Pages

Wednesday, March 14, 2012

Kearifan Budaya Batak Mengelola Lingkungan


  • Kearifan Budaya Batak Mengelola Lingkungan

    Penulis : Monang Naipospos

    Ketika Siboru Deak Parujar memohon kepada Mulajadi Nabolon untuk diberi restu dan ruang berekspresi pada sebuah dunia baru, terciptalah planet bumi. Dalam mitologi Batak, beliaulah leluhur manusia pertama. Cinta dan cemburu atas penolakan Boru Deak Parujar yang konon semakin cantik setelah mendapat kekuatan baru dari Mulajadi Nabolon, Naga Padohaniaji turun ke bumi menemui Boru Deak Parujar mengutarakan rasa cinta. Penolakan Deak Parujar menimbulkan rasa kecewa Naga Padohaniaji, amarahnya membuat dirinya semakin meraksasa sehingga mampu mengguncang bumi hingga pecah berkeping.


    Atas permohonan Naga Padohaniaji, Mulajadi Nabolon memberi pengampunan atas perilakunya merusak bumi untuk selanjutnya menjaga keutuhan bumi itu.
    Menyusul kemudian Boru Saniangnaga (adik dari Boru Deak Parujar) memohon kepada Mulajadi Nabolon untuk diberi restu untuk berbukim di bumi dan bersemayam di air jernih penghias bumi itu
    Raja Odapodap yang sudah mengikat pertunangan dengan Deak Parujar di alam para Dewata menyadari permintaan Deak Parujar untuk menyendiri di bumi merupakan upaya penolakan perjodohan. Ketika Deak Parujar minta pertolongan dari Mulajadi Nabolon atas perilaku Naga Padohaniaji yang menjadi ancaman setiap saat terhadap bumi yang diperjuangkannya, Mulajadi Nabolon memberi dukungan dan merestui Raja Odapodap turun ke bumi. Rasa saling membutuhkanpun tercipta, cinta yang terpotong pun tersambung akhirnya Mulajadi Nabolon merestui pernikahan duniawi pertama terhadap Raja Odapodap dengan Si Boru Deak Parujar.

    Kelahiran anak pertama Si Boru Deak Parujar membuatnya merasa kecewa, karena tidak sama dengan wujud mereka. Yang terlahir berbentuk bulat (songon gumul) dan tidak memiliki wajah dan perangkat tubuh lainnya. Atas petunjuk Mulajadi Nabolon, yang terlahir itu ditanamkan ke bumi ciptaannya sehingga kemudian tumbuh menjadi pepohonan dan berbagai jenis tumbuhan lainnya berkembang di permukaan tanah hingga dalam air.

    Kelahiran kedua anaknya adalah kembar laki-laki dan perempuan yang diberi nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Kepada mereka, Boru Deak Parujar berpesan supaya memelihara seluruh apa yang ada di bumi. Hubungan manusia dinyatakan terbatas dengan para dewa dewi yang tercipta di alam dewata. Untuk mewujudkan hubungan dengan pencipta alam semesta harus memenuhi tata cara khusus dengan persembahahan minimal air suci (pangurason). Aturan hubungan manusia dengan pencipta ini disebut “UGAMO”.


    Penemuan Tanah Batak oleh Si raja Batak diawali dari sekitar Pusuk Buhit. Kekagumannya kepada Danau bagaikan cermin raksasa merupakan kejaiban Mulajadi Nabolon dan menyebutnya Tao Toba. Energi Danau Toba dalam pandangan spiritual yang melekat padanya merupakan energi kehidupan dan menyebutnya air tawar yang dalam bahasa batak disebut “Taor”. Dukungan tanah sekitar berbukit, berbatu dan pepohonan serta rumput rindang membuktikan kesuburan. Siraja Batak menetapkan pilihan Danau Toba dan tanah sekitarnya menjadi tempat keturunannya kelak mendapatkan hidup makmur dan rukun dalam adat istiadat dan tatanan kehidupan yang tertuang dalam Pustaha Agong dan Pustaha Tumbaga Holing yang dibawanya.

    Inilah gambaran awal mulanya Orang Batak di tanah Batak yang mengelilingi danau Toba sumber energi surgawi “Taor”. Segala sumber air yang bermuara ke Tao Toba adalah sumber air dari homban secara umum yang secara khusus disebut “jullak” (mata air)

    Martutuaek

    Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata.
    Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal mereka “air”. Martutuaek artinya menuju ke sumber air. Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di bumi. Untuk pertama sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan kepada Mulajadi Nabolon.

    Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, manusia wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan selanjutnya bahwa air adalah saudara tubuh kenyal dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam sirkulasi darah dalam tubuhnya. Untuk pribadi manusia, air berperan untuk “Parsuksion mula ni haiason, haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni hamalimon”, awal pembersihan menuju kesucian, kesucian menuju kesempurnaan. Untuk hubungan manusia dengan Mulajadi Nabolon air “Mual Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane jumadi pangurason parsungsion” berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan itu.

    Parhombanan

    Pekembangan manusia membutuhkan penataan kehidupan yang teratur. Penataan kehidupan itu diaturkan tata lingkungan rumah tinggal atau perkampungan, sumber kehidupan, kesehatan dan hubungan sosial.

    Sebaikbaiknya pemilihan sebuat tempat perkampungan, indikator utama adalah adanya sumber air, sub indikatornya nadalah faktor kemudahan ke akses sumber air itu. Sumber air pilihan adalah sungai, pancuran dan mata air. Konon ada menyatakan bahwa yang sebelumnya tidak ditemui mata air, tapi atas permintaan mereka kepada Mulajadi Nabolon mereka diberi mata air yang melimpah.


    Sumber air ini dipelihara dan dirawat karena diakui sebagai anugerah utama dalam kehidupan mereka. Manifestasi rasa syukur mereka atas anugerah itu, mereka melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon di lokasi mata air itu. Mereka membuat batasan-batasan perlakuan sebagai penghargaan kepada sumber air itu.

    Sumber air itu kemudian dialirkan ke sawah-sawah, sebagai sumber air minum utama dan kebutuhan ritual “pangurason”.

    Sekali dalam satu tahun dilakukan acara ritual pada mata air itu yang disebut “mangase homban” yang tujuannya merawat dengan cara membersihkan lokasi sumber mata air, perawatan tanaman dan pohon yang ada disekitarnya, perawatan aliran air ke hilir hingga perbaikan pematang sawah. Ini merupakan pertanda awal turun sawah setelah selama satu tahun digunakan untuk sumber kehidupan dan memulai kegiatan baru untuk kehidupan baru ke depan.

    Mangase homban berkaitan dengan acara ritual Bius ”Asean Taon” dengan melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon dengan kurban “horbo santi”. Mangase homban dilakukan oleh warga kampung, setelah dilakukan Asean Taon oleh Bius dengan melibatkan seluruh kampung yang ada dalam Bius itu.

    Pada setiap pendirian rumah baru dalam kampung, dilakukan upacara “mompo” diartikan memasuki untuk pertama sekali. Sebelum penghuni rumah memasuki rumah secara resmi, sehari sebelumnya harus memenuhi persyaratan awal dengan memasukkan air ke dalam rumah itu dalam “panguhatan”.

    Panguhatan adalah sumber air dalam rumah berbentuk periuk tanah, dan saat ini digantikan dengan ember

    Bersamaan dengan itu dimasukkan “sipusipu” yaitu bara api kecil yang tetap hidup hingga keesokan harinya hingga penghuni masuk secara resmi dan melakukan kegiatan masak memasak di rumah itu.

    Artinya, sebelum mereka masuk diantarkan oleh para kerabat dengan tata cara adat istiadat, mereka sudah menemukan sumber hidup dalam rumah itu yaitu “air” dan sumber pengolahan hidup “energi” yaitu bara api. Air itu diambil dari parhombanan dan langsung masuk kerumah dan tidak dianjurkan lebih dulu mampir di rumah lain. Bara api biasanya diambil dari rumah induk bila masih berdekatan, atau diciptakan di rumah baru bila tidak memungkinkan dari rumah induk. Rumah induk ini dimaksudkan seperti rumah orangtua dimana sebelumnya dia tinggal atau rumah sebelumnya dia tinggal.
    Tambahan lain bersamaan dengan air, adalah beras, alat pekerjaan pengolahan kebutuhan seharihari, dan tikar.

    Pengelolaan Air, Tanah dan Hutan
    Dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungannya. Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada Keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya. Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.


    Itu pula yang didasari dengan hadirnya Boru Saniangnaga untuk memelihara kejernihan air yang dulunya menggoda hatinya dari dunia para dewata.
    Orang Batak selalu menghormati kedua penguasa itu setiap kali hendak memanfaatkan potensi air dan bumi untuk kegiatan kehidupan.

    Pemahaman “UGASAN” bagi manusia atas segala isi bumi masih dimaknai dengan penghormatan kepada pelestariaanya sekaitan dengan para dewa pada awalnya telah berjanji untuk melakukan pelestarian bimi dan air “ciptaan” yang dimohonkan Si Boru Deakparujar itu.

    Peran Air

    Setiap pemanfaatan air untuk kegiatan khusus misalnya pengobatan harus melewati pemahaman khusus, yaitu 1. Penghormatan kepada dewi Boru Saniangnaga yang menjaga kelestarian air yang akan dijadikan “PANGURASON” dan 2. Pemahaman siklus kehidupan dengan peran air yang disebut “HUMUASAL
    Hal kedua diatas yang jarang dibicarakan karena pada umumnya dilakukan sebagai ritual kaji pada ahli pengobatan untuk mendekatkan spritualitasnya terhadap lingkungan dan kehidupan. Setiap penyakit diyakini ada penyebabnya dan selalu ada obatnya. Kerusakan pengelolaan tubuh merupakan penyebab penyakit dan perusakan lingkungan menjadi sumber penyakit. Keduanya berkaitan dan tak dapat diabaikan dalam kehidupan nyata.

    Humuasal ada beberapa versi, disini saya uraikan dua versi yang berdekatan.
    Aek jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau. Air menjadi embun, embun menjadi air, air menjadi kayu. Pengertian luasnya adalah air menguap (evaporasi) menjadi embun, embun menjadi hujan, hujan menjadi air mengalir diatas permukaan tanah, pelembaban tanah dan siraman hujan memecah kecambah sehingga memekarkan tumbuhan. Ada hidup (harmonisasi).
    Timus jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau, hau jumadi api, api jumadi ombun. Asap menjadi embun, embun menjadi hujan (air), air menjadi kayu, kayu menjadi api, api menjadi embun. Pengertian kedua ini menyatakan; asap dan uap menjadi embun, embun menjadi air, air memecah kecambah dan menghidupkan tanaman, tanaman menjadi api (panas), panas menjadikan penguapan sehingga menjadi embun.


    Dari kedua pengertian HUMUASAL diatas dapat dimengerti tingkat kajian leluhur akan pemahaman asal usul sebab dan akibat yang dirangkai dalam pemahaman siklus hidrologi.
    Menurut ilmu pengobatan Batak, keseimbangan adalah kelestarian, dan kelestarian adalah keabadian. Setiap terjadi kerusakan dalam keseimbangan itu wajib dilakukan perbaikan. Berdasarkan itu pula setiap orang mencari solusi kesehatannya selalu diarahkan apa yang tertinggal dan terabaikan dalam kehidupannya.

    Dalam setiap praktek pengobatan, air selalu pemeran utama yang dirangkai dengan bahan pendukung lainnya dari tanaman yang konon dimengerti terjadi dan hidup karena air.
    Rangkaian kalimat itu dipadukan dengan doa harapan pemulilan organ dan system yang rusak dalam tubuh, dengan kata harapan agar ramuan yang tersedia dapat membantu pemulihan dan dukungan Tuhan Yang maha Esa. Aarwah para leluhur juga diharapkan berperan untuk melawan hal buruk atas kekuatan roh jahat sehingga apa yang dilakukan para datu untuk permulihan dapat berjalan dengan baik untuk tujuan pemyembuhan. Paduan kalimat ini yang lajim disebut “TABAS”. Tabas ini memberi kesan sugestif bagi penderita.

    Peran Tanah.
    Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut nasa na adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia, tanaman, hewan dan air. Ombun (uap) adalah peralihan sementara yang pada akhirnya bersentuhan dengan tanah karena berasal dari tanah. Bila air dimaknai sebagai aliran hidup asal-usul, sebab-akibat, maka tanah dimaknai sebagai media proses kesuburan itu terjadi. Lambang kesuburan tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai pemenuhan ambang batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya tumbuh subur. Manusia hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya pada awal pertumbuhan dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro dan mikro akan diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”. Sehingga boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu kesuburan. Yang tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan melakukan perusakan atas kesuburan tanah.

    Lambang “Boraspati” juga dapat ditemukan pada hiasan rumak Batak Toba. Memaknai adanya kesuburan tumbuh pada penghuni rumah yang dominannya untuk perkembangan keturunan bagi manusia, namun tidak lepas dari pengertian akan seburan tanah. Manusia yang tidak mendapat keturunan disebut “pupur”. Sedangkan tanah yang tidak subur disebut “tungil

    Dalam setiap pengolahan tanah, orang Batak selalu memberitahukan kepada Nagapadohaniaji akan niatnya dengan kata : Saya tidak hendak merusak tanah yang engkau junjung Nagapadohaniaji, tapi saya hendak menggunakannya untuk kebutuhan kehidupanku seharihari (atau untuk kebutuhan lainnya seperti pekuburan dan pendirian perumahan)”. Setelah kata itu diucapkan lalu dilakukan pencangkolan atau pengorekan pertama. Untuk kegiatan pertanian biasanya dibiarkan dulu beberapa hari kemudian dilakukan pengolahan tanah yang sebenarnya.

    Kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa tidak bisa dilakukan sikap yang menunjukkan keserakahan terhadap tanah walau dalam arti itu adalah “UGASAN” bagi manusia. Pada pengelolaan pertama itu juga selalu dilakukan dengan “itak gurgur” tepung beras yang dimaknai agar apapun yang dilakukan untuk tujuan kehidupan itu mendapat restu Mulajadi Nabolon, dipahami oleh Nagapadohaniaji dan respon dari Boraspati ni tano. Itak gurgur melambangkan persembahan dan pemaknaan semua hasil pekerjaan akan berkembang baik (gurgur).

    Peran Hutan
    Hutan (harangan) adalah kumpulan tumbuhan pohon (hau) semak dan rumput (ramba) berbagai ragam. Tumbuhan berkembang sesuai dengan sifat alamnya tanpa pengaruh manusia. Kayu juga ada disekitar perkampungan non hutan yang dikembangkan oleh manusia sendiri. Kayu dalam hutan atau tanaman rakyat selalu mendapat perlakukan khusus untuk pemenuhan kebutuhan yang penuh arti dalam hidup manusia.


    Tanaman dalam mitologi adalah saudara tua manusia sebelum Siraja Ihat manisia dilahirkan. Seperti halnya manusia, tanaman/kayu juga memiliki kebutuhan siklus dengan peran air.
    Pemenuhan perumahan, kayu berperan penting. Pohon hidup memiliki kebutuhan sama dengan manusia, akan tetapi manusia sudah diwariskan segala sesuatu yang ada di bumi dengan arif dan bijaksana. Penghormatan kepada sesama zat yang hidup untuk tujuan penguasaan menjadi dasar bertindak dalam pemanfaatan tumbuhan/kayu.

    Hal lain juga mendapat perhatian orang Batak, seperti penguasaan hutan oleh mahluk gaib. Mereka dapat saja lebih awal sudah memilih hutan tertentu atau pohon tertentu untuk tempat bersemayam. Azas saling menghormati bukan didasari penyembahan berhala, akan tetapi bagaimana memiliki benda yang lebih dulu sudah dikuasai pihak lain. Tata cara ini masih tetap dilakukan untuk menghindari hal gaib menuntut hingga tempat (rumah) manusia memanfaatkan kayu tersebut.


    Sebelum pohon yang diinginkan ditebang ada beberapa hal yang dilakukan yang memiliki pengertian berbeda ;
    Huhuasi” Melakukan komunikasi bilamana ada yang tidak diduga telah menguasai pohon tersebut. Lalu mereka menancapkan “takke” sejenis kapak ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon tersebut. Bila keesokan harinya “takke” masih lengket maka mereka dapat memiliki pohon tersebut. Hal gaib telah diabaikan dan tidak akan ada lagi gangguan mengikuti ke “huta” kampung.

    Martondi Hau” merupakan sambutan kepada pohon tersebut diajak ke kampung. Sebagai saudara tua manusia yang akan dimanfaatkan untuk “parhau” bahan bangunan rumah yang akan didirikan, agar senantiasa mereka bersama-sama rukun antara rumah dan penghuni, kelak tidak dapat diganggu kekuatan lain dari luar rumah yang dapat mencelakakan penghuninya. Sebagai sambutan, “ulos atau tikar pandan” dililitkan ke batang pohon, berselang beberapa jam baru dilakukan penebangan.

    Dalam pertanian ada juga dikenal kegiatan “Martondi Eme”. Pada saat padi bunting tua, para ibu membawa “itak gurgur dan sanggar” ke sawah dalam bakul. Segenggam itak diletakkan dipematang sawah dan sanggar ditancapkan. Diharapkan padi berkembang dengan baik, jauh dari hama penyakit. Sisa itak gurgur dibagikan kepada semua orang yang lewat, gembala kerbau yang ada disekitar persawahan. Mereka yang menerima sudah paham bahwa itu pernyataan janji tak terucap akan tanggungjawab bersama akan semua isi sawah dari gangguan burung dan ternak. Ada tanggungjawab moral bagi mereka khusnys yang menerima itak tadi.


    Pinta-pinta”. Dalam sikap hidup Batak, setiap memanfaatkan sesuatu selalu mengharapkan ada pengganti kemudian. Prinsip itu ditanamkan dengan “Martumbur partabaan, malomak pansalongan”. Prinsip ini tidak membatasi satu mengganti satu, akan tetapi berkembang biak. Barang siapa yang melakukan pemotongan pohon dan tidak menjamin ada tunas atau tanaman pengganti, berarti dia telah memutus satu siklus hidup dan ada “sapata” kerugian di lain waktu.

    Ruhut” Etika melakukan penebangan harus dijaga dengan ketat. Para pekerja yang diawasi pengetua lebih dulu memperhatikan arah mana pohon roboh. Tujuannya adalah untuk meminimalkan pohon kecil menjadi korban. “Marobo hau bolon, malisat hau anak” Rubuh kayu besar, kemungkinan besar akan menimpa kayu kecil. Harus hatihati menentukan arah mengurangi resiko, pohon yang ditebang tidak patah, kayu kecil tidak banyak korban.

    Dalam kegiatan pengambilan kayu untuk tambatan (borotan) ternak kerbau atau dalam berbagai kegiatan acara ritual dan adat Batak, juga menjalani proses penting. Cabang kayu yang dipotong tadi harus ditanam dekat dengan batang bekas tebangan dan berjanji setelah batang kayu selesai digunakan untuk acara, akan ditanam kembali ditempat sekitar perkampungan. Biasanya kayu bekas borotan ditanam kembali dekat perkampungan untuk melihat petunjunk bila rindang menandakan keturunan akan berkembang. Biasanya tanaman bekas borotan ini dirawat dengan baik agar membawa kesan yang lebih baik.

    Pada setiap pesta adat atau pesta bius yang memukul gendang (gondang sabangunan) biasanya akan memotong kerbau. Pada upacara Bius, kerbau itu disebut kurban “horbo santi”. Tapi pada pesta adat perkawinan disebut “parjuhut”, pada acara kematian disebut “boan” Pada acara kematian yang tidak menggunakan gondang sabangunan, kerbau yang dipotong disebut “ola”. Namun saat ini cenderung samar penyebutannya.

    Hukum Adat

    Seorang pemimpin kharismatik (marsahala), harus mampu membuat aturan hukum dalam komunitasnya secara demokratis dan bermanfaat untuk semua lapisan. Pemimpin mengajak rakyatnya, “beta hita, tabahen patik nauli patik nadenggan natau hangoluan ni natorop sude”, mari kita buat peraturan yang baik untuk mengayomi kehidupan orang banyak, maka masyarakatpun sepakat untuk melakukan musyawarah.
    Isi parpatihan tidak selalu sama pada setiap desa, horja atau bius, akan tetapi tujuan dapat dirasakan dan mafaatnya sama.

    Inti dari parpatihan itu adalah :

    Untuk tatanan sosial kemasayarakatan / paradaton, seperti pangoli anak magodang, pamuli boru,perkawinan dan tata parjambaran.
    Untuk tatanan sosial ekonomi, seperti mangase, perbaikan saluran air dengan gotong royong, kesepakatan benih dan jadwal tanam, pemanfaatan lahan danau dan hutan.
    Untuk tatanan hukum (pidana dan perdata), dang jadi manangko dang jadi panangkoan, tidak boleh mencuri dan tidak boleh kecurian, hukum tunda (ternak merusak tanaman), penganiayaan dan pembunuhan.


    Untuk menegakkan hukum dan peraturan itu dibentuklah satu kelembagaan yang melibatkan pengetua kampung yang disebut sebagai Raja Panimbang, yang befungsi sebagai penggerak pembangunan masyarakat dan pada keadaan lain bila ada temuan penyimpangan. Mereka bertindak sebagai juri/hakim untuk mengajukan pelaksanaan hukuman yang menjadi pertimbangan kepada Raja (pandapotan ni uhum).
    Raja Panimbang di berbagai wilayah dapat saja berbeda penyebutan, seperti Raja Naopat, Raja Naualu dan lain sebagainya yang fungsi sama sebagai juri dalam arti musyawarah, dalam berbagai tingkatan, huta, horja atau bius.

    Lain halnya pada bius, keputusan terakhir ada pertimbangan Raja raja bius yang terdiri dari 4 unsur, Raja Naopat, atau Raja Maropat, yang sering disebut Suhu ni Ampang Naopat Harajaon Bius. Patik dohot Uhum Habatahon inilah yang disebut “UGARI”.
    Dalam tataguna air, yang melakukan gotongroyong pembentukan tali air termasuk kelompok pengguna air atau kelompok pemilik yang membentuk peraturan. Peraturan yang dibentuk akan berlaku bagi siapa saja pengguna air non pemilik kecuali perawatan. Kelompok pemilik inilah yang melakukan wajib “mangase bondar atau homban” sekali dalam setahun.

    Sumber air irigasi “bondar” biasanya berasal dari mata air besar (embung) yang lajim disebut “jullak”. Jullak ini pada sebagian kelompok pengguna air menyebut homban walau tidak seperti homban yang sebenarnya. Homban desa biasanya juga mengalirkan air irigasi pendukung karena cenderung kecil. Sebagian ada yang bersumber dari sungai besar tapi sumber ini tidak pernah disebut jullak atau homban.

    Pemimpin kelompok ini disebut Raja Bondar, yang memiliki perangkat sesuai kesepakatan bersama. Mereka bertugas melakukan perawatan rutin dan menagih iuran perawatan dari anggota kelompok atau dan non anggota. Iuran ini disebut “pala” dan di sebagian tempat disebut “angkut-angkut”. Dalam arti sebenarya segala bentuk retribusi penggunaan air maupun hutan disebut pala, alat ukur takaran yang disepakati disebut angkut-angkut.

    Di dusun Lumban Riaria Kecamatan Laguboti ditemukan saluran air milik masyarakat dusun yang melintasi dua dusun, yaitu Hutatinggi dan Lumban Dolok. Sebelumnya dusun-dusun ini adalah Desa terpisah sebelum ada penggabungan desa.

    Aliran irigasi 98 % melintasi kawasan Lumban Dolok dan sekitar 2 % melintasi Hutatinggi. Ada kesepakatan awal bahwa setiap sawah masyarakat Desa Lumban Dolok sepanjang saluran dibebaskan dari pala. Ada sebagian kecil yang berhati dermawan memberikan pala sehingga menjadi kewajiban karena melihat susah payah kelompok merawat saluran yang setiap tahun hingga kini sering longsor.

    Lain halnya dalam pengelolaan hutan. Setiap hendak melakukan eksploitasi kecil atau besar terhadap hutan harus ada izin resmi dari Raja Huta. Pemanfaat hutan dapat dari masyarakat huta dan luar huta yang tentu saja berbeda dalam pembebanan pala, namun aturan pelestarian hutan tetap berlaku bagi siapa saja sesuai peraturan huta. Pengawas hutan yang dibentuk biasanya langsung melakukan pemeriksaan ke hutan membuktikan ada tidaknya pelanggaran sesuai ijin yang diberikan. Bila terjadi pelanggaran langsung dilakukan tindakan sesuai peraturan. Bila yang melakukan adalah penduduk huta lainnya maka dilakukan peringatan memalui Raja Huta setempat. Hukum Raja Huta sangat ketat dijaga dengan prinsip “Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta. Bolon pe rumah gorga, mandapot do di jabu bona”. Segala sesuatu yang menjadi keputusan akhir ada pada Raja Huta.

    Raja Huta biasanya adalah orang pertama membentuk kampung atau keturunannya. Awal pendirian kampung harus lebih dulu menanam “hariara” (kayu ara) sebagai tanda kepeminpinan, Bambu sebagai pertanda harapan agar banyak penghuni dan rukun serta mempunyai hukum perlindungan sesama. Bangunbangun, sebagai lambang adanya kehidupan yang langgeng (pansalongan). Dalam perumpamaan Batak sering disebut bangunbangun pansalongan, artinya ada sumber yang dapat dipetik sestiap saat. Bangunbangun juga sebagai tanaman obat dan selalu diberikan bagi ibu melahirkan. Raja Huta melambangkan tatanan kerukunan dan sumber kehidupan melalui tanaman yang ditanamnya sendiri dan wajib dipelihara dan dilestarikan wagra.

    Pelembagaan Hukum/Peraturan.

    Huta atau bius yang berhasil membentuk tatanan hukum pada umumnya memiliki “parpati-patian”. “Parpatian” merupakan pengesahan undang-undang yang disepakati bersama masyarakat.
    Beberapa kali rapat kecil dilakukan, kemudian utusan pimpinan rapat mengadakan musyawarah besar dihadapan pengetua dan pimpinan masyarakat (raja) untuk merumuskan parpatihan (peraturan/hukum).

    Pada saat pengesahan, masyarakat diundang untuk makan lombu sitio-tio. Semua yang ikut makan lembu dalam pengesahan ini disebut dinaungi hukum (dibagasan uhum). Kepala lembu dihadapkan kepada Raja Panimbang sebagai penganugerahan tugas mengemban penegakan hukum secara jujur dan adil dengan motto siadapari gogo sisolisoli uhum. Tidak ada yang kebal dalam hukum walau turunan raja sekalipun. Sarana prasarana desa wajib dipelihara bersama melalui siadapari. Riperipe dang jadi pangumpolan, pangumpolan dang jadi riperipe, ugasan torop dangjadi lomolomo. Barang bersama/kongsi tidak boleh dicaplok menjadi milik pribadi, milik pribadi tidak boleh dicaplok menjadi milik bersama, harta public tidak dapat digunakan sesuka hati.
    Penegakan hukum dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan menjadi perpati-patian.

    Parpatihan diartikan sebagai undang-undang
    Parpatian diartikan sebagai pengesahan undang-undang
    Parpatipatian merupakan suatu pertanda seperti lokasi, pohon dan batu peringatan dimana pada tempat itu pernah dilakukan perjanjian mentaaati peraturan dan hukum yang di lembagakan bersama


    Sebagai contoh ada yang menetapkan bila terjadi pembuktian seseorang mencuri harta orang lain dalam wilayah itu maka dikenakan denda setengah nilai harga lembu yang dikorbankan pada saat penetapan hukum (parpatian). Bila yang melakukan adalah warga diluar wilayah atau dalam wilayah tetapi tidak ikut mengesahkan hukum makan lembu, maka dikenakan hukuman denda penuh senilai harga lembu yang dikorbankan. Bila dari keluarga / anak Raja yang melakukan pencurian, maka dikenakan senilai dua ekor lembu korban, satu untuk denda kesalahan, satu lagi untuk penebusan kesalahan Raja kepada rakyat dengan makan bersama.
    Bila dari keluarga / anak Raja Panimbang yang melakukan pencurian, maka dikenakan senilai satu setengah ekor lembu korban, satu untuk denda kesalahan, setengah lagi untuk penebusan kesalahan Raja kepada rakyat dengan memberikan sumpitan (bungkusan berisi daging) kepada rakyat.

    Bila seseorang tidak mentaati hukum atau tidak menyepakati maka disebut dianya “diduru ni uhum”, dan tercela.
    Dari ceritera rakyat disebut, ada sebuah desa di daerah di Tanah Batak melakukan pengawasan hutan dengan peraturan huta yang ketat. Peraturan huta telah dikuatkan para Raja Bius. Setelah masuknya pemerintahan Belanda mulai dilakukan pemecahan masyarakat dengan tidak menghargai hukum masyarakat sebagai sosialisasi hukum baru yang diterbitkan pemerintah Belanda. Terjadi pengambilan kayu dari penduduk huta ke kawasan hutan huta lainnya hingga tertangkap oleh pengawas hutan huta bersangkutan. Sesuai dengan peraturan huta Raja memutuskan hukuman. Terjadilah pergolakan antar huta dan pihak pencuri disupport oleh pemerintah Belanda.

    Dengan cara itu peran hukum adat terhadap pengawasan hutan semakin dilemahkan hingga muncul para Raja Ihutan yang menerapkan hukum kolonial. Pemerintah Indonesia masih tetap memberlakukan hukum kolonial sampai saat ini hingga peran masyarakat adat untuk kepemilikan hutan sudah hilang, konsekwensinya pengawasn hutan menjadi hilang. Mereka diklaim menjadi pencuri dikawasan hukum hutan huta mereka sendiri.

    Pelembagaan Ekonomi.
    Seorang Raja bijak akan melakukan kelembangaan ini yang fungsi utamanya untuk menyokong kehidupan pada masa peceklik dan menopang kehidupan keluarga baru (anak manjae). Sipaha tolu dikenal sebagai saat peceklik menjelang panen raya Sipaha opat. Pada saat panen raya dilakukan pengumpulan iuran penggunaan air dan iuran penggunaan hutan sebagai biaya pemeliharaan. Kas yang semakin besar dapat dimanfaatkan dalam arti luas diluar pemeliharaan sarana irigasi untuk kepentingan masyarakat. Ada pula parpatihan yang menetapkan setiap warga mengumpul 2 ampang (setara 20 liter) padi dari masyarakat mampu, tapi masyarakat miskin dibebaskan dari kewajiban ini. Tetapi Raja panimbang, Suhu ni Ampang Naopat dan Raja Pargomgom, minimal 2 kali lipat dari kewajiban masyarakat.


    Kewajiban ini sudah harus terkumpul sebelum dilakukan upacara bius Asean Taon (mangalahat horbo santi) persembahan kepada Mulajadi Nabolon, sebagai ucapan syukur akan berkat yang telah diterima dan mohon agar padi yang dikumpulkan menjadi penyokong ekonomi untuk masyarakat miskin, yatim piatu, anak manjae dan kesejahteraan untuk masyarakat umum.
    Padi yang dikumpulkan itu sebagian menyebut Eme Torop, yang sifatnya bukan simpanan yang suatu saat dapat diterima kembali. Ada yang menghukumkan Eme Torop itu “sidapothonon ni na ro, sitadingkonon ni na lao”.


    Sikap ini kemungkinan salah satu penyebab pada jaman dulu Batak tidak pernah membiasakan diri jadi pengemis, dan menelantarkan anak cacat dan miskin, akan tapi berusaha untuk mandiri dengan dukungan keluarga atau dengan dukungan Eme Torop apabila keluarga dekat tidak mampu, dengan syarat harus rajin dan berhasil supaya dapat manimbuli (mencicil dan mengembangkan kembali) Eme Torop.
    Untuk mengembangkan kelembagaan sosial ini, ada wilayah yang mengaturkan untuk memberikan todoan (bagian) kepada lembaga ekonomi Eme Torop dari Penjualan Ternak dan Sinamot Boru Muli dan Upa Raja.


    Pala, adalah iuran wajip yang telah ditetapkan dalam peraturan
    Todoan, adalah kewajiban memberikan kepada kas yang jumlahnya sukarela.
    Hasil dari hutan , irigasi yang disebut pala dan sumbangan sukarela dari todoan iuran wajib hasil panen padi masuk dalam kas besar dalam SOPO yang disebut Ugasan Torop. Sehingga pemanfaatannya semakin luas seperti, cadangan peceklik, perawatan sarana huta dan pertanian, modal anak manjae (keluarga baru), sumbangan korban bencana. Biasanya Huta mengambil dari kas ini untuk mendukung Pesta Bius Asean Taon.

    Penutup

    Pustaha Agong yang dibawa Siraja Batak diberitakan berisikan ilmu tuntunan ilmu batin, dan Pustaha Tumbaga Holing merupakan tuntunan ilmu hukum. Implementasi dari kedua sumber ilmu ini disebut nilai Habatahon.

    Hukum dalam arti peraturan dan tindakan keadilan dalam masyarakat dulu sangat dihargai dan mempunyai kedaulatan penuh dari wilayah disekitarnya. Pengakuan itu dinyatakan dengan pernyataan, “disi tano nidege, disi langit nijujung”, “sidapot solup do na ro”. Kemandirian hukum ini sampai saat ini masih melekat dalam tatanan pelaksanaan adat Batak. Dalam arti persamaan hukum adat tetap terlihat dalam kedudukan Dalihan Natolu dan Suhi Ni Ampang Naopat, walaupun dalam tatalaksana pembentukan parjambarann diberbagai wilayah banyak berbeda.

    Hanya yang tidak memahami kekuatan otonomi hukum adat yang selalu mempertahankan hukum wilayahnya pada wilayah lain sehingga sering terjadi percekcokan akibat tidak saling menghargai.
    Sungkun mula hata sise mula uhum, adalah tata krama Batak untuk mengetahui siapa teman bicara dan apa tatanan hukum yang dianutnya, sehingga seseorang yang beradaptasi dengan wilayah dan pribadi orang lain dapat belajar menghargai tatanan yang dianut /dipegangnya, untuk dapat dipedomani. Artinya semua tatanan kemasyarakatan dalam lingkup sesuas-luasnya yang telah diaturkan dalam wilayah, akan berlaku bagi orang lain yang datang di wilayah itu baik dalam pelaksanaan hubungan kekerabatan (adat istiadat) maupun peraturan lain bagi yang datang berdomosili di wilayah hukum itu.

    Warisan Siraja Batak untuk keturunannya telah mampu diintervensi nilai baru sehingga cenderung sudah hapus. Kemampuan turunan Siraja Batak untuk mengembalikan nilai kepribadian dan hak pewarisan nilai Habatahon sudah menjadi harapan yang tidak dapat diramalkan mempunyai ending yang baik dan benar.

    Eksploitasi potensi Tanah Batak dan Danau Toba tidak lagi menganut Sungkun mula hata sise mula uhum. Ini mengakibatkan masyarakat Batak tidak mendapatkan manfaat seperti harapan Siraja Batak untuk turunannya itu. Habang bisuk songgop oto mengartikan bahwa kebijakan telah hilang tinggallah kebodohan sehingga orang Batak kehilangan warisan Agung Siraja Batak dan disebut “luangan

    Saat ini, konsep ekonomi sosial itu sudah berubah dengan peralihan ke bentuk kongsi dan semakin lama berubah wujud menjadi koperasi. Bentuk perwilayahan dan keanggotaan juga akhirnya berpecah dengan hadirnya kelompok-kelompok kepentingan seperti gereja, mesjid dan keluarga atau marga yang mengikuti kebebasan sesuai dengan kesempatan yang diberikan pemerintah setelah kemerdekaan.


    Konsep perekonomian Desa dengan binaan pemerintah Koperasi, UEDSP, IDT dan lain sebagainya konon tidak terlihat dampak nyata dimasyarakat, bahkan cenderung menjadi masalah.
    Raja bondar juga diusahakan merobah nama dengan alasan pembinaan oleh pemerintah menjadi P3A. Kepedulian masyarakat akan pelestarian sumber air sudah semakin sirna karena melulu menggantungkan harapan kepada pemerintah dan bantuan dana pemeliharaan.

    Ketergantungan masyarakat yang kuat pada lingkungan semula dapat mengembangkan pengaturan dalam bentuk etika lingkungan, norma, adat istiadat, mitologi, nilai-nilai kearifan, sistem kepercayaan, penataan kedudukan dan peran sehingga mempertahankan keutuhan dan menjaga kelestarian

    Rasa tidak memiliki terhadap hutan membuat para pemuka masyarakat tidak memiliki arti. Yang dulunya dimiliki menjadi dicuri, menjadi awal pengrusakan.

    Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Adat (Desa) semakin meningkat mengikuti perkembangan kebijakan Negara dan perkembangan peradaban ekonomi.

    Sebelumnya gambaran masyarakat Adat mencirikan; Jumlah penduduk sedikit dan homogen, Memiliki kebutuhan subsisten, Mengacu kepada kearifan lingkungan, Pemanfaatan SDA berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar, Nilai-nilai kearifan (agraris), Peralatan dan teknologi sederhana, Peran tokoh adat sangat kuat, Kepatuhan kepada adat istiadat, Mitologi dan sistem kepercayaan sangat kuat dan Organisasi kerja yang sederhana, menjadi ;
    Pertambahan penduduk dan semakin majemuk, Peningkatan kebutuhan akibat perubahan gaya hidup, Degradasi kearifan lingkungan, Pemanfaatan SDA berorientasi pada pasar, Persebaran nilai-nilai baru (nilai industri), Peralatan dan teknologi maju yang eksploitatif, Peran tokoh memudar, Aturan adat semakin tidak dipatuhi, Peran mitologi disingkirkan oleh pemikiran rasional, Organisasi kerja yang intensif.


    Berbagai ragam hukum tatanan masyarakat Batak dahulu yang begitu bernilai dan walaupun saling berbeda pada berbagai wilayah, tetap dapat dirasakan masyarakat sebagai pendorong kesejahteraan dan pengayoman hidup sosial dan ekonomi. Lama kelamaan sistim ini menjadi luntur. Konsep siadap ari gogo, sisolisoli uhum sudah memudar.
    Segala sesuatu persoalan masyarakat tidak efektif lagi diselesaikan di entitas itu Karena peran hukum Negara lebih dominan.

    Hanya kecintaan kepada kearifan leluhur akan menggugah kembali pemikiran orang Batak untuk mengembangkan nilai Habatahon itu. Kesempatan dan peluang telah diberikan setelah diterapkannya otonomi daerah. Kapan kesempatan ini diambil, atau akan diabiarkan hilang ?
    Naung litok i hatop ma i tio
    Naung robo i hatop ma i lolo
    Paukpauk hudali, pagopago tarugi
    Na tading taulahi, na seda tapauli
    H o r a s


    Sumber : Blog Tano Batak, 20 Juni 2007

No comments:

Post a Comment