Pages

Monday, March 5, 2012

SIMALUNGUN & KARO


SIMALUNGUN & KARO


Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Negeri Medan (PUSSIS-UNIMED)
1. Pengantar
Terdapat dua kerajaan kuno terbesar (the great ancient kingdom) di Sumatra Utara, yaitu Aru dan Nagur. Kerajaan Aru sangat popular dalam tulisan Karo dan khususnya Melayu. Artifak kerajaan ini masih berdiri kokoh berupa batu Nisan bernuansa Islam (Islamic tomb) yang terhampar di Kota Rentang Hamparan Perak maupun Benteng Putri Hijau di Delitua Namurambe. Sedangkan kerajaan Nagur dikenal luas sebagai kerajaan Batak yakni Simalungun.
Kedua kerajaan ini, rentan mendapat serangan dari Aceh dalam rencana unifikasi kerajaan di Sumatra dalam genggaman Aceh. Seperti diketahui, Kerajaan Aceh berencana untuk mempersatukan seluruh kerajaan di Sumatra sehingga melakukan agresi dan pelenyapan kerajaan hingga Bintan. Tentang hal ini, dapat dibaca dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara (1967) ataupun Singa Atjeh (1957) tulisan HM. Zainuddin. Demikian pula dalam buku Kerajaan Aceh (2007) tulisan Denys Lombard, Kronika Pasai (1987) oleh Ibrahim Alfian, Aceh: Dimata Kolonialis (1984) tulisan Snouck Hurgronje, atau pula surat Iskandar Muda kepada King James-I di Inggris pada tahun 1615 (Golden Letter: Surat Emas Raja Nusantara, 1997: Lontar Indonesia).
2. Catatan Tentang Nagur
Kerajaan Nagur diyakini merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Utara yang berlokasi di Simalungun, penguasa ataupun pemerintahnya adalah dinasti Damanik. Sumber-sumber tulisan tentang Nagur umumnya diperoleh dari tulisan pengelana Tiongkok seperti Cheng Ho dan Ma Huan. Tulisan-tulisan tersebut telah dikompilasi oleh Groenoveltd, dalam Historical Notes in Indonesia and Malay (1960). Selanjutnya, menurut catatan Parlindungan (2007) dalam bukunya Tuanku Rao, Nagur berdiri pada abad ke-5 dan runtuh pada abad ke-12. Dalam buku tersebut diuraikan bahwa, Raja Nagur terakhir yang bernama Mara Silu, pada saat keruntuhan swapraja tersebut melarikan diri ke Aceh, berganti nama dan menjadi Islam. Di Aceh ia dikenal dengan gelar Malik As Saleh (Malikul Saleh). Dalam Riwayat Raja-Raja Pasai (penulis dan tahun penulis tidak diketahui), diakui bahwa pendiri kerajaan Pasai adalah Merah Silu.
Namun demikian, apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng Ho) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423, kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002) disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan ‘Nakkur’; ‘Nakureh’ atau ‘Japur’. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng Lan, dimana nama Nagur yakni ‘Napur’ merupakan kerajaan ‘Batta’
Selanjutnya, dalam laporan Tomme Pires, penguasa Portugis di Malaka (1512-1515), dalam bukunya Summa Oriental terjemahan Cortesao (1944), banyak menyinggung nama Nagur yang berdekatan dengan Aru. Atau dalam tulisan Mendes Pinto yang berjudul Acehs Crusades against the Batak 1539. Demikian pula laporan Marco Polo yang melakukan perjalanan ke Sumatra pada tahun 1292 yakni, Cannibals and Kings: Nothern Sumatra in the 1290s. Pengelana lainnya adalah laksamana Prancis bernama Augustin De Beaulieu yang melakukan perjalanan ke Sumatra (Pasai) pada tahun 1621 dalam tulisannya yang berjudul The Tyranny of Iskandar Muda. Demikian pula pengelana Maroko Ibn Battuta yang singgah di Pasai pada tahun 1345 dalam laporannya The Sultanate of Pasai around 1345.
Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM. Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-Karo-kan ARU, Nagur dan Batak Timur Raya. Sebagaimana diketahui, yang dimaksud dengan ‘Timur Raja’ dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena posisinya yang percis berada di pesisir Timur Sumatra Utara.
Terbukanya tabir Sumatra secara heurastik, dimulai saat penguasa Inggris di Bengkulu yakni Thomas Raffles, mengutus William Marsden pada tahun 1770 untuk menyelidiki potensi ekonomi Sumatra. Buku penyelidikan tersebut kini sudah dibukukan dengan judul “The History of Sumatra (2007). Di dalam buku tersebut banyak dituliskan tentang potensi ekonomi di Asahan yang disebutnya dengan term ‘Batta’ (Batak). Kemungkinan yang dimaksud adalah orang Simalungun yang bermukim didaerah Itu. Selanjutnya, pada tahun 1823, Whrite Philips, Gubernur Jenderal Inggris di Penang mengutus John Anderson untuk penyelidikan lebih intensif terhadap potensi ekonomi Sumatra. Buku laporan Anderson yang terkenal itu adalah Mission to the East Cost Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1826. Buku tersebut, juga telah mendeskripsikan keadaan di Asahan atau pesisir timur Sumatra. Kuat dugaan bahwa penghuni Asahan pada saat itu adalah orang Simalungun dimana daerah domisili orang Simalungun pada saat itu memanjang hingga Asahan, Batubara dan Pagurawan (Juandaharaya dan Martin Lukito, Tole den Timorlanden das Evanggelium, 2003). Buku yang lebih sempurna, berdasarkan tinjauan akademis dan sistematika ilmiah adalah karangan Edwin M. Loeb (1935) dengan judul Sumatra: Its History and the People. Dalam karangan itu, juga disebut tentang riwayat kerajaan di Simalungun.
Penyelidikan tentang kondisi sejarah, kebudayaan dan penguasaan daerah sangat penting dilakukan terutama terhadap laporan-laporan pemerinatah Kolonial seperti laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag, OV), Laporan umum (Algemeen Verslag, AV), laporan Politik (Politiek Verslag), Laporan Penanaman (Cultuur Verslag) atau juga Laporan Serah Terima Jabatan (Memorie van Overgrave), seperti yang diwajibkan dalam tata administrasi kolonial, karena laporan-laporan tersebut banyak menuliskan tentang kondisi wilayah yang sedang dikuasai. Di Simalungun, nama-nama yang mesti diperhatikan adalah Tidemann, Kroesen, Theis, Westenberg, Neumann, Voorhoeve, dan lain-lain.
Keberadaan Nagur (512-1252) seperti dalam buku Tuanku Rao karangan MOP, dikatakan bahwa ayahnya, Sutan Martua Raja (SMR) adalah seorang guru Kristen di Pematang Siantar dan banyak mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Hanya saja, dokumen-dokumen tersebut musnah terbakar sebelum sempat ditulis dengan sempurna. Buku Tuaku Rao hanyalah 20% dari sejumlah dokumen yang dikumpulkan oleh SMR. Bisa jadi, laporan SMR tentang Simalungun ikut musnah terbakar.
3. Manuskrip Tentang Nagur
Manuskrip yang ada dan meriwayatkan tentang kerajaan Nagur adalah Parpadanan Na Bolag (PNB). Namun demikian, manuskrip itu membutuhkan analisis tajam serta kehatihatian yang tinggi karena banyak menyebut nama person, peristiwa dan daerah yang kini tidak dapat di compare dengan peta yang ada. Misalnya, dimanakah Padang Rapuhan, atau dimanakah Hararasan, atau Bondailing?. Oleh sebab itu, terhadap manuskrip tersebut mutlak dilakukan Discourse Analysis, sehingga dapat memunculkan makna yang terkandung dalam teks atau naskah.
Literatur Simalungun yang mencoba menyajikan tentang Nagur adalah Hukum Adat Simalungun (Djahutar Damanik, 1984) atau Sejarah Simalungun (TBA Tambak, 1976) tidak banyak mengupas tentang manuskrip dan keberadaan Nagur, namun cenderung menuliskannya berdasarkan oral tradition version. Demikian pula pada buku Pustaha Simalungun yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumut yakni hasil transliterasi latin oleh JE. Saragih, masih terbatas pada tradisi pengobatan yang ada di Simalungun, tak satupun dalam pustaha tersebut merujuk pada nama ‘Nagur’.
Persoalan lainnya adalah, bahwa riwayat kerajaan Nagur (Nakkureh, Nakkur, Japur) banyak disebut dalam laporan pengelana Eropa dan Tiongkok, namun dimanakah letak daripada kerajaan tersebut masih membutuhkan analisis panjang yang melibatkan Arkeolog dan Sejarawan. Dengan demikian, riwayat kerajaan Nagur dinasti Damanik di Simalungun tersebut masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh (komprehensif) terutama dengan melibatkan arkeolog dan sejarawan serta antropolog sehingga riwayat kerajaan besar tersebut semakin sempurna dan berlandaskan perspektif ilmiah. Lagipula, penelitian dan kajian ilmiah, mutlak dilakukan untuk mendukung sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat.
4. Penutup
Berdasarkan persepsi literer (kepustakaan) tersebut diatas, diyakini bahwa kerajaan Nagur pernah eksis di Sumatra Timur tepatnya di Simalungun. Paling tidak hal tersebut dibuktikan dengan adanya catatan-catatan dari pengelana asing yang singgah di Sumatra Timur dari abad ke-6 hingga ke 16.
Demikian pula tersedianya manuskrip yang meriwayatkan kerajaan tersebut, ataupun dikenalnya kerajaan tersebut melalui tradisi lisan. Namun demikian, untuk memperjelas eksisitensi kerajaan tersebut, baiknya dilakukan penelitian dan pengkajian yang melibatkan lintas disiplin sehingga dapat diterima kebenarannya. Paling tidak, saran ini bermanfaat atau ditujukan kepada pemerintah kabupaten Simalungun di Pematang Raya, ataupun pihak-pihak, badan atau instansi yang berwenang, demikian pula lembaga kemasyarakatan Simalungun yang ada.
Penulis: Peneliti pada Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Ngeri Medan.
BENTENG PUTRI HIJAU: SITUS KERAJAAN ARU DELI TUA SUMATRA TIMUR
BENTENG PUTRI HIJAU: SITUS KERAJAAN ARU
DELI TUA SUMATRA TIMUR
Pengantar
Sejarah peradaban di ujung pulau Andalas dimulai sejak ditemukannya prasasti Lobu Tua Barus (Tapanuli Tengah) yang berangka tahun 1088 M yang menyebut adanya sekitar 1500 orang yang bermukim dikawasan tersebut (Guillot, 2002). Pada umumnya, masyarakatnya adalah pedagang terutama Kapur Barus dan Kemenyan yang banyak ditemukan di pulau Sumatra. Oleh karenanya, dapat dinyatakan bahwa Barus menjadi Bandar perniagaan mancanegara pertama di Sumatra Utara dengan komoditas niaga utamanya yakni Kapur Barus (Champher) dan kemenyan. Diyakini bahwa situs ini berdiri sejak abad ke-6 hingga 11 M dan pasca penetrasi saudagar islam kemudian masyarakatnya terdesak kepedalaman dan membentuk komunitas tersendiri dengan budaya tersendiri pula. Era dimana masuknya Islam di Barus melalui jalur perdagangan ini sekaligus menandai masuk dan berkembangnya agama Islam di ujung pulau Andalas ini.

Situs Lobu Tua Barus adalah situs sejarah tertua (oldest sites) yang telah ditemukan di Sumatra Utara hingga saat ini, kemudian pada periode berikutnya dikenal situs Portibi Padang Lawas Tapanuli Selatan pada abad ke-11. Bukti nyata peninggalan situs Portibi adalah Candi Bahal yang terpengaruh Hindu dan masih eksis hingga kini. Disamping itu, terdapat tiga situs kuno (ancient sites) lainnya yang terletak dikawasan Timur Sumatra Utara yakni Kota Cina (Abad ke 10-13), Kota Rentang (abad 13-14) dan Deli Tua (abad 14-15). Satu situs yang disebut pertama plus Barus dan Portibi telah dicatat oleh Eric M. Oey (1991) dalam bukunya ”Sumatra” dan disebut sebagai kerajaan kuna (ancient kingdom) di Sumatra Utara. Kecuali Kota Cina, dua situs lainnya di kawasan Sumatra Timur yakni Kota Rentang (telah diekskavasi) dan Deli Tua (belum diekskavasi) belum banyak ditulis dan diteliti.
Kerajaan (H)Aru
Sumber-sumber klasik tentang Aru banyak didasarkan pada tulisan penguasa Portugis di Melaka yakni Mendez Pinto, pengembara China, kisah Pararaton maupun Sejarah Melayu. Sumber tersebut mengetengahkan bahwa di Sumatra Utara sekarang terdapat satu kerajaan yang besar yakni (H)Aru. Namun, hingga saat ini belum ada suatu kesimpulan utuh yang menyatakan asal muasal dan lokasi kerajaan Aru, dan lagi disertai adanya tarik menarik antara Karo, Melayu dan Aceh hingga Batak Timur.

Dalam banyak literatur, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti. Namun, McKinnon menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ”Pulau Kompei”. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).

Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ”Karo” yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat kerajaan Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1492-1537. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.

Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ”Sejarah Melayu” yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Prof. Wolters bahwa data-data yang bersumber dari tulisan China dari abad ke 13-15 bukan nyata dari penelitian namun sebatas pengamatan pintas. Oleh sebab itu, pembuktian terhadap tulisan itu harus diarahkan kedalam tanah (ekskavasi) yakni untuk merekontruksi jejak-jejak peradaban (H)ARU di lokasi dimaksud.

Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis banyak ditemukan batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dan nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ”Sejarah Melayu” juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ”Sejarah Melayu” tersebut adalah Kota Rentang.

Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ”Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa”. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ”Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ”(2005).

Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan pengembara asing, kerajaan ini sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh” maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, menurut M.O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao (1964) berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu banyak disebut didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum diserang oleh laskar Aceh.

Tentang hal ini, McKinnon (2008) menulis:”Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom”. Pada akhirnya, sebagai dampak serangan Aceh yang terus menerus ke Kota Rentang, maka ARU pindah ke Deli Tua yakni pada pertengahan abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar mulai berkuasa di Aceh. McKinnon (2008) menulis “a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter”.
Kisah Putri Hijau
Diatas telah disebut bahwa pasca serangan Aceh ke ARU terdahulu, telah menyebabkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‘Panecitan’ yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.

Temuan lainnya adalah mata uang Aceh yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907 dijumpai guci yang berisi mata uang Aceh dan kini tersimpan di Museum Raffles Singapura. Temuan lainnya adalah berupa keramik dan tembikar yang pada umumnya percis sama dengan temuan di Kota Rentang. Temuan keramik dan tembikar ini adalah barang bawaan dari Kota Rentang pada saat masyarakatnya mencari perlindungan dari serangan Aceh.

Hingga saat ini, temuan berupa uang Aceh, keramik dan tembikar dapat ditemukan disembarang tempat disekitar lokasi benteng. Akan tetapi, dari bukti-bukti yang ada itu, tidak diketahui secara jelas apakah ARU Deli Tua telah menganut Islam. Pendapat yang mengemukakan bahwa ARU Deli Tua adalah Islam didasarkan pada sebuah meriam bertuliskan Arab dengan bunyi: ’Sanat… alamat Balun Haru’ yang ditemukan oleh kontrolir Cats de Raet pada tahun 1868 di Deli Tua (Lukman Sinar, 1991). Akan tetapi di tengah meriam tersebut terdapat tulisan buatan Portugis. Hal ini senada dengan tulisan Pinto bahwa ARU memiliki sebuah meriam yang besar. Meriam inilah yang kemudian di sebut dalam kisah Putri Hijau ditembakkan secara terus menerus hingga terbagi dua.

Faktor penyebab serangan Aceh ke ARU yang berlangsung terus menerus adalah dalam rangka unifikasi kerajaan dalam genggaman kesultanan Aceh. Lagipula, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ARU terdahulu ditaklukkan oleh laskar Aceh yang mengakibatkan berpindahnya ARU ke Deli Tua. Hal ini menjadi jelas bahwa hubungan diplomatik antara ARU dengan Aceh tidak pernah harmonis. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa faktor serangan Aceh ke Deli Tua adalah akibat penolakan sang Putri untuk dinikahkan dengan Raja Aceh.

Mengingat kuatnya benteng pertahanan ARU Deli Tua yang ditumbuhi bambu, sehingga menyulitkan serangan Aceh. Menurut catatan Pinto, dua kali serangan Aceh ke Deli Tua mengalami kegagalan. Pada akhirnya pasukan Aceh melakukan taktik sogok yakni dengan memberikan uang emas kepada pengawal benteng. Dalam kisah Putri Hijau disebut bahwa pasukan Aceh menembakkan meriam berpeluru emas, sehingga pasukan ARU berhamburan untuk mencari emas. Penyogokan pasukan ARU yang dilakukan oleh pasukan Aceh, menjadi penyebab kehancuran kerajaan ARU Deli Tua. Benteng dapat direbut dan rajanya dapat ditewaskan.
Permaisuri kerajaan dengan laskar yang tersisa mencoba merebut Benteng, tetapi tetap gagal. Akhirnya permaisuri dengan sejumlah pengikutnya berlayar menuju Malaka dan menghadap kepada gubernur Portugis. Tetapi ia tidak disambut dengan baik. Akhirnya permaisuri menjumpai Raja Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II dan bersedia menikah dengan raja Johor apabila ARU dapat diselamatkan dari penguasaan Aceh. Akan tetapi, ARU telah dikuasai oleh Aceh yang dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan. Akhirnya permaisuri raja ARU menikah dengan raja Johor. Gocah Pahlawan sebagai wali negeri Aceh di ARU yakni kesultanan DELI.
Putri Hijau (Green Princess) adalah salah satu ’cerita’ kepahlawanan (folk hero) yang dikenal dan berkembang luas, paling tidak pada tiga kelompok suku yakni Melayu, Karo dan Aceh. Sebagai cerita rakyat (folktale) kisah Putri Hijau pada awalnya merupakan tradisi lisan (oral) milik bersama masyarakat (communal), berasal dari satu daerah (local) dan diturunkan secara informal (Toelken, 1979:31). Kisah ini memiliki sifat oral dan informal sehingga cenderung mengalami perubahan baik penambahan maupun pengurangan. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila dikemudian hari terdapat versi cerita yang berbeda-beda. Wan Syaiffuddin (2003) mengemukakan versi cerita dimaksud seperti: Syair Puteri Hijau (A. Rahman, 1962); Sejarah Putri Hijau dan Meriam Puntung (Said Effendi, 1977); Puteri Hijau (Hans M. Nasution, 1984) dan Kisah Puteri Hijau (Burhan AS, 1990).

Adanya unsur-unsur pseudo-historis, yakni anggapan kejadian dan kekuatan yang digambarkan luar biasa dalam kisah Putri Hijau cenderung merupakan tambahan dari kisah yang sebenarnya dengan tujuan euhemerisme yakni menimbulkan kekaguman para pendengarnya. Sejalan dengan hal ini, seperti yang diingatkan oleh Baried (1985) bahwa ”kisah’ cenderung menunjukkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, kisah Putri Hijau adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi (Husny, 1975; Said, 1980 dan Sinar, 1991). Dengan begitu, sifat imajinatif-diluar kelogisan nalar manusia-yang terdapat dapat kisah tersebut tidak perlu ditafsirkan secara mendalam karena sifat itu di buat untuk tujuan euhemerisme.
Akan tetapi, penelitian dan ekskavasi arkeologi belum pernah dilakukan sehingga menyulitkan rekontruksi masa lalu ARU Deli Tua.
Kearah Penelitian Arkeologi
Penelitian dan ekskavasi arkeologis telah dilakukan di Kota Cina terutama oleh Edward McKinnon (1973, 1976, 1978), Mc. Kinnon et al., (1974), Bronson (1973), Suleiman (1976), Ambary (1978, 1979a, 1979b), Miksic, (1979), Wibisono (1981) dan Manguin (1989). Temuan-temuan spektakuler di situs seluas 36 Ha ini telah disimpan rapi di Museum Negeri Sumatera Utara berupa keramik, mata uang, batu berfragmen candi ataupun archa. Temuan-temuan hasil penggalian arkeologis di Kota Cina berupa stonewares dan earthenwares dari dinasti Sung, Yuan dan Ming, archa Wisnu dan Lakhsmi serta Budha, menjelaskan bahwa kawasan ini terpengaruh oleh Hindu dan Budha. Demikian pula, kontruksi candi yang terpendam sedalam 60 cm dibawah permukaan tanah. Disamping itu, ditemukan pula jenis mata uang yang berasal dari mancanegara seperti Tiongkok, Burma, India Selatan maupun Thailand dan Muang Thai.

Situs Kota Rentang seluas 500-1000 Ha ini diteliti dan dilakukan penggalian oleh McKinnon pada bulan Maret 2008. Temuan penting dan berharga dari penelitian dan penggalian tersebut adalah ditemukannya stonewares dan earthenwares terutama dari dinasti Yuan dan Ming, mata uang maupun batu kubur (nisan) yang tersebar luas di situs sejarah (historical sites) tersebut. Temuan berupa batu kubur yang percis sama dengan di Aceh, sekaligus menguatkan dugaan bahwa kawasan ini pernah dikuasai oleh Islam terutama yang datang dari Aceh. Namun demikian, sebelum di kuasai oleh Aceh, kawasan ini lebih dahulu dipengaruhi oleh Hindu maupun Budha karena adanya temuan batu dan kayu besar yang diduga bekas bangunan candi.

Daerah ini dijelajahi oleh E. E. McKinnon, (Arkeolog Inggris) pada tahun 1972, sebelum memutuskan menggali di Kota Cina. Beliau menulis: ”beberapa nisan batu Aceh yang besar dan signifikan yang ada di Kota Rentang pada tahun 1972 sekarang sudah menghilang, tetapi dari jenis-jenisnya yang dilihat dahulu, maka mendukung anggapan lokasi di Kota Rentang sebagai pemukiman orang-orang bangsawan. Sama juga dengan mutu keramik dari awal abad ke-13 yang telah ditemui dilokasi-lokasi yang sama, yaitu dari misi pelayaran Laksamana Cheng Ho (Zhenghe) dan kunjungannya ke ARU pada tahun 1411-1431”.

Pendudukan Aceh di Kota Rentang, telah mengubah populasinya dengan warna Islam. Batu nisan di impor dari Aceh dan menjadi pertanda bagi orang meninggal dunia dan umumnya mereka itu adalah kaum bangsawan Kota Rentang. Dan yang terpenting adalah dibentuk dan didirikannya sebuah kerajaan dengan corak Islam yang dikemudian hari dikenal dengan ARU (abad ke-13). Hal ini senada dengan bukti-bukti yang ada berupa tulisan dan laporan yang menyebutkan bahwa nama kerajaan (H)Aru telah disebut pada abad ke -13.

Situs Benteng Putri Hijau (Ijo) terdapat di Deli Tua-Namu Rambe dan berdasarkan survei yang dilakukan oleh John Miksic (1979) luasnya adalah 150 x 60 M2 atau 360 Ha. Letaknya percis diantarai dua lembah (splendid area) yang disebelah baratnya mengalir Lau Patani/Sungai Deli. Temuan penting dari situs ini adalah ditemukannya benteng pertahanan yang terbuat secara alami maupun bentukan manusia. Situs ini termasuk dalam kategori local genius terutama dalam menghadapi musuh, yakni musuh yang datang menyerang harus terlebih dahulu menyeberangi sungai, kemudian mendaki lereng bukit (benteng alam) dan akhirnya sampai di benteng bentukan manusia. Oleh karenanya, musuh memerlukan energi yang cukup kuat untuk bisa sampai kepusat benteng. Menurut McKinnon, jenis benteng seperti ini banyak terdapat di Scotlandia maupun Inggris sebelum abad pertengahan.

Temuan lain adalah banyaknya keramik ataupun tembikar yang menunjuk tarik yang hampir sama dengan temuan di Kota Rentang, juga temuan mata uang (koin) Dirham, mata uang emas dari Aceh yang banyak ditemukan oleh masyarakat sekaligus menjadi bukti sejarah bahwa pasukan Aceh pernah menaklukkan kawasan ini dengan menembakkan meriam ber-peluru emas sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat Putri Hijau (green princess). Setelah diserang oleh laskar Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar yang berkuasa tahun 1537-1571, (bukan Iskandar Muda) pada tahun 1564, nama ARU tidak pernah diberitakan lagi. Serangan Aceh yang kedua ini adalah serangan yang terhebat dimana seluruh kerajaan ARU habis dibakar dan yang tersisa hanyalah Benteng yang masih eksis hingga sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Mohammad Said (1980) dimana peperangan yang terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1612-1619) tidaklah sehebat pertempuran pada masa Sultan Al-Kahar. Lagi pula, pada masa kepemimpinan Iskandar Muda ini, tidak terdapat suatu tulisan bahwa Melayu di pimpin oleh Sultan Perempuan. Diyakini bahwa lokasi ini merupakan pusat kerajaan Aru Deli Tua dimana kisah Puteri Hijau sangat popular dan banyak diketahui oleh masyarakat.
Bandar Niaga
Kota Cina dan Kota Rentang dipercaya merupakan bandar internasional yang sangat sibuk dengan frekuensi niaga yang cukup tinggi. Hal lain dibuktikan dengan banyaknya temuan keramik dan mata uang yang berasal mancanegara seperti Tiongkok, China, Vietnam, Burma, Srilangka dan Arab. Arus perdagangan yang tinggi tersebut terutama ditujukan untuk perolehan komoditas seperti Kapur Barus dan Kemenyan maupun stonewares dan earthenwares. Jika merujuk pada dinasti Cina, maka keramik dan tembikar tersebut berasal dari Song, Yuan dan Ming. Tidak mustahil apabila material tersebut dibawa langsung dari negara asalnya untuk diperdagangkan atau dipertukarkan dengan kemenyan atau Kapur Barus dengan masyarakat setempat.

Jalur perdagangan sungai (riverine) merupakan entrance ke pusat perdagangan seperti Kota Cina dan Kota Rentang melalui sungai Deli, sungai Wampu dan sungai Sunggal yang bermuara ke Belawan (Belawan ertuary). Tentang hal ini, Anderson (1823) telah mengingatkan pentingnya jalur-jalur Sungai besar dan bermuara langsung ke Belawan. Lagipula, temuan bongkahan perahu yang ditemukan di kedua lokasi (Kota Rentang dan Kota Cina) menjadi bukti nyata bahwa kedua area ini menjadi bandar niaga yang padat dan sibuk. Hanya saja proses sedimentasi yang berlangsung ratusan tahun ini telah mengakibatkan kedua daerah ini seakan menjauh dari laut.

Situs yang telah ditemukan di pesisir pantai Timur Sumatra ini menandakan bahwa wilayah ini pernah menjadi bandar niaga bertaraf internasional sesuai zamanya, sekaligus menjadi centrum kerajaan Aru yang besar dan penting dalam menjelaskan peradaban Sumatra Timur. Namun, kekurang perhatian masyarakat dan instansi terkait terhadap situs-situs sejarah menjadi faktor utama (main factor) penyebab kemusnahan situs ini. Ironisnya, ketiga situs ini tak satupun yang terawat dan bahkan semuanya hampir musnah. Kota Cina telah diserobot dan diduduki oleh masyarakat dengan menjadikannya sebagai areal pemukiman dan pertanian, sama halnya dengan Kota Rentang. Sedangkan Benteng Putri Hijau terancam musnah sebagai dampak pembangunan perumahan yang percis menempel ke badan Benteng. Bahkan, sebagian badan benteng telah dirusak untuk memberi jalan ke perumahan yang tengah dibangun.


Posted By @Dori Alam Girsang

No comments:

Post a Comment