Pages

Sunday, July 26, 2020

Mitos Si Raja Batak dari Pusuk Buhit Dikenalkan Sarjana Teologi

Minggu, 01 Mar 2020 11:13 WIB • Dilihat 1,049 kali • https://mdn.biz.id/o/102008/ Mitos Si Raja Batak dari Pusuk Buhit Dikenalkan Sarjana Teologi Antropolog dari Unimed, Erond Damanik (topi) dalam sebuah diskusi di Literacy Coffee, belum lama ini. (jones gultom) Medanbisnisdaily.com-Medan. Antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Erond Damanik menyebut, yang mengenalkan mitos Si Raja Batak di Pusuk Buhit adalah para sarjana teologi di Sumatra Utara (Sumut). Mitos itu dikenalkan di Toba, Simalungun, Angkola dan sebagian Karo. "Harusnya mereka berbicara sesuai profesi keagamaannya, bahwa asal manusia adalah Adam dan Hawa. Sialnya hal itu dianggap kebenaran absolut. Suatu paradoks keilmuan," kata Erond kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu malam (29/2/2020). Dikatakan Erond, WM Hutagalung mengkonstruksi Si Raja Batak tahun 1926 dalam rangka sayembara Van Hollenhoven. Penulisan ini terkait sengketa Batak dan bukan Batak antara Mandailing dan Angkola soal kuburan sei mati 1922-1925. Tahun 1928, Abdullah Lubis menolak Mandailing disebut Batak dan menulis leluhurnya dari Etnik Loeboes di dekat Riau yang berasal dari Sumbar dan Turki. Dijelaskan Erond, konsep identitas Batak, tidak bisa dipisahkan dengan konsep identitas Melayu. Kedua pelabelan itu merupakan polarisasi yang dilakukan kolonial. Konsep Melayu disematkan kepada masyarakat pesisir yang dominan Islam, sedangkan Batak kepada masyarakat pegunungan yang masih menganut paganisme (untuk kemudian memeluk Kristen-red) BACA JUGA: Pernyataan Soal 6 Etnik di Kawasan Danau Toba Bukan Batak Bertendensi Politik Identitas "Melayunisasi dan Batakisasi adalah penegasan kolonial selama era kolonialisme. Kedua konsep itu diambil dari catatan pengelana asing sejak abad 13. Yang pagan di gunung disebut Batak dan dipisahkan berbeda dengan yang Islam di pesisir. Kedua konsep ini masuk dalam literatur di Indonesia serta dibuat pada ensiklopedia Indonesia," ujar Erond. Sedangkan hibriditas keduanya, sambung Erond, baru terjadi pasca kolonialisme. Sebelumnya tidak ada. Politik kolonial nyata membuat polarisasi. Karo di gunung dan di Jehe (Medan, Binjai dan Langkat) dipisah karena agama pagan di gunung dan Islam di Jehe. Boang di Pakpak digabung ke Aceh Selatan dan dipisah dari Boang di Barus. Semuanya dipertegas dengan menarik batas-batas etnik dipertegas geografi yang diisi oleh atribut agama. Semua terjadi dan bagian dari politik kolonial untuk segregasi. Reporter JONES GULTOM Editor SASLI PRANOTO SIMARMATA Sumber: https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2020/03/01/102008/mitos_si_raja_batak_dari_pusuk_buhit_dikenalkan_sarjana_teologi/

Friday, July 24, 2020

BATAK MUSLIM

BATAK MUSLIM Oleh; Shohibul Anshor Siregar … Gugatan terhadap Batak muncul dari hamper semua tak terkecuali orang Toba sendiri meski jumlah yang disebut terakhir ini jauh lebih kecil. Penulis Edward Simanungkalit berusaha membongkar sejumlah mitos yang dibangun tentang Batak berdasarkan fakta Iptek. Bagaimana membantah hasil pemeriksaan DNA yang menunjukkan hasil yang berbeda dari yang dipahami selama ini? Ini antara lain pokok pikiran dia ajukan. Kita ketahui semangat dari sebagian orang Batak untuk menjadi bagian dari keturunan Jahudi juga diruntuhkan. … Selanjutnya: Dapat dibaca di koran WASPADA, 27 Maret 2017 https://issuu.com/waspada/docs/waspada__senin_27_maret_2017/17

Batak Hasil Konstruksi Kolonial

Batak Hasil Konstruksi Kolonial Posted by: Dahlan Batubara (Redaksi) in Berita Sumut 24/10/2017 0 814 Views Para peserta Focus Group Discussion di VIP Restoran Hotel Madani, Senin (23/10/2017) bertajuk Mandailing bukan Batak Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Mandailing bukan Batak yang berlangsung di VIP Restoran Hotel Madani, Senin (23/10/2017) diselenggarakan oleh Yayasan Madina Centre mencuatkan kajian-kajian akademik antropologis tentang fakta-fakta tidak adanya etnis Batak di Sumatera Utara. Dari sisi pendekatan antropologis menyimpulkan tidak ditemukannya konsep ‘Batak’ pada manuskrip-manuskrip kuno kepunyaan enam etnis Karo, Simalungun, Pakpak, Mandailing dan Toba. Bahkan, konsep ‘Batak’ tidak dikenal di setiap masyarakat keenam etnis itu sejak prakolonial. Dan justru “batak” dinilai sebagai hasil konstruksi kolonial Belanda dalam memperkuat kepentingan eksistensi kolonisasi. Sehingga “Batak” adalah ahistori. Hadir dalam FGD peneliti dan sejarawan Dr Phil Ichwan Azhari, antropolog Prof Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Medan (UNIMED) Erron Damanik serta puluhan peserta dari berbagai kalangan serta kalangan wartawan. Di dalam diskusi itu, sumber ilmiah dicuatkan dalam membedah “Batak” itu, mulai dari catatan-catatan Tiongkok era prakolonial, catatan-catatan Eropa era prakolinial serta hasil-hasil penelitian para sejarahwan dan pakar-pakar antropologi. Kesimpulan Focus Group Discussion itu juga sejalan dengan artikel Edward Simanungkalit, pamerhati sejarah yang meramu berbagai hasil penelitian antropolog dan dimuat di sopopanisioan.blogspot.com. Disebutkan, di tahun 2013, Balai Arkeologi Medan mengadakan survey dan ekskavasi di seluruh Kabupaten Samosir dan mereka menemukan bahwa corak budaya yang dominan di sana adalah peninggalan budaya Dongson dan mereka memperkirakan usianya sekitar 600 – 1.000 tahun atau tidak lebih dari 1.000 tahun. Temuan ini membantahkan Sianjur Mulamula dan Si Raja Batak versi Belanda yang tidak lebih dari 1.000 tahun. Ini menjadi permasalahan, karena situs-situs arkeologi di dekat tanah Karo, Simalungun dan Mandailing sudah lebih dari 1.000 tahun. Pembuktian antroplogis ini menegaskan bahwa Mandailing/Karo/Simalungun jauh lebih tua dibanding umur Si Raja Batak. Kecerobohan konstruksi kolonial Belanda yang menciptakan sosok Si Raja Batak dan Sianjur Mulamula itu dapat dipahami karena pada masa itu kecanggihan ilmu pengetahuan belum tinggi sehingga memaksakan mitos masih mudah diterima kaum yang berada di pegunungan. Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak bulan September 2010, Dr. Ichwan Azhari, sejarawan dari Unimed, dalam tulisan hasil penelitiannya berjudul: ”Konstruksi Batak dan Tapanuli di Dalam Ruang Administratif di Sumatera Utara Sejak Abad 19” (2011) menuliskan tentang keraguan para missionaris Kristen menggunakan kata “Batak” untuk kawasan pedalaman Toba. Keraguan para misionaris itu dikarenakan kata “Batak” itu tidak dikenal oleh orang “Toba” ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Tetapi, pada tahun 1878 lembaga kantor pusat missionaris Jerman di Barmen mengeluarkan peta resmi misionaris yang dicetak dan disebarluaskan berbentuk buku berjudul Mission Atlas (1878). Dalam buku ini terdapat delapan peta yang di antaranya berjudul “Die Sudlichen Batta-lander auf Sumatra” (Tanah Batak Selatan di Sumatra). Judul-judul peta “Der Nordlichen Battalander Die Sudlichen Batta-lander” ini merupakan titik awal konstruksi “Batak Utara” dan “Batak Selatan” yang dilakukan para misionaris Jerman yang dipakai pemerintah kolonial Belanda dan konstruksi itu berpengaruh sampai saat ini. Fakta ini menunjukkan, konstruksi muslihat “penciptaan Batak” itu melibatkan para missionaris dari Jerman yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Sementara itu, raja-raja Panusunan dari Mandailing Godang dan Mandailing Julu telah pula menerbitkan petisi Mandailing Bukan Batak. Petisi itu ditandatangani di Sopo Godang Kotasiantar, Panyabungan, Mandailing Natal, Sabtu (21/10/2017). Petisi itu akan dikirim kepada pemerintah pusat dan lembaga-lembaga negara. Para Raja-raja Panusunan melahirkan petisi itu sebagai upaya mempertegas jatidiri dan eksistensi bangsa Mandailing yang telah lama memiliki peradaban jauh berabad-abad sebelum kolonial Belanda mengkonstruksi Batak. Editor : Dahlan Batubara Sumber: https://www.mandailingonline.com/batak-hasil-konstruksi-kolonial/

Mandailing dan Kebenaran yang Memerdekakan

Mandailing dan Kebenaran yang Memerdekakan Posted by: Dahlan Batubara (Redaksi) in Editorial 15/11/2017 0 710 Views Candi Sipamutung Keluhuran ilmu pengetahuan adalah anugrah yang sangat penting yang diberikan tuhan kepada manusia. Dengan ilmu pengetahuan, kita semakin memahami semua yang ada di sekeliling kita, termasuk sejarah masa lampau. Kebenaran mampu diungkap manusia dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan itu. Oleh karenanya, wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasululah SAW adalah “iqra”. Bacalah. Kebenaran itu memerdekakan. Demikian diungkap Edward Simanungkalit, seorang penggiat penulisan sejarah. Berdasar itu, sejarah masa lalu Mandailing hanya bisa diungkap melalui kajian ilmiah serta penggalian-penggalian dan peneliatian yang bersandar pada ilmu antropolgi, arkeologi, entomusikologi dan disiplin ilmu pengetahuan lainnya. Oleh karenanya, kita sangat menghoramati setiap hasil-hasil penelitian yang dilakukan para akademisi dalam menggali sejarah Mandailing dan etnis lainnya di Sumatera Utara. Hasil-hasil kajian dan penelitian itu akan membawa kita pada kebenaran satu fakta-fakta otentik di masa lalu. Karenanya, pengungkapan fakta-fakta sejarah akan melapaskan kita dari belenggu mitos, asumsi maupun kekeliruan memahami masa lalu. Ketika etnis Mandailing, Karo, Pakpak dan Simalungun menunjukkan jatidirinya secara tegas dan konsisten harus dipahami sebagai bagian dari kemampuan mereka berpijak pada ilmu pengetahuan serta tak tertambat dalam belenggu mitos yang dipaksakan. Tentunya, kita sepakat bahwa belenggu kekeliruan akan berakibat kian menjauhnya kita dari esensi kebenaran. Karena kita akan tersesat memahami peradaban kita masa lalu yang akan berdampak pada kesesatan di masa kini. Karena sejarah adalah rangkaian perjalanan suatu bangsa masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Berdasar itu, kita tak boleh keluar dari jalur kebenaran, karena kebenaran itu memerdekakan, merdeka dari kesesatan, agar tak terkurung dalam kegelapan kekeliruan peradaban.*** Sumber: https://www.mandailingonline.com/mandailing-dan-kebenaran-yang-memerdekakan/ Comments

Monday, May 18, 2020

Resume Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan

Resume Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan

418


Seminar Identitas Karo dalam Persfektif Kebinekaan. (Foto. ASARPUA.com/handover)

ASARPUA.com -Medan – Seminar Identitas Karo dalam Perspektif Kebhinekaan yang digelar atas prakarsa Karo Bukan Batak (KBB) diketuai Iwa Brahmana bekerjasama dengan S1 dan S2 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU) di Raz Hotel Jalan Dr. Mansur Medan, Selasa 22/01/2019) berlangsung sukses.

Dari lima pemakalah yaitu DR Suprayetno Ketua Jurusan FIB USU, I Ketut dari Bali, Dr Dardanela, Dr Eron Damanik dan Wara Sinuhaji melahirkan beberapa poin resume bernas.

1. Ruang lingkup sosial masyarakat Karo, tidak hanya didaerah pegunungan saja, tetapi juga sampai ke pesisir/ pantai. Tanah Karo tidak hanya kabupaten Karo, tetapi juga meliputi, Aceh tenggara, Deli dan Serdang, Langkat, Binjai, Simalungun dan Kota Medan. Memiliki bahasa dan budaya khas yang berbeda dengan etnis lain yang bertetangga langsung dengan Karo.

2. Berdasarkan asal usul nama Karo, secara historis dapat dikaitkan dgn sebuah nama kerajaa Haru/ Aru. Secara tradisi lisan nama Karo diambil dari panglima perang India Selatan, ini juga diperkuat secara data arkeologis bahwa Karo selalu dikaitkan dengan kehadiran pedagang dari India Selatan. Karenanya eksistensi Karo sudah ada sejak masa pra kesultanan, masa kolonial dan pasca kolonial.

3. Etnis Karo terbentuk sendiri, dengan ruang lingkup sosial budaya sendiri, terbentuk oleh kesepemahaman masyarakatanya, akan tindakan tindakan adat istiadat serta sistem kekerabatan identitas masyarakatanya, secara wilayah maupun kekerabatan. Identitas suk Karo meliputi; Merga dimana setiap orang Karo masuk dalam Merga Silima. Bahasa Karo, memiliki khas, perkembangan dan pertumbuhan tersendiri yg berbeda dgn bahasa etnis sekitarnya. Kesenian Karo dengan segala alat musik dan juga ornamen pakaiannya yg berciri khas dan berkarakter khas, begitu juga tarian dan nyanyiannya. Serta adat istiadat Karo yang khas pemberlakuan adat dan budayanya yg diaplikasikan didalam pelaksanaan saat kelahiran, perkawinan dan kematian. Serta memiliki DNA yang dekat dengan suku Gayo.

4. Suku Karo merupakan masyarakat yang sudah melalui berbagai “gelombang” budaya, hingga kolonialisme. Sedari dulu masyarakat Karo dihadapakan dengan pilihan “primordial” mengutamakan kelompoknya sendiri, namun tidak tergoda. Ini terlihat sejak masyarakat Karo dataran rendah menganut islam, kekerabatan dengan Karo dataran tinggi tetap berjalan dengan baik, hingga masa kolonial. Bahkan suku Karo lah yang mempelopori pembubaran NST (Negara Sumatera Timur), karena bagi orang Karo, kekerabatan dalam kemajemukan itu lebih baik diharmoniskan dengan tetap saling menghormati tanpa harus mengecilkan salah satunya. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa kedinamisan suku Karo ketika berdampingan dengan etnis2 lain dapat terjalin dengan baik.

5. Sejarah Karo, bisa ditelusuri dari ruang lingkup budaya, ekonomi, dan jg politik masa lalu, jejak arkeologi, lingusitik dan juga geneologi, memetakan bahwa Karo sangat dekat dengan etnis etnis diluar sumut seperti Simalungun, Alas dan Gayo. Kedekatan yang tdk hanya lisan, namun juga dibuktikan pada saat bekerjasama melawan kolonialisme. Sistem budaya kekerabatan Karo justru sangat menerima kebinekaan. Budaya ertutur, sangkep nggeluh dan runggu adalah budaya membangun jaringan atau koneksitas. Dan tujuan semua itu adalah untuk harmonitas atau dalam bahasa Karo disebut dengan berbagai kosa kata; erlayas, erturih, erorat, erlikas, erluhu, yang maksudnya semua mengarah kepada harmonisasi dalam berbagai hal. Oleh karenanya kebhinekaan sudah sejak dahulu kala dipraktekkan oleh masyarakat Karo. Sehingga selogan BHINEKA TUNGGAL IKA sangat bisa diterima oleh masyarakat budaya Suku Karo. Orang Karo menerima orang luar menjadi kerabat dalam pernikahan atau pengangkatan sebagai anak menjadi bagian Karo. Falsafah Karo ketika berjuang; Tuah, Sangap dan Mejuah juah. Secara pergaulan filosofinya adalah surat ukat (give and take), memberi lalu menerima.

6. Bahwa dengan mengenal serta memahami identitas dan ciri khas Karo secara lengkap dan utuh, berdasarkan kajian kajian ilmiah kesejarahan, arkeologi, linguistik, budaya dan antropologi. Maka masyarakat umum baik nasional maupun internasional, bahkan masyarakat Karo itu sendiri, akan mengerti bahwa konsep Karo, sebagai masyarakat budaya mandiri, etnis berbahasa sendiri, suku dengan sistem sosial tersendiri dan kolektifitas sendiri menunjukkan bahwa etnis Karo itu berbeda dgn etnis2 lainnya disamping beberepa kesamaan. Namun justru perbedaan itulah yang menjadikan Karo berciri dan patut dilestarikan serta dijaga heritage nya agar tidak terjajah, punah atau bahkan tergantikan dengan “jargon jargon” yang justru menyimpang dari pemahaman akan pengenalan masyarakat Suku Karo itu sendiri.

7. Semoga kesadaran generasi penerus masyarakat Karo, dapat kembali dikonstruksikan kearah yg lebih jelas dan benar. Sehingga tidak mengalami pengkaburan identitas, melemahnya rasa cinta akan pelestarian budaya Karo, yang mengakibatkan masyarakatanya justru semakin bertindak dan bersikap individualistis. Namun diharapkan, kembali seperti semangat para nenek moyang yg sudah mewariskan budaya baik pada suku Karo, tetap bekerjasama dalam membangun serta pemberdayaan masyarakat suku Karo, agar suku Karo tetap menjadi warisan dunia, yang anti rasialis namun tetap mengikuti telaah ilmiah akademis. 8. Karo adalah; adat istiadat seni dan budaya Karo. Identitasnya adalah suku Karo, bukan sub suku batak, akan tetapi suku Karo bangsa Indonesia.

Rekomendasi;
A. Walaupun kita secara perspektif flesibel menerima banyak hal, kita harus memperkuat dan mempertahankan identitas serta ciri khas kita sebagai masyarakat suku Karo agar tetap bisa mengikuti dinamika globalisasi, lestari dan ikut mewarnai kebinekaan nusantara juga menjadi warisan dunia. Sehingga diskusi2 kecil maupun pertemuan2 lanjutan yg berkaitan, perlu diadakan setelah seminar ini.

B. Agar para generasi penerus, dan juga para ilmuwan serta para pemerhati budaya memiliki referensi yg patut mengenai “Identitas Karo dalan perspektif Kebinekaan”, serta mengingat betapa antusianya masyarakat. Maka perlu dibuat sebuah buku yg mengkaji dan menulis secara holistik ttg hal itu. Untuk kemudian menjadi kepustakaan yg mampu memberi pengertian dan pemahaman semestinya terhadap masyarakat suku Karo, yang adalah bagian dari kebinekaan Nusantara. (as-01)

Sumber:

https://asarpua.com/resume-seminar-identitas-karo-dalam-persfektif-kebhinekaan/


ANTROPOLOG UNIMED: BATAK BUKAN ETNIK

ANTROPOLOG UNIMED: BATAK BUKAN ETNIK

Menurut Erond L. Damanik, penyebutan Batak dan Melayu diberi oleh pengelana asing untuk membedakan kelompok masyarakat yang hidup di gunung dan di pesisr. Embrio pembeda lainnya adalah Agama.
28 Pebruai 2020

Perempuan Karo masa lampau.
Perempuan Karo Masa Lampau

Oxonews- Antropolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Erond L Damanik MSi, menyatakan bahwa etnik Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, dan Toba bukanlah bagian dari Batak.
 
Menurut Erond, penyebutan Batak dan Melayu diciptakan pengelana asing pada abad ke 14 untuk membedakan kelompok masyarakat yang hidup di gunung dan di pesisir.
 
Kelompok pesisir disebut Melayu, karena mereka cenderung beragama Islam dan kelompok di pegunungan adalah Batak, karena ketika itu mereka menyembah berhala (pagan), belum memiliki agama.
 
 "Ini adalah konsep yang muncul setelah adanya konsep Melayu. Batak ini adalah konsep yang muncul setelah eksisnya suku Melayu," ucap Erond, seperti kami lansir dari tagarid
 
Melayu dan Batak, menurut Erond adalah konsep geografis untuk membedakan populasi antara orang yang sudah beragama Islam dan masih menganut agama pagan, penyembah berhala, atau leluhur (agama asli).
 
"Kenapa mereka disebut Melayu karena sudah beragama. Kenapa mereka disebut Batak karena masih menganut agama asli. Itu saja embrionya. Kita bisa lihat uraian mendalam dalam tulisan Daniel Peret di bukunya Batak dan Melayu. Dalam buku itu dia menyebut atau merujuk dalam tulisan misalnya Wiliam Mardest di tahun 1774, bahwa dia juga menolak homogenisasi yang disebut batak," kata Erond.
 
Erond menyebut struktur sosial atau organisasi sosial terhadap enam etnik yabg selama ini disebut Batak juga tidak ada kemiripan, misalnya Toba dengan dalihan natolu, Simalungun Pentagon, dan Karo Siwalujabu. "Sedangkan pakaian, coba kita sandingkan pakaian mereka, tidak mirip," katanya. 
 
Ia memberi contoh mengenai dalihan natolu dalam hubungan antar perkawinan, antara hula-hula, dan itu bukan khas Sumatera Utara. Menurutnya hal ini juga ada di masyarakat Prancis. 
 
Kemudian dongan sabutuha, sanina, atau anakberu, Erond menyebut tidak bisa diklaim bahwa itu adalah khas Batak. "Itu adalah global. Dalam artiologi, itu dikembangkan juga oleh Tri Angel Kuliner atau hubungan segitiga kuliner yang ada pada masyarakat Prancis," kata Erond.
 
Jika enam etnik itu bukan Batak, bagaimana dengan silsilah marga ?
 
Menurutnya itu bermula dari tulisan Hutagalung dengan tulisan "Silsilah Bangso Batak", marga itu hanya sebuah konstruksi. dalam buku Hutagalung tersebut, dia menulis silsilahnya, tahun 1926, hanya paradigma kontruksi dan tidak mengacu secara arkeologis. 
 
Erond mengatakan sebenarnya konsep Batak pertama sekali ada, bukan di Sumatera Utara, tapi Batak itu untuk menyebut pemukim di Aceh disebut Bateh.
 
"Pesisir disebut Melayu dan di pedalaman disebut Bateh, itu di tahun 1915. Sedangkan Batta ada di antara Lhokseumawe dan Aru di Pantai Timur Sumatera. Kemudian, Batak itu masuk ke Sumatera Utara ditambah adanya penelitian tahun 1925, itu yang dipakai sampai hari ini. Sedangkan (hubungan) marga itu adalah sebuah kontruksi yang ditulis oleh Hutagalung, dia berhasil membuat konstruksi itu," ucapnya.
 
"Kalau kita bicara asal-usul manusia, mana mungkin manusia itu dari gunung duluan baru ke pesisir. Harus dari pesisir duluan barulah naik ke pegunungan. Bukan dari gunung dulu baru ke pesisir. Masa dari gunung duluan baru datang ke Karo atau Simalungun. Terus manusia yang ada di gunung itu dari mana naiknya?" katanya.

Dijelaskan Erond, seharusnya pemukim yang pertama itu adalah yang mendiami daerah pantai. Kemudian, sesuai analisis arkeologi dan antropologi, adanya pemukim di pegunungan karena jumlah makanan yang semakin menipis di pantai, atau adanya serangan pihak musuh yang intens di pantai, membuat mereka mulai masuk ke pedalaman. (irf/






































Sumber: http://oxonews.co.id/index.php/humaniora/item/900-antropolog-unimed-batak-bukan-etnik

























































































































































Enam Etnik Danau Toba Bukan Batak

Enam Etnik Danau Toba Bukan Batak
Erond L Damanik MSi, mengungkapkan bahwa etnik Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, dan Toba bukanlah bagian dari Batak
Danau Toba (Foto: Tagar/Fetra Tumanggor)

Medan - Antropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Erond L Damanik MSi, mengungkapkan bahwa etnik Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, dan Toba bukanlah bagian dari Batak.

Orang yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan disebut Batak dan orang yang bermukim di pesisir disebut Melayu

Menurut dia, Batak hanya sebuah penyebutan yang sengaja diciptakan oleh orang asing pada abad 14 untuk melabelkan kelompok masyarakat. Di masa itu, mereka membuat atau mengelompokkan dalam dua wilayah, yaitu pegunungan dan pesisir.

Erond mengatakan kelompok pesisir disebut Melayu, karena mereka cenderung beragama Islam dan kelompok di pegunungan adalah Batak, karena ketika itu mereka lebih menyembah berhala (pagan), belum memiliki agama.

"Pertama bukan saya atau Erond Damanik yang menyebutkan bahwa enam etnik yang dipersamakan dengan Batak itu adalah Batak. Ada banyak riset, penelitian dulu yang mencoba menelusuri itu, dari mana munculnya Batak. Ternyata dalam buku ada banyak konsep yang dimunculkan. Ini ada konsep yang muncul setelah adanya konsep Melayu. Batak ini adalah konsep yang muncul setelah eksisnya suku Melayu," ucap Erond saat ditemui Tagar di ruang kerjanya, di Universitas Negeri Medan, Senin, 24 Februari 2020.

Tortor BatakTortor Batak. (Foto: Ist)

Ia mengatakan abad ke-14, ketika itu, datanglah para pengelana asing, dari Spanyol dan Portugis. Mereka sampai ke Sumatera bagian Utara yaitu Aceh dan Sumatera Utara. 

"Dalam kunjungan itu, mereka menemukan masyarakat yang disebut Melayu, artinya masyarakat Melayu itu bukan yang disebut Melayu yang hari ini, di abad ke 21 ini, tetapi masyarakat yang mengenakan identitas beragama Islam dan bisa ditelusuri dengan pakaian, atribut dan lainnya," katanya.

"Pengelana asing bisa melihat bahwa mereka sudah Islam. Interaksi perdagangan mereka juga sudah intens, itu juga ada di pesisir, mereka juga sudah bisa mengidentifikasi bahwa mereka menganut agama Islam. Dari pakaian dan lainnya. Maka oleh pengelana asing itu, mereka disebutkan Melayu," kata Erond.

Ia menambahkan tapi kemudian di luar pesisir, ada sebuah komoditas yang berasal tidak khas daerah pesisir seperti rotan, beras, lilin, dan lainnya. Itu berasal dari luar pesisir. Itu disebut dalam beberapa literatur dan itu berasal dari populasi atau masyarakat yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan. 

"Kemudian, informasi yang diperoleh dari orang pesisir menyebut bahwa mereka itu masih belum beragama, masih menyembah berhala, belum beradab. Kemudian datang si pengelana asing, disebutlah orang yang bermukim di pegunungan itu dengan sebutan orang Batak. Pengelana asing adalah penjelajah yang pernah singgah di Sumatera Bagian Utara, paling tidak di abad ke 14 atau 15," ucap dosen antropologi ini.

Kalau kita bicara asal-usul manusia, mana mungkin manusia itu dari gunung duluan baru ke pesisir.

Menurutnya, Melayu dan Batak adalah konsep geografis untuk membedakan populasi antara orang yang sudah beragama Islam dan masih menganut agama pagan, penyembah berhala, atau leluhur (agama asli).

Ia mengatakan dua konsep ini, Melayu dan Batak sama sekali tidak menyebut etnik, tapi lebih kepada identifikasi populasi masyarakat yang ada di pegunungan dan pesisir. "Orang yang bermukim di pedalaman atau di pegunungan disebut Batak dan orang yang bermukim di pesisir disebut Melayu," ujarnya.

Erond  DamanikAntropolog dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Erond L Damanik MSi (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

"Kenapa mereka disebut Melayu karena sudah beragama. Kenapa mereka disebut Batak karena masih menganut agama asli. Itu saja embrionya. Kita bisa lihat uraian mendalam dalam tulisan Daniel Perent di bukunya Batak dan Melayu. Dalam buku itu dia menyebut atau merujuk dalam tulisan misalnya Wiliam Mardest di tahun 1774, bahwa dia juga menolak homogenisasi yang disebut batak," kata Erond.

Ia mengatakan. menurut buku Daniel Perent, masyarakat di pegunungan di Sumatera Utara dan Aceh, tidak bisa disebut Batak atau homogen. Karena mereka adalah masyarakat yang heterogen.

"Misalnya dalam buku itu, ada tulisan, Papak Daera diartikan (Pakpak Dairi), lalu menemukan orangtuba (Orang Toba), menemukan orang Mandailing, Angkola sekitar Air Bangis. Itu untuk klasifikasi masyarakat yang ada di daerah pantai barat. Tidak ada sebutan Batak," kata Erond.

Seratus tahun kemudian, seorang peneliti dan penulis, Anderson juga menemukan masyarakat yang berbeda, sekitar tahun 1823. Dia menemukan orang Gayos (Gayo), Karaokarao (Karo), Semilongan (Simalungun). Jadi menurut Erond, dua ahli sudah menolak homogenisasi Batak.

"Batak itu sama sekali tidak memiliki akar sejarah yang dekat dengan mereka. Tulisan Anderson misalnya tentang Simalungun, dia menuliskan kata semilongan sebanyak dua kali, tidak ada kata Batak dalam tulisan itu, maksudnya orang orang Simalungun di tahun 1823," katanya.

Bagaimana dengan kemiripan bahasa, pakaian, dan budaya?

Erond mengatakan bahasa enam etnik itu jauh berbeda, begitu juga dengan pakaian. "Bahasa enam etnik itu tidak bisa disebut banyak kemiripan, bahasa aksara, organisasi sosial, dan bahasa mereka berbeda," katanya.

Ia menyebut struktur sosial atau organisasi sosial juga tidak ada kemiripan, misalnya Toba dengan dalihan natolu, Simalungun Pentagon, dan Karo Siwalujabu. "Sedangkan pakaian, coba kita sandingkan pakaian mereka, tidak mirip," katanya. 

"Kalau adat, ada banyak adat. Misalnya perkawinan atau kematian dimana-mana itu sama. Dalam antropologi itu namanya ritus peralihan. Ritus peralihan dimana mana-sama, itu sesuai dengan definisi artiologi oleh Arnol Margenap. Itu bukan khas di Sumatera Utara, ada ritus kelahiran, menjelang dewasa, perkawinan, di hari tua, dan lainnya itu sama dilakukan oleh kelompok di dunia ini," katanya.

Rumah BatakFoto bertahun 1910-1930, dua anak di pintu masuk rumah Batak (Foto: KITLV)

Ia memberi contoh mengenai dalihan natolu dalam hubungan antar perkawinan, antara hula-hula, dan itu bukan khas Sumatera Utara. Menurutnya hal ini juga ada di masyarakat Prancis

Kemudian dongan sabutuha, sanina, atau anakberu, Erond menyebut tidak bisa diklaim bahwa itu adalah khas Batak. "Itu adalah global. Dalam artiologi, itu dikembangkan juga oleh Tri Angel Kuliner atau hubungan segitiga kuliner yang ada pada masyarakat Prancis," kata Erond.

Apakah enam etnik tersebut berasal dari satu rumpun?

Erond menyebut bahwa semuanya satu rumpun. Sebab, seluruh penduduk Indonesia satu rumpun.

"Kita semua satu rumpun, yang terbangun dengan Indonesia, yang menyebar, ada yang menjadi Minang, Simalungun, atau Pakpak. Jadi mereka itu semua satu rumpun, kita memiliki kemiripan yang sama, DNA itu sejenis, DNA berbicara tentang kemiripan. Hanya saja ada beberapa perbedaan dengan Indonesia bagian timur, berbeda rambut dan ciri ciri fisik," kata dia.

Jika enam etnik itu bukan Batak, bagaimana dengan silsilah marga yang disebut saling berkaitan antara enam etnik tersebut?

Erond mengakui bahwa marga itu sebenarnya tidak saling bertautan. Menurutnya itu bermula dari tulisan Hutagalung dengan tulisan "Silsilah Bangso Batak", marga itu hanya sebuah konstruksi.

Menurutnya, dalam buku Hutagalung tersebut, dia menulis silsilahnya, tahun 1926, hanya paradigma kontruksi dan tidak mengacu secara arkeologis. "Dia rekonstruksi tokoh-tokoh imajiner legenda Batak, itulah Si Raja Batak. Si Raja Batak diturunkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta, Debata, lahirlah Si Raja Batak.

"Dalam buku itu Si Raja Batak anaknya tiga, kemudian bergenerasi lagi dan muncullah marga-marga di kalangan orang Toba. Disebutlah marga-marga, lalu ini berdiaspora sampai ke Karo dan Gayo. Kalau di Gayo dikenal dengan Batak 24, di Karo ada Perangin-angin, di Simalungun ada Damanik, sampai ke Mandailing ada Tanjung, Pasaribu, ini semua masuk. Itukan kontruksi. Konstruksi si Hutagalung berhasil membuat itu," katanya. 

Ia mengatakan sebenarnya konsep Batak pertama sekali ada, bukan di Sumatera Utara, tapi Batak itu untuk menyebut pemukim di Aceh disebut Bateh.

"Pesisir disebut Melayu dan di pedalaman disebut Bateh, itu di tahun 1915. Sedangkan Batta ada di antara Lhokseumawe dan Aru di Pantai Timur Sumatera. Kemudian, Batak itu masuk ke Sumatera Utara ditambah adanya penelitian tahun 1925, itu yang dipakai sampai hari ini. Sedangkan (hubungan) marga itu adalah sebuah kontruksi yang ditulis oleh Hutagalung, dia berhasil membuat konstruksi itu," ucapnya.

Menurutnya, tujuan rekonstruksi itu antara lain untuk mempersatuan enam etnik yang ada, kelompok etnik ini menyatu. Simalungun, Mandailing, Angkola dan lainnya, bahwa mereka satu leluhur Si Raja Batak.

"Memang dia (Hutagalung) berhasil untuk mengkontruksi itu, tapi pada akhirnya semua terjadi gontokan seperti sekarang ini. Ada Mandailing menolak disebut batak, Simalungun ada menolak Batak. Bahkan terakhir, Mandailing menghilangkan lebel Batak di nama depannya dan itu sudah diakui oleh Badan Pusat Statistik Pusat, di awal Februari 2020 ini," ucap Erond.

Orang BatakFoto bertahun 1894, sebuah keluarga besar Batak Toba (Foto: KITLV)

Selain itu, penyebutan enam etnik di Sumatera Utara bukan Batak terjadi pembicaraan dan penolakan dari beberapa kelompok. Misalnya mereka mengaku tidak setuju dengan hilangnya penyebutan Batak. Kemudian, Damanik tidak ada hubungannya dengan Manik yang ada di Toba.

"Terjadi perdebatan ketika membicarakan tentang penyebutan Batak. Padahal itu sudah terbukti bahwa Damanik tidak ada hubungannya dengan Manik di Toba. Sebagian orang menentang, menyebut bahwa Damanik berasal dari Manik yang ada di Toba. Itu saya bantah," ucapnya.

Ada beberapa pandangan yang membuatnya berpikir bahwa Damanik tidak berasal dari Manik yang ada di Toba. Pertama pandangan berdasarkan buku pertama yang menulis ini adalah Hutagalung tahun 1926. Menurutnya, paradigma yang digunakan Hutagalung adalah kontruksi, tidak mengacu kepada bukti arkeologis.

"Kalau kita bicara asal-usul manusia, mana mungkin manusia itu dari gunung duluan baru ke pesisir. Harus dari pesisir duluan barulah naik ke pegunungan. Bukan dari gunung dulu baru ke pesisir. Masa dari gunung duluan baru datang ke Karo atau Simalungun. Terus manusia yang ada di gunung itu dari mana naiknya?" katanya.

Ia mengatakan seharusnya pemukim yang pertama itu adalah yang mendiami daerah pantai. Kemudian, sesuai analisis arkeologi dan antropologi, adanya pemukim di pegunungan karena jumlah makanan yang semakin menipis di pantai, maka mereka mulai masuk ke pedalaman. 

"Atau ada serangan pihak musuh yang intens di pantai, maka mereka ke pedalaman atau pegunungan," kata Erond. []


Sumber:

https://www.tagar.id/enam-etnik-danau-toba-bukan-batak