Pages

Tuesday, March 13, 2012

Abad ke-11 Suku Batak sudah Buka Diri dengan Suku Lain


Minggu, 22 Mei 2011
Abad ke-11 Suku Batak sudah Buka Diri dengan Suku Lain

Medan, Kompas - Pernyataan suku Batak mengisolasi diri dari interaksi dunia luar patah. Berbagai bukti arkeologis menunjukkan, abad ke-11, suku Batak sudah berinteraksi secara intensif dengan suku Aceh.

Demikian antara lain mengemuka dalam diskusi dan bedah buku karya Daniel Perret dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient berjudul Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut di Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (6/7). Kegiatan yang digelar Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis)-Unimed itu, Daniel hadir sebagai pembicara kunci. Prof Usman Pelly dan Prof BB Simanjutak sebagai pembanding.

Daniel menjelaskan, paling tidak sejak abad ke-9 sudah ada interaksi antara masyarakat Barus dan dunia internasional melalui perdagangan. Salah satu buktinya, di Lobu Tua, dekat Barus, peneliti menemukan pecahan keramik China dan pecahan kaca dari Timur Tengah dari abad ke-9. Peneliti menemukan prasasti bertarikh 1088 M tentang sekelompok orang Tamil, anggota perkumpulan perdagangan, menetap di Lobu Tua.

”Ini mematahkan berbagai pendapat, masyarakat Batak tertutup dari interaksi sosial sampai masa kolonialisme dan misionaris abad ke-19,” kata Ketua Pussis-Unimed Ichwan Azhari.

Salah satu yang menuding suku Batak mengisolasi diri adalah Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao. Ichwan menambahkan, pada abad ke-11 sampai ke-14, hubungan orang Batak dengan Aceh erat. Hal itu bisa dilihat dari makam Raja Sidabutar di Tomok, Samosir. Di Kompleks pemakaman Raja Sidabutar, banyak relief yang menggambarkan sosok berpeci atau berpakaian seperti orang Aceh. Banyak juga profil wajah yang menunjukkan ada orang Aceh selain orang Batak di sana. ”Beberapa raja Batak juga belajar strategi perang ke Aceh. Pemicu hubungan baik itu adalah komoditas perdagangan dari pedalaman,” ujarnya.

Para peserta diskusi mempertanyakan awal mula penyebutan nama ”Batak”. Mereka penasaran karena masih simpang siur mengenai istilah itu. Menurut Daniel, terlalu sedikit data yang bisa dijadikan dasar untuk mencari asal-usul istilah. ”Kalaupun harus dipaksakan melakukan penelitian berdasarkan data yang sedikit itu, hasilnya tidak akan maksimal,” kata Daniel.

Buku ini berdasarkan penelitian empat tahun sejak tahun 1990 di Barus dan Padang Lawas untuk disertasi yang dia pertahankan di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, tahun 1994. Tahun 1994, Institut National des Langues et Civilisations Orintales memberikan penghargaan Jeanne Cuisinier kepada Daniel atas karyanya itu. (MHF)


Sumber: 

No comments:

Post a Comment