Pages

Monday, March 12, 2012

Rumpun BATAK

Di Provinsi Sumatera Utara ada beberapa etnis asli, yaitu Melayu, Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Pakpak-Dairi, Melayu Pesisir Barat, Siladang dan Nias.

Batak adalah rumpun bangsa yang sering disebut untuk menamakan Batak Toba, Mandailing-Angkola, Simalungun, Karo ataupun Pakpak-Dairi. Walau sebenarnya Cuma orang Batak Toba (termasuk Habinsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir), saja yang amat berkenan disebut Batak.

Dulu, penulis asing memakai sebutan Batak untuk pemaknaan suku-suku terpencil dipedalaman- pagans; bahkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) oleh W.J.S. Poerwadarminta, memberi batasan dengan makna perompak – perampok. 
Niccolò de' Conti (1385–1469) dari Itali, ada menyebut kata 'Caníbales Batech', namun sepertinya itu bukan berada di daerah Tanah Batak sekarang, tetapi wilayah yang kini masuk dalam daerah Aceh. Kata 'Batta' ada ditulis Fernão Mendez Pinto (1539), ketika Pinto tiba di Malaka dan mengunjungi Sumatera bagian Utara. Namun kata-kata itu bukan menjelaskan nama sebuah etnis secara terperinci, sehingga kata 'Batak' sebagai sebuah etnis, belum dikenal dewasa itu

Dibanyak referensi yang ditulis oleh penulis dari kalangan Batak Toba, Wilayah Batak Toba (termasuk Habinsaran, Silindung, Humbang, Uluan, dan Samosir) lah sebagai muasal dari Mandailing - Angkola, Simalungun, Karo dan Pakpak-Dairi, serta marga-marga dari suku-suku ini selalu dikait-kaitkan ke Batak Toba; sehingga seolah-olah Batak Toba sebagai induk suku, dan yang lainnya sebagai sub-suku (afiliasi ).

Hal ini tidak bisa diterima dari suku-suku Mandailing-Angkola, Simalungun, Karo ataupun Pakpak-Dairi.
Mandailing – Angkola sangat tidak berkenan disebut Batak. Mereka berkeyakinan mempunyai latarbelakang sejarah dan peradaban serta peradatan yang berbeda dengan Batak Toba. Z Pangaduan Lubis, seorang budayawan dan sejarahwan Mandailing, berupaya membuktikan bahwa mandailing tidak punya keterkaitan suku dengan Batak Toba, beliau mengggali bukti sejarah selama bertahun-tahun. Begitu juga bagi Karo dan Pakpak. Buku fiksi karya WH Hutagalung (1926), cukup berhasil mensejarahkan kisah fiksi tentang Batak sebagai referensi Batak kini.

Dalihan Natolu sebagai filsafat kekerabatan yang dipakai Orang Mandailing (mungkin saduran dari 'Tigo Tungku Sajarangan'-nya Orang Minangkabau), sejak dekade 1950-an menjadi pegangan Batak Toba juga.

Jika Batak Toba dan Mandailing-Angkola menyebut kain adatnya dengan istilah Ulos, Suku Simalungun menyebut kain adatnya dengan sebutan Hiou, Uis bagi Suku Karo dan Oles untuk Pakpak. Kata alu aluan atau Salam Horas juga Cuma dipergunakan untuk Batak Toba, Mandailing-Angkola dan Simalungun. Suku Karo memakai salam Mejuah-juah, Pakpak-dairi dengan Njuah-juah. Suku melayu Pesisir Barat memakai salam Oi Lamat dan Melayu di pesisir timur memakai kata alu-aluan atau salam Ahoi.

Setiap Suku-suku dari rumpun Batak ini mempunyai bahasa dan aksara masing-masing. Uli Kozok, peneliti jerman, membagi dlm rumpun selatan (Angkola-Mandailing & Toba), Rumpun utara (Karo & Pakpak-Dairi) serta Simalungun yang terpisah dari rumpun keduanya. Adelaar, ahli bahasa, menyiratkan bahwa Bahasa Simalungun adalah yang paling tua, dengan mempertimbangkan secara histories bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan Angkola-Mandailing terbentuk.*(M Muhar Omtatok)


Sumber :
http://tuanmuda.us/showthread.php?tid=8014

No comments:

Post a Comment