Pages

Thursday, March 15, 2012

Literatur dan Dokumentasi Musik Gondang Sabangunan.


Literatur dan Dokumentasi Musik Gondang Sabangunan.
Februari 23, 2008 oleh Jontri Pakpahan

Sampai menjelang akhir abad ke dua puluh kebudayaan musik suku-suku di Sumatera Utara, khususnya kebudayaan suku Batak Toba, secara garis besar masih merupakan “total musicologicalterra incognita” (Kartomi 1987:333). Dengan kata lain, kebudayaan musik suku-suku di SumateraUtara belum dikenal secara luas dan belum mendapat perhatian serius dari para sarjana Etnomusikology atau para sarjana ilmu sosial lainnya yang menaruh minat khusus pada kebudayaan musik.

Pandangan ini cukup beralasan, karena didasari pada kenyataan minimnya referensi yang ada. Namun demikian, pernyataan ini tidak semata-mata mengabaikan tulisan tentang musik suku-suku di Sumatera Utara oleh para sarjana ‘tempoe-doeloe” yang berasal dari Indonesia maupun pengetahuan mengenai kebudayaan musik tersebut bahkan sudah disusun secara sistematis dalam bentuk buku,artikel, monograf atau pamflet. 


Tetapi,persoalannya sekarang, bila dilihat dari kurun waktu yang begitu panjang, sejak diawalinya penulisan tentang musik suku-suku Sumatera Utara pada awal 1900-an sampai sekarang, referensi yang sangat terbatas sekali. Apalagi kalau kita berbicara tentang referensi musik Batak Toba, Khususnya kebudayaan musik Gondang Sabangunan, jelas bisa dihitung dengan jari. Ini merupakan suatu indikasi, kalau bukan “sebuah nasib”, bahwa kebudayaan musik Gondang Sabangunan minus perhatian para “pandai musik”nya termasuk sarjana-sarjana ilmu sosial yang kita miliki. Tidak seperti ketertinggalan masalah musik, masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan, adat, struktur sosial, organisasi sosial, ekonomi, bahasa dan sastra, politik, migrasi, perubahan dan kehidupan sosial orang Batak di Sumatra Utara banyak dibicarakan, dituliskan dan diterbitkan.

Masalah-masalah yang berhubungan dengan topik-topik tersebut tidak saja menarik perhatian para antropolog, sosiolog dan etnografer non-Indonesia, tetapi juga beberapa penulis pribumi, khususnya penulis-penulis lokal. Sederetan sarjana Eropa yang akrab sekali dengan pembahasan kebudayaan orang Batak (di luar kebudayaan musik) dan telah menerbitkan karya tulisannya jauh sebelum tahun 1940 antara lain, M.J.Joustra, J.Tideman, J.Warneckm JH.Neumann, G.L.Tichelman, J.Rauws, Vergouven, Edwin M.Loeb, W.K.H.Ypes, dll.

Sementara itu para penulis pribumi, tercatat seperti Haeman Baduarahim Siahaan, Mangaraja Salomo Pasaribu, dan R.Pontas Pasaribu. Untungnya, kegiatan penelitian dan penulisan di sekitar permasalahan di alas terus berlanjut hingga pada dekade in, Mau bukti? Lihat saja di toko-toko buku atau di perpustakaan terdekat hasil-hasil penerbitan penelitian para ahli ilmu sosial dalam dan luar negeri. Tidak demikian halnya dengan penulisan mengenai kebudayaan musik orang Batak.

Sumber yang saya peroleh mencatat beberapa nama sarjana2 berkebangsaan Eropa yang pernah menulis tentang musik suku Batak termasuk Nias, jauh sebelum berakhirnya kekuasaan Nippon di Indonesia. Di antara nama sarjan Eropa itu terdapat satu penulis “halak hita” (kalau saya tidak kecolongan), yaitu Mangaraja Salomo Pasaribu yang membukukan pengetahuannya tentang musik
Batak Toba diseputar periode 1900-1940.

Dalam bukunya Parsorion (riwayat Hidup) ni Missionar Gustaf Pilgram Dohot Harararat Ni HaKristenon di Toba, Dr. Andar Lumban Tobing (1981) mencatat bahwa pada tahun 1885, Gustav Pilgram sudah menulis tentang musik Gondang Sabangunan. Tulisan ini berjudul “Referat Uber heidnische Musik und Tanz” (Lihat juga J.P.Sarumpaet, 1988). Pilgram mengulas tentang musik Gondang Sabangunan dari perspektif seorang Kristen. Toenggoel P.Siagian (1966) pada artikelnya “Bibliography on the Batak People” di dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University, mencatat beberapa penulis lain.

Pertama, J.H.Meerwaldt (1904, 1905,1906,dan 1907) yang secara kontinu menulis tentang adat, agama, tekstual lagu-lagu, dan deskripsi instrumen musik Batak (Batak Toba), termasuk tartar Sigale-gale. Naskah ini berjudul “Gebruiken in het maatschappelijk leven der Bataks”, terdapat pada jurnal/serial berjudul Mededelingen van wage het Neder/andsch Zendeling-genootsch ap yang diterbitkan di Rotterdam.

Yang kedua adalah J.G. Huyzer dengan artikelnya berjudul “Indonesische muziekinstrumenten” di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch India, penerbitan 1928-1929 di Batavia. Huyzer membicarakan dan menelaah tentang perbedaan bentuk fisik hasapi, instrumen yang dipetik dan mempunyai dua senar.

J.P. Sarumpaet (1988) dalam bukunya Bibliografi Batak, terbitan Sahata Publication- Melbourne, juga menyebutkan dua nama penulis yang menyumbang tulisannya antara tahun 1920-an dan1930-an. Penulis pertama adalah J.Koning yang pada tahun 1920 menulis sebuah artikel pendek berjudul Si Datas, de Bataksche Beethoven. Artikel ini membicarakan kepiawaian permainan instrumen Kulcapi Pak Datas yang tinggal di Brastagi pada saat itu. Berikutnya, S.P.Abas yang pada tahun 1931 muncul dengan artikelnya berjudul “De Muziel der Bataks”, terdapat pada Caeilia Muziekollege, berbicara secara umum tentang musik orang Batak.

Di sisi lain, Kartomi (1987) dalam “Introduction”nya pada buku Culture and Societies of North Sumatra yang di edit oleh Reiner Carle, mencatat dua penulis yang menerbitkan tulisannya pada tahun 1909 dan 1942. Pertama seorang R. Von Heinze tampil dengan “Uber Batak-Musik” nya. Artikel Heinze mendeskripsikan ensambel musik suku Batak Toba serta penggunaannya di masyarakat.
Tulisan ini juga merupakan bagian dari buku Nord-Sumatra, Vol. 1: Die Bataklander, ditulisan oleh Wilhem Volz, diterbitkan oleh D. Reimer, Berlin pada tahun 1909. Yang kedua, Jaap Kunst (1942) mengkontribusikan. “Music in Nias” nya, terbitan Leiden, menguraikan aspek sosial serta instrument musik pads suku Nias. Tunggul P.Siagian (1966) mencatat seorang penulis “halak kita”, Mangaraja
Salomo Pasaribu, yang mencurahkan perhatiannya untuk menulis musik Batak Toba. Kontribusinya berjudul “Taringot tu Gondang Batak”: terbitan Manullang-Sibolga di tahun 1925.

Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya
terasa terputus. Kurun waktu 1940-an sampai pada penghujung 1960-an merupakan tahun-tahun minus perhatian. Hal ini menyebabkan sulitnya ditemukan publikasi atau tulisan tentang musik Batakn Toba. Kekosongan itu kemudian diisi oleh kemunculan tulisan Mangaraja Asal Siahaan, berjudul Gondang dohot Tortor Batak terbitan Sjarif Saama, Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan.

Menyusul pula ramainya beredar kaset-kaset rekaman komersil di pasaran dengan lebel, salah satu misalnya “Gondang Batak Nahornop”, Gondang Batak Parsaoran Nauli”, “Gondang Batak Saroha”, dan dari kebudayaan musik lainnya di Sumatra Utara. Buku, artikel ataupun laporan yang diterbitkan pada kurun waktu ini sudah meliputi musik suku Melayu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Angkola Sipirok (saya belum menemukan data tentang adanya tulisan ilmiah mengenai kebudayaan musik suku Batak Karo pada kurun waktu ini).

Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisah yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada pula tulisan yang menyertakan rekaman-rekaman musik
lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carte dan M. Hutasoit.

Kembali pada masalah utama yaitu penulisan tentang musik Gondang Sabangunan Batak Toba, Lothar Schreiner di tahun 1970 mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik als Uberlieferungsgesta lt alt-volkischer lebensordnung dalam Bijdragen van hetkon. Institut veer teal, land en Volkelkunde (126). Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial
musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa itu terhadap pertunjukan- pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau dari perspektif agama Kristen.

Liberty Manik (1913; 1977) muncul dengan artikelnya “Eine Studienreise zur Erforschung der rituellen Gondang-Musik der Batak auf Nord-Sumatra” di dalam Mitteilungen der Deutschen Gesellschaft fur Musik des Orients, diterbitkan di Hamburg. Artikel tersebut mengulas tentang elemen-elemen ritmis musik Gondang Sabangunan serta hubungannya terhadap sistem kepercayaan den ritual Batak Toba. Di sisi lain artikelnya “Suku Batak” dengan “Gondang Bataknya” dalam majalah Peninjau membicarakan sekilas tentang kedudukan Gondang Sabangunan pada masyarakat Batak Toba.

Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun
memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor.

Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul “Altreligiose und soziale Zeremonien der Batak” dalam Zeitschrift fur Etnologie. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel yang berjudul “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society” di dalam Journal of the Society for Asian Music. Dia mengulas, dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak. Aksentuasinya tentang “terobosan” musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota, adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel “Gondang Toba: Instrumental Music of the Toba Batak” yang diproduksi oleh Museum fur Vulkerkunde,
Berlin, German.

Selanjutnya, di dalam buku Culture and Societies of North Sumatra yang diedit oleh Rainer Carle (1987), Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi berjudul “Social and Religious Function of Batak Ceremonial Music”. Ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara yang menghadirkan musik. Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya
terasa terputus.

Kurun waktu 1940-an sampai pada penghujung 1960-an merupakan tahun-tahun minus perhatian. Hal ini menyebabkan sulitnya ditemukan publikasi atau tulisan tentang musik Batak Toba. Kekosongan itu kemudian diisi oleh kemunculan tulisan Mangaraja Asal Siahaan, berjudul Gondang dohot Tortor Batak terbitan Sjarif Saama, Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan. Menyusul pula ramainya beredar kaset-kaset rekaman komersil di pasaran dengan lebel, salah satu misalnya “Gondang Batak Nahornop”, Gondang Batak Parsaoran Nauli”, “Gondang Batak Saroha”, dan dari kebudayaan musik lainnya di Sumatra Utara. Buku, artikel ataupun laporan yang diterbitkan pada kurun waktu ini sudah meliputi musik suku Melayu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Angkola Sipirok (saya belum menemukan data tentang adanya tulisan ilmiah mengenai kebudayaan musik suku Batak Karo pada kurun waktu ini).

Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisah yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada pula tulisan yang menyertakan rekaman-rekaman musik
lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carte dan M. Hutasoit.

Kembali pada masalah utama yaitu penulisan tentang musik Gondang Sabangunan Batak Toba, LotharmSchreiner di tahun 1970 mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik als Uberlieferungsgesta lt alt-volkischer lebensordnung dalam Bijdragen van hetkon. Institut veer teal, land en Volkelkunde (126). Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial
musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa era Kristenisasi di Tanah Batak, terhadap pertunjukan- pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau. dari perspektif agama Kristen.

Liberty Manik (1913; 1977) muncul dengan artikelnya “Eine Studienreise zur Erforschung der rituellen Gondang-Musik der Batak auf Nord-Sumatra” di dalam Mitteilungen der Deutschen Gesellschaft fur Musik des Orients, diterbitkan di Hamburg. Artikel tersebut mengulas tentang elemen-elemen ritmis musik Gondang Sabangunan serta hubungannya terhadap sistem kepercayaan den ritual Batak Toba. Di sisi lain artikelnya “Suku Batak” dengan “Gondang Bataknya” dalam majalah Peninjau membicarakan sekilas tentang kedudukan Gondang Sabangunan pada masyarakat Batak Toba.

Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun
memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor.

Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul “Altreligiose und soziale Zeremonien der Batak” dalam Zeitschrift fur Etnologie. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel yang berjudul “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society” di dalam Journal of the Society for Asian Music. Dia mengulas, dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak. Aksentuasinya tentang “terobosan” musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota, adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel “Gondang Toba: Instrumental Music of the Toba Batak” yang diproduksi oleh Museum fur Vulkerkunde, Berlin, German. Selanjutnya, di dalam buku Culture and Societies of North Sumatra yang diedit oleh Rainer Carle (1987), Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi berjudul “Social and Religious Function of Batak Ceremonial Music”. Ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara
yang menghadirkan musik.

Masih pada dekade yang sama, 1980an, beberapa tulisan (tesis) dihasilkan oleh Jurusan Etnomusiklogi USU dan Jurusan Seni Musik IKIP Medan yang tentu saja perlu diperhitungkan dan disebutkan dalam tulisan ini. Pertama, Ben Pasaribu (1986), seorang musisi dan sekaligus kolumnis, menyumbangkan tulisannya, berjudul “Tagading Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan”. Tesis itu mencoba melihat lebih jauh aspek sosiologis instrumen taganing dan musisi yang memainkannya berdasarkan pandangan sosial dan religi. Di samping itu Ben mengkotak-katik beberapa sampel komposisi melodi gondang (taganing) untuk mendapatkan pola-pola melodi taganing serta kecenderungan pola garapannya.

Emmy Simangunsong (1986) menuliskan hasil pengamatannya pada upacara religius masyarakat Parmalim, yaitu orang-orang Batak Toba yang melanjutkan warisan sistem kepercayaan leluhur orang Batak Toba. Tesisnya berjudul “Fungsi Gondang Sabangunan dalam Upacara Parmalim Sipaha Sada Di Desa Lumban Gambiri Kecamatan Silaen”. Irwansyah Harahap, lulusan Jurusan Ethnomusikology USU lainnya, menganalisa secara mendetil pola penggarapan melodi taganing aleh tujuh pemain tagaing. Melalui tulisannya, Irwansyah menginterpretasikan konsep-konsep teori lisan yang “tersembunyi” di dalam tehnik bermain (pola sticking) taganing, yangkemudian dinyatakannya dalam bentuk notasi. Tulisannya berjudul “Analisis Pola Penggarapan Taganing (Pola Sticking) Oleh Tujuh Partaganing” .

Dari IKIP Medan, Nurdin H. Nainggolan, alumni Jurusan Seni Musik IKIP Medan menulis tesis berjudul “Musik Tradisional Batak Toba: Pembinaan dan Pengembangannya” (1979). Tulisan ini cukup sarat dengan informasi tentang kebudayaan musik Batak Toba. Nainggolan mengetengahkan beberapa ulasan tentang konsep “soara” dan “saringar” di dalam teori musik vocal Batak Toba. Korelasi antara susunan instrumen Gondang Sabangunan dengann struktur masyarakat Batak Toba, yang walaupun masih berupa hipotesanya, adalah butir penting tulisannya. Sayangnya, legis-legis ini tidak dipublikasikan secara umum, tetapi “dilestarikan” di masing-masing perpustakaan.

Penulis, yang juga alumni Jurusan Etnomusikologi USU, menyumbang dua tulisan. Pertama, “Mangido Gondang Di Dalam Penyajian Musik Gondang Sabangunan Pada Masyarakat Batak Toba” dibacakan pada Temu Ilmiah Masyarakat Musikologi Indonesia I-1989 (MMI) dan dimuat dalam Jurnal MMI-tahun II (1992). Yang kedua berjudul “Eksistensi Aspek Metafora Di Dalam Teori Dan Tradisi Lisan Musik Batak Toba”, dibacakan pada seminar anggota Pusat Dokumentasi Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen di Medan pada tahun 1990.

Tulisan yang pertama menganalisa perbedaan teks yang digunakan waktu “mangido gondang” (meminta pargonsi memainkan gondang) saat penyajian Gondang Sabangunan dalam suatu upacara oleh tiga penganut agama–Katolik,
Protestan dan Parmalim. Tulisan kedua mencoba menginterpretasikan teori ligan musik gondang Batak Toba. Teori yang dimaksudkan di sini adalah teori praktis, yaitu terminologi atau istilah yang digunakan para “pargonsi” (pemusik) saat berbagi pengetahuan dengan pargonsi lainnya atau saat membicarakan dan mengajarkan musik. gondang kepada orang lain.

Sekarang, di era tahun 1990-an ini kekosongan muncul kembali. Penelitian-peneliti an tentang kebudayaan musik sepertinya terhenti lagi. Akankah ini berlanjut lama dan akankah penelitian dan penulisan tentang musik, khususnya Gondang Sabangunan akan tetap ketinggalan selangkah di belakang, sementara itu, penelitian di bidang lain berlanjut terus? Lihat saja satu contoh tulisan halak kita, Sitor Situmorang, yang sekarang tinggal di Islamabad, Pakistan, namun demikian menyempatkan diri mengadakan penelitian tentang masyarakat Batak Toba. Dua tulisannya Guru Somalaing dan Modigliani “Utusan Raja Rom” (1993) dan Toba Na Sae (1993) telah dapat diperoleh, dibaca dan dimanfaatkan. Horas!!!

Sumber Kaskus.us
http://sirajasonang.wordpress.com/2008/02/23/literatur-dan-dokumentasi-musik-gondang-sabangunan/

No comments:

Post a Comment