Pages

Thursday, March 8, 2012

Menyibak Sejarah Batu Tettal Marga


Menyibak Sejarah Batu Tettal Marga

Kumarna makne ngo lot koden mbellen, asa makne kita sempangan. Kumarna makne ngo lot bages mbelgah, asa makne kita  sempeddemen. (Karena tidak ada lagi periuk besar, makanya kita tidak lagi satu dapur. Karena tidak ada lagi rumah besar, menyebabkan kita tidak lagi satu atap).

Padang, Berutu Dan Solin, waspada Online.
Kumarna makne ngo lot koden mbellen, asa makne kita sempangan. Kumarna makne ngo lot bages mbelgah, asa makne kita  sempeddemen. (Karena tidak ada lagi periuk besar, makanya kita tidak lagi satu dapur. Karena tidak ada lagi rumah besar, menyebabkan kita tidak lagi satu atap).

Perumpamaan di atas mengingatkan kita, khususnya kaum Pakpak dulunya, betapa hidup dalam satu kesatuan, berdampingan dan salin membutuhkan. Namun akibat tuntutan alam, kebersamaan itu tidak bisa dipertahankan, seiring kemauan anggota keluarga yang ingin membuka lembaran baru, terutama beranak pinak dan mencari kawasan penguasaan (kepemilikan) lahan. Padang, Berutu dan Solin adalah tiga dari puluhan marga di  Kabupaten Pakpak Bharat (sebelum dimekarkan dari Dairi), menjadi contoh penghuni yang sekarang menyebar di daerah ini.

Konon menurut seorang tokoh masyarakat, Asi Padang, jauh sebelum era kemerdekaan, di Lebbuh (Desa) Jambu (sekarang ibukota Kecamatan Si Empat Rube), ke-3 marga ini merupakan kakak beradik yang dilahirkan dari rahim satu ibu, tapi ayah berbeda. Sulung bernama Sori Tandang (Padang), kedua Sori Gigi (Berutu) dan si bungsu Punguten Sori (Solin).

Diceriterakan Asi, si sulung diberi nama Padang, karena pada saat itu sang ibu melahirkannya ketika sedang mencari ubi di padang rumput. Sementara Berutu terlahir di bawah pohon bintutu (sejenis pohon yang permukaan kulitnya kasar-red). Dan persalinan Solin berlangsung ketika si ibu mencari buah bincoli (sejenis umbi-umbian), yang kebetulan saat itu terjadi musim paceklik. Setelah dewasa mereka bertiga pergi merantau ke lebbuh lain. Singkatnya, jelas Asi, ibarat sebuah reuni, ketiga bersaudara ini  pulang kembali ke kampung halaman dan menemukan sebatang pohon durian si kerunggun (perkumpulan-red) yang sedang berbuah satu. Namun timbul masalah, mereka tidak mengetahui siapa sebetulnya yang paling tua, anak kedua dan yang bungsu. Di tengah kebingungan, disepakati buah durian itu dijadikan bahan pembuktian. Siapa yang berhasil menjatuhkan dan membelah buah durian tersebut hanya sekali menghunjuk dengan jari tangan, dialah diangkat sebagai si sulung dan anak kedua. Ternyata, Sori Tandang (Padang) berhasil memperoleh kesempatan pertama dan diikuti Sori Gigi (Berutu). Untuk menabalkan kesepakatan persaudaraan ini, mereka bertiga menuliskan perjanjian di atas sebongkah batu, yang isinya Padang, Berutu dan Solin merupakan satu keturunan serta anak hingga cucu laki-laki atau perempuan ketiga marga ini tidak boleh menjadi suami isteri.

Di samping itu, fungsi batu tettal dimaksud adalah, salah satu  ikrar dan sumpah, bahwa perbuatan kebajikan merupakan sumpah yang harus ditaati. Yang ingkar akan mendapat bala atau musibah di kemudian hari.Untuk memperkuat tali persaudaraan ketiga marga ini, sekira 50 meter ke arah utara dari batu tettal juga ditanam 3 pohon embacang yang  hingga kini dua di antaranya (milik Padang dan Solin) masih kokoh tumbuh dan berbuah. Sementara embacang milik Berutu telah tumbang satu tahun lalu. Perlu Dilestarikan Kini batu tettal yang diperkirakan telah berusia ratusan tahun itu kurang terurus. Bahkan ketika koresponden Waspada mengunjungi lokasi dimaksud baru-baru ini, di sekitarnya dikelilingi semak belukar, tanpa ada tanda-tanda upaya perawatannya.

Sebagai salah satu peninggalan benda pusaka etnis Pakpak dan bernilai historis tinggi, seharusnya ada kemauan instansi terkait tergerak  melestarikannya. Memang beberapa tahun lalu, Hilman Padang pernah memugar artefak tersebut. Namun tidak diketahui sebabnya, pemugaran itu urung rampung diselesaikan."Sehubungan itu sangat diharapkan bantuan dan perhatian  Pemerintah Pakpak Bharat guna melestarikan benda-benda bersejarah yang terletak di Desa Jambu, Kecamatan Si Empat Rube ini," ujar Asi Padang.(Arlius Tumangger)


Sumber:

No comments:

Post a Comment