Pages

Tuesday, March 6, 2012

Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional


Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional
Oleh: Erond L. Damanik


Kehidupan kebudayaan berlangsung dalam pasang surut antara pemantapan
kebudayaan itu dalam tradisi dan pembaruan kebudayaan itu melalui perubahan dan reformasi. Kebudayaan itu merupakan sesuatu yang kontinum dan diskontinum (iqnas Kleden, 1986)

Pengantar
Sejarah adalah sebuah proses dialektik yang menyiasati antara kontinuitas dan diskontinuitas, kompetisi antara konsolidasi dan transformasi, suksesi antara order dan change atau dalam pengungkapan Soekarno disebutkan bahwa sejarah adalah semacam simfoni revolusioner yang bermula dari upaya menjebol dan membangunnya kembali.

Kaitannya dengan kebudayaan adalah bahwa kebudayaan termasuk sebagai proses dialektik antara ketenangan dan kegelisahan, antara penemuan dan pencarian, antara integrasi dan disintegrasi antara tradisi dan reformasi. Itu berarti, dalam kebudayaan ada semacam daya dorong yang mengakibatkan terjadinya sesuatu hal, katakanlah yang mengakibatkan seseorang menjadi tenang dan gelisah, upaya menemukan dan upaya mencarikan yang dilakukan oleh manusia sebagai pelaku kebudayaan.

Menyikapi adanya proses pencarian identitas kebudayaan nasional sebagai benteng untuk menyaring atau menjaga kebudayaan nasional dari terpaan budaya asing, adalah sebagai gejala kekhawatiran akan lenyapnya kebudayaan nasional yang bersumber dari pemerkayaan kebudayaan daerah. Akan tetapi upaya itu tidak berhasil karena sesungguhnya yang kita lakukan adalah menentang kebudayaan asing itu dengan membiarkan kebudayaan nasional (daerah) lepas dari pengkajian-pengkajian dalam menemukan identitasnya kembali.

TRADISI DAN TRANSFORMASI
Persoalan yang harus dipertanyakan terhadap tiap-tiap kebudayaan, tak terkecuali kebudayaan Indonesia (modern) adalah efek mana saja yang ditimbulkan oleh tradisi dan reformasi dalam kebudayaan yang bersangkutan, apakah perimbangan antara keduanya masih merupakan perimbangan yang kreatif, atau barangkali terlalu unggulnya salah satu dari keduanya justru telah membawa resiko yang terlalu besar bagi kebudayaan yang bersangkutan, baik resiko terhadap identitas maupun resiko terhadap pembaruan kebudayaan.

Ini berarti bahwa dengan mengandalkan tradisi dan integrasi, suatu kebudayaan akan terpelihara identitasnya, terjamin kelanjutannya tetapi belum terjamin perkembangan lebih lanjut. Sebaliknya, dengan mengandalkan transformasi atau hanya dengan mengutamakan reformasi dalam suatu kebudayaan, muncul resiko bahwa terjadi disintegrasi identitas sementara belum dapat dipastikan apakah suatu identitas yang baru dapat memberikan rasa aman dan pegangan baru yang lebih disukai.

Tingginya angka untuk melanjutkan studi keluar negeri misalnya, akan mengakibatkan paling tidak lima hal dibawah ini seperti: pertama perlakuan sederajat yang mereka terima (dimana mereka hidup di negeri asing) sama dengan orang-orang yang tinggal di negeri asing itu. Kedua, munculnya ketercerabutan mereka terhadap budaya lokal dan kebudayaan daerah. Ketiga bahwa kepalsuan dari gambaran dimana mereka tinggal. Keempat yakni bahwa dengan berbekal jenjang tinggi serta pendidikan yang mereka peroleh telah mempersiapkan keinginan mereka pada posisi (calon) pemimpin serta yang kelima adalah bahwa mereka memiliki kesempatan luas untuk memikirkan ideologi.

Setidaknya, keadaan ini akan memberikan warna bagi kebudayaan Indonesia yang tengah dicarikan identitasnya atau paling tidak kebertahanannya. Untuk masa sekarang, Untuk kasus Indonesia, kebudayaan sering sekali dijadikan sebagai alat politik, sebagai asset dalam pertarungan politik tak ubahnya seperti sebuah komuditas industri. Kebudayaan politik (political culture) ini ditandai oleh adanya upaya-upaya untuk menangani politik kebudayaan (cultural potilic) (Emerson, 1976).

Dengan begitu, tidak pernah tercapai suatu perubahan kebudayaan yang signifikan. Bisa dibayangkan, akan terputus upaya yang telah dikembangkan ketika pemimpinnya pun selesai masa kerjanya. Apa yang telah dikembangkan oleh Soekarno yaitu membangun kebudayaan nasional, ternyata tidak dilanjutkan oleh pemimpin orde baru. Dalam dirinya ada semacam xenophobia terhadap budaya luar tetapi tidak mengemukakan dan menyampaikan komunismephobia.

Dalam uraian yang lebih luas, dalam kancah kehidupan bernegara dan berbangsa, ada hubungan antara kebangsaan dan persatuan yang berkaitan dengan tradisi, yaitu mencakup : pertama bahwa kebudayaan daerah direlativisir untuk memberi tempat bagi kesadaran nasional atau cultural solidarity group. Yang kedua adalah bahwa kebudayaan daerah yang menjadi referensi kelompok etnis dipertemukan sebagai sumber daya bagi suatu kebudayaan persatuan yang masih harus dikembangkan yang pada akhirnya kebudayaan daerah menjadi unsur utama pembentuk budaya nasional. Itu berarti kebudayaan daerah dimanfaatkan secara telologisnya daripada strategisnya (Kleden, 1986).

Di pihak lain, gerakan untuk kebudayaan baru atau kemudian gerakan untuk modernisasi, melihat kemunculannya justru ditandai oleh putusnya hubungan dengan tradisi. Seakan-akan dianggap tidak adanya suatu kontinum antara kebudayaan-kebudayaan tradisional dengan kebudayaan baru. Kebudayaan tradisional dipandang statis, mengutamakan sifat kolektif anonim dan mistis. Sedangkan kebudayaan baru yang dianggap lebih beradap sebagai kebudayaan baru Indonesia yang memiliki syarat-syarat seperti individualisme, egoisme, intelektualisme dan materialisme.

NASIONALISASI KEBUDAYAAN
Terdapat dua hal yang memiliki peranan yang lebih besar menyoal stabilitas nasional dan kepribadian bangsa. Stabilitas nasional berperan besar sebagai anti kritik sedangkan kepribadian bangsa berperan sebagai anti konsep. Yang pertama merupakan instrumen konseptual yang sangat dekat dengan masalah security dan banyak berfungsi untuk membantu mechanics of power sedang yang kedua merupakan instrumen konseptual yang dekat dengan masalah legitimasi dan banyak berfungsi untuk mendukung aesthethics of power. Kalau yang pertama buat sebagian dapat diterangkan secara ilmu politik (political science) maka aesthethics of power harus dijelaskan oleh semacam metafisika politik (political methaphysics) (Geertz, 1980).

Secara singkat, baik mengenai kebudayaan nasional dalam masa Soekarno maupun mengenai kepribadian bangsa dalam masa Soeharto tidak pernah ada suatu defenisi yang cukup jelas dan dapat diterima luas yang dapat menjadi pegangan bagi orang-orang yang bekerja dalam bidang kebudayaan. Jika ini dianggap sebagai sebuah kelalaian memberikan kerangka dan isi kepada konsep itu, sehigga satu-satunya yang ada hanyalah defenisi politis yang serba umum dan kabur yang diinterpretasikan berdasarkan kepentingan politik.

Inilah sebab utamanya, bahwa selama tidak ada kesulitan dengan kekuasaan politik, maka masalah kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa pun tidak pernah menjadi masalah bagi pemerintah. Sebaliknya, jika terjadi kritik yang cukup beralasan terhadap suatu kebijakan dan implementasi pemerintah, maka kontra argumen yang bersifat estetik terdengar kembali, dimana suatu kritik bisa ditolak atau diabaikan karena cara-cara menyampaikannya tidak sesuai dengan halusnya kepribadian bangsa.

Anggapan yang memandang kebudayaan baru sebagai kebudayaan yang terputus dari tradisi, praktek kesenian baru yang meninggalkan praktek kesenian rakyat dan memandang kesenian barat sebagai modelnya serta kaburnya konsep kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa yang tidak pernah digarap defenisinya secara ilmiah telah menyebabkan beberapa akibat yang dilematis dan problematik terhadap kehidupan kebudayaan kontemporer.

Di pihak lain, tidak jelasnya konsep kebudayaan nasional dan ketidakjelasan hubungan antara kebudayaan baru dengan kebudayaan tradisional dalam kerangka pembentukan kebudayaan nasional, telah menyebabkan bahwa dalam perkembangan sekarang kebudayaan nasional lebih menjadi isyu politik daripada isyu kebudayaan. Daripada menjadi semacam cultural entity atau suatu sociological fact, kebudayaan nasional/kepribadian bangsa lebih banyak dihayati sebagai political norm yang diberlakukan secara asimetris.

Dari segi kebudayaan dapat diterangkan perkembangan kebudayaan dalam masa orde lama dengan orde baru. Dalam orde lama, slogan kebudayaan nasional merupakan alat untuk mempersatukan berbagai kebudayaan daerah yang didukung oleh berbagai-bagai kelompok etnis. Dalam perkembangannya kemudian, digunakan untuk menolak kebudayaan barat. Yang terjadi sebenarnya adalah proses nasionalisasi kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional yang belum jelas wujudnya ternyata dapat menjadi slogan kuat untuk menentang dan menolak kebudayaan barat, tetapi belum menjadi kenyataan yang cukup kuat untuk menggantikan kebudayaan tradisional. Sedang dalam orde baru, kebudayaan barat dan gaya hidup negara maju masuk dengan leluasa bersama modal asing, tenaga kerja asing dan alat-alat komunikasi modern yang semuanya diperlukan secara mutlak oleh pembangunan ekonomi.

Dengan demikian, kebudayaan nasional atau kepribadian bangsa tidak dapat dipakai sebagai alat kontrol gaya hidup internasional yang memang dimungkinkan oleh hasil-hasil pembangunan ekonomi yang memakai strategi production centered (Kleden, 1986) Kebudayaan nasional/kepribadian bangsa itu cenderung digunakan sebagai alat kontrol untuk mengawasi gaya politik dan gaya intelektual. Dalam bidang politik misalnya, tidak diperkenankan adanya oposisi, sedang dalam intelektual setiap pemikiran kritis harus memenuhi syarat-syarat estetika sopan santun menurut tuntutan kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa.

Sementara itu, perluasan dan ekspresi gaya hidup dan usaha ekonomi perusahaan asing telah menerobos setiap sendi yang disamping mengancam usaha ekonomi tradisional masyarakat, mengancam pula kebudayaan tradisional, sebelum kebudayaan itu sanggup digantikan oleh kebudayaan nasional yang kuat dan tangguh. Ternyata, kecenderungan nasionalisasi kebudayaan pada masa orde lama digantikan oleh kecenderungan internasionalisasi kebudayaan pada masa orde baru.

PENUTUP
Barangkali dengan bertanya kembali terhadap kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa kita saat sekarang, maka kitapun tak jarang akan menemui sejumlah kesulitan untuk menguraikannya. Kondisi demikian muncul karena kebudayan yang kita anut sekarang sebagai kebudayaan nasional tidak tumbuh pada tempatnya atau lahir bukan sebagai kebudayaan tradisional.

Pada waktu kita sedang membangun sebuah kebudayaan nasional, dan pemenuhan kebutuhan bangsa lewat pembangunan, pada waktu itu pula tawaran dan guncangan terhadap berbagai kebudayaan kita berdatangan, sedang kita belum mendapatkan suatu identitas budaya nasional dan apalagi kepribadian bangsa. Kita juga tak jarang mengemukakan bahwa kita tidak mungkin berhaluan barat, tetapi lebih cenderung ke timur, sedangkan kitapun tidak mampu memberikan pendapat yang disebut sebagai budaya timur yang dimaksud.

Agaknya perlu dilakukan ulang pengkajian mendalam untuk menemukan kembali kebudayaan nasional kita serta kepribadian bangsa kita yang bersumber dari kebudayaan tradisional. Membangun tradisi tanpa sikap tradisional atau menjadi maju dan modern bersama tradisi tanpa dikungkungi oleh sikap-sikap tradisonal.


Oleh : Erond, Litno Damanik, M.Si
Penulis  emerhati Pendidikan, Pembangunan Sosial dan Kemasyarakatan: Ketua Center for Cultural Study and Rural Community Development (SIMETRI)


Sumber : Harian SIB
http://www.silaban.net/2006/10/15/membangun-tradisi-tanpa-sikap-tradisional

No comments:

Post a Comment