Pages

Thursday, March 15, 2012

MARSIUS SITOHANG DAN PENETRASI MUSIK POP


MARSIUS SITOHANG DAN PENETRASI MUSIK POP

SEPULANG dari Irian dan Jakarta tanggal 14 April 2001, Marsius

Sitohang langsung mendapat order tanggapan. Tanggal 15 April, pukul
8.00 pagi ia sudah berangkat main musik dan baru pulang kembali pukul
02.00 dini hari. Baru pada hari ke empat kepulangannya, Selasa (17/4)
Kompas berhasil menemuinya, di sela-sela kesibukan dosen luar biasa
ini mengajar.

"Kemarin dari Irian, saya langsung ke Jakarta, mengajar di SMA Al
Izhar Pondok Labu, Jakarta, delapan kali pertemuan," katanya
mengawali pembicaraan di teras lantai dua, Gedung Jurusan
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara di Medan.

Pemain opera rakyat, yang beralih menjadi tukang becak karena
tergusur zaman, dan akhirnya menjadi dosen luar biasa Universitas
Sumatera Utara untuk musikologi ini, tampak telah mantap menjalani
perannya sebagai dosen. Mengenakan celana blue jeans dan kaus
berkerah, ia tampak mengajar dengan santai dan penuh percaya diri.
Tidak lagi tegang, seperti ketika awal dia mengajar di tahun 1985.

Saat masih menggelinding di jalanan Kota Medan dengan becaknya,
tak pernah terpikir di benak ayah enam anak yang tak tamat SD ini,
akan menjadi dosen dan bermain musik di berbagai negara di dunia.
Berbagai piagam penghargaan dari dalam dan luar negeri pun telah
diterimanya. "Amerika, Australia, Jepang, Korea, dan semua kota di
Eropa pernah saya datangi, sebut saja Swiss, Jerman, Belanda, dan
Belgia," katanya.
***

CUKUP mantap di kehidupan saat ini, Marsius masih menyimpan
kegelisahan juga.
"Kalau sampai gondang sabangunan punah, di situlah takutnya
kita," ujar lelaki kelahiran Tapanuli Utara tahun 1953 ini, ketika
ditanyakan apa yang sedang menjadi perhatiannya saat ini. Dari dua
jenis musik tradisional Batak Toba, yaitu uning-uningan dan gondang
sabangunan, hanya yang pertama yang masih banyak mendapat apresiasi
masyarakat.

Menurut Marsius, uning-uningan relatif lebih bisa bertahan karena
memiliki tujuh tangga nada (diatonis), sehingga bisa digabung dengan
musik modern untuk mengiringi lagu-lagu pop. Alat musik uning-unginan
terdiri dari garantung (semacam gamelan kayu berukuran kecil),
sarunai (seruling kayu berlubang empat), dan seruling bambu.

Sedangkan gondang sabangunan hanya memiliki lima tangga nada
(pentatonis), sehingga tidak bisa mengadaptasi selera masyarakat akan
lagu-lagu pop modern. Akibatnya tidak lagi mendapat apresiasi, bahkan
dari masyarakat Batak sendiri. "Alasannya, musiknya cuma itu saja
dibolak-balik," ujar Marsius.

Padahal, sebenarnya ada ratusan repertoir musik yang menggunakan
taganing (semacam tifa tetapi memainkannya dipukul dengan stick),
gong, dan sarunai besar (seruling kayu dengan empat lubang pengatur
nada) itu. Marsius sendiri "hanya" mampu mengingat 60 repertoir.
Namun, bagi yang tidak terbiasa, mendengarkan musik gondang
sabangunan ini memang sepertinya semua lagu sama saja.

Dari ratusan repertoir tersebut, setahu Marsius belum ada yang
didokumentasikan. Ia sendiri tidak mampu menuliskannya, semua hanya
ada di kepalanya. "Semuanya ingin saya lakukan, tapi nulis-nulisnya
saya tidak tahu. Saya enggak ngerti teori-teori itu, tapi kalau orang
menyanyi lagu apa saja saya bisa mengiringi," katanya.
Begitu kuatnya serbuan musik pop, membuat berbagai tatanan
tradisi berantakan. "Kini, untuk orang meninggal pun lagunya minta
Poco-Poco," katanya.

Padahal, menurut adat Batak, untuk orang meninggal harusnya
dengan tari Tor-Tor yang diiringi gondang sabangunan. Antara lain
dengan iringan gondang Mula-mula dan Mula Jadi, sebuah repertoir
yang menggambarkan bahwa semua yang di dunia ada awalnya. Karenanya,
setiap orang harus bersujud pada orang tua yang merupakan permulaan
dari keberadaannya. Kemudian gondang Hasahatan, yang mengungkapkan
bahwa segala sesuatu ada akhirnya. Atau juga, gondang Sitiotio, yang
berarti bersih, di mana semua kata-kata yang diungkapkan tentang
orang meninggal keluar dari hati yang bersih dan tulus.

Namun, di Medan semua tatanan adat itu rupanya mulai tergeser.
Sekalipun acara orang meninggal, Marsius harus ngepop untuk mengikuti
permintaan. Ia pun menyesuaikan, main Uning-uningan campur band.
"Kalau permintaan tidak diiyakan, kita dianggap bodo. Padahal kalau
dituruti, kita keluar jalur," tuturnya.

Ironisnya, sementara orang Batak sendiri menyingkiri, banyak
mahasiswa dari luar negeri yang justru tertarik pada gondang, dan
telah menguasai permainan musik tersebut. Selain itu, beberapa konsul
seperti dari Amerika dan Australia pun pernah belajar uning-uningan
maupun gondang padanya.

Lantaran kecintaannya pada musik tradisional Batak, khususnya
gondang sabangunan yang tidak mampu beradaptasi dengan musik pop, ia
pernah bertahan hanya memainkan musik tradisional. Akibatnya, dalam
satu bulan paling banyak mendapat dua tanggapan. Ia pun menyerah.
"Enggak makan," katanya.

Belajar dari pengalamannya sendiri, mencintai gondang sabangunan
karena sejak kecil terbiasa mendengarkannya, Marsius berkesimpulan
bahwa masalahnya seperti kata pepatah, "Tak kenal maka tak sayang".
Namun, untuk bisa menikmati dan mencintai musik ini tidak cukup
sekadar kenal, tapi harus akrab di telinga. "Dari SD saya dengar,
makanya saya sayang sama gondang itu," katanya.

Karenanya, sedikit demi sedikit ia berusaha mengakrabkan gondang
di telinga masyarakat. Sejak setahun yang lalu, setiap kali grup
musiknya Sopo Nauli diundang main, di sela-sela pertunjukan selalu
dimainkannya gondang, sekalipun tidak diminta. "Sekarang beberapa
pengundang sudah minta supaya gondang juga dimainkan, sekalipun
bayarnya masih hanya untuk uning-uningan," katanya.

Oleh karena itu, Marsius juga berharap, suatu saat gondang
diajarkan di SD, paling tidak di SMP-SMP. Sehingga nantinya bisa
dihayati kembali oleh masyarakat.

Apakah Marsius sempat menularkan keterampilannya bermain musik
pada masyarakat kampung sekitarnya? "Tidak ada yang mau, cem mana
kita menyodorkan. Sementara awak pun cari makan dari pagi habis
sore," katanya.
***

SEKALIPUN gajinya sebagai dosen luar biasa hanya Rp 170.000
setiap bulan, tetapi dari bermain musik penghasilan Marsius sekarang
sudah lumayan. Istrinya pun tinggal di rumah saja, tidak lagi
berjualan.

Sejak menjadi dosen tahun 1985 ia menjadi dikenal orang. Kurang
lebih setelah setahun mengajar, mulai banyak panggilan bermain musik.
Ia, setiap bulannya minimal main 20 kali di Medan, yang kebanyakan
untuk acara perkawinan dan orang meninggal. Itu belum termasuk
permintaan ke luar daerah. "Satu bulan pernah main 60 kali,
siang-malam," katanya.

Untuk satu kali pertunjukan di Medan, ia dibayar Rp 900.000
dengan pemain sembilan orang. Rata-rata setiap pemusik mendapat Rp
75.000 sekali main. Namun, kalau mengiringi koor gereja atau main
di hotel bisa mendapat bayaran Rp 200.000 setiap pemain. "Yang saya
syukuri, saya sekarang tidak pernah berutang, tidak apa-apa setiap
kali harus jalan kaki ke kampus ini," ujar ayah dari enam anak ini.

Ia begitu berharap, ada anaknya yang meneruskan bermusik. Rupanya
anaknya yang bungsu, Anto Sitohang-lah yang menerima warisan
kecintaan pada gondang sabangunan. Kalau ada tanggapan musik dan
gondang akan dimainkan, si bungsu yang masih kelas empat SD ini
harus ikut. "Kalau tidak nangis, sekolah pun maunya bolos. Ia memang
sejak kelas satu sudah tahu pegang gong, pegang tempo (ketukan), tapi
jangan sampai seperti kakaknya, tidak mau sekolah, "katanya.
(Ardhian Novianto)

Foto:
Kompas/ardhian novianto
Marsius Sitohang

Sumber:
http://ardh14n.multiply.com/journal/item/14

No comments:

Post a Comment