Pages

Saturday, March 10, 2012

Gut-Gut Mandailing


Gut-Gut Mandailing
Oleh Zulkarnain Lubis

Ada dua ungkapan miring yang ditujukan kepada orang Mandailing, yaitu manipol (mandailing polit) dan gut-gut. Jika manipol dimaksudkan untuk mengejek orang Mandailing sebagai orang pelit, dan merupakan "ejekan" orang luar Mandailing kepada orang Mandailing, maka gut-gut merupakan pengakuan atau kesadaran sendiri orang Mandailing terhadap komunitasnya, sebagaimana dituliskan Sri Mulyani Nasution dalam tulisannya berjudul "Gut-gut" dalam Tabloid Sinondang Mandailing, Edisi Dalian Na Tolu.

Gut-gut dianggap sebagai tipikal etnis Mandailing yang kurang baik yang dimaknai sebagai ngotot, ngeyel, mau menang sendiri, tidak berjiwa besar, tidak mau mengalah, tidak mau jalan damai, dan tidak ada tenggang rasa. Sebetulnya, saya merasa penjelasan di atas masih tidak persis betul dan susah menjelaskan makna dari gut-gut tersebut dan pengertian gut-gut tersebut masih saja susah bagi saya menjelaskannya sampai saya alami kejadian beberapa hari yang lalu yang merupakan contoh sangat tepat untuk menggambarkan pengertian gut-gut tersebut.

Saat itu, terkait dengan pekerjaan saya di Kabupaten Mandailing Natal, saya dan Pak Samad, Kadis Pendidikan Mandailing Natal, janjian bertemu untuk mendiskusikan pengembangan pendidikan di Mandailing Natal. Beliau mengusulkan untuk ketemu di sebuah warung makan nasi goreng di Sipolu-polu. Kebetulan nasib saya malam itu lagi sial karena kayu penutup parit di depan warung tersebut yang terbuat dari serpihan-serpihan papan yang sudah rapuh, sehingga kayu tersebut patah dan jebol ketika mobil yang saya kendarai saya parkirkan di atas susunan kayu tersebut dan ban depan mobil saya masuk ke dalam parit.

Walaupun diskusi sebagaimana direncanakan dapat di terlaksana di sela-sela makan nasi goreng kuah, makanan khas Panyabungan, tetapi suasana hati saya tetap tidak nyaman karena sambil menyaksikan mobil yang sebelah bannya "nyelam" ke parit. Berkali-kali mobil diangkat secara beramai-ramai oleh pemuda yang ada di sekitar warung, namun mobil tidak bisa diangkat,. Akhirnya dengan bantuan mobil pick-up, mobil tersebut bisa diangkat beramai-ramai. Bantuan spontan dari pemuda dan pemilik pick-up mungkin karena memang saya berasal dari Sipolu-polu dan merupakan tempat tinggal orang tua dan keluarga saya sampai sekarang dan saya pun tinggal di sini ketika masih pelajar sekolah lanjutan.

Cerita gut-gut sebetulnya tidak terkait dengan serombongan anak muda yang membantu saya, tetapi terkait dengan pemilik warung makan. Sesudah mobil berhasil diangkat dan kami pun selesai dengan urusan kami serta siap untuk berangkat, salah seorang kawan dengan sopan berpamitan kepada pemilik warung, seraya menanyakan berapa uang ganti rugi yang mesti kami bayarkan. Karena papan yang patah hanyalah serpihan papan dan sudah lapuk pula serta kami pun pada malam itu adalah tamu dari warung tersebut, apalagi kami juga merupakan warga setempat, kami menduga jawaban yang diberikan pastilah dikatakan "tak apa-apalah, gitu aja mesti dihitung-hitung, toh hanya kayu lapuk, tak usahlah harus dibayar". Akan tetapi kami lupa bahwa ini tanah Mandailing di mana gut-gut masih subur berkembang, jawaban yang datang sungguh mengagetkan, dengan ketus dia berkata "kami tak butuh duit, kalau duit kami punya di situ", katanya sambil menunjuk ke laci uangnya. "Kami mau malam ini juga agar lobang itu ditutup kembali seperti semula, beli sendiri kayunya, dan kalau tidak bisa menukanginya, cari sendiri tukangnya", lanjutnya. Dia juga mensyaratkan ukuran, jumlah, dan jenis kayu yang harus kami siapkan untuk menutupi lobang tersebut. Bayangkan malam-malam kami diminta untuk mencari kayu, mencari tukang, dan meminta tukang untuk memperbaikinya. Syukurnya supir pick-up yang menarik mobil, bersedia mencarikan tukang sekaligus mencari kayu dan bertanggung jawab untuk menutupi kayu lapuk tersebut. Akhirnya kami pun bisa meneruskan perjalanan sesudah memberikan sejumlah uang kepada supir tersebut, diiringi dengan wajah ketus sang pemilik warung, dan besoknya saya tersenyum ketika saya melintas, lobangnya sudah terpasang dengan bahan yang jauh lebih bagus dan baru dibanding sebelum patah.

Jadi jika ditanya pengertian gut-gut, cukup dengan mengetahui sikap dari sang pemilik warung tersebut, yaitu yang tidak memancarkan rasa simpati, menganggap begitulah memang seharusnya, karena kayu yang rusak gantinya harus kayu, apa pun ceritanya, bagaimanapun keadaannya, bagaimanapun caranya, itu bukan urusannya, itu urusan kami, salah sendiri kenapa merusak, perbaiki sendiri, itu risiko kami, sedikit pun tak ada risikonya bagi dia, tak ada toleransi, tak ada damai, tak sedikit pun dia bersedia rugi, walau sekadar membelikan papan dan mencari papan esok harinya, walau harus menunggu perbaikan besok harinya, pokoknya perbaiki sekarang juga dan harus seperti semula.

Sifat gut-gut ini masih sering kita temui dan masih saja dimiliki oleh sebagian masyarakat Mandailing. Lihatlah seruas jalan di suatu sudut kota Panyabungan, jalan tersebut tidak diperlebar dan dibiarkan berlobang hanya karena pemilik rumah di sepanjang kiri kanan ruas jalan tersebut tidak mau merelakan tanahnya digunakan untuk perluasan jalan. Mereka rela jalannya sempit dan berlobang, sementara di ruas jalan lainnya sudah licin dan lebar. Itu juga tentunya karena sifat gut-gut yaitu tidak mau mengalah, tidak ada tenggang rasa, dan tidak ada toleransi. Gut-gut juga biasa muncul dalam hubungan antar tetangga baik tetangga rumah, tetangga sawah atau kebun, maupun tetangga tempat usaha lainnya. Biasanya gut-gut juga akan muncul terkait dengan persoalan batas tanah, persoalan antar tetangga, dan lain-lain. Demikian juga pada saat pembagian, gut-gut kan muncul, apakah itu pembagian tanah warisan, pembagian perkongsian, ataupun pembagian pekerjaan. Jika pembagian tersebut untuk pekerjaan atau bayaran, pastilah seseorang yang mempunyai sifat gut-gut ingin mendapatkan bagian yang sekecil-kecilnya, namun jika pembagian tersebut adalah yang menguntungkan, maka pastilah akan ngotot untuk mendapatkan yang sebaik-baiknya.

Memang untuk jangka pendek bisa saja gut-gut menguntungkan bagi orangnya, namun untuk jangka panjang, sifat ini bisa saja merugikan. Mungkin saja pemilik warung di atas merasa puas karena apa yang diinginkannya terlaksana, tapi bisa saja dia akan menuai hasil perbuatannya, minimal munculnya antipati dari orang karena sikapnya yang jauh dari bijaksana. Boleh jadi orang akan merasa enggan datang ke warungnya, sehigga langganannya menjadi berkurang dan penghasilannya menjadi berkurang. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk yang bersikeras tidak mau melepas tanahnya untuk perluasan jalan. Mungkin ada rasa puas hati bahwa dia bisa mempertahankan haknya, tetapi justru yang merugi adalah diri mereka sendiri, bahkan mungkin mendapatkan cibiran dari orang lain atas sikapnya yang tidak arif dan bijaksana.

Permusuhan, perselisihan, dan tidak bertegur sapa juga sering muncul akibat sifat gut-gut yang ditunjukkan oleh mereka yang bertetangga, hanya disebabkan oleh persoalan yang mestinya bisa diselesaikan dengan lapang dada dan mau mengalah untuk kemenangan bersama. Masalah kotoran ternak tetangga, daun pohon tetangga yang berserakan, anak yang berkelahi, parkir kendaraan tetangga atau persoalan lainnya bisa saja dianggap menjadi sesuatu yang sangat mengganggu dan bisa menjadi pemicu permusuhan. Begitu juga dalam urusan kantor dan persoalan kedinasan. Gut-gut boleh jadi menjadi kontra-produktif terhadap kemajuan dan pembangunan, karena gut-gut bisa menghabiskan energi seseorang karena selalu memikirkan rasa tidak puas atas keputusan yang diambil, menjadi malas dan kurang bersemangat bekerja karena kebijakan yang dirasakan tidak adil terhadap dirinya, serta bisa jadi menimbulkan lingkungan kerja yang tidak sehat karena diliputi oleh kekecewaan berkepanjangan, perasaan tidak adil, bahkan suasana permusuhan dan persaingan, walaupun keputusan dan kebijakan yang diambill sudah berdasarkan pertimbangan objektif dan melalui prosedur yang berlaku. Namun karena gut-gut, apa pun kebijakan dan keputusan yang diambil tetap saja dianggap tidak adil dan tidak objektif.

Jadi, untuk mempercepat keberhasilan pembangunan pada berbagai sektor di Mandailing Natal, rasanya pemerintah perlu memberi perhatian untuk mengurangi sifat dan sikap gut-gut tersebut. Mungkin perlu kampanye anti gut-gut melalui berbagai media dan cara. Di samping itu, peran ulama dan tokoh masyarakat termasuk guru perlu digerakkan untuk mengajak masyarakat agar beralih dari cara berfikir negatif menjadi berpikir positif, beralih dari prinsip yang tak mau kalah dan mencoba menjadi mengalah untuk menang, beralih dari sikap tidak toleran menjadi penuh toleransi, beralih dari egoisme menjadi peduli dengan kepentingan orang lain, beralih dari jiwa yang kerdil menjadi berjiwa besar.

Dengan hilangnya sifat gut-gut tersebut, maka mungkin "stempel" manipol juga bisa dihapuskan karena mestinya pelit adalah turunan dari egoisme, individualistis, rendahnya kepedulian terhadap sesama, dan mementingkan diri sendiri, sifat yang dekat dengan gut-gut sebagaimana diuraikan di atas.

Sebetulnya gut-gut tersebut tidak hanya ada dalam diri orang Mandailing, sifat tersebut bisa saja dimiliki oleh orang di luar Mandailing, tapi karena orang Mandailing sendiri mengakuinya sebagai sifat yang tumbuh subur dalam komunitasnya dan istilah tersebut sudah ada sejak dulu, maka perlu upaya untuk menghilangkannya setidaknya tidak menjadi kontraproduktif terhadap program pembangunan di Mandailing Natal dan akan lebih baik lagi jika gut-gut tersebut berubah makna menjadi good.... good...good, dan manipol berubah menjadi many..many.. dan pool, maksudnya banyak terkumpul gitu lhoo...!!!

* Penulis adalah Pendidik dan Putra Mandailing


No comments:

Post a Comment