Pages

Monday, March 12, 2012

Matanari Pakpak Pegagan Pemegang Hak Adat Sulang Silima di Sekitar Wilayah Balna Sikabengkabeng-Kuta Gugung


Matanari Pakpak Pegagan Pemegang Hak Adat Sulang Silima di Sekitar Wilayah Balna Sikabengkabeng-Kuta Gugung

Pakpak dibedakan atas lima (5) suak (wilayah raja kuta) yaitu Pakpak Pegagan, Pakpak Keppas, Pakpak Simsim, Pakpak Kellasen dan Pakpak Boang. Raja Kuta masing-masing wilayah (daerah) adalah pemegang hak Adat “Sulang Silima” atau “Silima Sulang”. Walaupun pada satu wilayah (daerah atau kuta) terdapat beberapa marga (Pakpak atau Toba), namun pemegang hak Adat “Sulang Silima” hanyalah satu marga saja, yaitu marga pamukka huta (pendiri kampung). Marga lain boleh menjadi unsur dari “Sulang Silima” yaitu hanya sebagai unsur “Anak berru”. 

“Sulang Silima” adalah terdiri dari 5 unsur, yaitu (1) Prisang-isang (anak paling tua), (2) Pertulan Tengah (anak pertengahan), (3) Prekor-ekor (anak paling kecil/termuda), (4) Anak Bberru, dan (5) Puncaniadep (saudara semarga yang dituakan ataupun kula-kula…tergantung kuta/daerahnya masing-masing). Contoh fungsi Sulang Silima: jika keluarga marga Padang berencana melaksanakan pesta adat (suka dan duka) di wilayah Balna Sikabeng-kabeng-Kuta Gugung, maka pesta tersebut dapat dilaksanakan setelah lebih dahulu menghormati “penetua Sulang Silima” (Matanari dekket Berru na). Yakni menyediakan makanan dengan satu ekor babi sebagai lauk dan 5 helai oles (ulos) kepada penetua Sulang Silima. Akan tetapi lambat laun ketentuan ini semakin diperkecil (diperringan secara ekonomi),………… mungkin diraskan, terlampau berat bagi masyarakat/penduduk.

Daerah wilayah Pakpak Pegagan adalah dahulu disebut kecamatan Sumbul Pegagan (sekarang telah dimekarkan menjadi beberapa kecamatan antara lain Sumbul Pegagan, dan Silalahi) hingga ke Tigalingga-Tanah Pinem. Wilayah Pakpak Pegagan berbatasan dengan; sebelah Timur adalah wilayah Tao Silalahi (danau Toba) dan daerah Sipitu Huta (Merek) serta Tanah Karo, sebelah Selatan adalah wilayah Tele dan Pusuk Buhit, sebelah Barat adalah wilayah Pakpak Keppas (terdiri dari marga Ujung, Angkat, Bintang, Kudadiri, Capah, Sinamo dan Gajah Manik) yang dibatasi oleh aliran sungai Lae Renun, dan sebelah Utara adalah wilayah kecamatan Tigalingga, Tanah Pinem dan daerah Alas (Aceh).

Pemegang hak Adat Pakpak “Sulang Silima” di wilayah Pakpak Pegagan adalah marga Matanari di wilayah Balna Sikabeng-kabeng Kuta Gugung, marga Manik diwilayah Kuta Manik dan Kuta Usang, dan marga Lingga di wilayah Kuta Raja dan Kuta Posong. Tidak ada kuta di wilayah/daerah Pakpak Pegagan yang unsur-unsur “Sulang Silima” nya marga Padang Batanghari……kenapa..?. 

Rumah Adat Pakpak yang hanya dapat dimiliki Raja Kuta (pemegang hak Wilayat) diantaranya dijumpai di Balna Sikabeng-kabeng, yakni dinamai “Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh” dan didepan rumah tersebut terdapat Bale Adat Pakpak dinamai “Bale Silendung Bulan”. Rumah dan Bale Adat Pakpak ini hancur dikarenakan Angin Topan dan simakan usia pada tahun 1984. Marga Manik dan Lingga mengakui abang mereka (paling tua) adalah pemilik wilayah Balna Sikabeng-kabeng Kuta Gugung yaitu marga MATANARI Pakpak Pegagan. 

Tidak diberikan izin membangun Rumah Adat Pakpak di segala dusun/desa. Misalnya, dusun Sikonihan dekat kota Sumbul adalah dusun perantauan (pengembangan) marga Matanari. Didusun/desa ini dahulu tidak diijinkan didirikan Rumah Adat Pakpak, walaupun kuta (kampung) marga Matanari juga. Rumah adat Pakpak dahulu ada di Balna Sikabengkabeng dan Kuta Gugung. Rumah Adat Pakpak yang di Kuta Gugung dahulu dibakar saat perang saudara, sedangkan Rumah adat Pakpak yang di Balna Sikabeng-kabeng hancur akibat Angin Topan 1984 dan lapuk termakan usia.

Wilayah Pakpak Keppas diawali yang dari daerah Sicikeh-cikeh (daerah Parawitasa=Hutan Lindung) hinga meluas ke daerah Sitinjo (marga Capah) ke Simpang Tolu (marga Kudadiri), daerah Sisikalang (marga Ujung), Sidiangkat (marga Angkat) wilayah Bintang-Pancuran (marga Bintang). Marga Sinamo dan Gajah Manik pergi dan tinggal ke wilayah Pakpak Simsim.

Wilayah Pakpak Simsim adalah kabupaten Pakpak Bharat (dahulu hanya terdiri dari kecamatan Kerajaan dan kecamatan Salak). Marga-marga Pakpak Simsim antara lain adalah Solin, Padang, Bancin, Banurea, Barasa (Brasa), Brutu, Manik Kecupak, Gajah, Kabeakan, Lembeng, Sitakar, Tinendung, maupun PADANG BATANGHARI. 

Wilayah Pakpak Kelasen adalah daerah Parlilitan dan sekitarnya terdiri dari beberapa marga antara lain Tinanbunan, Tumangger, Maharaja, Turutan, Pinayungan, Anak Ampun (Nahampun). Meka, Mahulae, Buaton, Kesugihen. Siketang, dan lain lain. Sedangkan Pakpak Boang adalah di daerah Boang, Singkil dan daerah Aceh.

Perang Saudara dan Melarikan Diri 

Menurut ceritra dari mulut-ke mulut, bahwa mpung (para leluhur) marga Matanari di willayah Balna Sikabeng-kabeng sering terjadi perang saudara. Akibat perang saudara tersebut, selain korban nyawa berjatuhan (meninggal) juga banyak keturunan Matanari yang terpaksa melarikan diri ke daerah lain yang relatip jauh dan umumnya tidak kembali lagi serta sebagian mereka merobah marganya. Misalnya di daerah Tanah Karo dan Tigalingga-Tanah Pinem (kabupaten Dairi) keturunan Matanari menjadi marga Sitepu, Sinulingga, Karo-karo, Surbakti, dan lain lain. Ke daerah Alas keturunan Matanari menghilangkan marganya atau menjadi marga…………? (belum ada informasi yang jelas). Ke daerah Boang dan Subulussalam (Aceh) keturunan Matanari menghilangkan marganya tetapi masih ada yang mengaku sebagai keturunan marga Matanari..atau menjadi marga………..? (belum ada informasi yang jelas). Ke daerah wilayah Pakpak Simsim keturunan Raja Matanari menjadi marga…………?. (belum ada yang mengaku secara jelas dan tegas).

Menurut Pengakuan Djauli Padang Batanghari (pelaksana Asisten Wedana atau Camat) sekitar tahun 1960 dan putranya Pendeta Abednego Padang Batanghari, bahwa mpung (lelulur) mereka sampai generasi ke-8 bertempat tinggal di Balna Sikabeng-kabeng. Akibat terjadi “graha” (perang) maka mpung (leluhur) mereka terusir dan pergi atau kembali ke SILEUH (wilayah Pakpak Simsim)…… mendapat tanah dari mertuanya dari marga SOLIN. Apakah marga Padang Batanghari tidak mempunyai hak pemegang (sebagai) Raja Adat Sulang Silima di kampungnya (kecamatan Kerajaan)…..? (belum diperoleh penulis informasi). 

Djauli Padang Batanghari mengaku (didepan seksi Tarombo keturunan Silalahisabungan) bahwa maraga Padang Batanghari adalah keturunan marga Pasaribu…….. Akan tetapi Pendeta Abednego mengaku (dalam tulisannya) bahwa marga Padang Batanghari adalah keturunan Pakpak yang berasal dari seribuan (SEU) manusia yang berasal dari daerah India yang masuk dari daerah Barus… hubungan kepada marga Pasaribu hanyalah hungan perpadanan (ikrar satu keturunan). 
Djauli Padang Batanghari dan putranya Pendeta Abednego, selain mengaku mpung (leluhur) mereka sampai gegerasi ke-8 di Balna Sikebeng-kabeng juga mempunyai namboru bernama Pingga Matio istri Raja Silalahisabungan. Demikian halnya marga Matanari mengaku mempunyai namboru Pinggan Matio istri Raja Silalahisabungan, Ranimbani istri Loho Raja, Rumintang istri Raja Onggu Ruma Sondi dan Siberru Taren instri Raja Manungkun Pintu Batu.

Kenapa ada dua marga yang berbeda (Matanari dan keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari) mengaku ada namboru mereka bernama Pinggan Matio istri Raja Silalahisabungan.? Sama-sama benarkah kedua pihak yang mengaku tersebut..? Juga Djauli Padang Batanghari dan putranya Pendeta Abednego mengakui bahwa leluhur mereka sampai generasi ke-8 bertempat tinggal di Balna Sikabeng-kabeng. Mungkinkah leluhur Djauli Padang Batanghari adalah bagian dari keturunan Raja Matanari yang terusir (pergi) akibat perang saudara…?. Djauli Padang Batanghari dan Pendeta Abednego mengakui bahwa ada marga Matanari yang ada disekitar Balna Sikabeng-kabeng mempunyai talian darah (keturunan) dengan mereka Adakah hubungan keturunan (talian darah = gen) antara Raja Matanari dengan mpung (leluhur) Djauli Padang Batanghari…..??.

Adakah Talian Darah (Gen)…?

Mungkinkah mpung (leluhur) Djauli Padang Batanghari adalah keturunan Raja Matanari yang melarikan diri (pergi) ke daerah lain (Sileuh) akibat Perang Saudara yang sering terjadi di Balna Sikabeng-kabeng……?........mungkin hal ini perlu dibicarakan dari hati ke hati (pihak Matanari, Djauli Padang Batanghari dan keturunan Raja Silalahisabungan) tanpa ada perasaan dilecehkan dan sebaliknya merasa sombong (benar). Hal ini didasarkan pada alasan bahwa ada keturunan Raja Silalahisabungan mengaku bahwa Pinggan Matio adalah baru Matanari dan ada juga yang mengaku boru Padang Batanghari. Kedua kelompok ini masing-masing membuat pesta dan mengundang hula-hula (kula-kula) masing-masing (marga Matanari dari Balna Sikabeng-kabeng kecamatan Sumbul Pegagan dan keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari dari Sileuh kecamatan kerajaan kabupaten Pakpak Bharat). Ternyata kedua pihak keturunan Raja Silalahisabungan sama-sama berhasil baik (sehat-sehat) melaksanakan pesta menghormati hula-hulanya, demikian juga pihak hula-hula selamat (sehat) pergi-pulang dari huta Silalahi…….. kenapa……? Penulis menduga bahwa sama-sama benar ada hubungan talian darah (gen = penentu sifat keturunan) antara Pinggan Matio dengan, baik marga Matanari dari Balna Sikabeng-kabeng maupun keturunan leluhur (mpung) dari Djauli Padang Batanghari dari Sileuh kabupaten Pakpak Bharat………… Untuk itu perlu pembicaraan antar tokoh-tokoh adat yang terkait.

Selain yang telah diuraikan di atas, dibawah ini ada beberapa hal yang mungkin ada saling terkait:

1. Kampung dari leluhur Djauli Padang Batanghari adalah Sileuh (kecamatan Kerajaan kabupaten Pakpak Bharat) sebagai Rading Berru dari marga Solin…?, tidak jauh dari kuta Balna Sikabeng-kabeng (kecamatan Sumbul Pegagan) ada desa Sileuh-leuh….. adakah hubungannya….?.

2. Leluhur Djauli Padang Batanghari bernama Silantak (Paroltep) mempunyai 7 putri dan yang paling bungsu bernama Pinggan Matio (istri Raja Silalahisabungan…?). > < Raja Matanari mempunyai dua orang hulubalang mempunyai alat tradisional oltep pergi dan berjumpa tak sengaja dengan Raja Silalahisabungan (saat mencari obat tradisional untuk obat istri Raja Matanari yang sedang sakit). Hulubalang pada jaman tersebut diduga adalah anggota keluarga/putra raja. Raja Matanari mempunyai satu orang putri yaitu Pinggan Matio yang cacat matanya, tetapi pada saat penyerahan putrinya (manaruhon bru) ke Silalahi, Raja Matanari menggunakan ilmu hitam menguji kemapuan Raja Silalahisabungan dengan cara menyuruh Raja Silalahisabungan memilih salah seorang putri dari 7 gadis yang diperlihatkan melalui ilmu hitam (7 gadis terdiri dari seorang manusia dan 6 lagi adalah siluman)…………..adakah persamaan atau perbedaannya….?. 

3. Matanari adalah Pakpak pegagan > < sedangkan Djauli Padang Batanghari mengaku Pakpak Simsim. Antara Wilayah Pegagan dengan Wilayah Pakpak Simsim terdapat wilayah yang relatip sangat luas yaitu Wilayah Pakpak Keppas. Kenapa tidak ada keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari di wilayah Balna Sikabeng-kabeng dan sekitar kecamatan Sumbul Pegagan…..?. Wilayah tempat tinggal Raja Matanari adalah daerah Lae Pondom hingga ke Lae Renun,,, kenapa tidak ada keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari diwilayah tersebut maupun sekitarnya si wilayah Pakpak Keppas…?.

4. Apakah penyebab leluhur Djauli Padang Batanghari pada generasi ke-8 terusir dari Balna Sikabeng-kabeng hingga pergi atau kembali ke Sileuh…..?........mungkinkah akibat perang saudara,,,, hingga yang terusir merobah marganya jadi marga lain…?.

5. Jarak Balna Sikabeng-kabeng ke Sileuh sekitar 50 kilo meter…..kenapa jarak pelarian ini begitu jauh…..?. Pada zaman tersebut masih luas lahan kosong yang subur di wilkayah Pakpak Pegagan ataupun Pakpak Keppas……kenapa harus dilewati menuju Sileuh..? (bandingkan tingkat kesuburan l;ahannya).. Mungkinkah yang terjasi asalah perang saudara yang begitu menyakitkan hati sehingga muncul keinginan pergi sangat jauh dan tidak ada sedikitpun niat kembali ke kampung asal…?

6. Adakah kaitan nama kampun Batanghari yang ada di sekitar Sumbul Pegagan dengan marga keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari….?.

7. Jika mungkin benar, leluhur dari Djauli Padang Batanghari adalah keturunan Raja Matanari dari Balna Sikabeng-kabeng….wajar dan pantas marga Matanari dan keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari sama-sama mengetahui turiturian namboru mereka (legenda Pinggan Matio istri Raja Silalahisabungan walaupun tempat tinggal mereka berjarak jauh yakni sekitar 50 km……..mungkinkah….???.

Ada pihak keturunan Raja Silalahisabungan yang menolak Pinggan Matio dan Ranimbani adalah berru Matanari, melainkan adalah berru Padang Batanghari. Untuk hal ini kami memberikan tanggapan dan permintaan sebagai berikut: “ Kami marga Matanari tidak mempermasalahkan sikap (pernyataan) sebahagian keturunan Raja Silalahisabungan tersebut di atas, akan tetapi mohon dikabulkan permintaan kami berikut, yakni al”:

1. Jangan dikatakan kampung hula-hula (mertua) Raja Silalahisabungan di kuta Balna Sikabengkabeng, karena kampung itu adalah kampunya marga Matanari Pakpak Pegagan.

2. Tulisan yang menyatakan Pinggan Matio dan Ranimbani berru Padang Batanghari dari kuta Balna Sikabeng-kabeng (Pakpak Pegagan…kabupaten Dairi) harus dirobah menjadi dari Sileuh (Pakpak Simsim…kabupatem Pakpak Bharat).

3. Tulisan yang menyatakan, “Pertanda kula-kula (hula-hula) datang adalah menyalakan api di atas bukit (dolok) ni huta Silalahi, kemudian dibalas dengan menyalakan api di huta Silalahi sebagai pertanda siap menerima kedatangan hula-hula”…………mohon ditarik (diralat)……Karena kondisi seperti ini tidak mungkin terjadi zaman dahulu (yakni marga Padang Batanghari dari Sileuh-daerah Simsim datang ke Silalahi kemudian menyalakan api di atas tanah wilayah milik Raja Matanari),….mungkinkah..?.....apa peran Pakpak Pegagan (Matanari, Manik Lingga)…..?.....sangat mustahil bisa terjadi zaman dahulu bukan…?

4. Padang Batanghari yang menyatakan bahwa “ mpung (leluhur) mereka sampai generasi ke-8 berada di Balna Sikabeng-kabeng, tetapi akibat terjadi geraha (perang) maka leleuhur mereka melarikan diri (terusir) pergi/kembali ke Sileuh, dan sebahagian dari keturunan leluhur mereka yang tertawan merobah marga menjadi Matanari (pihak penyerang/pengusir marga Padang Batanghari)……Pernyataan/tulisan ini mohon ditarik atau diralat.

5. Pernyataan yang terkait point 1, 2, 3 dan 4 di atas harus ditarik (diralat dan ditiadakan), karena marga Matanari beranggapan: ada maksud tertentu dalam tulisan tersebut, misalnya maksud penguasaan wilayah dan pengambilalihan hak pemegang Adat Sulang Silima di wilayah Balna Sikabeng-kabeng – Kuta Gugung dari marga Matanari.

6. Selanjutnya pihak Padang Batanghari (Pakpak Simsim) memohon maaf kepada marga Matanari dan marga-marga yang ada di Pakpak pegagan (terutama marga Manik dan Lingga).

7. Atau…..keturunan leluhur Djauli Padang Batanghari menunjukkan kepada marga Matanari, surat pernyataan dari Penetua Pakpak Pegagan, Penetua Pakpak Keppas dan Penetua Pakpak Silima Suak yang mendukung (membenarkan) pernyataan mereka (yang menyatakan leluhur mereka sampai generasi ke-8 bertempat tinggal di Balna Sikabengkabeng kemudian diserang/diusir oleh marga Matanari).

Banyak orang suku Pakpak mudah mengganti marganya atau menghilangkan marganya…….?. Kenapa demikian……..???

Pada umumnya akibat jumlahnya yang relatip sedikit yakni terutama si daerah perantauan (salah satu faktor) penyebab suku Pakpak mendekatkan diri ke suku Batak Toba, mengkait-kaitkan marganya dengan marga suku Toba dan akhirnya mengkui marganya anak dari marga Batak Toba. Misalnya, Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Pinayungan dan Anak ampun mengaku anak Simbolon (Naiambaton), Banurea dan Barasa mengaku keturunan Naiambaton (tetapi akhir-akhir ini ada juga marga Barasa tidak mengaku keturunan dari Naiambaton….karena ternyata dapat juga kawin antara marga Barasa dengan Tinambunan atau Tumangger), sedangkan marga Ujung, Angkat, Bintang, Kudadiri, Capah, Sinamo dan Gajah Manik (7 marga) dan marga Bako mengaku anak Naibaho, harga Padang mengaku Situmorang, marga Padang Batanghari mengaku Pasaribu, Solin mengaku Pandiangan, juga Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) mengaku Sihotang.

Selain alasan faktor tersebut di atas, pada umumnya marga-marga Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) akibat letak daerahnya sangat dekat dengan wilayah tanah Karo, Simalungun dan Samosir dan Humbang maka sudah beberapa generasi mereka (Pakpak Pegagan terutama marga Matanari) telah kawin mayoritas dengan suku Batak Toba. Lambat laun bahasa yang digunakan sehari-hari sdslsh bahasa Batak Toba, dan adat istiadat dipakai adalah Adat Batak Toba (karena hula hula dan Boru hampir semuanya suku Batak Toba). Dalam menjalankan Adat Batak Toba, marga Matanari membutuhkan saudara semarga. Kenyataan ini menyebabkan marga Matanari dan Pakpak Pegagan lainnya (Manik dan Lingga) telah lama mengaku keturunan marga Sihotang. Dan akhirnya pengaruh marga-marga keturunan SiRaja Oloan juga berpengaruh kuat terhadap marga Matanari (terutama di perantauan). Kenyataan yang sebenarnya adalah marga Matanarilah yang memberikan tanah (parhutaan) kepada marga Sihotang yaitu huta Sihotang Nahornop dekat daerah Balna Sikabeng-kabeng. …..mungkinkah anak/cucunya yang memberikan tanah atau parhutaan kepada bapak/ompungnya…?..mustahil kan..?.

Sebelum kuat pengaruh Sihotang di wilayah Pakpak Pegagan (Matanari, Manik dan Lingga) dan Naibaho di wilayah Pakpak Keppas (Ujung, Angkat, Bintang, Kudadiri, Capah, Sinamo, dan Gajah Manik), maka antar marga-marga suku Pakpak di atas masih saling kawin. Misal Matanari kawin dengan marga Bintang, atau Capah ataupun marga Lingga.

Adek perempuan Ranimbani boru Matanari (istri Loho Raja) ada dua orang, masing-masing kawin dengan marga Bintang dan marga Maha. Marga Maha adalah suku Pakpak yang mengaku dirinya marga Silalahi dan Sembiring Maha di Tanah Karo

Akibat jumlahnya relatip sedikit maka pada umumnya banyak suku Pakpak merobah marganya di perantauan. Misalnya marga Matanari yang merantau ke Tanah Karo, Tigalingga dan Tanah Pinem merobah marganya menjadi Karo-karo, Sitepu, Sinulingga, dan lain lain. Marga Matanari yang merantau ke daerah Deli, Riau, Jambi, Benhgkulu, pulau Jawa, Irian jaya dan lain lain ada yang merobah marganya menjadi marga Sihotang.

Pengaruh ajaran Agama yang sangat melarang (bertentangan dengan) kebiasaan adat dan budaya Pakpak, menyebabkan sebahagian suku Pakpak lambat laun mudah lupa (menghilangkan) marganya.
Semoga pertanyaan ini dapat dijawab dengan kerendahan hati, tanpa ada perasaan dilecehkan dan menghilangkan perasaan sombong (merasa diri paling benar) sehinga berguna dalam pengetahuan seajarah yang benar dikemudia hari tanpa ada pihak yang dirugikan. Jikalau ada dalam tulisan ini yang kurang berkenan, maka penulis lebih dahulu mohon maaf dan penulis sangat menunggu kritik/perbaikan dari semua pihak.

NJUAH-NJUAH…….HORAS

No comments:

Post a Comment