Pages

Saturday, May 19, 2012

Agustin Sibarani, Pelukis Wajah Sisingamangaraja XII

Agustin Sibarani, Pelukis Wajah Sisingamangaraja XII

    TERUS TERANG, aku merasa “kecolongan” mengenai isu ini, termasuk tentang keberadaan Agustin Sibarani. Satu sosok yang menarik, namun nyaris tak dikenal oleh kalangan etnis Batak sendiri. Ternyata, majalah Tempo sudah pernah mewawancarai dan memberitakan tentang Agustin, yang menggugat karena hak ciptanya sebagai pelukis citra Sisingamangaraja XII tidak mendapat pengakuan yang semestinya.

    Aku sengaja menurunkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan Sisingamangaraja XII, yang aku kutip dari berbagai situs. Harapanku, topik ini akan menghangatkan hari-hari libur yang dingin dalam suasana menjelang Natal ini, hingga tibanya fajar Tahun baru 1 Januari 2009. Nantinya aku akan menulis artikel sendiri mengenai isu ini, namun untuk sekarang ini Anda semualah yang harus berperan, ikut urun pendapat.

 
Oleh : Eka Kurniawan

IA melukis siapa saja, dari Soeharto sampai Osama bin Laden, dengan pendekatan realis maupun karikatural. Dia seorang karikaturis yang disebut – Benedict ROG Anderson, ahli Indonesia asal Universitas Cornell, Amerika, sebagai yang terbesar di negeri ini. Beberapa bulan lalu, satu hari di bulan April 2001, Augustin Sibarani tampak penuh semangat bicara kepada siapa saja tentang rencana penerbitan buku karikaturnya yang pertama, setelah bertahun-tahun tak mempublikasikan buku. Waktu itu dia bahkan membawa beberapa lembar coretannya, dibuat dengan kombinasi drawing pen dan cat air.

Satu di antaranya bergambar empat politisi kelas Indonesia: Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Akbar Tanjung, dan Amin Rais tengah mengelilingi meja bermain kartu. Ia mencorat-coret permukaan karikaturnya dengan tip-ex, terutama menghapus bagian-bagian teks yang terasa terlampau verbal, sebab media sekarang tak menyukai gaya semacam itu.

Karikatur tersebut naik cetak di majalah PANTAU dan beredar, bagaikan kembalinya si anak hilang. Republika, sebuah harian nasional, bahkan mereproduksi karikatur itu di halaman satu dan membuatnya jengkel sebab merasa tak dimintai izin. Dia memutuskan menggugat koran tersebut ke pengadilan.

Ketika buku karikaturnya terbit atas kerja sama Institut Studi Arus Informasi, Garba Budaya, dan PT Media Lintas Inti Nusantara, ia sungguh senang hati, dan pada pertemuan kedua kami, ia bahkan tak bisa menyembunyikan bayangannya sendiri bahwa buku tersebut akan menembus cetakan kedua. “Akan ada penambahan karikatur, mungkin yang baru atau karikatur lama yang telah dikirim Ben dari Amerika namun tak jadi dimuat,”katanya.

Saya sedikit membuyarkan impiannya dengan mengatakan bahwa bukunya sangat tebal dan mahal, Rp 65 ribu, sehingga ia meralat ucapannya sendiri, “Ya, mungkin diterbitkan dalam buku yang baru.”

* * *

TAHUN 1965 seolah merupakan akhir baginya, ketika suratkabar Bintang Timur berhenti terbit menyusul tumbangnya Orde Lama, padahal di sanalah ia mempublikasikan karikaturnya secara rutin sejak 1957. Ia sempat ditahan selama lima hari. Tak hanya bayang-bayang kemiskinan yang menghantuinya, ia terutama kehilangan media untuk menyebarkan coretannya, tempat kemarahan dan lelucon berbaur dengannya.

Ia mulai menggambar ilustrasi untuk brosur-brosur tak penting, yang akan dibuang orang secepat mereka membacanya. Dengan cara itu ia menjalani hidupnya, menghidupi keluarga, dan menyekolahkan anak-anaknya. Tentu ada waktu-waktu ketika membuat ilustrasi brosur tak memadai untuk apa pun, tapi ia punya cara ampuh mengatasi kesulitan semacam ini. Istrinya, Saribar L. Tobing, penganut Kristen yang baik dan Sibarani tak hanya bisa membuat karikatur namun juga lukisan potret di atas kanvas. Itu ada hubungannya. Istrinya rajin pergi ke gereja dan Sibarani sering membuat lukisan potret untuk para jemaat teman-teman istrinya.

Kebanyakan ia melukis potret keluarga-keluarga mereka yang sudah mati, semacam menjual kenangan masa lalu, mengolahnya dari foto-foto usang. Menggabungkan foto kakek dan nenek yang terpisah seolah mereka duduk berdampingan begitu erat. Orang-orang pun suka dan membayarnya.

Namun, tak selamanya ada orang yang memintanya melukis potret, sementara kehidupan terus berjalan dan kebutuhan finansial terus merongrong. Maka ia akan melukis satu-satunya laki-laki yang memiliki hubungan dengan semua jemaat gereja itu : Yesus.

Ia tahu dengan pasti, orang-orang saleh tak akan mengabaikannya begitu melihat lukisan si laki-laki yang tampak menderita di atas kanvas tersebut. Ia lupa berapa banyak potret Yesus yang pernah dilukisnya.

Sesungguhnya Sibarani memulai karier sebagai pelukis potret belaka, pada umur delapan tahun ketika ia menggambar wajah guru-guru sekolahnya dengan modal pas foto mereka.

Dari segala potret yang pernah dilukisnya, potret Sisingamangaraja XII mungkin potret paling fantastis yang pernah ia buat. Ia menggambarnya bertahun-tahun lalu, sebab orang-orang Batak ingin punya pahlawan nasional mereka sendiri, sebagaimana orang Aceh punya Tjoet Njak Dhien dan Teuku Umar, orang Jawa punya Diponegoro, atau orang Maluku punya Kapiten Patimura. Orang Batak mengusulkan pada Presiden Soekarno agar mengesahkan Sisingamangaraja sebagai pahlawan nasional.

Seorang pahlawan harus ada potretnya, paling tidak, untuk bisa dipandang anak-anak sekolah dan dipajang di kantor-kantor pemerintah, serta membuatnya tampak tak mengada-ada.

Masalahnya, Sisingamangaraja telah meninggal jauh di awal abad XX, dan tak meninggalkan sehelai foto pun.

Sibarani mulai bekerja bagaikan artis di biro kriminal kantor polisi yang tengah mereka-reka wajah buronan tak dikenal. Ia beruntung masih bisa bertemu keturunan sang pahlawan, juga teman-temannya, seperti ayah penyair Sitor Situmorang, yang mengenal baik laki-laki yang akan dilukisnya itu. Sibarani tak hanya ingin mengenal Sisingamangaraja sebagai sosok laki-laki yang bisa dilukis di atas kanvas, tapi juga ingin mengenalnya bagaikan pernah hidup bersama dirinya.

Berdasarkan cerita-cerita keluarga dan para sahabat, ia mulai melukis potret Sisingamangaraja dengan cat minyak di atas kanvas. Ia memperlihatkan lukisan tersebut pada keluarga sang pahlawan, dan mereka berseru, “Ya, memang demikian wajahnya, tapi matanya sedikit berbeda.”

Kerja keras terakhirnya melukis bagian mata, mengubahnya di sana-sini sehingga cat menebal di sekelilingnya. Ya, inilah pahlawan yang tak pernah ia lihat, bahkan potretnya sekali pun, kini hidup kembali di atas kanvasnya. Akhirnya lukisan tersebut diantar ke Istana Merdeka. Soekarno mengesahkan Sisingamangaraja sebagai pahlawan nasional. Itu sebelum Orde Lama jatuh.

Ini cerita setelah Orde Baru muncul: lukisan Sisingamangaraja itu dipergunakan pemerintah untuk uang kertas rupiah. Ia bangga, tapi jengkel, sebab Bank Indonesia tak pernah menyebut namanya sebagai pelukis sang pahlawan, atau paling tidak minta izin mempergunakan lukisan tersebut. Kemarahannya tak terbendung, maka ia menuntut Bank Indonesia ke pengadilan. Laki-laki itu tengah mencoba menghadapi kekuasaan pemerintah menghabiskan semua urusan dengan pengadilan selama delapan tahun, dan seluruhnya sia-sia kecualimenghasilkan setumpuk berkas berita acara.

Kisah paling mengharukan, atau konyol, mengenai lukisan tersebut terjadi ketika ia mengetahui lukisan Sisingamangaraja tak ada lagi di Istana Merdeka, sudah berpindah ke tangan pribadi. Ia memburu lukisan itu ke mana-mana, hanya ingin mengetahui nasibnya, seperti ada pertalian batin di antara mereka. Suatu hari ia mendengar cerita bahwa lukisan itu berhantu, hidup jika malam datang. Ia penasaran dan berjuang keras menemukannya kembali.

Ketika menemukannya, semuanya telah berubah dan menyedihkan. Debu tebal menempel di permukaan kanvas, dengan pigura baru yang tak beres pemasangannya. Ada bekas jalur-jalur air hujan di jejak debu, membuat lukisan jadi berantakan. Hanya bagian mata yang bercat tebal itulah yang terlindung dari debu dan air hujan. Jika malam datang, mata tersebut memandang tajam dan benarlah, ia bagaikan hidup kembali. Sibarani tak tahu apakah ia harus menangis karena sedih, atau menertawakan kekonyolan orang yang tak mengerti lukisan.

***

LANTAS, kapan, dan bagaimanakah laki-laki ini kemudian menggambar karikatur? Ini cerita ketika ia berumur 25 tahun. Pada suatu hari ia dikunjungi seorang temannya, Anwar Isnudikarta, seorang aktivis Partai Sosialis Indonesia, yang mampir sejenak dalam kunjungan untuk menghadiri sidang parlemen Indonesia. Tamu itu mengajaknya ke pertemuan, dan semuanya terjadi di aula Hotel Des Indes. Sementara pidato-pidato berlangsung membosankan, ia membunuh waktu dengan mencorat-coret, menggambar sketsa sebagaimana sering ia lakukan di bangku sekolah.


Seorang wartawan, bernama Del Bassa Pulungan dari koran Merdeka, menantangnya membuat karikatur yang bagus. Ia pun membuat karikatur Mr. Mohammad Yamin, salah seorang politisi di parlemen, yang tengah berpidato, dan ketika pulang, ia membuat gambar orang yang sama tengah memukul Sultan Abdul Hamid, seorang tokoh federal dari Republik Indonesia Serikat, dengan gaya kocak. Itu tak hanya membuat karikaturnya muncul di halaman depan Merdeka, namun juga membuatnya semakin lebur ke dunia karikatur.

Ketika itu ia juga bekerja sebagai pegawai pertanian di Departemen Kemakmuran, sebab ia lulusan Sekolah Pertanian Bogor yang pada zaman Belanda disebut Middelbare Landbouw School. Ia digaji Rp 300 per bulan, dengan fasilitas antar jemput dan kemungkinan naik pangkat sebab ia veteran perang. Namun, dunia karikatur sungguh-sungguh menggodanya dan ia memutuskan jadi karikaturis lepas untuk banyak suratkabar seperti Kader, Gelanggang Masyarakat, dan Pewarta Djakarta. Penghasilannya jadi tak tentu, kadang lebih banyak dari uang yang biasa diperolehnya, kadang harus ke sana-ke mari berjalan kaki dengan perut keroncongan.

Itu seolah menebus keinginan lamanya untuk menjadi pelukis. Keinginan lama yang tak tergapai sebab ibunya yang bernama Martha Hasibuan, yang kawin dengan Jozua Sibarani dan melahirkannya pada tanggal 25 Agustus 1925, membesarkannya seorang diri sejak ayahnya meninggal kala ia berumur lima tahun. Ibu ini tak menginginkannya masuk sekolah formal seni lukis. Padahal ibunyalah yang telah mengalirkan darah seni itu, sebab selain seorang penginjil untuk para ibu di kota Pematangsiantar, ia juga pandai menyanyi, mendongeng, mahir menyulam, dan melukis motif ulos.


***

AWAL 1953, Sibarani menerbitkan tiga buku kartun untuk anak-anak, Si Kasmin Pergi ke Kota, Musik si Beber, dan Rumah si Bolang. Buku ini diterbitkan oleh sepasang suami istri sahabatnya, Alex Sutantio dan Lily, putri mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia membuat gambar-gambar binatang ala Walt Disney, dicetak berwarna di Belanda, dibayar putus seharga Rp 22 ribu. Cukup untuk membuatnya kaya mendadak.

Tak lama setelah itu, ia berkenalan dengan seorang Belanda pemilik toko buku dan sekaligus penerbitan yang kemudian ia biasa panggil sebagai “Tuan Gotfried” saja. Tuan Gotfried mengagumi ketiga bukunya, sebab laku dibeli anak-anak gedongan, dan menawarinya menerbitkan buku baru, dengan konsep yang berbeda agar tak tampak mencaplok ide orang. Buku kumpulan gambar lelucon berikutnya, yang ia kumpulkan dari majalah Aneka, terbit dengan judul Senyum, Kasih, Senyum.

Tapi sepanjang kekuasaan Orde Baru, betapa sulitnya menerbitkan kembali karikatur, yang ringan sekalipun. Terutama karena ia dicurigai sebagai satu dari orang-orang kiri. Dua puluh tahun berlalu sampai ia memperoleh kesempatan tampil bersama karikaturnya. Ketika itu G.M. Sudarta dari harian Kompas mengunjunginya bersama Arwah Setiawan dari Lembaga Humor Indonesia. Ia memperoleh undangan untuk ikut serta dalam pameran besar karikatur di Ancol, Jakarta, dan karikatur-karikatur pun segera disiapkan. Kesempatan itu lenyap saat Harmoko, yang waktu itu menteri penerangan, mengetahui keikutsertaannya. Harmoko, yang pernah jadi kartunis Merdeka, mengancam tak akan membuka pameran jika Sibarani ikut.

Itu pula yang mendorongnya membuat pameran tunggal. G.M. Sudarta menyumbang Rp 100 ribu. Tanpa acara pembukaan dan tanpa undangan. Sudarta menulis ulasannya di Kompas, sedangkan Mochtar Lubis, editor legendaris harian Indonesia Raya, datang memuji-mujinya sebagaimana dulu ia memuji buku Senyum, Kasih, Senyum, tak peduli betapa tak sukanya Sibarani terhadap garis politiknya.

Sibarani harus menunggu tumbangnya kekuasaan Orde Baru untuk bermimpi menerbitkan buku karikatur kembali. Ia menyelundupkan fotokopi karikatur-karikaturnya ke tangan mahasiswa. Pada 1998 sejumlah media Prancis menerbitkan karikatur-karikaturnya, seperti Le Monde Diplomatique, Humanite, dan La Lettrede. Karikaturnya kemudian berkeliaran di internet, terbang ke Amerika Serikat, dan dimuat di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell.

Fenomenanya mungkin bisa disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkuat Indonesia, yang berhasil muncul kembali ke dunia sastra Indonsia melalui novel-novel barunya. Sibarani berharap bisa berhasil pula saat kembali ke dunia karikatur Indonesia. Tapi paling tidak satu keinginannya sudah gagal. Semula ia ingin memberi judul kumpulan karikaturnya dengan Karikaturku, tapi si editor lebih suka menjualnya dengan judul Karikatur dan Politik.

Namun ia tetap orang yang dulu itu, penuh semangat dan teguh pada garisnya. Ia menunjukkan potret Osama bin Laden dan George Bush Jr. dalam gaya karikatural kepada saya beberapa bulan lalu, bagaikan memperlihatkan kesetiaan seorang karikaturis tua yang menantang roda zaman.




Catatan Eka Kurniawan :
Ini tulisan lama, dipublikasikan di majalah Pantau untuk edisi 4 Februari 2002. Daripada terkubur, saya posting lagi (maaf kalau sudah membaca …).

Sumber : http://www.ekakurniawan.multiply.com/ (february 2008)
http://tobadreams.wordpress.com/2008/12/21/agustin-sibarani-pelukis-wajah-sisingamangaraja-xii/

No comments:

Post a Comment