Pages

Wednesday, March 7, 2012

Mamuka Gondang: Jawaban Gereja Atas Adat Pemujaan Roh Nenek Moyang di Tanah Batak


Paper Semester 8 STTJ

Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri, kedatangan para misionaris ke Tanah Batak telah menjadi “cahaya” bagi orang Batak.Tercatat ada beberapa badan penginjilan yang mencoba masuk ke Tanah Batak. Ada Baptist Mission Society of England yang mengirim Burton dan Ward pada tahun 1820, American Board of Commissioner for Foreign Mission (ABCFM) yang mengirim Lyman dan Munson pada tahun 1834,[1] Nederlands Zendelinggenootschap (NZG) yang mengirim Gützlaff pada tahun 1826 (meskipun akhirnya Gützlaff gagal bertolak ke Sumatra karena berkobarnya perang Bonjol),[2]dan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dari Barmen, Jerman. Badan misi yang disebut terakhir ini adalah yang kemudian berhasil “mengkristenkan” orang Batak. Semua misi yang datang ke Tanah Batak tersebut berasal dari Eropa dan Amerika Serikat.
Kekeristenan yang datangnya dari Eropa tersebut ternyata menjumpai sebuah kepercayaan yang sudah terlebih dahulu mengakar di dalam hidup orang Batak. Perjumpaan kekristenan ala Eropa tersebut dengan agama suku asli orang Batak ternyata menimbulkan banyak perdebatan mengenai apakah adat yang selama ini dilaksanakan oleh orang Batak tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan yang ada di dalam Alkitab. Salah satu contohnya adalah mengenai mangongkal holi.[3] Mangongkal holi adalah sebuah kegiatan adat masyarakat Batak yang dilakukan dalam rangka menghormati leluhurnya.
Berangkat dari pengalaman pribadi penulis sendiri mengenai upacara ini (pemujaan roh nenek moyang), penulis akan berusaha membeberkan apakah upacara ini bertentangan dengan Injil, dan bagaimana kemudian Injil dapat menjawab adat. Jika upacara-upacara adat ini tetap dilakukan, apakah itu masih bisa disebut kristen? Apakah itu ternyata berubah menjadi sinkretisme? Hubungan di antara keduanya di tanah Batak, terutama dari sudut gereja HKBP, juga akan dilihat dari tipologi Niebuhr.

Agama Suku Batak

Secara genealogis-antropologis, ada enam suku atau enam cabang dari suku Batak, yaitu Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing, yang masing-masing memiliki bahasa dan dialek.[4] Menurut Schreiner, ada tiga ciri-ciri bersama yang dimiliki semua orang Batak, yakni:[5]
1.      Susunan genealogisnya dengan pembagian atas marga, yakni suku yang patrilineal (mengikuti garis bapa) dan exogam (kawin di luar marga);
2.      Agama-suku yang terdiri dari pemujaan nenek moyang dan penyembahan roh-roh;
3.      Pengaruh kebudayaan India, yang barangkali sudah mulai timbul lebih dari seribu tahun yang lalu. Persawahan orang Batak, aksara mereka dan banyak sifat agama mereka yang lama berasal dari perjumpaan dengan kebudayaan India.
Ada beberapa catatan mengenai asal-usul suku Batak ini, namun mitologi mengatakan bahwa suku Batak berasal dari keturunan yang sama, yakni si Raja Batak, yang berasal dari gunung Pusuk Buhitdi sebelah barat laut pulau Samosir. Mulajadi Na Bolon adalah Sang Awal Yang Maha Besar yang dipercayai suku Batak sebagai awal dari segala sesuatu. Hal ini menujukkan bahwa sebenarnya agama Batak sudah percaya kepada Allah Yang Maha Esa, yang menjadi awal dari segala sesuatu yang ada.[6]
Masyarakat Batak sangat terikat dengan pertalian marga dan adat. Adat sesungguhnya di dalam masyarakat Batak adalah agama. Bagi mereka, adat itu dipahami sebagai tata tertib yang mencakup hubungan antara ciptaan dengan sang pencipta, hubungan dengan alam lingkungan, hubungan antara masa lalu, kini, dan masa mendatang. Artinya adalah semacam totalitas keselarasan kehidupan, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.[7]
Tradisi Mangongkal Holi
Bagi orang Batak, ada tiga hal yang menjadi falsafah hidup mereka. Hamoraon (kekayaan),hagabeon (banyak keturunan/anak), dan hasangapon (kehormatan di mata masyarakat) adalah tiga hal yang selalu dicari oleh masyarakat Batak dalam falsafah hidupnya. Ketiga hal tersebut dipercaya dapat diberikan oleh roh para nenek moyang. Karena itu, orang Batak sangat menghormati orangtua mereka, karena mereka percaya berkat yang diberikan para nenek moyang akan menjadi sangat menentukan di dalam hidup mereka.
Salah satu dari acara adat yang dilakukan dalam rangka menghormati arwah para leluhur dan masih dilakukan sampai sekarang adalah tradisi mangongkal holi. Mangongkal holi adalah upacara adat menggali tulang-tulang orangtua (leluhur) yang sudah meninggal dan memindahkannya ke tempat peristirahatan mereka yang lebih baik.[8] Tujuan dari mangongkal holi adalah menghormati orang tua kita, dan yang disebut orang tua bukan saja bapa atau ibu kita, melainkan sampai kepada nenek moyang kita.[9] Kuburan tanah yang sementara dibuka, sesudah lewat waktu pembusukan yang dianggap perlu, lalu mengangkat tulang-tulang dari dalamnya dan menempatkannya dalam suatu kuburan semen dengan mengadakan upacara tertentu.[10] Pesta adat ini diiringi oleh gondang dan pemotongan hewan secara besar-besaran (banyaknya hewan yang dipotong tergantung dari yang mengadakan acara).
Perayaan itu biasanya tidak langsung di dalam suasana yang khidmat. Yang merupakan pusatnya ialah tengkorak dan tulang-tulang dari bapa-bapa suku atau bapa-bapa dari nenek moyang yang akan dikumpulkan. Tulang-tulang itu digali (mangongkal holi) lalu tulang-tulang tersebut dibersihkan. Setelah dibersihkan biasanya akan ada acara manulangi (menyuapi) holi-holi (tulang-belulang) tersebut seperti layaknya manusia biasa dengan makanan, sirih dan kadang-kadang diberi rokok, dan kemudian dimasukkan ke dalam suatu peti kecil dan kemudian nantinya dipindahkan ke dalam kuburan yang baru. Moyang, yakni ompu itu sendiri dimintakan berkatnya sebagai balas jasa atas tempat yang terhormat yang telah disediakan keturunannya baginya. Menurut budaya yang asli, permintaan berkat ini di-andung-kan (diratapkan) langsung kepadaompu di depan tengkoraknya sebelum dia dimasukkan ke kuburannya yang baru. Kemudian peti kecil itu dimakamkan di dalam kuburan semen atau di dalam tugu. Peserta-peserta dan tamu-tamu berkumpul di rumah suhut (tuan rumah) dan duduk makan serta mengakhiri perayaan itu dengan pidato-pidato resmi sambil menikmati nasi dan ternak sembelihan – ayam, babi, atau kerbau.[11]

Masuknya Kekristenan Ke Tanah batak

Pada awal masuknya Injil, sebagaimana umumnya terjadi di kalangan suku-suku bangsa lain yang masih tradisional, peperangan antar kampung dan marga, baik perebutan wilayah kekuasaan maupun kepentingan dan persaingan antara raja adat dan marga, merupakan hal yang lumrah ditemui. Ditambah lagi kekuatan adat yang juga adalah agama bagi masyarakat Batak, membuat Injil tidak mudah untuk disaksikan. Namun, pesan Injil yang membawa perdamaian merupakan salah satu faktor penarik di tengah-tengah masyarakat yang selalu dilanda peperangan antar marga dan antar huta (kampung) tersebut.
Nommensen, seorang penginjil utusan RMG, badan zending di Jerman, yang tercatat sebagai peletak dasar utama HKBP dan juga menjadi Ephorus pertama HKBP, juga mengadakan kompromi dengan adat. Satu kisah tersebut tampak dalam surat menyurat antara Nommensen dengan badan yang mengutusnya, RMG, dalam memilih strategi antara menjaring dan mengail. Pola menjaring adalah suatu bentuk penginjilan yang menekankan kuantitas, yakni membaptis sebanyak-banyaknya untuk kemudian dibina. Sedangkan pola mengail adalah pola yang lebih menekankan kualitas meskipun memakan waktu lebih lama dan membutuhkan kesabaran yang lebih. Nommensen kemudian memang melakukan baptisan massal, dan kurang begitu menekankan pola mengail.[12]Mungkin ini juga yang menyebabkan HKBP tidak dapat dilepaskan dari adat Batak karena konsepsi adat Batak yang sudah tertanam tersebut langsung diadopsi begitu saja, dan ini menjadi terbawa di dalam bentuk dan isi HKBP.[13] Namun, di sisi yang lain, para utusan Zending juga berusaha menaklukkan ‘agama kafir’.Para zendeling berusaha untuk membersihkan adat itu dari kekafiran dan untuk menyusun suatu kumpulan ‘undang-undang Kristen’ yang bertolak dari tata-tertib adat. Akan tetapi usaha untuk mengkristenkan adat secara kuantitatif ini tidaklah menghapuskan sifat khas dan daya pengikat adat yang bersifat menyeluruh dan supra-individual itu, malahan meneguhkannya. Schreiner menyatakan bahwa justru di lingkungan para zendelinglah lama-kelamaan timbul sikap yang lebih kristis terhadap kemungkinan membentuk suatu adat Kristen.[14]
Pendidikan yang adalah salah satu usaha-usaha zending di bidang penginjilan, mau tidak mau telah membawa masyarakat Batak terbuka kepada horizon baru. Terbukanya cara berpikir mereka telah membuat mereka mulai keluar dari tanah asal mereka dan bekerja di perkebunan-perkebunan. Kehidupan ekonomi yang semakin baik juga membawa mereka berjumpa dengan dunia baruperdagangan dengan dunia luar. Hal ini membawa mereka kepada krisis kesetiaan dan kepada dualisme, apakah mereka harus tetap setia kepada nilai-nilai adat yang begitu melekat kepada mereka, atau haruskah mereka meninggalkan itu semua demi kemajuan dan nilai-nilai baru yang dibawa oleh keristenan.
Slogan yang muncul untuk mengungkapkan dampak terobosan kultur modern atas kehidupan orang Batak adalah “Hamajuon”(kemajuan). Slogan ini juga muncul bersamaan dengan slogan yang lain, yaitu “Manaekma bangso Batak” yang berarti majulah bangsa Batak. Kedua slogan ini bahkan menjelma menjadi gerakan yang hendak menghimpun potensi masyarakat Batak untuk mengejar kemajuan di bidang pendidikan, kesejahteraan, sosial-ekonomis, bahkan juga politik. Berbekalhamajuon mereka ingin setaraf dengan masyarakat Barat, dan sejajar dengan itu ingin melepaskan diri dari dominasi pihak Barat, baik secara sosial-politik-ekonomi maupun secara rohani.[15]
Daya tarik hamajuon sangat kuat di antara generasi muda Batak. Larangan-larangan adat yang ketat diri generasi-generasi terdahulu dianggap tidak sesuai dengan perubahan sosial yang pesat di Tanah Batak.[16] Generasi muda yang merasa adat dari orang Batak terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan semangat hamajuon mereka, sehingga mereka mencari pengalaman baru di luar Tanah Batak dan bertemu dengan kehidupan yang baru yang lebih mempengaruhi pemikiran mereka mengenai kemandirian disaat mereka kembali ke Tanah Batak.
Sikap dari para zendeling Batakmission adalah ganda. Di satu pihak mereka menyatakan bahwa zending tidaklah anti hamajuon, bahkan segala sesuatu yang sudah dilakukan oleh zending adalah untuk membawa hamajuon di segala bidang, dan hasilnya sudah bisa dilihat dengan nyata. Tetapi mereka (para zendeling) berpendapat apabila orang Batak ingin maju secara utuh dan lengkap hendaklah mereka (orang Batak) terlebih dahulu maju dan bertumbuh dalam bidang rohani.[17]Munculnya gerakan hamajuon itu membangkitkan kesadaran orang Batak Kristen untuk melepaskan diri dari segala dominasi orang Barat di segala bidang.
Kemandirian HKBP
Adalah Perang Dunia ke II yang memaksa para utusan RMG untuk melepaskan jabatannya dalam HKBP. Tatkala perang meletus, pemerintah Belanda mengganggap semua orang Jerman, termasuk zendeling RMG, adalah musuh mereka. Pada tanggal 10 Mei 1940, semua zendeling RMG dideportasi, kecuali tiga orang warga negara Belanda.[18] Akibatnya adalah orang-orang Batak harus siap menduduki jabatan-jabatan tinggi di gereja. Tetapi  zendeling H. F Kleine (salah seorang zendeling berkewarganegaraan Belanda yang tertinggal) diangkat menjadi pejabat Ephorus oleh para zendeling yang tersisa itu. Bahkan Batak Nias Zending juga didirikan untuk menggantikan RMG di tanah Batak. Namun akhirnya diputuskan untuk melaksanakan Sinode Godang HKBP yang istimewa pada tanggal 10-11 Juli 1940. Pada Sinode Godang itu Pdt. K. Sirait terpilih menjadi Ephorus pribumi pertama setelah mengalahkan Kleine dalam suatu pemilihan suara para peserta sinode. Dengan demikian pertama kali seorang pribumi menduduki jabatan tertinggi di dalam HKBP. Selain itu perlu ditekankan bahwa pemilihan itu sudah dipengaruhi adanya simpati nasional para anggota sinode, sekaligus menjadi tanda unsur Batak yang berniat memisahkan HKBP dari kepemimpinan orang Eropa, untuk seterusnya.[19]
Sejak itu, HKBP berusaha menjawab persoalan-persoalan di sekitar Injil dan Adat melalui pergumulan HKBP yang sudah mandiri secara struktur kepemimpinan tersebut. Jawaban atas masalah-masalah perjumpaan adat dengan Injil kini akan dijawab oleh orang Batak itu sendiri, tanpa campur tangan orang asing lagi (meskipun teologi yang diterima orang Batak sendiri pada mulanya adalah teologi Barat).
Pandangan mengenai Mangongkal Holi
Schreiner sendiri berpendapat bahwa untuk membedakan mana yang membuat upacara peringatan akan nenek moyang semacam mangongkal holi adalah secara Kristen atau tidak adalah ada tidaknya kurban persembahan. Lebih lanjut lagi dia mengatakan bahwa pembangunan tugu-tugu sebenarnya berarti juga memberikan persembahan kepada nenek moyang. Perintah menghormati orangtua tidaklah harus dengan memberikan persembahan kepada holi-holi mereka.
Sementara, menurut Pdt. Rudolf Pasaribu,[20] untuk konteks masyarakat Batak, penggalian tulang-belulang memiliki motif yang sangat jauh berbeda dengan kisah yang ada di Kejadian 50:1-14 di mana Yakub dan pada ayat 25 Yusuf berpesan agar mayat mereka dibawa kembali ke Kanaan. Motif ini sangat jauh berbeda sehingga tidak mungkin nas tersebut dapat digunakan sebagai dasar alkitabiah untuk melegalisasi penggalian dan pemindahan tulang-belulang. Motivasi pemindahan dan pengusungan tulang belulang mereka, lanjut Pasaribu, adalah untuk mengingat bahwa kematian mereka ada di negeri asing, negeri kafir, dan bukan berada di negeri sendiri. Sedangkan motif dan tujuan penggalian tulang-belulang menurut suku Batak pada hakekatnya adalah penghargaan, penghormatan, kultus pada roh (tondi) orang mati, dan di sana ada pengharapan bahwa roh dari orang yang meninggal itu akan meningkat, atau semakin bermutu, menjadi sahala atau sumangot(keduanya berbeda antara yang satu dengan yang lain menurut orang Batak) yang mampu memberi berkat (jasmani dan rohani) kepada orang hidup.
“Saya kuatir bahwa penggalian tulang-belulang menurut kebiasaan Batak akan cenderung menghidupkan kembali kepercayaan animisme di kalangan orang Kristen Batak. Oleh karena itu upacara mangongkal holi menurut kebiasaan Batak sangat riskan dan sulit dipisahkan dari animisme dan spiritisme. Andaipun ada keterlibatan pihak gereja dalam upacara seperti itu, spiritisme dan animisme tidak mungkin dihindarkan (hal yang sama berlaku pada pendirian tugu). Oleh karena itu penulis menyarankan jika bukan karena terpaksa… maka jauh lebih baik untuk tidak usah menggali kembali tulang belulangdan memindahkannya untuk tujuan agar ‘roh dan tondi orang yang telah lama meninggal tersebut senang, sukacita, tenang dan damai sejahtera.’ Jika memang terpaksa dan harus dipindahkan, maka hendaklah hal itu dilakukan dengan penuh hati-hati, penuh doa dan permohonan yang sungguh-sungguh, agar Tuhan benar-benar membungkus seluruh anggota keluarga dengan Roh Kudus supaya tidak terperangkap oleh iblis kepada praktek-praktek kekafiran.”[21]
Lebih lanjut Pasaribu mengatakan bahwa apabila tidak ada tujuan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kekristenan, maka memperbaiki kuburan itu tidak apa-apa. Dan sarannya adalah perbaikan kuburan tersebut harus sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat itu sendiri.[22]
Gereja Katolik sendiri telah menerjemahkan doa-doa syafaat buat orang-orang mati yang terdapat di dalam liturgi misa mereka ke dalam bahasa-bahasa suku. Namun gagasan Katolik mengenai arti simbolis dari pengorbanan Kristus yang karenanya mereka memohon agar saudara-saudara mereka yang telah meninggal juga turut diselamatkan karena kurban tersebut, ditolak dengan tegas di dalam pengakuan HKBP.[23]
Mambuka Gondang,[24] jawaban gereja atas tradisi?
Pada masa kini, HKBP berusaha mengakomodir adat dengan memasukkan nilai-nilai kekristenan ke dalam upacara-upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak, khususnya jemaat HKBP sendiri. Untuk menghindari kehidupan yang munafik yang terlihat di dalam pesta-pesta adat, misalnya pesta tugu, jiarah dan lain-lain yang mempraktekkan kehidupan kafir dengan meminta berkat dari roh nenek moyang, gereja sekarang turut memfasilitasi acara-acara adat tersebut. Salah satu cara gereja adalah dengan mambuka gondang.
Membuka gondang dalam setiap acara adat, terutama dalam acara mangongkal holi dipandang sebagai salah satu cara yang efektif, meskipun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Dalam setiap acara adat, Gereja akan datang untuk membuka dengan ibadah, yang didahului dengan pembacaan Ruhut Panindangion dohot Paminsangon (RPP)[25] mengenai acara tersebut. Syarat yang dibacakan adalah tidak boleh memanggil roh nenek moyang, dan tidak boleh meminta berkat kepada nenek moyang, semua permintaan dan pujian hanya boleh disampaikan kepada Allah Yang Maha Esa. Pada akhir acara, Gereja juga akan diundang untuk menutupnya dengan berkat.[26]Apabila syarat tersebut dilanggar maka warga jemaat yang melanggarnya akan dikenakan siasat gereja.
Hasil dialog yang dilakukan oleh HKBP dengan adat masyarakat Batak, dalam hal ini upacara pemujaan roh nenek moyang (mangongkal holi)adalah Gereja mau menerima upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak, asalkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai kekristenan diganti dengan nilai-nilai Kristen. Apabila Gereja tidak melakukan hal ini, maka jemaat cenderung untuk melakukannya sendiri – karena dorongan adat – dan ini akan membuatnya lebih sulit lagi untuk dikontrol.
Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr Dalam Perspektif Batak

Dari kelima tipologi Niebuhr,[27] pada awalnya Injil bersikap konfrontatif terhadap adat Batak. Kegiatan atau ritus adat sama sekali tidak boleh dipergunakan di dalam Gereja. Mereka yang melakukan kegiatan adat dicap tidak Kristen. Kemudian sikap Gereja sekarang yang mengijinkan pelaksanaan upacara-upacara adat, terutama adat pemujaan nenek moyang, dengan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus diikuti oleh jemaat yang ingin melakukannya, terlihat lebih akomodatif.

Ditinjau dari skema Niebuhr, maka sikap Gereja (HKBP) sekarang adalah Injil yang mentransformasikan kebudayaan. Tetapi pemahaman ini tidak berhenti sampai di sini saja, artinya pemahaman Injilpun dapat saja ditransformasikan melalui pemahaman budaya Batak.[28]Penerimaan Gereja akan adat tidak lepas dari syarat-syarat tertentu yang mentransformasi kebudayaan, misalnya pemanggilan roh nenek moyang dan meminta berkat darinya tidak boleh lagi dilakukan, Allah adalah satu-satunya tempat kita meminta berkat. Namun kebudayaan juga mentransformasi Injil dalam pengertian Injil tidak terikat kepada apa yang dibawa oleh Barat ke orang Batak. Injil bersifat lebih luwes, dan adat juga dapat dilakukan sebagai sarana memuji Tuhan.

Penutup & Refleksi Teologis

Penerimaan HKBP atas upacara adat seperti mangongkal holi sebenarnya telah menimbulkan sebuah pertanyaan. Apakah ketika masyarakat melakukan upacara adat tersebut, hati mereka benar-benar memohon kepada Tuhan atau kepada roh nenek moyang. Jangan-jangan religiositas sinkretik[29]yang terjadi di sana. Namun kemudian, seandainya hal itu memang terjadi, maka apakah ada yang salah dengan gambaran itu.
Sepertinya memang ada sedikit keterpaksaan yang dirasakan oleh gereja ketika mereka menerima upacara adat tersebut. Ketika para yang pertama zendeling yang berasal dari konteks kebudayaan yang berbeda berusaha menghapuskan ‘agama kafir’ yang ada pada suku Batak, maka kini justru para pemimpin Gereja yang berasal dari suku Batak sendiri sepertinya segan untuk menerima upacara adat ini, bukan karena upacaranya, melainkan karena nilai dan tujuan yang terkandung di dalam upacara adat itu. Bahkan penulis melihat ada kemungkinan bahwa HKBP juga takut akan meningkatnya popularitas yang diterima oleh Gereja Katolik karena mereka mengakomodir upacara adat di dalam gereja (bahkan Gereja Katolik sudah terlebih dahulu memasukkan musik gondang ke dalam ibadah).
Apabila mengingat teologi Asia yang dikembangkan oleh Choan Seng Song mengenai Allah yang juga turut bekerja di dalam konteks Asia, dan Allah turut di dalam setiap konteks,[30] maka jangan-jangan yang dikatakan sinkretik itu adalah ukuran yang dipakai oleh kacamata Barat (dalam hal ini penulis berasumsi bahwa HKBP memang terlalu memakai kacamata Barat). Tetapi kemudian penulis juga memaklumi posisi HKBP dalam melihat permasalahan penyembahan roh nenek moyang ini. HKBP harus melakukan sesuatu yang bisa menjembatani kedua kubu ini. Menjembatani ekstrem yang mempertahankan penyembahan roh nenek moyang yang ada pada penganut agamaparmalim,[31] dan ekstrem yang ingin menghilangkan adat sama sekali dari segala aspek kehidupan masyarakat Batak Kristen.
Paper yang singkat ini memang tidak akan bisa menjawab permasalahan klasik yang sudah ada sejak lama mengenai permasalahan Injil dan Adat di Tanah Batak. Namun penulis yakin bahwa kasih karunia Allah yang diberikan kepada manusia bukanlah kasih karunia yang terbatas kepada konteks atau situasi manapun. Kasih Allah selalu menyapa manusia di semua tempat dan di sepanjang sejarah.
Kebaktian membuka gondang yang dilakukan oleh Gereja adalah sebuah usaha pengenalan nama kepada adat. Berkat yang selama ini diminta dari roh nenek moyang dikenalkan sebagai berkat yang berasal dari Allah. Karenanya permintaan itu sepatutnya langsung diajukan kepada Allah dan bukan kepada nenek moyang. Namun, ini juga tidak selesai sampai di sini. Pergulatan masyarakat Batak dalam proses pengidentifikasian dirinya dalam masalah Injil dan Adat harus terus digumuli dalam setiap aspek kehidupan mereka. Gereja tidak boleh dengan serta merta mengatakan bahwa adat adalah sesuatu yang jelek dan bertentangan dengan Injil agar Injil itu sendiri dapat menjadi ‘adat’ bagi masyarakat Batak, dan karenanya akan menjadi lebih melekat dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Batak.

Daftar Pustaka
Aritonang, J. S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK-GM, 1988.
Hutagalung, W. M. Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak. Siantar: CV. Tulus Jaya, 1991.
Hutauruk, J.  R. Kemandirian Gereja. Jakarta: BPK GM, 1993.
HKBP. Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangon. Tarutung: HKBP, 2000.
Krüger, Müller. Sedjarah Geredja di Indonesia. Jakarta: BPK, 1966.
Lumbantobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak. Jakarta: BPK-GM, 1996.
Nadeak, Moksa, dkk. Krisis HKBP: Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila. Tarutung: Biro Informasi HKBP, 1995.
Niebuhr, H. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta: Petra Jaya, tidak diketahui tahun terbitnya.
Pasaribu, Rudolf. Penjelasan Lengkap Iman Kristen. Medan: penerbitan pribadi, 2001.
Pedersen, Paul B. Batak Blood and Protestant Soul. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1970.
Schreiner, Lothar. Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK-GM, 2000.
Schreiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK-GM, 1996.
Sidjabat, W. B. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Sitompul, A. A. Manusia dan Budaya. Jakarta: BPK-GM, 1997.
Song, C. S. Sebutkanlah Nama-nama Kami. Jakarta: BPK-GM, 1989.
T. M. Sihombing, T. M. Jambar Hata: Dongan Tu Ulaon Adat. Siantar: CV Tulus Jaya, 1989.
Yewangoe, A. A. “Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr Dalam Perspektif Sumba” dalam John Campbell-Nelson (et.al), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. Jakarta: Persetia, 1992.

[1] Kedua orang ini adalah misionaris yang terbunuh oleh Raja Panggalemei beserta rakyatnya. Menurut cerita, kedua orang ini disembelih dan dimakan dagingnya oleh Raja Panggalemei dan rakyatnya, meskipun demikian belum ada bukti yang jelas dan saksi mata akan peristwa itu. Ada beberapa versi cerita mengenai terbunuhnya kedua orang misionaris ini, yang dapat dilihat dalam. Lihat: W. B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 400-401 dengan Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan (Jakarta BPK-GM, 1975), hlm. 49-51.
[2] Dr. Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: BPK, 1966), hlm. 208-209.
[3] Mangongkal holi jika diterjemahkan secara harafiah berarti mengangkat/menggali tulang.
[4] Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK-GM, 1996), h. 1.
[5] Lothar Schreiner, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK-GM, 2000), h. 7-8.
[6] Lumbantobing, op.cit., h. 3. Cerita lebih lengkap mengenai asal-usul suku Batak dapat dibaca dalam buku karya W. M. Hutagalung, Pustaha Batak: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak(Siantar: CV. Tulus Jaya, 1991).
[7] Moksa Nadeak, et.al., Krisis HKBP: Ujian Bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Tarutung: Biro Informasi HKBP, 1995), h. 19-20.
[8] Tempat yang lebih baik ini adalah tambak (kuburan bertingkat di mana seluruh tulang-belulang sebuah keluarga dikumpulkan), atau tugu. Namun sebuah tugu bisa jadi tidak berisi tulang-tulang dari leluhur mereka melainkan hanya sebuah tanda peringatan. Lihat A. A. Sitompul, Manusia dan Budaya (Jakarta: BPK-GM, 1997), h. 260.
[9] T. M. Sihombing, Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat (Siantar: CV Tulus Jaya, 1989), h. 241.
[10] Schreiner, op.cit., h. 173.
[11] Ibid., h. 176. Lihat juga Sihombing, op.cit.
[12] Nadeak, op.cit., h. 21-22.
[13] Penulis tidak menganggap hal ini adalah sesuatu yang buruk, karena dengan demikian, meskipun ada unsur ketidaksengajaannya juga, justru adat Batak menjadi terpelihara.
[14] Schreiner, op.cit., h. 5.
[15] Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK-GM, 1988), hlm. 288-289.
[16] Paul B. Pedersen, Batak Blood and Protestant Soul (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1970), h. 94-95.
[17] Ibid., h. 289-291.
[18] J. R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1993), h. 186-187.
[19] Hutauruk, ibid., h. 188-189.
[20] Rudolf Pasaribu, Penjelasan Lengkap Iman Kristen (Medan: penerbitan secara pribadi, 2001), h. 122-123. Penulis juga adalah Pendeta Jemaat di HKBP Jl. Uskup agung Sugiopranoto No. 8 Ressort Medan Kota, Distrik X Medan Aceh sampai saat paper ini ditulis.
[21] Ibid., h. 123-124.
[22] Hal ini berhubungan dengan kontrasnya pemandangan tugu-tugu, atau kuburan-kuburan yang ada di sepanjang jalan dari Pematang Siantar ke Tarutung dengan situasi ekonomi masyarakat di sekitarnya. Bangunan kuburan yang mewah kadang bersebelahan dengan rumah gubuk yang hampir roboh. Ini juga adalah protes bagi orang Batak yang lebih sering mementingkan harga diri, karena dengan membangun tugu berarti menunjukkan bahwa kita sudah mampu, meskipun itu harus didapatkan dengan menjual seluruh hartanya, atau berhutang kepada orang lain.
[23] Schreiner, op.cit., h. 215-216. Penulis menjadi ingat pengalaman penulis ketika sedang melaksanakan Collegium Pastorale I di Onanrunggu, Samosir, di situ perkembangan Gereja Katolik ternyata sangat pesat karena kemauan mereka untuk mengakomodir adat di dalam tata ibadah mereka. Namun kemudian hal ini juga ditentang oleh para pendeta dari aliran Protestan yang mengatakan bahwa Gereja Katolik telah melakukan sinkretisasi dan akhirnya perayaan-perayaan adat yang dibuka oleh Gereja Katolik sering berakhir dengan adanya orang yang sampai trance(kesurupan). Yang dikatakan oleh para pendeta protestan itu bukan tanpa alasan. Gondang tadinya digunakan untuk memanggil roh nenek moyang, dan karenanya di dalam pelaksanaannya banyak sekali orang yang akan ‘kemasukan’ roh nenek moyang. Selain itu, alat musik yang digunakan sendiri masih berbau mistis, dalam arti mereka harus diberi sesaji dan harus dirawat dengan upacara-upacara tertentu.
[24] Mambuka Gondang berarti membuka gondang (musik ritual Batak).
[25] HKBP, Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangion (Tarutung: HKBP, 2000). Buku ini adalah buku Siasat Gereja HKBP.
[26] Penulis sendiri pernah menjadi paragenda (pembaca liturgi) dalam acara mambuka gondang.
[27] H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (terjemahan) (Jakarta: Petra Jaya, tidak diketahui tahun terbitnya). Kelima tipologi Niebuhr adalah Injil bertentangan dengan kebudayaan, Injil secara fundamental sesuai dengan kebudayaan, Injil yang mengatasi kebudayaan, Injil yang berdiri sejajar dengan kebudayaan, dan Injil yang mentransformasi kebudayaan.
[28] Sebagai perbandingan lihat A. A. Yewangoe, “Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr Dalam Perspektif Sumba” dalam John Campbell-Nelson (et.al), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual(Jakarta: Persetia, 1992), h. 201-209. Beliau menyimpulkan hal yang sama dengan penulis mengenai perjumpaan Injil dengan adat di Sumba.
[29] Dalam Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: BPK-GM, 1996), h. 239, mengatakan bahwa sinkretisme, sebagaimana dikesankan oleh etimologi katanya, berkaitan dengan pencampuran unsur-unsur dari dua sistem keagamaan sampai satu titik di mana paling tidak salah satu dari kedua sistem itu, kalau bukan malah keduanya, kehilangan struktur dan jatidiri dasarnya. Penulis memahami religiusitas sinkretik sebagai sebuah religiusitas yang lahir dari pertemuan injil dan budaya di mana teologi lokal akan muncul sebagai hasil pertemuan kedua hal itu.
[30] C. S. Song, Sebutkanlah Nama-nama Kami (Jakarta: BPK-GM, 1989).
[31] Parmalim adalah agama asli Batak.

Sumber:

No comments:

Post a Comment