Pages

Wednesday, March 14, 2012

Nelson, Penjaga Naskah Batak


Nelson Lumban Toruan
Nelson, Penjaga Naskah Batak
Jumat, 11 Juni 2010 | 03:42 WIB

OLEH KHAERUDIN
Nelson Lumban Toruan tampak gamang saat menuturkan, ribuan naskah Batak menjadi koleksi museum di sejumlah negara Eropa. Kegamangan itu bertambah saat ia melihat banyak naskah Batak yang dijual ke Malaysia. Niat negara jiran menjadi pusat tamadun kebudayaan Melayu membuat berbagai naskah Batak jadi incaran.

Ia langsung kelu saat menceritakan nasib naskah Batak yang teronggok berdebu di negerinya sendiri. Sebagai pemuda kampung yang lahir di Desa Nagasaribu, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Humbang Hasundutan, 500 kilometer dari Medan, Nelson meneguhkan cita-cita menjadi batakolog, saat diterima di Jurusan Sastra Batak, Universitas Sumatera Utara, tahun 1987.

Pucuk dicita ulam pun tiba, mungkin pepatah itu tepat menggambarkan pertemuan Nelson di kampus dengan dosennya, ahli linguistik Batak asal Jerman, Profesor Uli Kozok. Dua tahun kuliah (1987–1989), ia diajak Kozok melakukan serangkaian penelitian soal sastra Batak. Memang penelitian itu dimanfaatkan Uli untuk desertasi doktoralnya di Universitas Hamburg.

Uli adalah orang pertama di dunia yang membuat aksara Batak dan berbagai versinya (Toba, Mandailing, Karo, Pakpak, dan Simalungun) dalam perangkat lunak (software) komputer. Perangkat lunak ini mentransliterasi aksara Batak ke aksara Latin. Dengan program komputer itu, kita bisa mengetik aksara Batak di komputer yang menggunakan papan ketik beraksara Latin.

Nelson menuturkan, aksara Batak yang dikenal kini sudah berlainan variasinya. Variasi pertama aksara Batak adalah yang ditulis di berbagai naskah. Jika ditulis pada kulit kayu, dikenal sebagai pustaha (pustaka) atau laklak. Naskah lain ditulis di tulang, biasanya tulang kerbau dan bambu. Tak pernah ada yang tahu pasti kapan pertama kali naskah Batak ditulis.

”Sebagai gambaran, sejak tahun 1700-an, British Museum sudah memiliki koleksi naskah Batak. Itu pun tak diketahui kapan naskah itu dibuat,” kata Nelson.

Masuknya misionaris, baik dari Jerman maupun Belanda, ke Tanah Batak pada pertengahan abad ke-18 membuat varian asli aksara Batak berubah.

”Misionaris kesulitan karena ada banyak versi aksara Batak, ada Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Untuk mempermudah pekerjaan, misionaris lalu membuat variasi sendiri yang berbeda dari aksara aslinya, seperti tertulis di naskah Batak. Paling tidak karena ada misionaris Jerman dan Belanda, berarti ada dua variasi baru yang beda dengan aslinya,” kata Nelson.

Inilah yang membuat orang tua Batak, meski bisa membaca aksara Batak, belum tentu dapat membaca naskah Batak. Kata dia, Kozok-lah yang membuat standar umum bagi mereka yang ingin belajar aksara Batak varian aslinya.

”Dia belajar dari banyak naskah Batak di berbagai museum Eropa. Makanya, kita tak bisa menguasai naskah Batak, tanpa tahu bahasa Jerman atau Belanda,” katanya.

Prestise
Bagi orang Batak, memiliki pustaha atau naskah Batak ini sebuah prestise. Kebanggaan itu bisa dipahami karena secara sederhana, orang Batak terklasifikasi dalam dua status besar, yaitu hatoban alias orang yang berhamba atau terhukum dan anak ni raja atau orang terhormat.
”Tak mungkin hatoban bisa memelihara naskah Batak, hanya mereka yang masuk kategori anak ni raja yang memilikinya,” kata Nelson.

Sayang, pengaruh orang Eropa—yang membawa agama Kristen ke Tanah Batak sekaligus membuat varian baru aksara Batak— mengakibatkan variasi asli aksara ini tak banyak dipahami. Nelson menceritakan, suatu ketika bersama Kozok datang ke sebuah desa di dekat kota Nopan, Kabupaten Mandailing Natal. Di sini seorang kepala desa punya naskah Batak. Menurut pemiliknya, naskah itu berisi cerita tentang kerajaan nenek moyangnya. Oleh karena Nelson dan Uli Kozok peneliti, mereka diizinkan melihat dan menerjemahkannya.

”Tiga hari tiga malam kami menginap di rumah pemilik naskah itu. Namun, saat selesai menerjemahkan, kami menjadi tak enak sendiri karena isinya tak nyambung dengan silsilah keluarga pemilik naskah. Bahkan, menceritakan silsilah marga lain yang jauh sekali asalnya dari tempat tersebut,” katanya.
Menjadi murid, asisten, dan rekan peneliti Kozok membuat Nelson belajar tentang naskah Batak. Atas kebaikan Kozok, ia mendapatkan duplikat naskah Batak asli yang disimpan di berbagai museum Eropa. Kozok memfoto naskah-naskah itu, lalu mengirimkannya kepada Nelson.

Nelson yang mentransliterasi, mentranskripsi, dan menerjemahkannya. Transkripsi ini berupa pencatatan kata per kata karena dalam naskah Batak, semua ditulis tersambung.
”Pekerjaan memisahkan kata per kata ini paling rumit karena salah-salah bisa membuat maknanya berbeda,” katanya.

Kearifan lokal
Pengetahuannya tentang aksara dan naskah Batak membuat Nelson memberanikan diri menawarkan penerjemahan naskah Batak yang disimpan di Eropa kepada Perpustakaan Daerah Sumut. Ia telah menerjemahkan dua laklak, lima naskah tulang, dan tujuh naskah bambu. Semuanya koleksi naskah dari Eropa. Semua itu belum termasuk ratusan naskah yang diterjemahkan Nelson bersama Kozok.
Ribuan naskah Batak di Eropa itu dapat dibaca berkat Nelson. Kearifan lokal berusia ratusan tahun yang tercatat dalam naskah Batak, kini bisa dimengerti dalam bahasa Indonesia.

Ia menuturkan, naskah Batak biasanya berisi ihwal pengobatan, etika perang, perdukunan atau mistisisme, hingga cara memikat lawan jenis. Ada juga naskah berisi sastra lokal berupa andung-andung atau ratapan. Pada masyarakat Batak, andung-andung menempati strata tersendiri dalam bahasa. Berbagai aktivitas harus dilakukan dengan bahasa andung-andung atau ratapan, seperti saat kematian, menanam padi, dan menyadap pohon nira.

Sejak tahun 1994 Nelson mengajar di School of Asian Studies University Auckland, Selandia Baru, juga di University of Hawaii di Manoa pada 2004. Dialah yang meneruskan pekerjaan memperkenalkan aksara asli atau versi naskah Batak ke berbagai sekolah.

Ia menyosialisasikan perangkat lunak ciptaan Kozok dan buku panduannya ke sekolah-sekolah di Humbang Hasundutan, Samosir, Tapanuli Utara, hingga Dairi. ”Software ini membuat siapa pun yang ingin belajar aksara asli Batak jadi lebih mudah.”

Bagi Nelson, meski ribuan naskah Batak terserak di luar negeri, tetap dapat dimanfaatkan generasi masa kini. Kearifan lokal nenek moyang orang Batak punya makna universal.

”Bayangkan, dulu nenek moyang kami sudah mengenal etika berperang. Musuh tak boleh dibunuh jika dia ternyata anak tunggal. Lihatlah sekarang, orang mengirim bantuan kemanusiaan pun dibunuh tanpa rasa bersalah,” katanya.
***

NELSON LUMBAN TORUAN
• Lahir : Lintong Nihuta, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 26 Februari 1967
• Istri : Lidya Manalu
• Anak : Immanuel Lumban Toruan, Hosyana Lumban Toruan, Jeremy Lumban Toruan

• Pendidikan:
- SMA Negeri Lintong Nihuta
- Jurusan Sastra Batak Universitas Sumatera Utara (USU), lulus 1992
- Pascasarjana Linguistik USU, 2005
• Pekerjaan: Staf pada Balai Bahasa Medan
• Publikasi : Berbagai naskah Batak yang kini tersimpan di Eropa
keterangan:


No comments:

Post a Comment