Pages

Monday, April 30, 2012

Stop Kejahatan Kultural dan Ekologis di Pandumaan dan Siputuhuta


Stop Kejahatan Kultural dan Ekologis di Pandumaan dan Sipituhuta

 
Petani kemenyan di desa Pandumaan dan Sipituhuta, menemukan fakta lanjutan penebangan kemenyan yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Bahkan lebih dari itu, penebangan sudah masuk jauh (encroaching) ke lahan adat milik desa Pandumaan dan Sipituhuta. TPL pertama kali membabat hutan di tombak Simataniari dan Huta Godung kecamatan Parlilitan, sebelah barat Kecamatan Pollung. Proses pembabatan hutan berlangsung dengan mulus karena protes petani kemenyan Parlilitan dapat diredam. Penebangan kemenyan secara massal pun berlanjut merambah wilayah hutan Lombang Nabagas, Tombak Sipiturura dan Dolok Ginjang. ”Dari 4.100 Ha hutan kemenyan, sekitar 300 ha telah diambil,” jelas Saur Tumiur Situmorang dari Bakumsu.

Terjadinya penebangan pohon kemenyan di Lombang Nabagas, membuat ratusan warga Pandumaan dan Sipituhuta melakukan protes dan perlawanan. Sebagian tumpukan kayu yang ada di lahan mereka yakni Lombang Nabagas dibakar, supaya tidak dibawa oleh PT. TPL, sementara peralatan berupa cinsaw ditahan oleh warga dengan persetujuan pihak PT. TPL, dan ditandatangani oleh Kepala Desa Pandumaan.

Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Perjuangan Rakyat
Adalah PT. Toba Pulp Lestari—sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama. Dalam tiap wilayah operasinya kerap melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat sekitar, termasuk di Humbang Hasundutan. Dalam beberapa hari saja TPL telah menebang hutan kemenyan seluas 300 hektar. Padahal, 100% keluarga di sini menggantungkan hidup dari komoditi kemenyan. Selain itu, TPL juga membangun jalan dari tiap kawasan yang telah dibuka.”Dengan menebangi kemenyan maka TPL telah membunuh kami pelan-pelan,” ujar Haposan Sinambela, warga Pandumaan. Tombak kemenyan diakui masyarakat telah ada dan dilestarikan hingga 13 generasi.

Tindakan sembarangan PT.TPL disikapi masyarakat secara kritis, namun sayangnya upaya perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak, adat lokal dan lingkungan dijegal dengan pola-pola represi dan intimidasi yang lazimnya berlaku di rezim orde baru. Berbekal SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, dan Surat Dinas Kehutanan Sumut Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009 TPL berlaku laiknya pemegang tunggal penguasaan hutan di wilayah eksplorasi dan sekitarnya. Alas hukum menangkap seseorang, seharusnya memakai undang-undang, bukan SK atau surat keputusan,”Ungkap Gindo Nadapdap, SH, Direktur KPS.

Hentikan Operasi TPL di Hutan Kemenyan milik desa Pandumaan dan Sipituhuta
Konflik masyarakat adat petani Kemenyan desa Pandumaan dan Sipituhuta versus TPL semakin menajam pasca pertemuan multi pihak Kamis, 27 Agustus 2009. Jumlah tersangka yang sebelumnya hanya 7 orang, bertambah menjadi 13 orang. “Terjadi tiga gelombang kriminalisasi terhadap petani kemenyan. Gelombang pertama Rabu, 15 Juli 2009, sekitar 200 orang aparat polres Humbang Hasundutan datang ke desa, menangkap dan menahan 4 orang warga. Gelombang kedua tanggal 10 agustus 2009 adalah penetapan tersangka baru terhadap 3 orang petani kemenyan, yang disangka ikut melakukan pengrusakan dan pembakaran. Dua gelombang kriminalisasi ini terjadi karena pengaduan pihak TPL terhadap Polres Humbang. Gelombang ketiga adalah tanggal 28 Agustus 2009, pasca pertemuan multipihak di Bakumsu. Kriminalisasi gelombang ketiga ini sangat bertentangan dengan semangat yang muncul dalam pertemuan multipihak 27 Agustus yakni upaya menghentikan konflik denvan cara masing masing pihak tidak melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lainnya. Tiga gelombang pemidanaan ini menunjukkan kepada siapa kepolisian berpihak, ” Ujar Saurlin Siagian dari Bakumsu.

TPL masih melakukan praktik perambahan hutan dan melanggar nilai dan hak masyarakat lokal. Selain itu, dosa tak terhingga akibat operasi yang menyebabkan kerusakan ekologi di Tapanuli. ”Penebangan pohon diareal penyangga danau Toba menyebabkan penurunan debit air yang di danau Toba drastis,” ujar Tumpak dari Barsdem. Rusaknya hutan akibat penebangan juga ikut memusnahkan habitat binatang di Tapanuli. Seperti yang terjadi tanggal 3 Agustus lampau, dimana beruang masuk desa dan merusak beberapa rumah warga.

“Yang kita saksikan bukan hanya penggundulan hutan, tapi juga proses penghancuran alam kehidupan kita secara brutal,” ujar Sahat Tarida, dari Walhi SU. Tahun ini saja sudah banyak bencana ekologi yang terjadi di Sumatera Utara yang diakibatkan akumulasi kerusakan lingkungan akibat ulah koorporasi. TPL telah beroperasi puluhan tahun dan sama sekali tidak berkontribusi bagi kemajuan masyarakat, masihkah patut dipertahankan?


Medan, 17 September 2009

SOLIDARITAS RAKYAT UNTUK PETANI DAN HUTAN KEMENYAN

( KSPPM, WALHI-SU, BAKUMSU, KPS, KONTRAS, LBH MEDAN, YAPIDI, YSKD, PPRM, GMNI, PBHI, UEM, KDAS, AGRA, PETANI KEMENYAN HUMBAHAS, GEMA PRODEM, TAPIAN, KOTIB, SBMI, PADOSMA, BARSDEM, OPPUK, KKP HAM 65)


No comments:

Post a Comment