Loyang (gua) merusak kerangka manusia prasejarah ini. Saya berharap temuan ini segera dicasting. Kerangka aslinya disimpan di museum”, kata Ketut.

Ketut tampak gelisah. Sebagai peneliti arkeolog, temuan Balar pada sepasang kerangka manusia prasejarah dalam satu lubang kubur dan memeluk batu serta ditutupi batu sekelilingnya, mengusik pengetahuannya.

Menurut Ketut, selama melakukan penelitian di Sumatera, dia dan peneliti lainnya belum pernah menemukan kerangka dari masa lalu dalam satu lubang kubur. Secara arkeologi, Ketut belum mendapatkan jawabannya.

Diceritakan Ketut, sepasang kerangka manusia prasejarah itu, seolah sedang tidur dengan santai dan memeluk batu dengan bentuk batu yang dipeluk berbeda antara yang lelaki dan perempuan. Ketut coba membangun argument ilmiah dan menduga-duga berbagai kemungkinan yang terjadi dari masa lalu dengan bukti tinggalan sejarah ini.

Merasa tidak memiliki jawaban atas temuan sepasang kerangka manusia prasejarah di Loyang Mendale, Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah, kabupaten yang berada tepat di jantung Aceh, Ketut mengeluarkan telepon selulernya.

“Halo Prof, Horas, sibuk ngak prof…”, kata Ketut dalam komunikasi itu. Si Profesor yang disebut Ketut, belakangan diketahui adalah Professor, Dr. Harry Truman Simajuntak. Ketut menceriterakan apa yang ditemukannya di Loyang Ujung Karang.

Dijelaskan Ketut, menurut Truman, temuan yang serupa di Loyang Ujung Karang pernah didapat di Gua Harimau Sumatera Selatan. “Di gua harimau pernah ditemukan 17 kerangka oleh peneliti arkeolog. Termasuk kerangka yang berpasangan”, kata Ketut.

Ketut sedikit lega karena menurut Professor Harry Truman, Ketut dan kawan-kawan tidak perlu memaksakan diri mencari jawab atas temuan itu. “Biarkan ilmu pengetahuan yang nanti akan menjawabnya”, kata Truman pada Ketut.

Meski lega atas jawaban Truman, Ketut masih belum tenang. Ketut berharap tinggalan masa lalu prasejarah di Loyang Ujung Karang, segera dibuatkan tiruannya (casting), sementara kerangka aslinya diamankan di museum.

“Di Loyang Ujung Karang akan ditempatkan kerangka duplikat. Sehingga semua orang bisa menjadikan lokasi Loyang Ujung Karang dan Loyang Mendale menjadi kawasan wisata sejarah yang akan sangat menarik”, ulas Ketut.

Masalahnya adalah untuk membuat casting diperlukan dana. Ketut ingin Pemda Aceh Tengah dan DPRK membantu dana. Karena kalau melalui Balar, harus diusulkan dahulu dan menunggu pengesahan dana dari APBN.

Sementara penyelamatan kerangka –kerangka dari prasejarah gayo ini sudah sangat mendesak. Karena Ketut mendapati beberapa kerangka rusak dimakan usia dan akar pohon sekitar Loyang. Selain itu, Ketut melalui Balar juga akan melakukan analisa carbon guna mengetahui umur sepasang kerangka prasejarah ini .

Sebelumnya, menurut peneliti senior Ketut Wiradnyana, hasil eksavasi di dua gua (Loyang—bahasa gayo) Ujung Karang dan Mendale yang letaknya tidak berjauhan dari dekat dengan pinggir Danau Luttawar, ternyata usianya lebih tua dari situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat.

Temuan ini, papar Ketut , membuktikan bahwa jalur migrasi austronesia ke Indonesia, bukan melalui jalur timur yang selama ini menjadi teori para ahli arkeolog. Namun dimulai dari jalur barat.

“Hasil penelitian selama ini menunjukkan sebuah teori arkeologi gerabah berpolos merah berusia 3.600 tahun lalu di situs Minanga Sipakko merupakan temuan tertua. Dari itu diprediksi wilayah timur, Thailand, Filipina dan Sulawesi, merupakan jalur masuk budaya astronesia ke Indonesia.” Sebut Ketut.

Namun katanya, atas temuan kerangka dan fosil lainnya di Loyang Ujung Karang , Aceh Tengah, ditaksir berusia 4.400 tahun lalu dapat merubah teori tentang jalur migrasi manusia prasejarah di Indonesia.

Sementara, dia juga menjelaskan, melihat usia dan budaya manusia prasejarah di Ujung Karang, memungkinkan etnis Gayo dan Batak Karo merupakan satu turunan. Hal itu setelah ditemukannya tehnis penguburan skunder di Gayo (baca:mangokoli ritual suku penguburan Batak Karo).Dia katakan, bukti lainnya suku Gayo lebih tua dari Batak Karo maupun toba, setelah ditemukannya hutan belantara di daerah Pak-Pak yang berusia 6000 tahun lalu yang belum tersentuh manusia. Artinya pada masa 3.500-4.400 tahun lalu belum ada aktifitas manusia prasejarah di sekitar Danau Samosir.


Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2012/03/30/biarlah-ilmu-pengetahuan-menjawabnya/

No comments:

Post a Comment