Pages

Friday, April 6, 2012

Jejak Dong-Son dalam Ulos dan Kain Sumatera Lainnya

Jejak Dong-Son dalam Ulos dan Kain Sumatera Lainnya
Oleh Irma Hutabarat*

Salah satu misi dan mimpi saya dalam menjalankan Miyara Sumatera adalah konservasi kain-kain asal Sumatera. Sungguh beruntung saya mendapatkan kesempatan berkeliling Sumatera, melihat dan mengkaji beragam kain-kain kuno di pulau yang dahulu disebut Negeri Emas itu. Ketika mengunjungi Kalianda di Lampung Selatan untuk menelusuri keberadaan dan makna kain tapis kapal atau Palepai, saya menemukan bukan hanya kelangkaan penenun kain tapis Lampung, tetapi juga ada beragam keterkaitan budaya antara Batak dan Lampung, salah satunya adalah bahwa dua peradaban tersebut memiliki aksara yang serupa.

Lebih dalam lagi ketika mempelajari motif-motif pada kain tapis kapal, saya pun mulai menyadari bahwa ada kemiripan simbol-simbol pada kain Ulos maupun Palepai. Hal ini dapat kita lihat dan kaji dari motif kain tapis kapal (Palepai) yang juga banyak memakai corak geometris seperti di Ulos.

Kini, di seantero Kalianda – asal daerah di mana kain tapis kapal lahir – hanya terdapat satu tempat milik Ibu Yuhana yang masih memproduksi dan menjual kain tapis dan pernak-pernik budaya khas Kalianda lainnya. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa tidak ada lagi penenun Palepai atau kain kapal di Kalianda karena penenunnya sudah punah sejak 1883 ketika Krakatau meletus. Saya langsung berpikir bahwa sebetulnya orang Batak masih lebih beruntung karena kita masih memiliki Partonun (penenun) yang meski sudah tua, tetapi masih berdedikasi meneruskan tradisi menenun Ulos. Seperti “the last Mohican” atau pejuang terakhir di Bona Pasogit.


Ketika kita bicara tentang Bona Pasogit, kebanyakan dari kita mengartikannya secara sempit hanya sebatas pada arti “kampung halaman,” misalnya Bona Pasogit marga Hutabarat adalah Hutabarat, Tarutung. Sebetulnya, pemahaman yang benar dalam istilah Bona Pasogit, bukan hanya pengertian kampung halaman saja, melainkan juga segala sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, seperti marga, adat, budaya, sejarah, benda-benda pusaka, dan sebagainya, termasuk Ulos-ulos yang merupakan simbol dari jiwa Batak yang luhur.

Buku dan literatur tentang peradaban Batak dan kajian Ulos yang saya baca sebagian besar adalah dalam bahasa Inggris dan ditulis oleh para antropolog asing, tentu saja juga diterbitkan oleh penerbit di luar negeri, yang banyak menaruh perhatian besar dan menempatkan Ulos sebagai kajian yang tak kunjung habis karena keunikan, keagungan, kaya akan makna, serta menjadi sebuah orisinalitas yang langka dan luar biasa indahnya.

Stigma dan stereotipe yang diberikan kepada orang Batak sebagai suku yang kasar dan temperamental sebetulnya pupus, apabila kita semua memahami sejarah peradaban Batak dan proses bagaimana para Partonun menenun sehelai Ulos yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan jiwa yang halus layaknya orang yang sedang melakukan meditasi atau ibadah suci.

Sama seperti pepatah “Gunung yang terlihat indah karena jauh.” Dari Jakarta di mana saya menetap sekarang, semua yang ada di Bona Pasogit menjadi semacam sebuat romantisme yang sangat indah dan banyak pembelajaran tentang akar budaya di sana. Mungkin berbeda dengan orang-orang Batak yang tinggal di Tano Batak karena hal yang sungguh menarik bagi saya bisa jadi biasa saja di mata mereka yang hidup di Tapanuli.

Saya merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari kampung halaman saya begitu indah dan sarat makna. Sejak kecil, Papa selalu menyanyikan lagu yang sampai saat ini tetap kuingat dan selalu kudendangkan dalam hati “... Molo huingot rura silindung na jolo” oleh Gordon Tobing.

Sebagai pecinta kain, khususnya Ulos, sungguh sedih ketika dihadapkan pada realita bahwa ternyata tidaklah mudah mendapatkan Ulos yang asli dengan pewarna alami di Tapanuli. Saya pikir sama sulitnya untuk mendapatkan perhiasan Batak. Saya pernah minta tolong seorang Itoku untuk mencari dan membeli perhiasan tradisional dari Tapanuli untukku, namun setelah bertahun-tahun, belum tercapai juga keinginan saya itu untuk memiliki perhiasan asli Batak. Memang ternyata lebih banyak dan lebih mudah mendapatkannya di galeri-galeri kelas atas di Jakarta, Bali, bahkan di luar negeri. Batinku berkata, mungkin gunung yang indah dari kejauhan, tidak terlihat dan terasa sama keindahannya bagi orang-orang yang tinggal di gunung sana.

Dengan membeli dan membaca banyak literatur tentang sejarah, budaya, dan kain Batak,tumbuh kecintaanku kepada Bona Pasogit terutama ulos. Saya pun menemukan sesuatu yang penting dalam penelusuran saya tentang sejarah dan budaya Batak, bahwa selama ini banyak orang yang salah paham bahwa nenek moyang kita berasal dari Cina. Ternyata yang bermigrasi ke Tano Batak bukan-lah orang Cina, tetapi suku bangsa Austronesia yang berasal dari Siam atau sekarang disebut Vietnam, sang empunya peradaban Dong-Son.

Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa pendukung kebudayaan Dong-Son adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di kawasan Siam yang terletak disepanjang aliran sungai Merah yang berbatasan langsung dengan Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Sumatera melalui dua gelombong. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan terjadi pada 4000 tahun yang lampau. Dilanjutkan pada gelombang kedua, datang kira-kira pada 500 tahun Sebelum Masehi, dan mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.

Bangsa Austronesia yang berbahasa Mongol Selatan sudah menjadi masyarakat Agrikultur yang sebagian menetap di Filipina dan sebagian di Indonesia bagian barat mereka yang datang pada gelombang pertama disebut sebagai bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai, Dayak, dan lainnya. Sedangkan mereka yang datang pada masa gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda), yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis, dan suku bangsa lainnya.

Para ahli sejarah juga menemukan bahwa pada zaman pra-sejarah dari abad ke-8 hingga ke-1 SM adalah masa perunggu (Bronze Age) sebagai bagian peradaban Dong-Son. Mereka hidup di pesisir Sungai Merah yang membelah Cina dan Vietnam. Peradaban inilah yang banyak mempengaruhi kebudayaan Nusantara, termasuk Batak karena Dong-Son menjadi peradaban yang pertama kali memberikan ide pada peralatan perunggu berupa nekara, juga drum, alat-alat pertanian, perhiasan, dan banyak lagi. Mereka juga memperkenalkan teknologi lilin (wax) untuk membuat beragam peralatan perunggu, yang kemudian mencetuskan banyak teknik lokal, seperti pembuatan keris Jawa dan proses membatik dengan lilin.

Kisah penyebaran bangsa Austronesia ribuan tahun lampau, berlanjut ketika Cina menginvasi Siam. Dalam masa penjajahan itu, banyak tekanan yang ditimbulkan, sehingga menyebabkan bangsa Dong-Son kemudian melakukan migrasi panjang. Mereka melewati – dan kemungkinan juga singgah di – Filipina terlebih dulu, hingga akhirnya sampai dan menetap di Pulau Sumatera. Tak heran bila kita memiliki banyak kesamaan budaya dengan Filipina, seperti bahasa Tagalog. Di Sumatera, bangsa Siam sampai di Tano Batak, sebagian terus menjelajah ke Ranau Komering Bengkulu hingga ke ujung pulau di Lampung. Motif-motif pada Ulos, Kain Pasemah, dan kain tapis kapal atau Palepai menjadi bukti yang menunjukkan adanya kesamaan akar budaya. Aplikasi motif-motif Dong-Son kemudian muncul di hampir seluruh kain-kain Sumatera, bahkan di luar Sumatera.

Saat ini, sekitar ratusan peninggalan perunggu Dong-Son bisa ditemukan di Indonesia, terutama di kawasan Sumatera. Tidak hanya berbentuk nekara, tetapi ada pula produk turunannya, berupa alat gendang, instrumen musik, dan motif pada nekara perunggu tersebut yang dipakai pada tenunan dan ukiran yang bercorak simetris dan geometris serupa simbol-simbol Dong-Son.

Pada zaman pra-sejarah (Sebelum Masehi), suku bangsa Batak dan Lampung telah memintal kapas menjadi benang. Baru kemudian pada abad ke-6 hingga ke-13 Masehi, masuk pengaruh Budha dari India dan Cina, Sumatera memasuki era kejayaan Sriwijaya. Saat itu, Sumatera dikenal sebagai kawasan penghasil emas, dan merupakan jalur perdagangan yang sangat penting dalam rute Cina dan India.Sumatera menjadi pusat pendidikan para Biksu dan sentral penyebaran agama Budha dan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan terkaya yang mengekspor emas paling banyak sepanjang sejarah dunia. Sumatera pun mulai mengenal sutra dan benang emas sebagai dampak dari pengaruh Jalur Sutra pada masa Dinasti Han, demikian pula teknik menenun songket yang banyak menggunakan benang emas.

Namun, hanya Ulos-lah yang secara tradisional tidak begitu terpengaruh dengan pemakaian benang emas, sedangkan tenun Songket termasuk yang banyak terpengaruh dengan kreasi benang emasnya. Di Tarutung, kombinasi dari pengaruh Songket ini melahirkan teknik baru tambahan dalam pembuatan Ulos Ragi Idup yang lebih rumit proses tenunanya dan mendapat tempat yang paling tinggi dalam adat Batak.

Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah peradaban Dong-Son yang memulai abad perunggu, sangat besar pengaruhnya bagi peradaban dan budaya Batak sejak berabad-abad lalu. Migrasi besar-besaran Bangsa Austronesia dari Siam tersebut menyebabkan inkulturasi Dong-Son yang kemudian melebur dan disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Batak sehingga melahirkan peradaban baru yang unik, sarat makna, indah, dan hanya ada satu-satunya di dunia.

Motif pada perunggu Dong-Son bukan hanya menjadi cikal-bakal kehadiran motif-motif Ulos di Tapanuli, tetapi juga menjadi aplikasi pada banyak ukiran Batak, seperti Gorga dan kayu pada Gondang atau Uning-uningan, Naga Marsarang (tempat obat radisional terbuat dari tanduk kerbau dan kayu yang di ukir) dan beragam benda seni dan budaya Batak lainnya.

Meskipun, Ulos masih ada dalam kehidupan dan keseharian orang Batak, sayangnya, tidak banyak orang Batak yang paham asal-usul serta sejarahnya. Saya berfikir alangkah baiknya bila sekolah-sekolah di Tapanuli dapat mengajarkan sejarah, peradaban, dan kebudayaan Batak sejak dini seperti yang telah dilakukan oleh Cina dan sekolah-sekolah di Jawa.

Tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal dan memahami sejarah dan makna serta keagungan Ulos maka pemahaman dan apresiasi terhadap Bona Pasogit dapat ditingkatkan, sehingga kelak, konservasi budaya Batak bisa mendapat tempat yang lebih baik di Tano Batak maupun di hati orang-orang Batak sebagai pemilik dan pelestari warisan yang agung.


*Irma Hutabarat adalah pendiri dan ketua Miyara Sumatera Foundation.
Tulisan ini telah disampaikan pada seminar Ulos Vaganza di ITB, Bandung pada 8 November 2011 dan diterbitkan dalam Harian Sinar Indonesia Baru edisi Minggu, 13 November 2011.


Sumber Tulisan:
Gittinger, Mattiebelle (1990) Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia. Oxford, New York: Oxford University Press.
Holmgren, Robert J. dan Spertus, Anita E. (1989) Early Indonesian Textiles. New York: The Metropolitan Museum of Art.
Niessen, Sandra A. (1993) Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition. Oxford, New York: Oxford University Press.
Sarumpaet, J.A. (1995) Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sibeth, Achim (1991) The Batak: Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson.


http://www.miyarasumatera.org/index.php?option=com_content&view=article&id=67:jejak-dong-son-dalam-ulos-dan-kain-sumatera-lainnya&catid=29:news&Itemid=18
ya
Oleh Irma Hutabarat*

Salah satu misi dan mimpi saya dalam menjalankan Miyara Sumatera adalah konservasi kain-kain asal Sumatera. Sungguh beruntung saya mendapatkan kesempatan berkeliling Sumatera, melihat dan mengkaji beragam kain-kain kuno di pulau yang dahulu disebut Negeri Emas itu. Ketika mengunjungi Kalianda di Lampung Selatan untuk menelusuri keberadaan dan makna kain tapis kapal atau Palepai, saya menemukan bukan hanya kelangkaan penenun kain tapis Lampung, tetapi juga ada beragam keterkaitan budaya antara Batak dan Lampung, salah satunya adalah bahwa dua peradaban tersebut memiliki aksara yang serupa.

Lebih dalam lagi ketika mempelajari motif-motif pada kain tapis kapal, saya pun mulai menyadari bahwa ada kemiripan simbol-simbol pada kain Ulos maupun Palepai. Hal ini dapat kita lihat dan kaji dari motif kain tapis kapal (Palepai) yang juga banyak memakai corak geometris seperti di Ulos.

Kini, di seantero Kalianda – asal daerah di mana kain tapis kapal lahir – hanya terdapat satu tempat milik Ibu Yuhana yang masih memproduksi dan menjual kain tapis dan pernak-pernik budaya khas Kalianda lainnya. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa tidak ada lagi penenun Palepai atau kain kapal di Kalianda karena penenunnya sudah punah sejak 1883 ketika Krakatau meletus. Saya langsung berpikir bahwa sebetulnya orang Batak masih lebih beruntung karena kita masih memiliki Partonun (penenun) yang meski sudah tua, tetapi masih berdedikasi meneruskan tradisi menenun Ulos. Seperti “the last Mohican” atau pejuang terakhir di Bona Pasogit.


Ketika kita bicara tentang Bona Pasogit, kebanyakan dari kita mengartikannya secara sempit hanya sebatas pada arti “kampung halaman,” misalnya Bona Pasogit marga Hutabarat adalah Hutabarat, Tarutung. Sebetulnya, pemahaman yang benar dalam istilah Bona Pasogit, bukan hanya pengertian kampung halaman saja, melainkan juga segala sesuatu yang diwariskan oleh leluhur, seperti marga, adat, budaya, sejarah, benda-benda pusaka, dan sebagainya, termasuk Ulos-ulos yang merupakan simbol dari jiwa Batak yang luhur.

Buku dan literatur tentang peradaban Batak dan kajian Ulos yang saya baca sebagian besar adalah dalam bahasa Inggris dan ditulis oleh para antropolog asing, tentu saja juga diterbitkan oleh penerbit di luar negeri, yang banyak menaruh perhatian besar dan menempatkan Ulos sebagai kajian yang tak kunjung habis karena keunikan, keagungan, kaya akan makna, serta menjadi sebuah orisinalitas yang langka dan luar biasa indahnya.

Stigma dan stereotipe yang diberikan kepada orang Batak sebagai suku yang kasar dan temperamental sebetulnya pupus, apabila kita semua memahami sejarah peradaban Batak dan proses bagaimana para Partonun menenun sehelai Ulos yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan jiwa yang halus layaknya orang yang sedang melakukan meditasi atau ibadah suci.

Sama seperti pepatah “Gunung yang terlihat indah karena jauh.” Dari Jakarta di mana saya menetap sekarang, semua yang ada di Bona Pasogit menjadi semacam sebuat romantisme yang sangat indah dan banyak pembelajaran tentang akar budaya di sana. Mungkin berbeda dengan orang-orang Batak yang tinggal di Tano Batak karena hal yang sungguh menarik bagi saya bisa jadi biasa saja di mata mereka yang hidup di Tapanuli.

Saya merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari kampung halaman saya begitu indah dan sarat makna. Sejak kecil, Papa selalu menyanyikan lagu yang sampai saat ini tetap kuingat dan selalu kudendangkan dalam hati “... Molo huingot rura silindung na jolo” oleh Gordon Tobing.

Sebagai pecinta kain, khususnya Ulos, sungguh sedih ketika dihadapkan pada realita bahwa ternyata tidaklah mudah mendapatkan Ulos yang asli dengan pewarna alami di Tapanuli. Saya pikir sama sulitnya untuk mendapatkan perhiasan Batak. Saya pernah minta tolong seorang Itoku untuk mencari dan membeli perhiasan tradisional dari Tapanuli untukku, namun setelah bertahun-tahun, belum tercapai juga keinginan saya itu untuk memiliki perhiasan asli Batak. Memang ternyata lebih banyak dan lebih mudah mendapatkannya di galeri-galeri kelas atas di Jakarta, Bali, bahkan di luar negeri. Batinku berkata, mungkin gunung yang indah dari kejauhan, tidak terlihat dan terasa sama keindahannya bagi orang-orang yang tinggal di gunung sana.

Dengan membeli dan membaca banyak literatur tentang sejarah, budaya, dan kain Batak,tumbuh kecintaanku kepada Bona Pasogit terutama ulos. Saya pun menemukan sesuatu yang penting dalam penelusuran saya tentang sejarah dan budaya Batak, bahwa selama ini banyak orang yang salah paham bahwa nenek moyang kita berasal dari Cina. Ternyata yang bermigrasi ke Tano Batak bukan-lah orang Cina, tetapi suku bangsa Austronesia yang berasal dari Siam atau sekarang disebut Vietnam, sang empunya peradaban Dong-Son.

Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa pendukung kebudayaan Dong-Son adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di kawasan Siam yang terletak disepanjang aliran sungai Merah yang berbatasan langsung dengan Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Sumatera melalui dua gelombong. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan terjadi pada 4000 tahun yang lampau. Dilanjutkan pada gelombang kedua, datang kira-kira pada 500 tahun Sebelum Masehi, dan mereka inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.

Bangsa Austronesia yang berbahasa Mongol Selatan sudah menjadi masyarakat Agrikultur yang sebagian menetap di Filipina dan sebagian di Indonesia bagian barat mereka yang datang pada gelombang pertama disebut sebagai bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai, Dayak, dan lainnya. Sedangkan mereka yang datang pada masa gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda), yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis, dan suku bangsa lainnya.

Para ahli sejarah juga menemukan bahwa pada zaman pra-sejarah dari abad ke-8 hingga ke-1 SM adalah masa perunggu (Bronze Age) sebagai bagian peradaban Dong-Son. Mereka hidup di pesisir Sungai Merah yang membelah Cina dan Vietnam. Peradaban inilah yang banyak mempengaruhi kebudayaan Nusantara, termasuk Batak karena Dong-Son menjadi peradaban yang pertama kali memberikan ide pada peralatan perunggu berupa nekara, juga drum, alat-alat pertanian, perhiasan, dan banyak lagi. Mereka juga memperkenalkan teknologi lilin (wax) untuk membuat beragam peralatan perunggu, yang kemudian mencetuskan banyak teknik lokal, seperti pembuatan keris Jawa dan proses membatik dengan lilin.

Kisah penyebaran bangsa Austronesia ribuan tahun lampau, berlanjut ketika Cina menginvasi Siam. Dalam masa penjajahan itu, banyak tekanan yang ditimbulkan, sehingga menyebabkan bangsa Dong-Son kemudian melakukan migrasi panjang. Mereka melewati – dan kemungkinan juga singgah di – Filipina terlebih dulu, hingga akhirnya sampai dan menetap di Pulau Sumatera. Tak heran bila kita memiliki banyak kesamaan budaya dengan Filipina, seperti bahasa Tagalog. Di Sumatera, bangsa Siam sampai di Tano Batak, sebagian terus menjelajah ke Ranau Komering Bengkulu hingga ke ujung pulau di Lampung. Motif-motif pada Ulos, Kain Pasemah, dan kain tapis kapal atau Palepai menjadi bukti yang menunjukkan adanya kesamaan akar budaya. Aplikasi motif-motif Dong-Son kemudian muncul di hampir seluruh kain-kain Sumatera, bahkan di luar Sumatera.

Saat ini, sekitar ratusan peninggalan perunggu Dong-Son bisa ditemukan di Indonesia, terutama di kawasan Sumatera. Tidak hanya berbentuk nekara, tetapi ada pula produk turunannya, berupa alat gendang, instrumen musik, dan motif pada nekara perunggu tersebut yang dipakai pada tenunan dan ukiran yang bercorak simetris dan geometris serupa simbol-simbol Dong-Son.

Pada zaman pra-sejarah (Sebelum Masehi), suku bangsa Batak dan Lampung telah memintal kapas menjadi benang. Baru kemudian pada abad ke-6 hingga ke-13 Masehi, masuk pengaruh Budha dari India dan Cina, Sumatera memasuki era kejayaan Sriwijaya. Saat itu, Sumatera dikenal sebagai kawasan penghasil emas, dan merupakan jalur perdagangan yang sangat penting dalam rute Cina dan India.Sumatera menjadi pusat pendidikan para Biksu dan sentral penyebaran agama Budha dan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan terkaya yang mengekspor emas paling banyak sepanjang sejarah dunia. Sumatera pun mulai mengenal sutra dan benang emas sebagai dampak dari pengaruh Jalur Sutra pada masa Dinasti Han, demikian pula teknik menenun songket yang banyak menggunakan benang emas.

Namun, hanya Ulos-lah yang secara tradisional tidak begitu terpengaruh dengan pemakaian benang emas, sedangkan tenun Songket termasuk yang banyak terpengaruh dengan kreasi benang emasnya. Di Tarutung, kombinasi dari pengaruh Songket ini melahirkan teknik baru tambahan dalam pembuatan Ulos Ragi Idup yang lebih rumit proses tenunanya dan mendapat tempat yang paling tinggi dalam adat Batak.

Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah peradaban Dong-Son yang memulai abad perunggu, sangat besar pengaruhnya bagi peradaban dan budaya Batak sejak berabad-abad lalu. Migrasi besar-besaran Bangsa Austronesia dari Siam tersebut menyebabkan inkulturasi Dong-Son yang kemudian melebur dan disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Batak sehingga melahirkan peradaban baru yang unik, sarat makna, indah, dan hanya ada satu-satunya di dunia.

Motif pada perunggu Dong-Son bukan hanya menjadi cikal-bakal kehadiran motif-motif Ulos di Tapanuli, tetapi juga menjadi aplikasi pada banyak ukiran Batak, seperti Gorga dan kayu pada Gondang atau Uning-uningan, Naga Marsarang (tempat obat radisional terbuat dari tanduk kerbau dan kayu yang di ukir) dan beragam benda seni dan budaya Batak lainnya.

Meskipun, Ulos masih ada dalam kehidupan dan keseharian orang Batak, sayangnya, tidak banyak orang Batak yang paham asal-usul serta sejarahnya. Saya berfikir alangkah baiknya bila sekolah-sekolah di Tapanuli dapat mengajarkan sejarah, peradaban, dan kebudayaan Batak sejak dini seperti yang telah dilakukan oleh Cina dan sekolah-sekolah di Jawa.

Tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal dan memahami sejarah dan makna serta keagungan Ulos maka pemahaman dan apresiasi terhadap Bona Pasogit dapat ditingkatkan, sehingga kelak, konservasi budaya Batak bisa mendapat tempat yang lebih baik di Tano Batak maupun di hati orang-orang Batak sebagai pemilik dan pelestari warisan yang agung.


*Irma Hutabarat adalah pendiri dan ketua Miyara Sumatera Foundation.
Tulisan ini telah disampaikan pada seminar Ulos Vaganza di ITB, Bandung pada 8 November 2011 dan diterbitkan dalam Harian Sinar Indonesia Baru edisi Minggu, 13 November 2011.


Sumber Tulisan:
Gittinger, Mattiebelle (1990) Splendid Symbols: Textiles and Tradition in Indonesia. Oxford, New York: Oxford University Press.
Holmgren, Robert J. dan Spertus, Anita E. (1989) Early Indonesian Textiles. New York: The Metropolitan Museum of Art.
Niessen, Sandra A. (1993) Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition. Oxford, New York: Oxford University Press.
Sarumpaet, J.A. (1995) Kamus Batak-Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sibeth, Achim (1991) The Batak: Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson.


http://www.miyarasumatera.org/index.php?option=com_content&view=article&id=67:jejak-dong-son-dalam-ulos-dan-kain-sumatera-lainnya&catid=29:news&Itemid=18

No comments:

Post a Comment