Pages

Sunday, March 11, 2012

Bandar Barus dalam Catatan Sejarah

Bandar Barus dalam Catatan Sejarah
J. Fachruddin Daulay
Staf Pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU

BARUS, kota kecil di pantai barat Sumatera Utara ini, pernah mashur ke seluruh dunia,
sebagai bandar dagang yang mengekspor hasil kapur barus dan kemenyan berkualitas
tinggi, yang sangat diminati pasar dunia. Barus ramai dikunjungi pedagang-pedagang
berbagai bangsa, bahkan orang-orang Tamil dari India Selatan sampai menetap untuk
berdagang. Tapi sekarang, Barus hampir terlupakan, nyaris seperti punahnya pohon kapur
itu.

1. Pendahuluan
Gerakan-gerakan kedatangan
orang-orang India ke kawasan Asia
Tenggara membawa serta agama dan
kebudayaan Hindu, bermula sekitar awal
tarikh Masehi. Yakni saat kekuatan
kebudayaan Hindu merambat dan
mempengaruhi hampir semua bangsa di
dunia. Ketika itu India dan Cina adalah dua
kekuatan besar di Asia yang telah memiliki
peradaban yang kokoh dan sudah
berkembang sejak ribuan tahun
sebelumnya. Kebudayaan intelektual agama
Hindu mempengaruhi kawasan Asia
Tenggara yang sangat jauh tertinggal.
Sedemikian kuatnya dominasi politik dan
kebudayaan itu, Hall menegaskan barulah
dengan kedatangan pengaruh kedua bangsa
besar ini, India dan Cina, negeri-negeri di
Asia Tenggara mulai berkembang dan
mampu mencapai tingkat yang lebih tinggi
(1987: 5).
Di Indonesia, setelah perhubungan
dagang dengan orang-orang India
berlangsung selama beberapa abad
masuklah pengaruh unsur-unsur budaya
Hindu itu ke tengah-tengah budaya
masyarakat Indonesia. Dengan masuknya
pengaruh Hindu telah menimbulkan
perubahan-perubahan besar dan sangat
mendasar terhadap perkembangan budaya
Indonesia. Terutama tampak dalam
mengantarkan Indonesia memasuki jaman
sejarah, yakni dengan ditemukannya
keterangan-keterangan tertulis di Kutai
(pedalaman Kalimantan Timur) dan juga di
Jawa Barat (kerajaan Tarumanegara).
Semua keterangan-keterangan tertulis itu
dengan angka tahun 400-500 Masehi.
Pada permulaan kegiatan
perdagangan India dengan Asia Tenggara
tak segera berhubungan langsung dengan
Indonesia, tetapi tumbuh secara bertahap
hingga permintaan barang-barang dari Asia
Tenggara (Indonesia termasuk bagian dari
kesatuan wilayah perdagangan Asia
Tenggara) diminati pasar internasional.
Perdagangan Asia Tenggara adalah bagian
dari kegiatan perdagangan internasional
India dengan Asia Barat yang telah
berlangsung selama beberapa abad
sebelumnya.
Meskipun kontak luar negeri
pertama Indonesia adalah dengan India,
akan tetapi keterangan mengenai
perdagangan Indonesia pada umumnya
berasal dari Cina. Berita Cina paling awal
tentang Jawa sudah ada pada abad ke-5,
sedangkan tentang Sumatera dan kepulauan
Maluku baru ditemukan pada abad ke-7.
Kapur barus dan kemenyan sudah termasuk
barang yang diperdagangkan Cina dengan
Sumatera sekurang-kurangnya mulai abad
ke-7, dan pada waktu-waktu tertentu juga
dicari oleh pedagang dari India dan Timur
Tengah (Drakard, 2003: 17). Dalam abad
itu, pedagang-pedagang Cina melalui
Filipina, juga sudah sampai ke tempat
penghasil rempah-rempah di kepulauan
Maluku (Putuhena, 1980: 266). Oleh karena
perdagangan adalah untuk memperoleh
keuntungan, maka frekuensi kunjungan
para pedagang pun ke Indonesia sangat
tergantung perkembangan perdagangan itu
sendiri di tempat-tempat tujuan
perdagangan.
Barus, kota kecil di pantai barat
Sumatera Utara ini, punya catatan sejarah
yang panjang. Pada jaman purba sudah Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
29
termashur ke seluruh dunia sebagai tempat
asal kapur barus dan kemenyan yang
mutunya sangat tinggi, sehingga sangat
dibutuhkan kalangan  elite di Eropa dan
Timur Tengah. Ptolomeus telah
memasukkan Barus dalam buku ilmu
buminya (160 Masehi). Lama sebelum
bangsa-bangsa Eropa tiba, pedagangpedagang Cina, India, dan Arab mencari
kapur barus tersebut di pusat-pusat
perdagangan Asia Tenggara, sebelum
mereka berhasil mengunjungi langsung
Barus.
Dewasa ini Barus hampir
terlupakan, sebab getah pohon yang wangi
itu yang pernah membawa harum nama
Barus, sudah lama punah. Dengan letak
geografisnya di pesisir pantai, Barus bukan
lagi sebuah pelabuhan, bahkan hasil
tangkapan ikannya tak mampu membuat
kehidupan ekonomi penduduknya lebih
baik. Hasil pertanian dari Manduamas pun
tak cukup  untuk dipasarkan ke luar daerah.
Objek wisata yang ada skalanya kecil,
berupa kuburan-kuburan tua dan batu-batu
nisan peninggalan Islam pertama dan Hindu
di Makam Mahligai dan Lobu Tua. Di
samping kuburan kuno Papan Tinggi, yang
dipugar almarhum Adam Malik (mantan
Wakil Presiden RI) semasa hayatnya,
dengan membangun hampir 500 buah anak
tangga untuk mencapai puncak di mana
kuburan itu berada. Kemudian ada bekas
kolam pemandian istana Sultan Putri
Andam Dewi di Lobu Tua.
Didorong untuk meraih keuntungan dari hasil perdagangan kapur
barus dan kemenyan menyebabkan orangorang Tamil dari India Selatan telah datang
dan bermukim di Barus. Berdasarkan batu
bertulis Lobu Tua menunjukkan di Baruslah ditemukan bukti tertulis paling tua
tentang pengaruh Hindu di Sumatera Utara.
Melalui Barus, juga kerajaan Panei di
Padang Lawas, masuk anasir-anasir budaya
Hindu ke tengah-tengah budaya masyarakat
tanah Batak. Terkadang Tapanuli disebut
pula Tanah Batak, yang ditegaskan Castles
untuk menunjukkan identitas etnisnya
sebagai tempat tinggal sebagian besar orang
Batak. Istilah tanah Batak (Battalanden)
berasal dari Belanda dengan maksud untuk
memberi batasan unit pemerintahan baru
yang dibentuknya (2001: 2-3).
2. Barus Sebagai Bandar
Perdagangan
Untuk mengungkapkan sejarah
Barus, terutama fungsinya sebagai kota
pelabuhan dan perdagangan, bentuk dan
sifat perdagangannya, hubungan perdagangan luar negerinya, dan merupakan
bandar tertua di Nusantara, diperlukan
sumber-sumber tertulis, padahal sumbersumbernya sangat  langka. Drakard
mengakui hal itu, bahwa keterangan tentang
Barus barulah agak lengkap ditemukan
setelah bangsa-bangsa Barat sampai di
sana. Hingga abad ke-13, 14, dan 15,
sumber sejarah termasuk mengenai
kegiatan perdagangan di Barus masih
langka (2003: 18).
2. 1 Penulisan Sejarah
Akibat sumber-sumber sejarah
yang langka, maka hampir tak ada
penelitian tentang sejarah Barus, sehingga
kita tak dapat mengetahui bagaimana unsurunsur dinamika masyarakatnya, sebab
sejarah adalah menggambarkan proses
perkembangan dan menjelaskan peristiwa
bagaimana kita sampai kepada keadaan
sekarang. Mengenai kurangnya perhatian
terhadap penelitian sejarah kita, khususnya
sejarah Barus, walaupun sangat tak
memuaskan, tetapi sebenarnya tidak perlu
terlalu dirisaukan, sebab keadaannya
seolah-olah sudah terpola demikian, secara
umum sama dengan yang terjadi di Asia
Tenggara. Onghokham dalam Kata
Pengantar buku Anthony Reid (1992: xiii)
mengungkapkan dari seluruh sejarah Asia
bahwa sejarah Asia Tenggara-lah yang
paling tidak mendapat perhatian, bahkan
boleh dibilang yang paling miskin
penelitian sejarahnya dibandingkan dengan
Asia Timur dan Asia Selatan. Di antara
negara-negara Asia Tenggara, Indonesia
masih lebih beruntung, karena agak kaya
dengan karya-karya sejarahnya.
Lebih jauh Onghokham mengakui
ketakberdayaan sejarawan karena
dianaktirikan di Indonesia termasuk di Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
30
beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Oleh karena negarawan, politisi, dan juga
cendekiawan, sejarah dianggap tidak
relevan dan tidak dirasakan sebagai
kebutuhan untuk mengenal dirinya, dan
bahkan lebih aneh lagi mereka menolak
untuk mengenal dirinya sendiri. Selama
kaum pembuat kebijakan atau pembenar
kekuasaan berpendapat sejarah hanya untuk
melegitimasi dan membenarkan kepentingan politik, maka para sejarawan
akan tetap dianaktirikan di negaranya
sendiri, sehingga suara mereka terpendam
selamanya dan penelitian sejarahnya pun
akan terus terbengkalai, jika tidak
dilakukan oleh sejarawan sendiri.
Keterangan paling tua mengenai
Barus berasal dari abad ke-2 Masehi. Yaitu
kitab ilmu bumi  Geographike Hyphegesis
karangan Ptolomeus (160 Masehi) sudah
mencantumkan Barus, kemudian Pansur
dan Lubuktua (= Lobu Tua). Ptolomeus
tercatat sebagai pengarang Barat yang
pertama menulis tentang Indonesia.
Barus muncul dalam kitab yang
ditulis Ptolomeus, sama sekali bukan dari
hasil kunjungan langsung ke Indonesia,
melainkan berdasarkan keteranganketerangan mengenai hubungan dagang
antara Mesir dan India, yang secara tidak
langsung melibatkan Indonesia. Sarjana
Yunani ini tinggal di Alexandria.
Adapun Ptolomeus bukanlah satusatunya pengarang Yunani atau Romawi
yang pertama yang mempunyai sedikit
pengetahuan mengenai Asia Tenggara.
Pliny pun mempunyai catatan mengenai
Timur Jauh dalam bukunya  Natural
Historiae, walupun keterangannya banyak
salah (lihat Vlekke, 1967: 18-19).
Pengarang Periplous di Lautan Hindia jelas
telah melawat ke sebagian daerah Asia
Selatan dan banyak mempelajari negerinegeri yang terletak jauh di timur  Ceylon,
melalui saudagar-saudagar India. Laporannya digunakan oleh Ptolomeus yang
mendapat keterangan lebih lanjut dari
seorang awak kapal bernama Alexander,
yang telah mengembara ke kawasankawasan sebelah timur Tanah Melayu.
Ptolomeus menjelaskan perbedaan
antara “Negeri Emas” dan “Negeri Perak”.
Dalam kitab Ramayana disebutkan
Yawadwipa dihiasi oleh tujuh buah negeri,
Pulau Emas dan Perak, yang merupakan
tempat-tempat paling jauh di dunia.
Ptolomeus menyatakan, Negeri Emas dan
Perak kedua-duanya terletak di benua Asia
bagian tenggara. Tempat-tempat yang
berdekatan dinamakan “Semenanjung
Emas” di mana terdapat lima buah pulau
Barousai, tiga buah pulau Sabadeibai, yang
didiami oleh orang-orang yang memakan
daging manusia, dan pulau Iabadiu yang
berarti  “Pulau Sekoi” (Yawadwipa dalam
kitab Ramayana, menurut bahasa
Sansekerta berarti “Pulau Sekoi”). Di pulau
Iabadui terdapat sebuah kota bernama
“Kota Perak”.
Vlekke menegaskan bahwa
Semenanjung Emas yang dimaksudkan
adalah Semenanjung Tanah Melayu,
sedangkan pulau-pulau yang disebutkan
ialah gugusan kepulauan Indonesia.
Berdasarkan keterangan yang diberikan
Alexander kepada Ptolomeus, tanpa raguragu menjelaskan bahwa pada kurun waktu
abad pertama Masehi telah ada hubungan
perdagangan antara India dan Indonesia.
2. 2 Perdagangan Kapur Barus
Barus telah disebut-sebut
Ptolomeus karena kedudukannya amat
penting sebagai bandar internasional yang
memperdagangkan dan mengekspor sejenis
getah atau damar pohon yang wangi, yang
dinamakan kamfer atau kapur barus
(dryabanalops camphore), di samping
damar kemenyan (styrax benzoin
dryander). Kedua jenis komoditi ini
nilainya sangat tinggi pada jaman purba dan
hanya diperoleh di pelabuhan Barus. Ada
keterangan yang menyebutkan kapur barus
dari Indonesia pernah digunakan untuk
pengawet mumi raja-raja Mesir purba.
Dalam catatan Cina yang berdagang kapur
barus dan kemenyan dari Sumatera pada
abad ke-7 diketahui kapur barus dan Barus
adalah yang paling murni sifatnya
(Drakard, 2003: 17). Oleh karena mutunya
yang tinggi itu, maka harganya jauh lebih
mahal dari hasil kamfer negeri-negeri lain.
Siahaan yang mengutip Marco Polo
menyebut harganya bahkan dibayar dengan Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
31
emas sebanding beratnya (1964: 27). Marco
Polo dalam perjalanan dari Cina ke Persia
singgah di Aceh, karena kapalnya
mengalami kerusakan dan terpaksa tinggal
selama beberapa hari untuk
memperbaikinya. Polo sedang mengantar
seorang putri Mongol untuk Khan Persia
yang permaisurinya meninggal.
Dari laporan Belanda pada abad
ke-17 diketahui bahwa pohon kapur barus
dan perdu kemenyan tumbuh di daerah
perbukitan yang terjal, ialah terletak antara
tanah pantai yang datar dan dataran tinggi
Toba. Dewasa ini pohon kapur tak tumbuh
lagi, tidak diketahui apa yang
menyebabkannya. Kecuali pohon kemenyan masih tumbuh bertahan di beberapa
tempat di Tapanuli Utara seperti di
Parlilitan, Dolok Sanggul, Pangaribuan,
Pahae, dan lain-lain. Walaupun tak pernah
dibudidayakan, pohon kemenyan tumbuh
secara alami, tetapi sumber penghasilannya
tergolong primadona bagi  income
kabupaten ini.
Sedikit penjelasan mengenai
pohon kapur barus dikemukakan Sangti
bahwa jenis pohon ini juga dijumpai di
Kalimantan, Korea, dan Manchuria. Tetapi
jenis pohon yang tumbuh di tempat-tempat
lain itu berbeda dengan yang ada di Barus.
Jenis pohon di Korea dan Manchuria itu
dalam bahasa Latin dikenal sebagai
cinnamomum camphore dari golongan
lauraceae, sedangkan kayu kapur dari
Barus termasuk golongan pohon meranti
jenis diperocarpaciae (1977: 76-77).
Perdagangan laut antara India,
Cina, dan Indonesia mulai berlangsung
dalam abad pertama sesudah Masehi.
Ketika itu rempah-rempah, kayu wangi,
kapur barus dan kemenyan dari Indonesia
telah sampai di India dan kekaisaran
Romawi (Burger, 1962: 15). Kapur barus
dan kemenyan hampir dipastikan berasal
dari Barus, sebab tak dijumpai daerah lain
di Indonesia yang manghasilkan kedua jenis
damar pohon tersebut.
Keterangan Vlekke dan Burger di
atas baru sebatas hubungan perdagangan
antara India dan Indonesia serta jenis
barang-barang yang diperdagangkan dari
Indonesia pada abad-abad pertama Masehi.
Namun hingga abad ke-7, saat perdagangan
Cina sudah berlangsung dengan Sumatera,
di mana orang-orang India dan Timur
Tengah juga mencari kapur barus dan
kemenyan dari Sumatera, belum memberi
kesan bahwa mereka telah berkunjung
sampai di Barus.
Pada awal hubungan dengan India,
kapur barus dan kemenyan merupakan hasil
perdagangan terpenting Indonesia sudah
sampai di India dan Eropa, tapi ternyata di
India kedudukannya tak cukup penting, dan
tampaknya memang sebagai barang
perdagangan semata. Kitab-kitab India
kuno termasuk yang memuat tentang
pengobatan tak menyebut pemakaian kapur
barus dan kemenyan sebagai bahan ramuan.
Mengenai hasil-hasil perdagangan dari
Indonesia, sebuah naskah kuno India hanya
menyebut kayu gaharu dan kayu cendana
yang berasal dari negeri asing. Kemudian
kitab  Raghuvamsa (kira-kira tahun 400
Masehi) memeriksa cengkeh (lavanga)
yang banyak dicari pedagang India berasal
dari  dwipantara, yang maksudnya adalah
kepulauan Indonesia.
Orang-orang India yang berkedudukan sebagai pedagang perantara
mengambil barang-barang hasil perdagangan Asia Tenggara dan diangkut ke
India. Selanjutnya pedagang-pedagang
India dan Arab membawanya ke Timur
Tengah dan Asia Barat untuk diteruskan ke
Laut Tengah menuju Eropa. Perdagangan
internasional India ditujukan ke Asia Barat
termasuk Timur Tengah sudah berlangsung
semenjak lama, dan mulai abad pertama
Masehi Asia Tenggara menjadi bagian dari
perdagangan internasional India, di mana
Indonesia termasuk di dalamnya. Dari
beberapa keterangan terdapat kesan bahwa
orang-orang Asia Tenggara sudah ada yang
tiba di India. Apakah orang-orang
Indonesia sudah ikut serta di dalamnya,
masih belum jelas, tetapi kemungkinannya
besar sekali terutama mengingat nenek
moyang Indonesia adalah pelaut-pelaut
yang ulung.
Barus tak terpisahkan dengan
ekspor perdagangannya, kapur barus dan
kemenyan. Daerah-daerah lain juga menjadi
terkenal dengan hasil perdagangannya yang Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
32
utama yang menandai ciri khas daerah
bersangkutan. Seperti kepulauan Maluku
misalnya dengan rempah-rempahnya,
kepulauan Nusa Tenggara dengan kayu
cendananya, atau predikat yang disandang
Majapahit dan Mataram sebagai
pengekspor beras. Jadi sejak abad ke-2
Masehi, setidak-tidaknya Barus sudah
merupakan sebuah kota pantai, tempat
mengumpulkan kapur barus dan kemenyan,
sekaligus sebagai pelabuhan yang
membarternya. Dengan demikian Barus
telah tumbuh dan berkembang menjadi
pusat dan bandar perdagangan terkemuka di
bagian barat Indonesia. Hingga saat itu
belum tercatat adanya kota-kota pelabuhan
lain di Indonesia berkedudukan sebagai
pusat perdagangan. Artinya, Barus
merupakan bandar perdagangan pertama
dan yang tertua di Nusantara.
Jika bukan karena Ptolomeus,
lama sekali baru diperoleh keterangan
mengenai Barus. Setelah keterangan
Ptolomeus, keterangan mengenai Barus
barulah ditemukan pada abad ke-7, berasal
dari sumber Cina, itu pun tidak
menyebutkan secara langsung nama Barus,
kecuali perdagangan kapur barus dan
kemenyan dari Sumatera, dalam kaitan ini
tentulah yang dimaksudkan Barus. Sumbersumber Arab menyusul pada abad ke-9. Ibn
Chord Hadhbeh menyebut Balus
(maksudnya Barus), tahun 846. Kemudian
tahun 851, seorang Arab lainnya bernama
Suleman menyebut Fansur dekat Barus
(beberapa sumber menuliskan Barus
mempersamakannya dengan Fansur,
terkadang dieja dengan Pansur, atau
Panchur). Ibn Bathutah ada pula mencatat
Cakola (= Angkola), tahun 1345.
Dari catatan-catatan Cina maupun
Arab yang disebutkan, tetap menyisakan
pertanyaan, apakah sampai abad ke-9
orang-orang Cina, Arab, dan India, benarbenar telah mengunjungi Barus, masih
belum jelas. Kecuali sekitar abad ke-10 ada
bukti yang memberikan kesan bahwa para
pedagang dari Timur Tengah secara
langsung telah mendatangi pantai barat
Sumatera untuk mencari kapur barus dan
kemenyan.
Orang-orang Eropa berikutnya
(kecuali Tome Pires) seperti Nicola Di
Conti (1449), Advardus Barbosa (1516), De
Barros (1563), dan Beaulieu (1622), pada
umumnya  meriwayatkan tanah Batak.
3. Orang-Orang Tamil di Barus
Temuan arkeologi yang paling
terkenal dari Barus ialah sebuah batu
bertulis dari Lobu Tua (kira-kira 12
kilometer dari Barus). Ditemukan oleh
kontelir G.J.J. Deutz di Lobu Tua pada
tahun 1872. Pada tahun 1932, K.A.
Nilakanta Sastri, seorang guru besar ahli
purbakala di Madras berhasil menerjemahkannya. Batu bertulis dengan angka
tahun 1088 itu menurut penafsiran
Nilakanta Sastri berasal dari sebuah serikat
dagang orang-orang Tamil berjumlah 1.500
orang yang tinggal menetap di Barus untuk
berdagang. Mereka bermukim di Barus dan
Kalasan, yang menyebut daerah ini dengan
Kalasapura. Ini memberi kesan bahwa
mereka telah membentuk perkampungan
sendiri. Seperti lazimnya terjadi di kotakota pusat perdagangan, para saudagar
asing hidup berkelompok-kelompok
membentuk perkampungan-perkampungan
menurut daerah asal atau bangsanya. Pada
umumnya tempat tinggal mereka demikian
terpisah dari permukiman  penduduk
setempat.
Perdagangan mengandung unsur
persaingan untuk meraih keuntungan.
Orang-orang Tamil datang ke Barus
bertujuan untuk berdagang, maka guna
mencegah dan menghindarkan persaingan
di antara sesama mereka dalam
perdagangan kapur barus dan kemenyan,
mereka membentuk kesatuan di
kalangannya sendiri, yaitu perkumpulan
berbentuk korporasi atau semacam
“merchant guild”. Drakard memperkirakan
orang-orang Tamil sudah mulai tiba di
Barus lebih dini dari angka tahun batu
bertulis Lobu Tua, yakni sejak abad ke-8
atau ke-9 dan berdiam sampai paruh
pertama abad ke-12 (2003: 17). Mereka
berasal dari daerah-daerah di India Selatan
seperti Cola, Pandya, Malayalam, dan lainlain. Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
33
Menurut hasil penyelidikan
Nilakanta Sastri, batu bertulis Lobu Tua
sejaman dengan pemerintahan raja Cola,
Kulottunga I yang menguasai wilayah
Tamil di India Selatan. Pada waktu terjalin
persahabatan kerajaan Cola dan Sriwijaya
banyak orang-orang Tamil menetap di
Barus. Ketika itu Barus berada di bawah
pengaruh Sriwijaya. Sebelum hubungan
baik itu, Cola menyerang Sriwijaya (1024),
tetapi tidak berhasil menaklukkannya.
Memang saat itu India Selatan punya
hubungan erat dengan kepulauan Nusantara
dan cukup berpengaruh dalam bidang
politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Sewaktu batu bertulis Lobu Tua
dibuat, di India terdapat berbagai
perkumpulan dagang orang-orang Tamil,
salah satunya yang menetap di Barus ialah
perkumpulan bernama “Mupakat 500”.
Perkumpulan dagang ini sangat kuat
organisasinya dan berdiri sendiri serta tidak
tunduk secara politis kepada seseorang raja
mana pun, sehingga mereka diterima
dengan tangan terbuka di negeri-negeri
yang dikunjunginya. Perkumpulan dagang
ini pun mempunyai pasukan tentara bayaran
sendiri yang bertugas menjaga barangbarang terutama sewaktu transit dari satu
tempat ke tempat lain.
Keterangan batu bertulis Lobu Tua
sangatlah penting artinya karena merupakan
bukti yang menunjukkan bahwa orangorang Tamil dalam kegiatan
perdagangannya sudah tiba di Sumatera,
bahkan sudah ada perkampungan mereka di
Barus. Di antara para pedagang terdapat
juga seniman yang memahat batu bertulis
tersebut. Dengan demikian, selain orangorang Tamil yang menetap di Barus, yang
sudah barang tentu tercatat sebagai
pedagang-pedagang India, maka pedagang
asing lain yang sudah mengunjungi
langsung Barus ialah saudagar-saudagar
asal Timur Tengah (abad ke-10).
Melalui kontak orang-orang Tamil
di Barus dengan orang-orang Batak di
pedalaman, dan setelah terputus hubungan
orang-orang Tamil dengan tanah leluhurnya
(India Selatan), juga termasuk melalui
kerajaan Panei di Padang Lawas,
tersebarlah pengasuh unsur-unsur budaya
Hindu ke tengah-tengah budaya orangorang Batak. Di antaranya adalah aksara
Batak, pengetahuan astrologi, sejumlah
kata-kata Sansekerta, pertanian irigasi
termasuk beberapa alat pertanian,
pertenunan dan kesenian, permainan catur,
beberapa konsep dan praktek keagamaan,
sebagian marga Sembiring, upacara kurban
dalam hubungan pertanian, organisasi
masyarakat dalam klen-klen berkaitan
dengan totemisme, adat perkawinan
eksogami, dan lain-lain (Neumann, 1972:
25-27; Sangti, 1977: 85; Castles, 2001: 5;
Siahaan, 1964: 23, 27). Perkataan marga
(klen) sendiri dalam istilah bahasa Batak
berasal dari bahasa Sansekerta, “varga”.
Mengenai dari mana masuknya
orang-orang Tamil hingga sampai di Barus,
masih belum dapat diketahui dengan jelas.
Dalam Kronik Hulu (Asal Keturunan Raja
Barus) dikisahkan di Lobu Tua, Guru
Marsakot (salah seorang dari dua putera
Raja Alang Pardoksi, pendiri garis
keturunan baru di Barus) berjumpa dengan
orang Tamil dan Hindu yang terdampar
kapalnya. Kemudian Guru Marsakot
dijadikan raja mereka (Drakard, 2003: 28).
Menurut keterangan ini diperkirakan orangorang Tamil tiba di Barus dengan
menyusuri pantai barat Sumatera, bukan
melalui jalan darat.
4. Sifat dan Bentuk Perdagangan
Hingga abad ke-13 sampai abad
ke-15 keterangan mengenai perdagangan di
daerah Barus masih langka, meskipun
terdapat acuan yang menunjukkan ada juga
pedagang-pedagang asing yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan pesisir barat
Sumatera. Dalam dokumen Geniza
dikisahkan bahwa pada abad ke-13 ada
seorang pedagang Yahudi asal Kairo yang
melakukan perjalanan ke Fansur lewat
India, dan meninggal di sana.
Perkembangan dalam dunia
pelayaran abad-abad berikutnya, di samping
perdagangan semakin maju, telah
membawa pedagang-pedagang asing tiba di
Barus. Pada awal abad ke-16 pelawat
Portugis, Tome Pires berkunjung ke Barus
mengisahkan Barus sebagai pelabuhan yang
ramai dan makmur. Di sana berkumpul Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
34
pedagang-pedagang bangsa Parsi, Arab,
Bengali, Keling, dan lain-lain.
Keterangan bagaimana kapur
barus dan kemenyan diperdagangkan dan
diekspor dari Barus barulah lebih lengkap
diperoleh setelah kedatangan orang-orang
Barat, khususnya bangsa Belanda lewat
VOC-nya yang berdagang di sana sejak
abad ke-17.
Dari laporan Belanda abad ke-17
diketahui bahwa getah pohon kapur barus
dan kemenyan dipungut di daerah terjal
dataran tinggi Toba oleh berbagai
kelompok Batak dan diangkut ke tepi laut,
adakalanya dengan melalui beberapa daerah
lain (Drakard, 2003: 21). Orang-orang
Batak di pedalaman menjualnya kepada
pedagang-pedagang yang datang ke Barus
untuk membelinya, yaitu orang-orang India,
Cina, Melayu, dan Jawa (Siahaan, 1964:
27). Kapur barus dan kemenyan ditukarkan
dengan barang-barang kebutuhan mereka
seperti kain, besi, dan garam. Pada waktu
yang relatif belum lama, beberapa daerah
Batak membawa persembahan simbolis
berupa kuda ke Barus, sebagai gantinya
mereka menerima berkah (Castles, 2001: 5;
Drakard 2003: 21).
Pada awal abad ke-16 bentuk
kegiatan perdagangan dikemukakan Tome
Pires, bahwa barang-barang dagangan
dikumpulkan kerajaan-kerajaan untuk
diperdagangkan kepada orang-orang
Gujarat yang datang setiap tahun dan
melakukan perdagangan yang ramai. Pires
mengungkapkan, orang-orang Keling yang
lebih menguasai perdagangan Malaka,
mereka juga mengangkut kapur barus dari
Pansur, yang letaknya di daerah baratdaya
dan pulau Sumatera (1977: 52).
Orang Batak yang disebut-sebut
sebagai pemungut kapur barus dan
kemenyan dahulu kala, menurut Sangti,
mereka adalah orang-orang Pakpak, yang
mengumpulkan dan mengangkut hasil
kapur barus sampai ke Lamuri (Aceh)
untuk diperjualbelikan dengan barangbarang dari luar negeri. Diperkirakan Lobu
Tua merupakan pusat puak Pakpak yang
menjadi pribumi asli penghasil kapur barus
dan kemenyan yang pertama sekali di
kawasan tersebut. Lobu Tua hampir sama
tuanya dengan bandar Barus maupun
Fansur (1977: 103). Drakard menguatkan,
raja-raja Barus, raja di Hulu dan raja di
Hilir (sebelum ditetapkan oleh wakil VOC
hanya satu orang raja Barus yang resmi,
menjabat secara bergiliran sejak tahun
1693) masing-masing mempunyai daerahdaerah pengaruhnya sendiri di pedalaman.
Raja di Hulu mempunyai hubungan khusus
dengan orang-orang Batak-Dairi yang
memungut kapur barus di pedalaman Barus
baratlaut, sedangkan raja di Hilir
mempunyai pengaruh terbesar atas orangorang Batak di Pasaribu dan Silindung yang
memungut kemenyan di perbukitan di
Barus timurlaut serta di pedalaman Sorkam
dan Korlang (2003: 22-23).
Sejak dahulu Barus lebih
komunikatif dan terbuka dengan Pakpak,
terus ke Aceh melalui Lipatkajang dan
Singkil. Dalam hubungan komunitasnya
pun demikian, setelah dengan puak Pakpak
adalah Minangkabau (dari Tarusan), dan
orang-orang Aceh pesisir barat. Mengenai
daerah pedalaman Batak, Siahaan
mengemukakan bahwa daerah pesisir
Tapanuli dan Sumatera Timur, juga Singkil
dan Air Bangis dari jaman ke jaman sudah
dikunjungi pedagang-pedagang Nusantara
maupun bangsa-bangsa asing, tetapi daerah
pedalaman Tapanuli yang merupakan
dataran tinggi yang sukar dimasuki,
menyebabkannya tetap berada dalam
“spelendid isolation” (1964: 114).
Memperhatikan berbagai keterangan dengan jelas dapat dikemukakan
bahwa sifat perdagangan bandar Barus
sama halnya seperti kota-kota pelabuhan
atau pusat-pusat perdagangan lainnya di
Nusantara pada jaman kuno, bahkan di Asia
pada umumnya. Para penguasa pribumi
(dalam konteks ini raja-raja Barus) sebagai
penguasa pemerintah, juga adalah penguasa
perdagangan. Mereka berkedudukan
sebagai pedagang perantara kapur barus dan
kemenyan yang dikumpulkan oleh orangorang Batak dari pedalaman, kemudian
memperdagangkannya kepada para
pedagang asing. Meskipun di antara raja di
Hulu dan raja di Hilir terpendam perasaan
cemburu mengenai rejeki hasil Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
35
perdagangan, tetapi itu tidak menyebabkan
pecahnya peperangan.
5. Kemunduran Bandar Barus
Pada abad ke-16 perdagangan
Barus mulai terganggu akibat ekspansi
Aceh ke pesisir timur dan barat Sumatera.
Selama periode ini perdagangan luar negeri
Barus lebih tertuju dengan pedagangpedagang Islam dari India dan Timur
Tengah. Orang-orang Inggris dan Belanda
sekalipun tak berkutik terhadap hegemoni
Aceh. Ketika mereka ingin mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan pesisir barat pada
awal abad ke-17, mereka harus mendapat
izin Aceh.
Pada umumnya raja-raja pesisir
barat tidak senang atas kekuasaan Aceh di
kawasan ini. Terutama ditempatkannya
wakil-wakil Aceh untuk mengamat-amati
gerak-gerik mereka dan pihak militer Aceh
adakalanya melakukan tindakan kekerasan
dengan alasan penertiban keamanan. Pada
tahun 1668 mereka bergabung dengan
meminta bantuan VOC untuk mengusir
Aceh guna memperoleh daerah-daerah
pesisir barat kembali ke tangan
Minangkabau. Namun VOC memanfaatkan
situasi ini untuk menanamkan monopolinya
atas ekspor lada daerah ini yang
menguntungkan. Sejak itu VOC pun terlibat
secara politis dengan  kerajaan-kerajaan
pesisir barat Sumatera, sehingga di Barus
ditempatkan pegawai-pegawai VOC.
Menghadapi persaingan dagang
Inggris dan penyelundup Aceh di pantai
baratlaut ini selama abad ke-18, VOC
semakin memperkeras monopolinya di
Barus. Akibat sistem  monopoli VOC,
maka Barus mengalami kemunduran
sebagai pusat perdagangan, sebaliknya
pusat-pusat perdagangan yang lebih kecil
memperoleh kemajuan. Dengan demikian
sistem monopoli VOC telah menghancurkan perdagangan Barus, sehingga
para pedagang meninggalkannya, dan
mengalihkan kegiatan perdagangan ke
tempat-tempat lain.
Faktor lain penyebab Barus
semakin tidak penting adalah Singkil
dijadikan pusat pemerintahan administratif
regional dan kemajuan pelayanan modern,
ditambah lenyapnya kekuasaan dan
wewenang raja-rajanya. Setelah Barus
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan
pemerintahan Hindia Belanda, maka
berdasarkan sistem pemerintahan kolonial
yang dijalankan, maka dengan kedudukan
Barus sebagai sebuah  onderafdeeling, raja
di Hulu dan raja di Hilir daerahnya hanya
setingkat kuria, dan mereka pun menjabat
kepala kuria (kepala distrik), sebagai
pegawai negeri Belanda yang memperoleh
gaji.
6. Penutup
Barus sebagai pusat perdagangan
kapur barus dan kemenyan sejak jaman
purba ramai dikunjungi para pedagang,
termasuk pedagang asing seperti Cina,
India, Arab, dan lain-lain. Raja-raja Barus
menjadi penguasa perdagangan dan
berkedudukan sebagai pedagang perantara
dengan para pedagang asing. Orang-orang
Batak mengumpulkan kapur barus dan
kemenyan di pedalaman, kemudian
mengangkutnya ke pantai. Meskipun antara
kedua raja di Barus terdapat persaingan,
tetapi sifatnya terselubung, sehingga
perdagangan tak pernah terganggu, sebab
mereka mempunyai daerah pengaruh
masing-masing penghasil kapur barus dan
kemenyan di pedalaman.
Kemunduran Barus sebagai pusat
perdagangan terjadi secara bertahap,
berawal ekspansi Aceh ke wilayah pesisir
barat Sumatera, menyusul monopoli VOC
dan lenyapnya wewenang dan kedudukan
raja-rajanya.
Daftar Pustaka
Burger, D.H.; Prajudi Atmosudirdjo,
Sejarah Ekonomis Sosiologis
Indonesia, jilid I, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1962.
Castles, Lance,  Kehidupan Politik Suatu
Keresidenan di Sumatera : Tapanuli
1918-1940, Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2001.
Drakard, Jane,  Sejarah Raja-Raja Barus:
Dua Naskah dari Barus, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003. Artikel
HISTORISME Edisi Khusus (Lustrum) J. Fachruddin Daulay
Edisi No. 21/Tahun X/Agustus 2005
36
Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara, Kuala
Lumpur; Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia, 1987.
Harahap, E. St.,  Perihal Bangsa Batak,
Jakarta: Dep. PP. dan K., 1960.
Loeb, Edwin M., Sumatera Its History and
People, Kuala Lumpur: Oxford
University Press / Oxford in Asia
Paperbacks, 1981.
Neumann, J.H., Sejarah Batak Karo Sebuah
Sumbangan, Jakarta: Bhratara,
1972.
Pires, Tome, “Tentang Malaka”, dalam
Sartono Kartodirdjo, ed.,
Masyarakat Kuno & Kelompokkelompok Sosial, Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1977.
Putuhena, M. Saleh A., “Sejarah Agama
Islam di Ternate”, dalam  Majalah
Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Jakarta:
Bhratara, no. 3, jilid VIII, 1980.
Reid, Anthony,  Asia Tenggara dalam
Kurun  Niaga 1450-1680, terj.
Mochtar Pabotinggi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl
Sianipar Company, 1977.
Siahaan, N.,  Sejarah Kebudayaan Batak,
Medan: CV Napitupulu & Sons,
1964.
Vlekke, Bernard H.M., Nusantara (Sejarah
Indonesia), Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia, 1967.


Sumber:
http://usupress.usu.ac.id/files/Historisme%20Lustrum%20Edisi%2021%20Agust_%202005.pdf

No comments:

Post a Comment