Pages

Sunday, March 4, 2012

ASAL USUL BATAK (TOBA)


ASAL USUL BATAK (TOBA)
Oleh : Dr. Parakitri Tahi Simbolon
  
[Pada bulan Oktober 1997 diadakan satu Seminar Adat Batak Toba di Medan. Artikel ini adalah satu makalah yang dibawakan oleh pemikir sosial Dr. Parakitri Tahi Simbolon. Gagasan yang disampaikan penting dan juga menarik karena ditulis dalam bahasa Batak Toba. Hal yang sangat langka sekarang ini, makalah ilmiah ditulis dalam bahasa Batak Toba. Ternyata bahasa Batak Toba bisa juga dipakai untuk karya ilmiah meski ada kekurangan disana sini. Terimakasih kepada Bapak Tahi Simbolon untuk disajikannya makalah disini.]


Pengantar
Panitia seminar ini meminta saya menjadi pembicara pertama, tentu panitia berharap agar saya dapat mengungkapkan dengan jelas peranan seminar ini dalam hubungannya dengan tantangan problem yang dihadapi Orang Batak Toba akhir-akhir ini. Sehubungan dengan itu hendaknya perlu pula saya jelaskan kemana arah yang akan kita tuju di masa depan kalau kita mau maju (papaga na lumomak = (harfiah) rumput yang lebih lebat/subur).

Tentu saya tidak akan bisa memenuhi harapan besar itu sepenuhnya. Namun demikian, seperti pepatah mengatakan : pauk-pauk hudali ma ninna, pago-pago tarugi, na tading ni ulahi, na hurang pinauli (=kurang lebihnya, marilah kita saling mengisi).
Kira-kira demikianlah bentuk pembahasan kami.

Saya akan mengawali dengan mengemukakan rangkaian “pertanyaan”, “perkara”, dan “masalah” yang menjadi sebab diselenggarakannya seminar ini, menurut panitia dan para pemenang sayembara. Tidak disangkal tentu ada kebenaran dari pendapat yang dikemukakan panitia dan pemenang sayembara tersebut. Tetapi, kita pahami pula bahwa banyak sekali segi-segi persoalan yang perlu dihadapi semua bangsa di semua tempat, tidak saja oleh Orang Batak Toba. Karena itu, kalau kita berkumpul dan membahas satu-satu persoalan, ada baiknya kita perlu hati-hati menimbang berat dan luasnya persoalan itu diantara persoalan-persoalan yang rumit (pasiar pasebut). Lagi pula, jauh lebih mudah memberi suatu jawaban daripada merumuskan suatu pertanyaan, kalau salah merumuskan pertanyaan pastilah akan salah jawaban yang kita berikan sekalipun kita semua sepakat atas jawaban itu.

Ada baiknya pula kita merenungkan nasihat Batak Toba tentang keunggulan pendapat yang marsamung (sudah teruji). Maknanya tercermin dari pepatah yang mengatakan, yaitu, purpar pande dorpi mambahen tu dimposna, manang tuat Siputih nangkok Sideak, i na ummuli i ma ta pareak (= perdebatan yang dilakukan diantara orang-orang yang kompeten, akan menghasilkan pendapat yang bermutu).

Karena itu, topik bahasan saya kedua nanti, akan mencoba menguraikan masalah terbesar dan yang paling dalam dari penerapan adat yang akan dihadapi orang Batak Toba di hari depan. Pepatah mengungkapkan, hori narundut bahenon tu tapean, aek na litok singkoran tu julu (= telusuri dahulu pangkal/akar persoalannya, baru diperoleh jawaban yang benar). Kalau ada kekeliruan dalam pelaksanaan adat itu, telusuri dulu apa sebab utamanya, dimana akar persoalannya. Topik penutup, saya akan mencoba memprediksi kira-kira kemanakah arah yang akan kita tuju agar kita eksis (survive) nanti di tahun-tahun yang akan datang pada abad XXI.

Masalah menurut versi panitia (Gora mangihuthon panitia)
Panitia menyatakan akan membahas praktek pelaksanaan adat kita, adat Batak Toba. Menurut panitia, sudah semraut katanya, bahkan sudah kacau-balau (majemor) praktek pelaksanaan adat itu akhir-akhir ini. Sering katanya pelaksanaannya terlalu lama, bertele-tele, terlalu bising.

Pendeknya, kacau-balau (amburadul) dan sering adat itu menjadi awal pertikaian dan pemicu perkelahian, bukan lagi sarana untuk bersilaturahmi (sibahen na horas) bagi sesama kerabat yang saling mengasihi. Hal-hal itulah yang sering menjadi penyebab orang kita terhalang melaksanakan pekerjaannya sehari-hari, mengakibatkan terhalang pula mencarai rejeki. Di atas seluruhnya itu, kebanyakan kita menjalankan adat itu tanpa mengerti maknanya. Asal dijalani saja adat itu tapi sudah kehilangan rohnya (tondina).

Jadi menurut panitia, masalah atau pertanyaan pokok dalam seminar ini adalah, bagaimanakah caranya menjalankan adat itu dengan benar, tetapi kita tetap dapat mengadaptasi terhadap tuntutan kehidupan modern. Pertanyaan atau hasrat seperti itu jelas merindukan suatu keinginan untuk di satu sisi, ingin melestarikan adat (dengan benar), di sisi lain, dalam waktu yang sama ingin melakukan pembaruan. Pelestarian dan pembaruan adat, conservation and change kira-kira demikianlah benang merah pengharapan dari panitia.

Terkait dengan pertanyaan (problem) tersebut tadi panitia sudah menyelenggarakan sebuah sayembara. Hasilnya diumumkan pada hari Minggu, 24 Agustus 1997. Dari 193 naskah yang masuk ke panitia, 18 diberi nilai terbaik. Ke-18 naskah tersebut mengandung 6 perkara (issue utama) :

Pertama, “Adat Batak Toba dan Relevansinya dengan Agama”. Kedua, “Pelaksanaan Adat Batak dalam Globalisasi”. Ketiga, “Parjambaran di Ulaon Unjuk”. Keempat, “Ulos na Marhadohoan & Ulos Holong di Ulaon Unjuk”. Kelima, “Paulak Une dohot Maningkir Tangga”. Dan keenam, berkaitan dengan hal-hal lain tetapi berkaitan dengan Adat Batak Toba.
Setelah saya baca 5 dari 6 naskah (karena saya hanya dikirim 5) yang ditulis para pemenang, tampaklah beberapa penekanan pendapat, seperti di bawah ini.

Semua pemenang memberi tekanan (aksentuasi), adat harus berubah, dan adat Batak itu memang sudah berubah. Sayangnya, sering perubahan itu bertentangan dengan nilai agama (Kristen) dan bertentangan pula dengan pergaulan orang Batak Toba dewasa ini. Bahkan, seperti yang ditulis Bapak St. Oloan Sihombing, S.H., adat itu kebanyakan tidak lagi dihayati walaupun tetap dijalani kebanyakan orang Batak Toba.

Supaya adat itu dapat membaur dengan Agama (Kristen), St. Oloan Sihombing menyarankan agar digunakan dua saringan untuk menapis mana adat yang harus dilestarikan, mana yang ditinggalkan. Dua saringan itu adalah : “adat yang bermuatan kasih” dan “ adat yang meneguhkan kuasa Tuhan”. Melaksanakan hajatan (adat) besar yang memberi kemegahan bagi tuan rumah, rasanya sulit mewujudkan adat yang bermuatan kasih, begitu pula halnya mereka yang melaksanakan pesta adat yang (hanya) menimbulkan keributan. Padahal ada pepatah mengatakan, “sinuan bulu sibaen na las, ni ula adat sibahen na horas” (=mestinya pelaksanaan adat itu demi harmoni kehidupan). Sebaliknya, adat yang berwujud formalitas atau karena kewajiban saja harus ditinggalkan. Seperti pepatah mengatakan “si soli-soli do adat, si adapari gogo” (= kau beri dulu, baru ku kasih) karena tidak ada kasih di dalamnya. Begitu pula halnya adat yang mengatakan bahwa orangtua dan Paman (tulang) adalah Tuhan yang tampak, mestinya juga ditinggalkan, karena menurut Markus 7:13 “Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat isti adat yang kamu ikuti”.

Bapak Bonar Victor Napitupulu menyatakan, jadi bertele-tele dan centang perenang adat yang kita jalani itu karena banyak terkontaminasi oleh unsur-unsur yang sebetulnya bukan adat, seperti peristiwa babtisan, lepas sidi, dapat gelar, dan juga karena menang perkara. Jadi hilang makna adat yang sesungguhnya karena kita tidak berupaya untuk memahaminya. Sekiranya kita mengerti, atau setidak-tidaknya para juru bicara adat itu mengerti makna dari upacara adat, tentunya mereka akan melantunkan pepatah yang sarat makna, dan kitapun bisa belajar mengenai nasihat kehidupan yang diturunkan nenek-moyang kita, atau bahkan memperoleh bekal untuk memperkukuh jiwa (tondi). Karena itu, pelaksanaan adat itu tidak lagi seperti sekarang, bising dan tidak bermakna.

St. W.K. Tampubolon menekankan perlunya memilih juara-wicara (raja parsinabul) yang pintar dan cerdas dalam upacara adat, karena hanya orang seperti itulah yang mampu meredam masalah-masalah adat yang timbul dalam suatu acara adat.

Terkait dengan adat pemberian ulos herbang (ulos yang bermakna wajib) dan ulos holong (ulos pelengkap) yang sering jumlahnya berjubel, Prof. Drs. L.D. Siagian menyatakan, menurut adat yang sesungguhnya hanya empat ulos yang bermakna wajib, yaitu ulos pansamot, hela, pamarai, sihunti ampang). Sekiranyapun harus ada ulos tambahan, seperti yang pernah dipatok oleh beberapa marga, janganlah lebih dari 11 lembar ulos.

Terkait dengan upacara “paulak une dohot maningkir tangga” (=upacara simbolis (pengganti) mengunjungi rumah pengantin oleh pihak keluarga perempuan), Ir. T.V. Sipayung berpendapat bahwa upacara itu boleh dilaksanakan, boleh tidak, tergantung kesepakatan kedua belah pihak, atau fakultatif sifatnya. Menurut Ir. T.V. Sipayung, kalau hak dan kewajiban pokok pesta adat itu sudah dilengkapi, pihak pengantin pria maupun pria sudah melunasi hutang adatnya, slebihnya hanyalah embel-embel.

Jadi, sekiranya betul bahwa perkara (problem) yang kita hadapi hanyalah sekedar kekeliruan penerapan adat Batak sehari-hari, maka jawabannya sudah cukup memadai kita peroleh dari makalah para pemenang sayembara tersebut. Tentu tidak perlu lagi kita seminarkan pendapat-pendapat tersebut, lagi pula sudah banyak pendapat serupa yang telah mengemuka selama ini. Tinggal melaksanakan saja kita, tidak lagi perlu seminar.

Apakah gerangan sebabnya kita tidak dapat melaksanakan pendapat-pendapat yang bagus itu, padahal sudah berulang-ulang kita dengar dan kita berseminar? Jawabnya, tentu karena masih ada pertanyaan-pertanyaan, perkara, atau masalah lain yang bobot masalahnya jauh lebih besar, dibanding masalah yang kita hadapi dalam melaksanakan adat kita sehari-hari.

Masalah menurut versi pemenang sayembara
Sekalipun tidak tegas terungkap, saya pikir ada pertanyaan terselip di hati Pak Bonar Victor Napitupulu sebagaimana tertulis pada makalahnya butir 3a (halaman 3) “Kurangnya minat masyarakat Batak untuk menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap upacara adat Batak itu [membuat] sering terjadi silang pendapat”, justru menjadi penyebab semrautnya (centang perenangnya) pelaksanaan dari adat itu. Dengan pernyataan seperti itu, masalah orang Batak menurut Bonar Victor Napitupulu menjadi berbeda dengan masalah yang menjadi sebab diselenggarakan seminar ini. Kalau menurut panitia, bagaimana mempertemukan pelaksanaan adat itu dengan kehidupan modern. Kalau menurut Bonar Victor Napitupulu, tidak akan dapat dipadukan pelaksanaan adat itu dengan kehidupan modern apabila tidak ada pemahaman yang mendalam mengenai makna adat yang kita jalankan.

Kalau demikian halnya, bagaimana kita mengetahui seperti apa “nilai-nilai luhur” itu? Bagaimana gerangan korelasi dari nilai-nilai luhur itu dengan adat yang melingkupinya? Kenapa hilang “nilai-nilai luhur” itu dari adat yang kita jalani.
Inilah pertanyaan sesungguhnya yang dapat disepakati menjadi masalah besar yang dihadapi orang Batak Toba selama ini. Dibawah ini kami coba untuk menelusurinya.

Aek na litok singkoran tu julu (air keruh sebabnya ditelusuri ke hulu)
Orang Batak sendiri percaya, ada hukum di atas adat, dan ada kepercayaan, keimanan, atau falsafah di atas hukum. Kepercayaan atau falsafah itu sering digambarkan, seperti disampaikan Panggading, Raja Pandua ni Sisoding (Simamora) kepada J.C. Vergouwen (The Social Organization and the Customary Laws of the Toba Batak of Northern Sumatra) 65 tahun yang lalu. Dikatakan, “Tuhan mencipta manusia memelihara hukum. Tuhan mencipta hukum memelihara adat”.

Merujuk kesitu, berarti, di atas adat ada hukum, dan di atas hukum ada kepercayaan manusia atau falsafah orang Batak Toba. Demikianlah pertautan “nilai-nilai luhur” dengan adat.
Ratusan tahun sebelum lahir ilmu kebudayaan, antropologi, nenek-moyang orang Batak sudah paham kalau ada masalah di hilir, cari penyebabnya ke hulu, kalau ada fenomena masalah dipermukaan, cari pangkal masalahnya. Kalau terjadi kekusutan pada adat maka telusuri penyebabnya pada hukum dan kepercayaan, keimanan, atau falsafah itu.

Menurut Vergouwen, yang meneliti dengan mendalam hukum orang Batak, hukum utama di Batak Toba ialah “tata adat yang dicipta dan keluhuran budi dari nenek moyang terdahulu, itulah yang bersifat penuh, bulat, utuh, pantang untuk diubah (angka adat na pinungka dohot sahala ni ompunta sijolo-jolo tubu, ima tutu namartagan sopiltihon, maransimun sobolaon; adat na pinungka ni ompunta tongka pauba-ubaon). Karena itu, sekalipun belum dapat diketahui proses lahir dan pertumbuhan dari adat ciptaan itu, tetapi bagi kita cukup jelas ada titian yang diwariskan berupa pepatah-pepatah (umpasa) yang berperan membungkus makna sesungguhnya dari hukum itu.

Hanya memang, gampang mengatakan, tetapi tidak mudah menelusuri hukum dalam pepatah-pepatah itu. Banyak sekali pepatah, tetapi banyak pula diantaranya yang tidak dapat diharmonikan pemaknaannya. Sekalipun hukum yang diciptakan nenek moyang kita itu pantang untuk diubah-ubah tetapi orang Batak Toba tampaknya punya kelenturan sikap untuk menerima perubahan itu, tergantung kondisi geografisnya. Karena ada pepatah mengatakan, pemberlakuan hukum itu sesuai dengan tempatnya (muba tano, muba duhutna, muba laut, muba uhumna).

Dikatakan pula dimana kita tinggal di situ kita menggunakan takaran setempat (tano niinganhon, disi solup pinarsuhathon). Jadi, kelenturan penerapan hukum itu dipengaruhi oleh kondisi wilayah, komunitas, perserikatan kekerabatan, hal itulah sering menjadi sebab sulitnya menelusuri korelasi adat itu ke hulu terhadap hukum, apa lagi terhadap falsafah.

Demikian pula halnya sifat dari kepercayaan orang Batak Toba, kepercayaan atau falsafah yang menjadi akar dari hukum itu. Gampang (damun) menyebutnya tapi karena ragam banyaknya, sulit menentukan mana falsafah utama dari hukum itu.

Sekiranya ditanya sekarang, mana yang dipercayai orang Batak Toba sejak dulu; dunia ini (universe) diciptakan atau tidak diciptakan Tuhan? Jawabnya cukup terang, diciptakan Tuhan. Tapi kalau ditanya lagi, setelah Tuhan mencipta dunia, masihkah tergantung pada Tuhan semua hal yang terjadi di dunia ini, atau tergantung pada manusia? Barangkali suda kabur jawabnya.
Kalau mau kita periksa jawaban yang benar menurut mitos yang dipercaya orang Batak Toba mengenai penciptaan dunia ini, muncul pula kesulitan, karena ternyata kisahnya bermacam-macam sesuai daerahnya. Sudah banyak sarjana yang meneliti hal itu, tetapi mereka juga belum sampai pada satu pendapat.

Ada dua orang Zendeling Jerman yang bernama A.W. Kodding dan Johanes Warneck. Menurut mereka, Tuhan orang Batak Toba ialah Mula Jadi Na Bolon, itulah pencipta dunia ini, tetapi Dia bermukim di langit (transcendent). Kebanyakan yang terjadi di dunia bukan lagi menjadi urusan Mula Jadi Na Bolon, melainkan sudah urusan (roh) manusia hidup (sahala, tondi) dan urusan dari roh manusia mati (sumangot) menurut mereka. Menurut kedua sarjana itu, kalau demikian, tentunya tidak lagi diperlukan macam-macam sakramen dalam acara keagamaan Batak Toba dahulu, seperti pesta tahunan, pesta bius, dan lain sebagainya. Dan kita jangan lupa kepercayaan seperti itu agak mirip juga dengan keimanan Kristen Protestan.

Kemudian ada pendapat Prof. Dr. Philip O. Lumban Tobing, selaku penguasa (raja) di Benua Atas, Mula Jadi Na Bolon (menjelma) menjadi Tuan Bubi Na Bolon, selaku raja Benua Tengah (menjelma) menjadi Sialon Na Bolon, selaku raja Benua Bawah (menjelma) menjadi Pane Na Bolon. Dialah pencipta bumi dan langit, tetapi Dia tidak mengasingkan diri di Benua Atas. Dia tetap hadir dan campur tangan dalam kehidupan kita sehari-hari. Apapun yang terjadi di dunia ini, semata karena Dia, dan hukum berserta adat yang dilaksanakan oleh manusia (sesungguhnya) adalah Tuhan yang hadir/tampak (Immanent).

Satu lagi pendapat dapat kita kutip dari Waldemar Stöhr dan Uskup B. Sinaga. Ya (Tuhan) di Benua Atas, Ya (Tuhan) di Dunia ini. Dia mencipta dunia ini, Dia juga yang terus bekerja di dunia ini. Tuhan sang Pencipta-nya orang Batak Toba adalah “satu kesatuan”, yang di Benua Atas dan di dunia ini (well-balanced whole of God’s transcendence and immanence).

Kalau memang demikian gambaran permasalahnya, berarti akar atau sumber dari adat kita itu tidak satu, melainkan bermacam-macam. Kalau memang beragam, bagaimana kita dapat menelusuri sebab dari keruhnya air itu ke hulu? Apa lagi yang dapat jadi acuan untuk memahami kepercayaan utama orang Batak Toba, falsafah yang memberi pemaknaan bagi hukum dan adat yang mereka jalani.

Jawabannya, sekali lagi sekalipun agak samar-samar, ada diberikan Bonar Victor Napitupulu. Pada awal tulisannya disebut “Apabila kita hendak membicarakan masa yang akan datang yaitu Adat Batak dalam era globalisasi, perlu dipelajari terlebih dahulu bagaimana lahirnya Adat Batak itu dahulu kala”.

Dapat dikatakan, usul dari Bonar Victor Napitupulu itu adalah, menggunakan sejarah sebagai alat analisis guna mengetahui apa sesungguhnya kepercayaan pokok atau falsafah orang Batak Toba.
Semua kita mengetahui, sejarah adalah segala sesuatu yang pernah terjadi dan yang berdampak kepada peri kehidupan seseorang atau sekelompok. Biar jelas, berdampak artinya yang membentuk dan mengubah kebiasaan, adat, hukum, dan kepercayaan (keyakinan).

Tentu banyak peristiwa (sejarah) serupa yang pernah dirasakan orang Batak (Toba), tetapi kita pilihlah satu dua yang terbesar sebagai alat (metoda) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tadi. Pertama, tentang asal muasal orang Batak (Toba) bermukim di Tanah Batak (sekitar tahun 1500-an). Kedua, ketika kuasa asing masuk dan mempengaruhi kehidupan di Tanah Batak (1822 – 1945). Ketiga, + 50 tahun kemerdekaan (1945 – 1997).

Dari tiga fase (searah) tersebut, kita berharap akan mengetahui gambaran dari kepercayaan utama dari orang Batak Toba itu. Kalau memang benar bahwa ketiga fase tersebut merupakan peristiwa besar bagi kehidupan orang Batak Toba, ketiga fase itulah yang dapat kita kategorikan seperti dalam pepatah, kalau airnya besar, ikannya juga besar, kalau persoalannya besar, dampaknya juga besar (molo balga aekna, balga do nang dengkena, molo balga gorana, balga do nang panghorhonna).

Asal mula dari Batak (Toba)
Dapat dikatakan, sekalipun ketiga perkara (fase) tersebut belum jelas bagi kebanyakan orang Batak, tetapi faktor paling gelap dalam sejarah orang Batak adalah asal muasal dari orang Batak bermukim di Tanah Batak. Menurut penelitian dari para sarjana, Batak Toba-lah induk (asal) persebaran dari semua sub etnik Batak lainnya (Angkola, Mandailing, Pardembanan, Pakpak, Simalungun, Karo). Hal lain yang kita ketahui tentang asal muasal dari Batak seperti kampung “Sianjur Mula-Mula” dan si Raja Batak, hanya diketahui dari mitos dan silsilah. Mitos mengatakan, Si Raja Batak diciptakan langsung oleh Tuhan melalui “Si Boru Deak Parujar” di Sianjur Mula-mula.Anaknya dua, Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, itulah moyang dari 2 kelompok besar marga Batak yaitu, Lontung dan Sumba. Dari kedua orang inilah baru dikenal silsilah sampai hari ini. Melalui (perhitugan) silsilah itu ditaksir, kira-kira 20 generasi lalu (20 x 25 tahun = 500 tahun) dari kedua Kakek itu sampai generasi sekarang. Jadi, sekiranya benar silsilah tersebut, kira-kira tahun 1500-an lah orang Batak bermukim di Sianjur Mula-Mula.

Banyak pendapat para sarjana mengenai asal-usul orang Batak, yang berbeda dari kisah mitos dan silsilah tersebut. Pendapat terkenal dari Robert Von Heine Geldern (“Prehistoric Research in the Netherlands Indies”, dikutip dari Science and Scientists in the Netherlands Indies, 1945, hal. 147 ff). Heine-Geldern menyatakan, melalui beberapa gelombang migrasi, Orang Batak berasal dari Yunan, Cina Selatan dan Vietnam Utara, + 800 SM. Selama itu sampai tahun 1500, Orang Batak mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha, kalau tidak langsung dari India, dari Jawa melalui Minangkabau.

Sekiranyapun betul pendapat para sarjana tersebut, rasanya tidak cukup juga menjadi bekal guna mengetahui korelasi adat dengan falsafah Batak Toba. Karena kita tidak ketahui pasti kira-kira bagaimana caranya mereka sampai ke tanah Batak sekarang, dan karena sebab apa pula mereka hijrah (eksodus) dari tempat asalnya. Tetapi sekalipun demikian (meragukan), orang Batak sangat kuat berpegang pada keterangan seperti itu, dan akibatnya juga tidak ada lagi hasrat untuk mencari informasi baru tentang asal mula orang Batak itu.

Sebenarnya, informasi terbaru yang dapat membantu kita sudah lama ada, yaitu tahun 1944, ketika terbit catatan perjalanan dari Tomé Pires yang disunting Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires : An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515. Tomé Pires adalah seorang apoteker bangsa Portugis, Kepala Gudang Rempah-rempah Portugis di Malaka. Kemudian menjadi Duta Besar di Cina. Ratusan tahun catatan itu terselip di perpustakaan Prancis, kemudian ditemukan Armando Cortesao tahun 1937. Setelah diterbitkan tahun 1944, barulah sedikit terang gambaran tentang Nusantara, termasuk Sumatera di awal abad XVI.

Catatan Tome Pires berawal dari Borneo (Kalimantan), Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Seram, Ambon, Maluku dan pulau-pulau Karimun. Dikatakan, Pulau Sumatera (Camotora) luas dan makmur. Di awali dari berita Pulau Weh yang dinamainya pulau-pulau Gomez (Gamispola). Dari pulau di ujung Aceh itu, terus dia menelusuri Selat Malaka, mengelilingi Sumatera menuju Pastima (Barat) ke Pansur (Pamchur) dekat Barus, dan kembali lagi ke Pulau Weh (Gamispola). Selain Gamispola dan pulau-pulau disekitarnya, Tomé Pires mencatat ada 19 Kerajaan (Reino) dan 11 Negeri atau terra di Pulau Sumatera ketika itu.

Selain Gamispola, dia kisahkan gambaran kerajaan Aceh (Achei) dan Biar Lambry, Pedir, Pirada, Pasai (Pacee), Batak (Bata), Aru, Arcat, Rupat, Siak (Ciac) Kampar (Campar), Tongkal (Tuncall), Indragiri (Amdargery), Capocam, Trimtall (Tongkal?), Jambi, Palembang (Palimbao) Negeri Sekampung (Çaçanpom), Negeri Tulang Bawang (Tulimbavam), Negeri Andalas (Andallos). Negeri Pariaman (Pirjaman), Negeri Tiku (Tiquo), Negeri Panchur, Negeri Barus (Baruez), Negeri Singkel (Chinqele), Negeri Meulaboh (Mancopa), Negeri Daya, Negeri Pirim (Pedir?). Disampaikan juga rentang daratan dari Siak ke Jambi, dari Pariaman ke Panchur ditepi Barat Sumatera, semuanya katanya, termasuk Negeri Minangkabau (Menamcabo), ada tiga rajanya. Ketika raja itu disebut bermukim di pedalaman.

Pires menyebut bayak emas di Sumatera, ada dua jenis getah kayu yang dapat dimakan, namanya Camphor, ada juga lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak tanah (pitch), belerang, kapas, rotan. Disebut juga banyak padi, daging, ikan (peda). Ada juga bermacam-macam minyak, tuak (wine) termasuk tampoy yang mirip anggur di Eropa. Bermacam-macam buah, seperti duren, yang enak sekali kata Pires [Artinya, begitu makmur wilayah itu ketika itu].

Banyak negeri itu sudah memeluk agama Islam (Moor), tinggal sedikit yang bertahan memuja berhala (heathen). Di tepi pantai menuju Timur Sumatera, dari Selat Malaka sampai ke Palembang semua raja disana sudah beragama Islam, tetapi setelah lewat Palembang sampai ke Gamispola masih pemuja berhala, seperti raja-raja di pedalaman. Pires mengatakan bahwa dia sering mendengar berita tentang kebiasaan makan manusia di negeri pemuja berhala itu, misalnya dalam hal seorang tertangkap musuh.

Aceh adalah kerajaan pertama yang diamati Pires disekitar Selat Malaka bagian Sumatera, baru kemudian wilayah Lambry. Agak masuk ke dalam itulah kerajaan Biar, jadi diantara Aceh dan Pedir. Keseluruhan wilayah yang disebut tadi tunduk pada kerajaan Aceh.

Raja Aceh sudah beragama Islam, dan dikenal sebagai raja yang berkuasa disekitar kawasan itu. Bangsa Portugis menuding, terkadangraja Aceh masih melakukan perompakan di laut (bajak Laut). Sekali merompak bisa menggunakan sekitar 30-40 sampan (Panchara). Aceh disebut banyak menjual daging, beras, bahan pangan lainnya, arak setempat. Ada juga disebut lada, sekalipun tidak banyak.

Ketika itu, kerajaan Pedir masih bermusuhan dengan Aceh, sangat menderita katanya Pedir diperlakukan oleh Aceh. Belum lama sebelum saat itu, Pedir katanya merupakan kerajaan yang disegani, dan sangat kaya dari hasil perdagangan. Banyak tadinya dari kerajaan yang sudah dikuasai Aceh, tunduk pada Pedir, seperti Aeilabu, Lide, dan Pirada. Sempat juga Pedir berkuasa di gerbang Selat Malaka bersaing dengan Pasai. Kerajaan Pedir masih tetap bertahan sampai tahun 1510, Ibukotanya (basis) sekitar 3 km ke arah hulu sungai. Sampai pada saat berita itu dicatat (1513) banyak orang asing dari berbagai bangsa bermukim di Ibukota Pedir itu. Sekalipun berada dalam masa perang dengan Aceh, kemegahan dan kekayaan Pedir masih kentara.

Paling tidak katanya, 2 kapal dalam 1 tahun datang dari Cambay dan Benggala ke Pedir, 1 kapal dari Benua Quelim (Negeri Keling), dan 1 dari Pegu. Apabila musim angin laut tiba, segera berangkatlah banyak “yung” dan perahu, sekitar 20, berisi beras ke Trengganu, Kedah, dan Barus. Tetapi setelah Malaka ditaklukkan Portugis tahun 1511, mulai melemah perdagangan Pedir, terlebih setelah sultannya meninggal, Muzaffar Shah. Ada dua anak turunannya, tapi masih kecil karena itu terjadilah perebutan kekuasaan diantara punggawa-punggawa Pedir. Pedir sudah menggunakan uang. Uang kecil disebut ceitis, uang nilai besar disebut drama, bahan dari emas. Sedangkan uang Portugis (Cruzado) dinilai setara 9 drama.

Sesudah Pedir itulah kerajaan Pasai (dikenal sebagai Camotora atau Sumatera). Pasai ketika itu sedang naik daun, segera setelah Portugis menguasai Malaka. Sebelah Utara Pasai, itulah kerajaan Pirada, dan ke arah Selatan itulah kerajaan Batak (Bata). Kerajaan Pasai, wilayahnya masih terus sampai tepi laut ke arah Barat itulah Lautan Hindia.

Para pedagang dari segala penjuru angin, selain pedangang dari Timur, pada berdatangan ke Pasai, seperti pedangang Rume [Bizantium?], Turki, Arab, Parsi, Gujarat, Keling, Benggali, Melayu, Jawa dan Siam. Tetapi kalau pedagang dari Timur, perginya ke Malaka. Karena Saudagar dari Timur adalah pedagang-pedagang besar katanya. 10 x Pasai belum dapat mengimbangi Malaka.

Kebanyakan orang Pasai katanya, adalah campuran turunan Benggali/ Keling dan orang Pasai asli. Ibukota Pasai itulah yang disebut Sumatera, penduduknya sebanyak 20.000 orang, jadi sudah terbilang besar. Raja Pasai sudah memeluk Islam 60 tahun sebelum tahun 1513. Raja yang digantikannya masih pemuja berhala, sedikit demi sedikit digerogoti saudagar-saudagar beragama Islam. Setelah masuk Islam, muncullah paradigma baru, siapa saja yang berani dapat membunuh raja, asal beragama Islam. Kalau berhasil (membunuh) jadi raja dia. Pandangan ini katanya berasal dari Benggala, ketika itu masih hidup pandangan seperti itu di Benggala.

Nah, ke arah Selatan Pasailah letak Kerajaan Batak (Bata). Ke arah Selatan Kerajaan Batak terletak Kerajaan Aru. Raja Batak bernama Raja Tamiang (Tomyam), nama itu kemungkinan mengambil nama salah satu sungai di daerah itu bernama Tamiang, seperti pernah diberitakan seorang Portugis lain, Castanheda. Raja Tamiang katanya menantu dari Raja Aru, ketika itu.
Seorang Portugis lainnya, Pinto, mengabarkan bahwa Raja Batak itu namanya Raja Timur Raya.

Raja Tamiang atau Raja Timur Raya ini sudah beragama Islam, tetapi kadang kala masih mau merompak di laut (bajak laut). Salah satu kapal yang pernah dirompaknya adalah Kapal Flor de la Mar (Bunga Laut). Inilah salah satu dari 4 kapal armada yang dipimpin Gubernur Jenderal Portugis, Alfonso de Albuquerque dari Malaka ke Goa. Tepat pada tanggal 1 Desember 1511, kapal tersebut kandas ketika mendekati Pasai. Banyak meninggal, terluka, raib semua muatan kapal itu, dan banyak harta benda dirampas, tetapi kalau Albuquerque melarikan diri.

Negeri Batak mengekspor beras, buah, arak (tuak), madu, lilin, kapur barus (kamper), terutama minyak tanah (pitch) dan rotan. Tentu kita tidak heran kalau Raja Timur Raya, Raja Batak itu kaya raya. Raja ini pemberani, dia berani melawan kerajaan Pasai yang besar, termasuk melawan mertuanya sendiri, Kerajaan Aru. Tetapi, perang yang paling sering terjadi adalah melawan penghuni pedalaman.

Kira-kira demikianlah satu informasi yang sangat berharga mengenai asal mula orang Batak.
Apa kaitan (makna) dari keterangan ini dengan permasalahan yang tadi disebut di atas?

Melangkah mengikuti hati nuraninya untuk menggapai kemajuan (situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak).
Kalau kita lihat peta, Kerajaan Batak ini dapat dikatakan terletak di sepanjang Langkat – Deli – Siak di pantai timur Sumatera, terus ke Alas – Gayo – Simalungun di bangian tengah, dan bisa jadi sampai ke Singkil – Barus di pantai barat Sumatera. Kalau demikian, siapa yang bermukim di sekitar Danau Toba? Kalau sekiranya ada sedikit kebenaran dari silsilah orang Batak Toba, berarti sekitar 1500-anlah mereka mulai bermukim disitu bersamaan dengan ketika kerajaan Batak masih tegak dipimpin Raja Tomyam atau Raja Timur Raya.

Merujuk pada keterangan di atas, jadi muncul pertanyaan besar (baru), siapa yang berdiam di dekat Danau Toba itu, dan kenapa mereka tetap menamai diri Orang Batak sampai sekarang, padahal kerajaan Batak tadi sudah tidak eksis? Apakah mungkin mereka termasuk daerah taklukan Raja Tomyam, atau mungkin dibawah kendali para Panglima yang tidak bersedia menganut Islam? Atau mungkin sudah lebih dulu mereka bermukim di sekeliling Danau Toba baru kemudian menjadi Islam kerajaan Batak, dan karena itu mereka memutus hubungan dengan Kerajaan Batak tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah semestinya lebih dulu kita jawab, baru kita dapat merangkak menelusuri kebenaran itu ke arah hulunya. Terus terang harus diakui bahwa belum cukup keterangan dari sejarah guna menjawab pertanyaan-pertanyan seperti tersebut di atas. Namun demikian, dengan keterangan yang ada ini, menjelaskan kepada kita beberapa persoalan.

Pertama, mungkin sudah tidak betul pemahaman kita selama ini bahwa Toba merupakan induk/asal persebaran dari orang Batak seluruhnya. Yang lebih benar barangkali, tidak sekaligus (atau bergelombang-gelombang) rombongan orang Batak eksodus dari dekat Tamiang ketika mereka hendak mencari tempat permukiman baru di sekitar Danau Toba, jadi dinamai orang Toba, demikian juga Simalungun, Pakpak, Karo, Silindung, Pardembanan, Sipirok, Angkola, Mandailing, dan lain sebagainya. Barangkali sesama mereka masih bergaul dan saling berkunjung, kalau memungkinkan, dan melalui (relasi) itu menjadi terpeliharalah adat dan identitas (marga) kebatakan dahulu yang mereka bawa dari tanah asal. Tetapi, lama kelamaan karena sulitnya komunikasi, mungkin lebih mudah bagi beberapa kelompok menjalin hubungan dengan orang Batak yang sudah Islam dipesisir dan juga dengan orang asing. Lama kelamaan, menjadi semakin berbeda pula mungkin adat istiadat dan bahasa mereka.

Kedua, kalau disimak dari mitos dan silsilah itu, langsung dari Tuhan diturunkan Si Raja Batak melalui Si Boru Deak Parujar. Ini berarti, mereka tidak lagi mengakui bahwa mereka berasal dari daerah kekuasaan Raja Timur Raya. Putus sudah pertalian (hubungan) mereka, jejak kakinyapun tidak akan pernah lagi diinjak, asap perapiannyapun tidak lagi dilirik (bogas ni patna so ra degeon, timus ni apina na so ra idaon). Kalau demikian, mungkin orang-orang yang keras hati Batak yang baru ini, orang yang berani merintis jalan baru. Mereka adalah orang yang meretas jalannya sendiri, mencari dan menggapai perikehidupan yang lebih baik. Bukan tipe yang pasrah pada keadaan, yang mudah menyesuaikan diri. Mereka adalah orang-orang perintis kehidupan baru, dan pionir yang cerdas dan bijak menghadapi segala tantangan.

Agar tampak lebih jelas sifat yang kedua itu, kita akan coba membandingkan Batak “baru” ini dengan orang Australia si putih mata (white Australians). Kita bandingkan, karena agak banyak kemiripan sejarah diantara keduanya.

Keduanya sama-sama orang yang hijrah (Batak menghijrahkan diri, Australia Putih diasingkan). Sama-sama memutuskan hubungan mereka dari tanah asalnya. Batak dipisahkan gunung dan lembah, Australia Putih dipisahkan laut, gunung dan lembah.

Orang Australia (putih) pertama kali hadir di Benua Australia pada tangal 26 Januari 1788. Pada hari itu, diturunkan mereka dipinggir pantai di Teluk Botany (New South Wales, Australia), 548 laki-laki dan 188 perempuan. Merekalah orang Austalia putih pertama, semua mereka adalah orang buangan dari Inggris/Irlandia selaku orang hukuman (convicts). Mereka jauh berbeda dari imigran Eropa pertama ke Amerika,kebanyakan berperilaku sopan dan penganut agama (pilgrims).

Latar belakang orang Australia putih pertama itu berpengaruh terhadap karakter mereka sampai sekarang. Seperti ditulis seorang Australia (Rob Goodfellow, Australia in Ten Easy Steps), sangat berbeda sekali orang Australia dengan orang lain di dunia ini. Kalau kebanyakan orang merayakan kemenangan, kejayaan, atau kegagahan seorang panglima, orang Australia sebaliknya, merayakan peristiwa kekalahan. Pada setiap tanggal 26 Januari itu, minum-minum arak (grog) orang Australia sambil menyebut-nyebut nama Ned Kelly, seorang Australia pertama dari Irlandia, seorang berkumis dan setengah gila, berpakaian kaleng karatan yang memerangi (menembaki) musuhnya untuk mendirikan Republik Victoria. Pada tanggal 27 April, orang Australia bermabuk-mabukan kemudian tidur mendengkur sampai siang hari untuk merayakan kekalahan serdadu mereka pada peperangan Gallipoli.

Pendek kata, karakter orang Australia, “Aussie Battler”, adalah bahwa tekad kerja keras, itulah yang lebih berharga dibandingkan keberhasilan suatu pekerjaan. Mencoba jauh lebih berharga daripada berhasil. “Triying” is afforded more support and symphaty than “succeeding”. Orang yang “gagal” dan menjadi “lemah” karena terus menerus berjuang melawan yang kuat, itulah orang terhormat dan disegani, bukan raja, atau pemenang, atau si kaya. To struggle establishes a “Battler’s” Credentials. To Fail heroically proves it.

Ketiga, kalaulah betul orang Batak (Toba) yang berdiam di sekitar Danau Toba itu dahulu, adalah orang-orang yang meninggalkan Kerajaan Batak di bawah kekuasaan Raja Tamiang (Tomyam), semata karena meneruskan dan melestarikan “kebatakan” mereka, tentu semuanya itu akan tercermin dari watak, hukum, dan adat kebiasaan mereka. Kalau begitu, kira-kira bagaimana gerangan watak atau “partondion” mereka itu?

PARHATIAN SI BOLA TIMBANG, PARNINGGALA SI BOLA TALI
(Adil, Tigor (tulus, hormat), dan Belas Kasih (elek))
Seperti telah disinggung di atas, sudah cukup banyak penelitian para sarjana mengenai adat, hukum dan partondion Orang Batak (Toba). Tetapi sekalipun demikian, belum ada dari antara mereka yang menguji pendapatnya itu dengan asal mula berdiamnya Orang Batak di sekitar Danau Toba. Sekarang, setelah kita beranikan melacak gambaran dari daerah asal itu, rasanya tidak lagi sulit menghubungkannya dengan adat, hukum, dan partondion dari Orang Batak (Toba).

Kalau ditilik dari nama “Batak” yang mereka pertahankan, menjadi gampang ditelusuri bahwasanya mereka tetap memelihara adat, hukum, dan keyakinan yang diciptakan oleh moyang mereka ketika kerajaan Tomyam belum menganut Islam. Seperti yang sudah dibahas oleh cerdik-cendekia, Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Perapian), Tondi – Sahala (Roh-Pancaran Roh), dan Tuhan Tri Tunggal (Debata na Tolu), itulah kira-kira rangkuman dari adat, hukum dan kepercayaan atau partondion mereka.

Kita coba sejenak merenungkan/meresapi perasaan orang-orang yang melangkah mengikuti nalurinya merengkuh peri kehidupan yang lebih baik, yang meninggalkan kejayaan dari rajanya sendiri, seperti yang dialami Orang Batak. Tentu mereka tidak lagi bersandar pada kekuasaan raja yang mereka tinggalkan itu. Sekiranya ada diantara mereka berniat menjadi raja, tentu akan mendapat tentangan, dari sesama mereka yang baru hijrah (eksodus), karena mereka tentunya tidak akan mau lagi menderita seperti halnya di bawah kekuasaan Tomyam. Tetapi bagaimana mereka (mengatur) hidup kalau tidak memiliki raja? Jawabnya, kalau tidak ada raja, mesti ada norma yang mengatur agar dapat hidup tertib layaknya sebuah komunitas (rombongan), satu masyarakat, satu bangsa. Bagaimana mungkin menegakkan suatu hukum sementara tidak ada seorang raja yang berwibawa, dihormati, dan berkuasa?

Pertanyaan yang berat ini dijawab Orang Batak yang baru itu demikian. Jawabnya , harus ada norma (kaidah) yang bagus yang tidak berubah-ubah, seperti prisip moral bersama. Hal itu tampak jelas dari doa-doa ahli pemujaan (Parbaringin), yang juga berfungsi sebagai norma (hukum). Dikatakan : Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali. Pamuro so marumbalang, parmahan so marbatahi. (Perilaku adil, tulus, tidak memihak, akan dipatuhi sekalipun tidak menggunakan senjata).

Makna dari rapalan doa sekaligus sebagai norma ini, hendaknya setiap Orang Batak bersikap adil dan imparsial (songon hatian na so ra teleng, na satimbang). Hatinya harus lurus layaknya seperti mata bajak membelah tali. Harus bisa terjamin padi tidak dimakan burung sekalipun tidak dijaga, dan ternak aman di ladang sekalipun tanpa alat lecut. Artinya, hidup berjalan aman dan tertib bukan karena kuasa kerajaan (umbalang, botahi), melainkan semata-mata karena ada norma (hukum). Jadi Roh (sahala adalah kekuatan yang tampak dari Roh) kehidupan Batak adalah Adil, Jujur, dan Belas Kasih. Dari partondion seperti itulah muncul sahala, ialah kekuatan dengan kuasa untuk mengarungi kehidupan yang lebih baik di setiap bidang.

Norma ini, tondi ini, tampak sangat jelas pada falsafah Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Perapian). Adil terhadap dongan tubu (kerabat semarga), tigor (jujur dan hormat) pada hula-hula (kerabat marga istri/ibu), dan welas kasih terhadap gelleng (kerabat yang mengawini anak perempuan). Tetapi tidak ada lagi seseorang yang menjadi raja, yang berkuasa, berwibawa terus menerus, segenap orang menjadi memiliki kuasa dan wibawa. Agar bisa berlangsung situasi seperti itu, perbuatanlah yang menjadi tumpuan dari kewibawaan dan kejumawaan itu, bukan lagi takdir, bukan pula nama besar (gelar, harta, jabatan, pangkat). Agar (kondisi) itu tampak dalam kehidupan sehari-hari, lahirlah aturan adat Dalihan Na Tolu, yang membenarkan silih ganti posisi pada segenap Orang Batak selaku dongan tubu, hula-hula, atau gelleng, supaya silih berganti pula kebagian sahala.

Barangkali itu sebabnya lahir ungkapan, sisoli-soli do adat, siadap ari gogo ( memberi dan menerima adat silih berganti, membantu dan dibantu adalah keseharian). Jadi prinsip Dalihan Natolu adalah silih berganti, bukan “kau beri dulu baru saya kasi” (quid pro quo) seperti sering dipahami sekarang ini.

Bukankah demikian indah dan dalamnya partondion, hukum dan adat Batak itu? Kalau terasa sulit dicerna indah dan dalamnya hukum dan adat Batak seperti itu, mari kita coba sejenak kita bandingkan dengan falsafah Jawa. Dikatakan dalam pepatah jawa, ngluruk tanpa bala, ngalahke tanpa ngasorake (berperang tanpa pasukan, mengalahkan tanpa mengejek). Kalau sekiranya didengar Orang Batak itu dahulu, mungkin mereka akan katakan “ah, lebih baik jangan menyerang, kendati tanpa tentara, lebih baik jangan mengalahkan kendati tanpa menghina.

Begitu sucinya partondion itu hingga susah melaksanakannya di kehidupan sehari-hari. Tetapi sesungguhnya, itulah “partondion” yang hidup dalam perilaku Sisingamangaraja. Wibawa kerajaannya tegak kendati tidak ada pasukan, tidak ada prajurit, dan tidak memungut pajak. Suatu hari, di hutan Dairi, ketika istirahat dari pengejaran Belanda, Sisingamangaraja XII, berulang-ulang mengatakan : bukan karena hutang moyang saya, hutang Bapak saya, atau hutang saya sendiri, sebab saya mengalami penderitaan ini, semata karena tondi dan sahala dari Mula Jadi Na Bolon saja. (Baca buku tulisan Prof. Dr. W.B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, 1983).

Datang kekuasaan asing : mali tondi? (hilang nyali, ciut)
Partondion seperti dijelaskan di atas, semakin lama semakin berubah, terutama setelah masuk kekuasaan asing. Dari tahun 1500-an sampai 1820-an, sebelum masuk kekuasaan Eropa menyentuh Orang Batak, dapat dikatakan tidak banyak yang diketahui tentang kehidupan mereka.

Sekalipun demikian diketahui ada berita dari Zendeling Inggris, yaitu R. Burton dan N. Ward, tahun 1824, yang sampai ke lembah Silindung. Kabar itu tercatat di “Report of a Journey into The Batak Country in the Interior of Sumatera in the year of 1824” dalam buku, Transaction of the Royal Asiatic Society, I, 1827. Berita itu menyatakan : banyak penghuni lembah itu, dan kelihatan hidupnya berkecukupan. Tidak kurang dari 5000 orang menyambut mereka, dan semua berperangai lembut dan tertib (with kindness and respect).

Dapat diduga dari cerita itu, bisa jadi sudah makmur kehidupan Orang Batak di sekitar Danau Toba itu, kendati tidak ada seorang raja yang berwibawa dan berkuasa melindungi dan memerintah (nearly stateless) mereka. Kenyataan ini diterima para sarjana peneliti Batak, seperti dikatakan oleh Lance Castle dalam disertasinya, “The Political Life of a Sumateran Residency : Tapanuli, 1915 – 1940”. Disertasi tersebut ditulis tahun 1972, meneliti dampak penjajahan terhadap kehidupan orang Batak.

Sekalipun demikian, hidup yang makmur tanpa satu kerajaan yang melindungi dan memerintah, rupa-rupanya sempat menimbulkan arogansi dan tinggi hati bagi Orang Batak. Tiap Orang Batak menganggap dirinya raja, sebab itu mereka tidak lagi mengenal ragam kekuasaan di dunia ini. Mereka pikir langit tanah Batak adalah langit yang tertinggi, karena tidak ada pembanding, tidak seperti pengalaman orang Aceh, Melayu atau Minangkabau.

Segala “partondion” yang bagus tadi mungkin menjadi rusak tidak lama setelah kedatangan R. Burton dan N. Ward. Berawal dari perang Padri mengusir Mandailing, kira-kira 1824. Raja Gadombang dari Mandailing Godang meminta tolong kepada Belanda melawan Padri. Terjadilah perang selama tahun 1830-an. Belanda mengalahkan Padri di Padang Bolak (Tuanku Tambuse) tahun 1838. Sejak itu menjadi terpacaklah kekuasaan Belanda di Tanah Batak (1843).

Kita duga, menjadi hilang kepercayaan diri (mali tondi) orang Batak, menghadapi keadaan masa itu. Yang sudah merasa raja punya langit tertinggi dalam waktu lama, menjadi pecundang mereka. Tetapi, Orang Batak di Selatan tampak tidak bisa menerima status pecundang (looser). Kalau demikian, apa akal untuk tidak menjadi pecundang? Jawabnya mungkin –hilang kepercayaan diri- itulah yang menjadi masalah besar pertama yang menerkam (kekuatan) tondi orang Batak. Mereka mengatakan mungkin, lebih baiklah berbaur dengan para pemenang. Karena itu, mereka menjadi bersama-sama memerangi kerabat mereka Orang Batak yang ada di Utara, sampai Bakkara, bahkan sampai membunuh Sisingamangaraja X.

Bukan hanya itu, banyak Orang Batak dari Selatan itu menjadi malu sebagai Orang Batak, terlebih yang berasal dari Mandailing. Mereka menjadi mengaku turunan Iskandar Zulkarnain, bukan lagi si Raja Batak. Adat pun dicampakkan, dan hal itu didukung Belanda. Sampai menjelang kemerdekaan Indonesia, sering terjadi konflik antara Batak dari Angkola – Sipirok – Padang Bolak – melawan Mandailing, seperti peristiwa Sungai Mati, Medan tahun 1922. Orang Mandailing melarang Orang Batak Angkola – Sipirok-Pandang Bolak mengubur mayat kerabatnya di Sungai Mati, karena sudah lain Mandailing dari mereka. Bukan lagi Batak katanya yang berasal dari Mandailing.

Di Tanah Batak Utara pun, masuklah Zending Barmen, Jerman, kira-kira 1864, yang dibawa oleh Nommensen. Di desa Dame, di lembah Silindung, beberapa Orang Batak menjadi Kristen, tetapi katanya masih banyak ditemui sisa-sisa perbudakan. Nommensen mulai mengajari mereka tentang kesehatan, seperti menjerang air (karena Orang Batak biasanya meminum air tanpa rebusan), mencuci pakaian, membuat WC. Karena itu, menjadi sehat-sehat jemaatnya Nomensen, ketika bayak orang mati di Silindung sewaktu terjadi muntaber akibat peristiwa bumi hangus yang dilakukan Padri.

Melihat itu, kagum semua orang Batak di Silindung, mereka percaya Tuhan yang teratas, Tuhan yang sesungguhnyalah Tuhan yang disembah Nomensen. Menjadi berlomba-lomba raja-raja di Silindung memeluk Kristen, seperti Raja Jakobus Lumban Tobing dan Raja Pontas Lumban Tobing. Dan semakin percaya mereka bahwa para Zendeling itu adalah pemegang sahala (wibawa) kerajaan.

Demikian besar keyakinan orang Batak seperti itu, itu sebabnya mereka meninggalkan keyakinan mereka yang asli. Fakta ini dibenarkan oleh seorang Putra Batak (Toba) sendiri, seperti Andar Lumban Tobing (Das Ambt in der Batak – Kirche). Dia katakan, wibawa atau kharisma para Zendeling itu semakin besar ketika Arriens, Gubernur Sumatera menginap di rumah Nommensen, tahun 1868. Semakin bertambah orang masuk Kristen, tetapi Nommensen-pun rupanya agak ragu juga soal kekukuhan iman Kristen mereka, karena itu dilaranglah mereka melakukan upacara-upacara (Sakramen) Batak, seperti hari pekan nan empat, membunyikan gendang, pesta bius, dan lain sebagainya.

Yang kita sebut belakangan ini adalah Sakramen yang dikenal Orang Batak. Melalui media itulah sampai pesan partondian dan pemahaman para pendahulu kepada turunannya. Setelah dilarang Orang Batak Kristen menjalankan itu, begitu pula Batak Islam di Selatan, tentu semakin melemahlah partondian mereka kalau dibandingkan dengan partondion mereka ketika eksodus dari kerajaan Batak yang dipimpin Raja Tomyam ke sekitar Danau Toba tahun 1500-an.

Pendek kata, di selatan dan di utara, Orang Batak menjadi gamang menghadapi suasana baru, bahkan menjadi hilang kepercayaannya atas warisan yang telah dicipta moyang terdahulu. Tidak berlebihan kalau dikatakan, Orang Batak menjadi hilang nyali (mali tondi).

Semakin pudarlah partondian yang bagus itu, ketika semakin banyak kekuatan dunia diperkenalkan Belanda kepada Orang Batak. Dari tahun 1890, dibentuk Belandalah afdeeling (Kabupaten) yang baru di Tanah Batak Utara. Akan dibentuk pula perangkat (pemerintahan) terendah dalam Kerajaan Belanda, tetapi kekuasaan tertinggi yang dikenal Orang Batak, sejak mereka eksodus dari Raja Tomyam. Waktu itu, hanya perintis (pendiri) kampunglah kekuasaan tertinggi yang dikenal Orang Batak di sekitar Danau Toba. Jadi, harus perintis kampung itulah mestinya menjadi raja yang baru di bawah Belanda kalau mengikuti pemahaman kekuasaan menurut Batak. Tetapi, begitu banyak raja kampung katanya, 8000 banyaknya, seperti disampaikan Lance Castles menurut catatan Residen Tapanuli, V.E. Korn (1938).

Karena demikian banyaknya, tentu Belanda kesulitan untuk mengendalikan keseluruhannya. Itu sebabnya, Belanda terpaksa mengelompokkan beberapa dusun (huta) menjadi satu hundulan (kampung), dan para raja huta tersebut memilih salah satu dari mereka menjadi Raja Panutan (Raja Ihutan). Dan tidak lama kemudian, kelompok dusun yang bernama hundulan itu diubah menjadi hampung (kampung) dan negeri. Penguasanya dinamai hapala hampung atau hapala nagari (Kepala Kampung atau Kepala Negeri).

Menyikapi kenyataan seperti itu, para raja huta menjadi saling berperang, karena semuanya nafsu menjadi raja. Untuk meredam keributan diantara raja-raja yang berebut status raja panutan itu, Belanda merekayasa, dikukuhkanlah jadi raja pandua mereka (para raja huta) yang bersuara lantang dan lebih gigih melakukan perlawanan. Sekalipun demikian, tentu saja tidak ada lagi kedamaian di Tanah Batak, karena perseteruan para raja huta itu berlanjut kepada turunannya. Karena itu semakin melemahlah semangat (partondion) dari Dalihan Na Tolu.

Belanda pusing menghadapi keadaan seperti itu. Karena itu, kemudian Belanda membentuk perangkat (instansi) yang lebih kecil, seperti hapala rodi (kepala rodi). Berebut lagi orang Batak meminta jadi kepala rodi. Pengurus gerejapun tidak mau ketinggalan. Mereka juga meminta jabatan sintua (penatua) menjadi jabatan pemerintahan. Belanda mengabulkan.

Karena kebiasaan menghadapi konflik seperti itu, Orang Batak menjadi pintar mengajukan keberatan (protes) seperti mudahnya menarik nafas. Bertimbun-timbun disebut pengajuan surat rekkes (rekwest, Belanda) , sehingga banyaknya timbunan rekkes (keberatan) itu sampai setinggi gunung. Menurut catatan Korn tahun 1938, seperti dikutip Castles, ketika akan mengukuhkan kepala negeri Pohan Hasundutan masuklah surat rekkes sebanyak 450 halaman dari dewan adat, dan beberapa meter tarombo (silsilah) guna mempertahankan calon mereka. Di Panggabean –Sitompul, harus diberesi 71 calon kepala negeri, 57 rekkes permohonan, 10 meter silsilah, dan 128 halaman catatan, bertimbun di Kantor Pemerintah (Gubernement) di Tarutung. Di Toba pada tahun 1917, wilayah yang paling ribut – menurut kontrolir Scheffer, setidaknya ada 60 rekkes satu bulan, dan masih ada 745 perkara yang tidak putus. Setiap hari jumat, kontrolir memberi waktu katanya untuk mendengar pengaduan, tetapi hanya sedikit yang dapat ditangani.

Kita tidak heran kalau Belanda menyatakan, penyakit terbesar pada Orang Batak adalah penyakit getol berperkara (perkaraziekte), gila hormat (eigenwaan), dan juga haus kekuasaan (haradjaonzucht). Tetapi hal yang paling berat, ialah bahwa semuanya hal itu bisa terjadi (biang keladinya) karena partondion Orang Batak yang berlandaskan sahala, dari situlah muncul hasrat untuk meraih Sahala Kekuasaan, Sahala Kehormatan, Sahala Kekayaan. Menjadi dosa sahala itu bagi Orang Batak menurut pemahaman Belanda dan para sarjana Barat kelak.

Jadi, kira-kira 100 tahun penjajahan, telah berhasil merusak seluruh nilai-nilai luhur dalam partondion Orang Batak. Dan pernah Sarjana asing, seperti Lance Castles, berlebihan menyimpulkan bahwa semua perbuatan baik yang dilakukan Orang Batak tidak benar itu bersumber dari budi yang luhur (tondi na pir), melainkan karena haus akan sahala kehormatan dan sahala kekuasaan. Itulah katanya sebab musabab segala perkara pada Orang Batak sampai hari ini. Seperti Vergouwen menyatakan, dalam perkara paling remehpun, tetap saja Orang Batak berebut, itulah sebab ada julukan “gulut di imput” (rebutan bulu halus).

Tetapi kalau kita dengan tulus dan konsisten menelusuri keluhuran nilai-nilai itu ke akarnya (sumbernya), tampaklah bahwa tidak demikian halnya Orang Batak ketika mereka menjejakkan kakinya pada awalnya di sekitar Danau toba. Keadaan sebenarnya, ialah siapapun yang berani seperti halnya moyang kita dahulu, hijrah ke sekitar Danau Toba, meninggalkan kekuasaan dan kedigdayaan dari bangsanya di sebelah selatan dari Aek Sitamiang sana, tentu mestinya mereka adalah orang-orang yang cerdas dan kreatif mengatasi segala persoalannya.

Meretas Jalan menuju Abab XXI (Manotas Dalan Tu Abad XXI)
Jadi kita ulangi menggaris bawahi : pada awalnya, boleh dikatakan, manusia yang berani menuruti nuraninya nenek moyang kita dahulu, yang meninggalkan kejayaan dari Kerajaan Batak di sisi Selat Malaka, yang mengawali kehidupan di sekitar Danau Toba. Mereka memiliki karakter yang selalu berusaha meningkatkan taraf hidupnya, bukan tipe yang kompromistis terhadap tantangan, bukan pula tipe yang mudah melebur pada situasi tidak menentu (majemur). Manusia-manusia yang suka mencari jalan baru mereka, perintis, yang cerdas dan kreatif menghadapi tantangan.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, raiblah segala sifat-sifat –mulia- tadi, dan lupalah keturunan Batak itu akan partondion (nilai luhur) kakek moyangnya, tetapi sekarang mereka tampil seperti kehilangan kepercayaan diri. Mereka bertengkar soal sepele seperti dalam hal pelaksanaan adat itu, seperti sahala kekuasaan, sahala kehormatan, dan sahala kekayaan (jabatan, pangkat, nama, harta).

Apa arti semua itu? Apakah salah orang meraih jabatan, pangkat, nama, harta? Tidak salah, tetapi menjadi jungkir balik segala keluruhan nilai itu pada partondion orang Batak (Toba) setelah kedatangan kekuasaan asing. Setelah penjajahan itu, buat orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam seringnya bukan karena keyakinan atau mencari kepercayaan baru, tetapi karena ingin meraih jabatan, pangkat, nama atau harta. Kalau Orang Batak menempuh pendidikan, seringnya bukan karena haus akan pengetahuan, tetapi sekedar ingin meraih jabatan, pangkat, nama atau harta. Menjadi Pegawai Negeri Orang Batak, seringnya bukan karena ingin mengabdi dengan baik, tetapi karena ingin meraih jabatan, pangkat, nama, harta.

Gambaran orang Batak sekarang samalah dengan seorang pemain tenis yang haus gelar juara, maka ketika bertanding matanya selalu melirik scoreboard. Bagaimana mau bisa menang petenis seperti itu, sekalipun kehausan akan gelar juara? Akan menjadi pecundang orang-orang seperti itu untuk selamanya.

Kalau demikian, bagaimana dengan kita, kemana kita melangkah, utamanya keturunan kita, turunan Orang Batak ke depan.
Kalau direnungkan keluhuran partondion seperti telah dijelaskan tadi, hanya satu jawabannya. Karena kita sudah pernah jadi perintis jalan, kita akan selamanya menjadi perintis jalan ke masa depan. Ada 3 sifat yang harus selalu dilestarikan orang perintis jalan agar berhasil.

Pertama, kembangkan bakatmu (topot be gumena). Gume artinya talenta. Jadi kembangkan bakat pribadi menjadi kemampuan yang handal. Jangan memilih jalan merah, tetapi niatnya mau meraih hijau, seperti menjadi kepala kampung hanya karena ingin berkuasa, seperti bersekolah tujuannya untuk kaya, atau menjadi ulama atau pendeta agar dihormati. Kasarnya, kalau bakatmu bandit, jadilah bandit yang benar.

Kedua, jangan takut menerima orang pendatang, sekalipun miskin, sekalipun berat (unang mabiar manjalo naro, agia pe hansit, agia pe borat). Jangan takut, artinya harus ada perhitungan (calculated risk). Tidak ada persoalan yang tidak selesai, tetapi ya kita harus kerja keras untuk memahami persoalan itu dan sekaligus mencari solusinya.

Ketiga, marbahul-bahul na bolon alias berjiwa terbuka, berbelas kasih. Hanya mereka yang terbukalah yang mampu kreatif, itulah tabiat pokok dari perintis jalan (pionir). Beragamapun harus terbuka, bergaul terbuka, berpikirpun terbuka.

Bagaimana caranya menanam dan menumbuhkan sifat-sifat itu kepada turunan kita?
Pertama, kita merendahkan diri merenungkan kembali seluruhnya “partondion” (nilai-nilai luhur) warisan nenek moyang kita. Artinya, kita harus kerja keras mengungkap sejarahnya Batak.
Kedua, pilar dari partondionta, itulah empat serangkai : Parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali. Pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Pilar dari hukum dan adat kita ialah Dalihan Na Tolu. Empat Serangkai dan Dalihan Na Tolu itulah yang tidak bisa bergeser dan tidak bisa berubah, kalau mau berkehidupan yang baik Orang Batak, karena itulah yang menjadi dasar penghidupan kita ratusan tahun lampau. Lainnya itu, tidak lebih dari pelengkap, yang bisa berubah dan bisa dicampakkan. Karena itu, rajin, cerdas, dan kreatiflah kita mengharmonikan semua itu pada masa sekarang dan untuk masa mendatang.

Ketiga, seluruh pelosok dunia ini sudah menjadi lapangan kita berkiprah mencari pencerahan, meningkatkan taraf hidup. Tinggalkanlah bekas luka dan borok yang diakibatkan oleh penjajahan. Kita menyongsong semua hal yang patut (kita miliki) untuk kehidupan mendatang, seperti pemikiran, pengetahuan, kreatifitas, dan teknologi. Kita harus menjadi yang tebaik di tiap-tiap bidang yang kita pilih dalam hidup kita, tidak lagi perlu menjadi nomor satu (nomor wahid), melainkan terbaik pada bidang yang kita pilih. Kasarnya, saya ulangi sekali lagi, kalaupun jadi bandit, jadi bandit yang terbaiklah, yang cerdas dan kreatif.

Sampai disini untuk kali ini. Horas tondi madingin, pir tondi matogu.
________

No comments:

Post a Comment