Pages

Friday, March 9, 2012

SUKU MANDAILING


SUKU MANDAILING

Batak Mandailing atau sering disebut sebagai Mandailing saja merupakan penduduk asli di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Marga yang digunakan pada sub suku Batak Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Orang-orang keturunan Batak Mandailing masih banyak terdapat di Malaysia terutamanya di Negeri Sembilan, tepatnya di Kg. Kerangai, Kg. Lanjut Manis dan Kg. Tambahtin.

Suku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.

Terdapat perdebatan tentang apakah orang Mandailing tergolong dalam suku bangsa Batak atau tidak. Sebagian orang berpendapat bahwa orang Mandailing merupakan salah satu puak suku bangsa Batak , tetapi ada pula yang menyatakan Mandailing merupakan suku bangsa terpisah. Pada tahun 1922-1926 terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim yang mengaku sebagai Batak untuk dikuburkan di tanah wakaf Mandailing di Sungai Mati, Medan. Mahkamah Syariah Deli memutuskan hanya orang Mandailing yang berhak dikuburkan pada tanah wakaf tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai salah satu pengukuhan terhadap perbedaan identitas orang Mandailing dan Batak

Daerah Mandailing-Natal (MADINA)

Pada 1992, Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I Sumatra Utara memutuskan pemekaran wilayah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara. Dalam proses itu, Mandailing dan Natal dinaikkan statusnya menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri daripada:
Daerah Tingkat II Kabupaten Angkola Sipirok
Daerah Tingkat II Kabupaten Padang Lawas
Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal
Daerah Tingkat II Kotamadya Padang Sidempuan
Prioritas utama pemekaran wilayah itu adalah pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Kabupaten Mandailing Natal dikenali sebagai MADINA, persis seperti Madina tempat berdirinya dinul-Islam.

Mandailing Dalam Sejarah
 
Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".

Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.

Na Itam Na Robi
Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu na itom na robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat si pele begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.

Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.

Amalan si pele begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.

Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu, dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan si pele begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menapis/menyaring amalan dan perubatan dari zaman na itom na robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam.

Marga-Marga Mandailing
Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan beberapa marga yang berlainan asalnya.

Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing.

Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama".

Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya tidak muncul serentak. Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga.

Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13 marga. Marga-marga itu ialah:

1. Hasibuan 6. Nasution 10. Matondang
2. Dalimunte 7. Rangkuti 11. Batu Bara
3. Mardia 8. Parinduri 12. Tanjung
4. Pulungan 9. Daulae 13. Lintang
5. Lubis

Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama. Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.

Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu.

Kepimpinan Dalam Masyarakat Mandailing
Bila Belanda mula memasuki Mandailing pada abad ke 19, marga yang berkuasa dalam masyarakat Mandailing ialah marga Lubis dan Nasution. Golongan ini berkuasa dalam masyarakat Mandailing sampai akhir penjajahan Belanda.

Marga-marga lain berkedudukan sebagai penduduk biasa yang secara berkelompok dipimpin oleh ketuanya masing-masing yang disebut kepala ripe. Kepala-kepala ripe ini berada di bawah raja-raja bermarga Lubis dan Nasution.

Namun ada kemungkinan bahwa sebelum kedua marga tersebut memegang kekuasaan di Mandailing, marga-marga lain pernah menerajui tampuk kepimpinan dalam lingkungan-lingkungan tertentu di Mandailing. Kemungkinan ini ada saja seperti yang ditemui dalam legenda Si Baroar, raja yang paling berkuasa di Mandailing ialah Sutan Pulungan, raja orang Huta Bargot di seberang sungai Batang Gadis.

Cerita lain mengisahkan mengenai seorang tokoh yang bernama Sutan Mardia kahwin dengan seorang gadis dari marga Borotan yang mendiami satu tempat bernama Banjar Sibaguri dekat Panyabungan sekarang. Kemudian Sutan Mardia menjadi raja di satu lingkungan yang bernama Padang Mardia. Maka diduga bahwa marga Mardia pernah berkuasa di lingkungan tersebut.

Bagaimana marga Lubis dan Nasution berkuasa di seluruh wilayah Mandailing tidak diketahui dengan jelas. Ada dugaan bahwa oleh kerana jumlah warga kedua-dua marga tersebut lebih besar daripada jumlah warga marga-marga lain, maka marga Lubis dan Nasution menguasai lebih banyak tempat di Mandailing, yang kemudian mereka kembangkan menjadi kerajaan-kerajaan kecil di masa lalu. Ada kemungkinan juga kedua-dua marga tersebut menang perang dan membagikan Mandailing kepada dua jajahan kekuasaan mereka.

Apa lagi para anggota marga Lubis dan Nasution senantiasa pula menjalin hubungan perkahwinan secara timbal balik, yang berarti keduanya secara teratur membangun ikatan kekerabatan yang luas dan kuat sehingga kedudukan mereka makin lama makin bertambah kokoh berhadapan dengan marga-marga lain. Hal yang demikian berarti bahwa marga Lubis dan Nasution mempunyai peluang besar untuk terus lebih memperkuatkan kedudukan mereka di antara marga lain.

Arsitektur & Lanskap
Fungsi Bagas Godang & Sopo Godang  


Bagas Godang (Rumah Raja) senantiasa dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak di hadapan atau di samping Rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagaimana jumlah anak tangganya. Untuk melambangkan bahwa pemerintahan dalam Huta adalah pemerintahan yang demokratis, maka Sopo Godang dibangun tanpa didinding. Dengan cara ini, semua sidang adat dan pemerintahan dapat dengan langsung dan bebas disaksikan dan didengar oleh masyarakat Huta. Sopo Godang tersebut dipergunakan oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras sebagai wakil rakyat untuk "tempat mengambil keputusan-keputusan penting dan tempat menerima tamu-tamu terhormat". Sesuai dengan itu, maka bangunan adat tersebut diagungkan dengan nama Sopo Sio Rancang Magodang inganan ni partahian paradatan parosu-rosuan ni hula dohot dongan (Balai Sidang Agung tempat bermusyawarah/mufakat, melakukan sidang adat dan tempat menjalin keakraban para tokoh terhormat dan para kerabat). Biasanya di dalam bangunan ini ditempatkan Gordang Sambilan iaitu alat muzik tradisional Mandailing yang dahulu dianggap sakral (sacred).

Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh kerana itulah maka kedua bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman Bagas Godang dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang). Sesiapa yang mencari perlindungan dari ancaman yang membahayakan dirinya boleh mendapat keselamatan dalam halaman ini (sanctuary). Menurut adat Mandailing, pada saat orang yang sedang dalam bahaya memasuki halaman nin, ia dilindungi Raja, dan tidak boleh diganggu-gugat.


Sesuai dengan fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang, kedua bangunan adat tersebut melambangkan keagungan masyarakat Huta sebagai suatu masyarakat yang diakui sah kemandirannya dalam menjalankan pemerintahan dan adat dalam masyarkat Mandailing. Kerana itu, kedua bangunan tersebut dimuliakan dalam kehidupan masyarkat.
Adat-resam (tradisi) Mandailing menjadikan kedua bangunan adat tersebut sebagai milik masyarkat Huta tanpa mengurangi kemulian Raja dan keluarganya yang berhak penuh menempati Bagas Godang. Oleh kerana itu, pada masa lampau Bagas Godang dan Sopo Godang maupun Alaman Bolak Silangse Utang dengan sengaja tidak berpagar atau bertembok memisahkannya dari rumah-rumah penduduk Huta.


Sumber:

No comments:

Post a Comment