Pages

Sunday, March 4, 2012

TINJAUAN HISTORIK GUA UMANG SEBAGAI INDIKASI TRADISI MEGALITIK DI TANAH KARO

TINJAUAN HISTORIK  GUA UMANG SEBAGAI INDIKASI TRADISI MEGALITIK DI TANAH KARO
Oleh: Richa Efrianti Tarigan & Lukitaningsih,


ABSTRAK:
 
Tradisi megalitik adalah tradisi yang didasari konsep kepercayaan akan adanya roh, adanya kehidupan setelah mati adanya hubugan timbal balik antara orang yang mati dan yang hidup, dan adanya tempat tinggal roh yaitu di tempat-tempat yang tinggi/ gunung/ bukit, serta penghormatan terhadap leluhur, dan tradisi megalitik mengenal dua sistem penguburan yakni sistem penguburan primer (dengan atau tanpa wadah kubur) dan sistem penguburan sekunder (dengan wadah kubur).

Masyarakat Karo mengenal tradisi megalitik terbukti dengan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme pada masyarakat Karo (agama pemena), dan masyarakat Karo mengenal tiga sistem penguburan yakni penguburan primer, penguburan sekunder dan penguburan primer-sekunder yang merupakan karaterisrik dari tradisi megalitik secara umum.Di Tanah Karo terjadi perubahan proses prosesi penguburan dan perubahan bentuk wadah kubur. Hal ini terjadi karena masuknya agama Hindu dan agama Kristen di Tanah Karo.Kata Kunci: Gua Umang, Tanah Karo, Megalithik* Alumni Jur.Pend.Sejarah FIS UNMED*Pengajar Jur.Pend.Sejarah FIS UNIMED

PENDAHULUAN:

“Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik dapat berupa artefak, ekofak dan fitur, sedangkan tinggalan non- fisik dapat berupa falsafah, nilai, norma yang nenjadi sumber aktivitas kelakuan yang berpola dan tinggalan fisik kebudayaan masa lalu”(Ardika, 1998 dalam Setiawan, 2009: 94).

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia mulai dari masa Paleolitikum hingga Neolitikum serta berbagai proses yang melingkupinya kepercayaan manusia juga mengalami perkembangan. Perkembangan kepercayaan yang cukup kompleks kemudian dikenal dalam tradisi Megalitik (Susilowati, 2005:80). Kebudayaan megalitik didasari oleh konsep kepercayaan akan adanya roh, adanya kehidupan setelah mati, adanya hubungan timbal balik antara orang yang mati dan yang hidup, dan adanya tempat tinggal roh yaitu di tempat-tempat yang tinggi/gunung/bukit, serta penghormatan kepada leluhur (Wiradnyana, 2005:24).

Tradisi megalitik dalam kenyataannya masih berkembang pada saat ini. Di beberapa daerah di Indonesia, sekalipun tradisi tersebut tidak tampak secara utuh  tetapi tetap menyisakan  unsur-unsurnya. Di Indonesia sendiri tinggalan- tinggalan megalitik masih terus dibuat dan digunakan oleh masyarakat seperti di Nias, Nusa Tenggara Timur, Toraja, dan di Samosir, bahkan tradisi megalitik ini diduga juga berkembang di Tanah Karo.

Adapun bangunan monumental yang berupa kuburan dinding batu juga dijumpai di Tanah Karo, sebuah wilayah kabupaten yang terdapat di Sumatera Utara yang didiami masyarakat (Batak) Karo. Monument dimaksud, disamping memiliki bentuk yang unik sekaligus memiliki persamaan dengan daerah lainnya mengindikasikan keterkaitannya dengan tradisi megalitik yang berkembang di Indonesia pada umumnya, di Sumatera pada khususnya (Wiradnyana, 2005:21). Bangunan monumental di atas dinamai Gua Umang oleh masyarakat Karo.

Ada beberapa Gua Umang yang terdapat di Kabupaten Karo, salah satunya di Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo. Sebelumnya Ketut Wiradnyana telah menulis tentang Gua Umang yang terletak di Desa Sari Nembah, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo. Dr. Edmund Edwards Mc Kinnon (peneliti dan arkeolog berkebangsaan Inggris) dan Eron Damanik, M.Si (staf Pussis UNIMED) juga telah mempublikasikan Batu Kemang atau Batu Umang yang ada di Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu peneliti memilih objek penelitian Gua Umang yang terdapat di Desa Perbesi, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo untuk melihat bentuk dan perkembangan, fungsi, serta persepsi masyarakat Karo mengenai Gua Umang dengan acuan tulisan-tulisan para arkeolog dan sejarawan di atas.

Menurut para arkeolog dan sejarawan di atas Gua Umang adalah sebuah wadah kubur atau yang berfungsi serupa dengan sarkofagus. Tinggalan megalitik sejenis sarkofagus di Indonesia banyak ditemukan di Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Toraja, dan di Samosir.  Gua Umang masih merupakan indikasi bagian budaya megalitik di Tanah Karo karena secara khusus objek arkeologis dimaksud belum pernah diteliti secara khusus dan mendalam. Belum diketahui apa fungsi gua ini sebenarnya namun jika dilihat dari bentuk dan fungsi di daerah lain di Indonesia yang memiliki kesamaan, maka diduga objek ini memiliki fungsi yang berkaitan dengan penguburan.Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Gua Umang ini peneliti mengangkat permasalahan di atas menjadi sebuah tulisan dalam bentuk penelitian tentang “ Tinjauan History Gua Umang Sebagai Indikasi Tradisi Megalitik di Tanah Karo”.

PEMBAHASAN:

1.    GuaGua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari .Gua adalah liang (lubang) besar pada kaki gunung .Gua juga dipakai sebagai kuburan,terutama untuk suku tertentu seperti Toraja yang menetapkan hunian abadi nenek moyang atau mereka yang mendahului keluarga yang masih hidup di suatu tempat yang perlu upaya untuk mencapainya. Penguburan terakhir ini memerlukan upacara agar roh yang meninggal mendapatkan tempat sebagaimana mereka menjalankan kehidupan di dunia ( PaEni, 2009:19).

Dewasa ini Gua Umang juga sering disebut- sebut sebagai salah satu Gua Peninggalan zaman Prasejarah di Sumatera. Gua Umang ini dianggap sebagai indikasi Tradisi Megalitik di Tanah Karo. Gua umang bukan merupakan gua yang di bentuk secara alamiah, tetapi Gua Umang merupakan gua buatan yang dibuat dengan cara memahat tebing ataupun batu. Gua Umang diduga berfungsi sebagai wadah penguburan sekunder. Gua ini memiliki fungsi yang sama seperti sarkofagus yakni sebagai wadah penyimpanan tulang-belulang.

Situs-situs gua prasejarah tersebar pada beberapa wilayah di Nusantara, antara lain Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Umumnya budaya yang terdapat di situs- situs ini bercorak mesolitik hingga neolitik awal, bahkan juga terdapat budaya yang bercorak paleolitik. Di Sumatera, situs gua prasejarah di temukan di bagian Selatan dan Utara. Situs gua Tiangko Panjang (Kecamatan Sungai Manua, Kabupaten Bangko, Jambi), Provinsi Sumatera Selatan mewakili situs bagian selatan Sumatera. Kemudian untuk bagian utara Sumatera meliputi Gua Kampret, Gua Marike, Ceruk Bukit Lawang di Kabupaten Langkat, Gua Putri Pukes, Loyang Mendali di Aceh, Gua Togi Ndrawa dan Gua Togi Bogi  (Susilowati, 2009:182).

2.    Umang
Umang adalah sebangsa makhluk halus, orang bunian yang biasa hidup di gua-gua batu, sebangsa orang cebol yang suka menculik manusia dan beberapa lama kemudian mengembalikannya, sebangsa makhluk halus yang mempunyai keahlian untuk menghilang (Kamus Karo Indonesia)Umang merupakan bahasa Karo yang berarti jin atau roh. Umang seperti manusia, tetapi lebih kecil. Bedanya lagi, kalau berjalan, kakinya terbalik, tumitnya menghadap kedepan sedangkan kakinya ke arah belakang (Tolen Ketaren, dalam Posmetro Medan Minggu, 13 Februari 2011).Umang adalah sejenis makhluk yang digambarkan sebagai manusia kerdil dengan telapak kaki yang terbalik, artinya kalau manusia biasa jari-jari kakinya menghadap ke depan maka pada orang umang kebalikannya (Wiradnyana, 2005:24).

3.    Tradisi
Berbicara mengenai Tradisi artinya kita berbicara mengenai sesuatu yang mempunyai fungsi memelihara atau menjaga yaitu sesuatu yang disebut dengan traditum yang di transmisikan satu generasi ke generasi berikutnya (Sanjoyo, 1985). Sementara itu Edward Skill dalam Sanjoyo (1985:90) menyatakan:    Arti tradisi yang paling mendasar adalah “traditium”, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang bisa berupa benda atau tingkah laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan, dan cita-cita. Dalam hal ini tidak di permasalahkan berapa lama unsur-unsur tersebut dibawa dari satu generasi ke generasi berikutnya.

4.    Megalitik
Dalam “Metode Penelitian Arkeologi”, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (1999)  Megalitik berasal dari kata Mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Oleh karena itu megalitik adalah bangunan yang dibuat dari batu besar,yang terjadi selama masih berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan  kegiatan masyarakat sebelum ada pengaruh Hindu- Budha dan Islam.

Sementara menurut Sonjaya (2008:26) megalitik secara hafiah berasal dari dua kata, yakni mega’besar’ dan lithos’batu’, sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah.

Megalitik merupakan budaya universal karena jejaknya ditemukan di berbagai tempat di dunia seperti di Eropa, Asia, dan bahkan di pulau- pulau kecil di Polinesia.. Pendirian monument megalitik (wadah kubur) bertujuan menjaga perjalanan arwah nenek moyang ke dunianya, agar tidak tersesat dan terhindar dari ancaman bahaya (Geldern, 1928: 276-315 dalam Wiradnyana, 2005:20).

Pada garis besarnya tinggalan megalitik dibedakan dalam 3 kelompok, masing-masing adalah:
1. tinggalan yang berhubungan dengan sistem penguburan;
2. tinggalan/ objek tunggal yang berhubungan dengan sistem pemujaan dan;
3. tinggalan berbentuk struktur. Tinggalan berbentuk kubur ditandai sisa penguburan seperti rangka manusia, bekal kubur dan lainnya. Objek tunggal contohnya adalah menhir, dolmen, dan wujud lainnya yang berasosiasi dengan upacara religi. Adapun tinggalan berbentuk struktur, dibentuk dari sejumlah batu yang menghasilkan antara lain punden berundak, dan bangunan megalitik campuran dalam satu areal (ada jalan batu, meja batu, tangga batu dan sebagainya) yang pembangunannya berhubungan dengan ide megalitik. Dari uraian di atas Gua Umang tergolong kedalam kelompok yang pertama yakni tinggalan megalitik yang berhubungan dengan sistem penguburan, karena Gua Umang di duga merupakan kuburan dinding batu  yang memiliki kesamaan fungsi dengan Sarkofagus pada umunya.

5.    Persepsi
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu selalu bersosialisasi satu dengan yang lain terhadap objek yang ada disekitarnya, baik terhadap sesama manusia,  peristiwa, norma-norma, gejala sosial dan juga benda-benda. Kita juga sering mendengar kata “persepsi” yang ditujukan kepada individu atau perseorangan yang menanggapi suatu peristiwa atau informasi yang terjadi dilingkungan suatu masyarakat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:863) “persepsi” adalah tanggapan/ penerimaan langsung dari sesuatu atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya.Hal di atas didukung oleh pendapat Thoha (1999:138) yang menyatakan persepsi adalah: Proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahai persepsi adalah terletak dari pengenalan bahwa persepsi itu adalah suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Persepsi sangat berperan dalam menentukan sikap dan prilaku seseorang.

Sedangkan menurut Martinus (2001:67) persepsi merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya, kesadaran atau tanggapan akan sesuatu yang diterima oleh panca indranya.Selanjutnya Wirawarman (1995:37) menyatakan bahwa proses persepsi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, dimana hasil penilaian terhadap apa yang diindrakan akan mempengaruhi tingkah laku.

Dari pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa persepsi adalah tanggapan atau pandangan seseorang tentang sesuatu hal. Persepsi seseorang dapat bersifat positif dan negatif. Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang dialami oleh orang tersebut.    Gua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari  Gua juga dipakai sebagai kuburan, terutama untuk suku tertentu seperti Toraja yang menetapkan hunian abadi nenek moyang atau mereka yang mendahului keluarga yang masih hidup di suatu tempat yang perlu upaya untuk mencapainya. Penguburan terakhir ini memerlukan upacara agar roh yang meninggal mendapatkan tempat sebagaimana mereka menjalankan kehidupan di dunia Umang adalah sebangsa makhluk halus, orang bunian yang biasa hidup di gua-gua batu, sebangsa orang cebol yang suka menculik manusia dan beberapa lama kemudian mengembalikannya, sebangsa makhluk halus yang mempunyai keahlian untuk menghilang (Kamus Karo Indonesia). Umang adalah sejenis makhluk yang digambarkan sebagai manusia kerdil dengan telapak kaki yang terbalik, artinya kalau manusia biasa jari-jari kakinya menghadap ke depan maka pada orang umang kebalikannya. 

Arti tradisi yang paling mendasar adalah “traditium”, yaitu sesuatu yang diteruskan (transmitted) dari masa lalu ke masa sekarang bisa berupa benda atau tingkah laku sebagai unsur kebudayaan atau berupa nilai, norma, harapan, dan cita-cita. Dalam hal ini tidak di permasalahkan berapa lama unsur-unsur tersebut dibawa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Megalitik adalah bangunan yang dibuat dari batu besar,yang terjadi selama masih berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan  kegiatan masyarakat sebelum ada pengaruh Hindu- Budha dan Islam. megalitik secara hafiah berasal dari dua kata, yakni mega’besar’ dan lithos’batu’, sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah.

Kesimpulan
  Gua Umang yang terdapat di desa Sari Nembah Kecamatan Munte dipahat pada dinding tebing batu. Pintu masuknya berukuran 47 cm x 51 cm dan berhiaskan pelipit di seluruh sisinya. Pintu masuk menghadap ke arah barat daya dan pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Ruang di dalamnya berdenah lonjong  kebulat-bulatan dengan bagian terpanjang 230 cm dan bagian terlebar 150 cm. Pada sisi kiri (utara) lantai ruang tersebut dibuat berteras mengikuti bentuk dinding dengan beda tinggi 16 cm dan lebar 30 cm serta panjangnya 194 cm. Tinggi atap ruangan ini adalah 85cm.  Pada tulisannya  beliau menyebutkan bahwa Gua Umang merupakan indikasi tradisi megalitik di Tanah Karo. Pada tulisannya beliau menggambarkan proses penguburan pada tradisi megalitik yang terdiri dari penguburan primer dan sekunder., dan Gua Umang digunakan sebagai tempat penyimpanan tulang-belulang pada penguburan sekunder oleh masyarakat Karo.

Gua Umang atau Batu Kemang memiliki fungsi untuk menyimpan kerangka manusia. Batu Kemang dipahat khusus menyerupai rumah sebagai rumah untuk orang yang telah meninggal. Gua Umang atau Batu Kemang yang  terbuat dari batu  besar. Di dalam batu itu diberi lubang yang dibuat dengan pahat. di bagian- bagian depannya terdapat  pintu berukuran 60 cm x 60 cm sebagai jalan untuk memasukkan kerangka mayat . Di bagian atas pintu tersebut diberi ornamentasi menyerupai rumah. Luas pahatan batu pada Batu Kemang di Sembahe berukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 80 cm (sisi kanan dan kiri) dan 1 meter di tengahnya. di Tanah Karo ada beberapa Gua Umang, namun keberadaanya belum teridenfikasi seluruhny  merupakan pengaruh kepercayaan Hindu Budha yang terbawa masuk kepada masyarakat Karo  sewaktu penetrasi Hindu sejak abad ke-9 bahkan bisa lebih tua.


DAFTAR PUSTAKA
Dada Meraxa. 1973. Sejarah Kebudayaan dan Suku-Suku Di Sumatera Utara. Medan: Sastrawan
Departemen Pendidikan Nasional. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Depdiknas. 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka    Martinus, S. 2001. Kamus Kata Serapan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka UtamaPaEni, Muklis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Arsitektur. Jakarta: PT. Raja Gravindo Pesada.Sonjaya, Jajang A. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias, Yogyakarta: KanisiusSusilowati, Nenggih, 2009. “ Gua dan Kawasan Karst, Daya Tarik Serta Ragam Fungsinya dalam Kehidupan Manusia” dalam Sangkhala No 24. Medan: Balai Arkeologi Medan. hal 181- 185Wiradnyana, Ketut,2005. “ Gua Umang, Kubur Dinding Batu di Tanah Karo: Indikasi Tradisi Megalitik”, dalam Sangkhala No 16. Medan: Balai Arkiologi Medan


http://pendidikansejarahunimed.blogspot.com/2012/01/historitical-gua-umang-megalitik-tanah.html

No comments:

Post a Comment