Pages

Thursday, July 23, 2015

ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA

SERI MENGUBUR MITOS (5)
 
ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), menceritakan mitologi penciptaan. Menurut ceritanya,  bahwa Raja Ihatmanisia dan Boruitammanisia adalah penghuni awal Sianjurmulamula (Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa), yang dilahirkan penghuni langit ketujuh. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar ke seluruh penjuru bumi. Demikian diceritakan oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya yang laris manis itu.
                         
Othe                 
 Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.


Studi Genetik Orang Toba
        Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%.   Orang Taiwan  yang datang  ke Sianjurmulamula   adalah  suku Ami  dan  suku  Atayal  yang
merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini, mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dalam kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

         Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh, tetapi datang dari Taiwan. Oleh karena itu, Pusuk Buhit yang disebut-sebut sebagai lintasan naik-turun dari langit ketujuh ke Sianjurmulamula ternyata bukanlah fakta dan hanyalah mitos selama ini. Sianjurmulamula ternyata bukanlah Sianjurmulajadi – Sianjurmulatompa, karena Orang Negrito sudah datang ke Humbang sekitar 6.500 tahun lalu. Sementara Barus sudah menjadi bandar niaga internasional dengan penduduk multi etnis pada abad ke-9-12 Masehi. Jadi,  berdasarkan fakta-fakta tadi terbukti bahwa Sianjurmulamula bukanlah awal persebaran manusia, yang ternyata hanya merupakan mitos selama ini. ***



Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA; oleh Edward Simanungkalit.



(*)  Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban





Saturday, July 18, 2015

PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA

SERI MENGUBUR MITOS (4)
 
PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA
Oleh: Edward Simanungkalit *


Di dalam mitologi penciptaan menurut buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak”, yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:1-32), diceritakan bahwa penghuni awal Sianjurmulamula merupakan keturunan dari penghuni langit ketujuh, Si Borudeak Parujar dan Raja Odapodap. Mereka turun dari langit ketujuh dan kawin di bumi dengan kampung awalnya ialah Sianjurmulamula. Setelah mereka memiliki keturunan Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia, para penghuni langit ketujuh suatu kali secara beramai-ramai turun melalui puncak Pusuk Buhit ke Sianjurmulamula. Setelah misi mereka selesai, maka di bawah pimpinan Mulajadi Nabolon berangkatlah mereka kembali naik ke langit ketujuh melalui Pusuk Buhit disertai Raja Odapodap dan si Borudeak Parujar. Sedang Debata Asiasi dan Raja Inggotpaung tinggal di Sianjurmulamula untuk mengurus Raja Ihatmanisia dan Boru Itammanisia. Singkat ceritanya, mereka pun memiliki keturunan di Sianjurmulamula, dan Sianjurmulamula menjadi pusat awal persebaran manusia, karena dari sanalah manusia menyebar seluruh penjuru bumi.
Hasil gambar untuk pusuk buhit
                                                               Pusuk Buhit

Orang Negrito di Humbang
          Orang Negrito adalah ras Australomelanesoid, yang merupakan pendukung budaya Hoabinh, telah lebih dulu datang ke Humbang di Negeri Toba. Peter Belwood (2000:339) menulis bahwa 6.500 tahun lalu telah ada aktivitas manusia di Pea Simsim sebelah barat Nagasaribu, Humbang. Belwood sebenarnya merujuk kepada hasil penelitian paleoekologi yang dilakukan oleh Bernard Kevin Maloney di Humbang. Selain di Pea Sim-sim,  penelitian Maloney masih dilanjutkan  di Tao Sipinggan dekat Silaban Rura, di Pea Sijajap daerah Simamora Nabolak, dan di Pea Bullock dekat Silangit, Siborong-borong. Pendukung budaya Hoabinh itu datang melalui pesisir timur Sumatera bagian Utara dari dataran Hoabinh di dekat Teluk Tonkin, Vietnam.
          Orang Negrito ini memiliki ciri-ciri: berkulit gelap, berambut hitam dan keriting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta berbadan relatif kecil dan pendek. Berdasarkan kedekatan genetik yang ditemukan, maka diketahui bahwa mereka bermigrasi dari Afrika Timur melalui Asia Selatan terus Asia Tenggara hingga Papua. Mereka merupakan bangsa setengah menetap, pemburu, bercocok-tanam sederhana, dan bertempat tinggal di gua. Mereka juga menggunakan kapak genggam dari batu, kapak dari tulang dan tanduk, gerabah berbentuk sederhana dari serpihan batu, batu giling, dan mayat yang dikubur dengan kaki terlipat/jongkok dengan ditaburi zat warna merah, mata panah dan flakes. Makanannya berupa tumbuhan, buah-buahan, binatang buruan atau kerang-kerangan. Kebudayaan Hoabinh berasal dari zaman batu tengah di masa Mesolitik sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu.

Orang Taiwan di Sianjurmulamula
          Orang Taiwan dari ras Mongoloid sampai ke Sianjurmula-mula di sekitar 800 tahun lalu (+/- 200 tahun) berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Kabupaten Samosir pada Juli 2013. Dengan melakukan kegiatan ekskavasi dan survey arkeologi, maka disimpulkan bahwa para pendukung budaya Dong Son ini telah datang dari China Selatan melalui Taiwan, terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi. Kemudian terus ke Sumatera hingga sampai di Sianjurmulamula (Wiradnyana & Setiawan, 2013:7). Penulis lebih condong berpendapat bahwa mereka masuk dari Barus ke Sianjurmulamula mengingat Barus merupakan pelabuhan niaga internasional pada masa itu dan jaraknya  lebih dekat daripada pantai Timur.
          Budaya Dong Son ini merupakan hasil karya kelompok bangsa Austronesia dari ras Mongoloid, dan bangsa Austroasiatik juga umumnya dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son ini merupakan kebudayaan zaman perunggu di mana mereka  telah mengenal teknologi pengolahan logam, pertanian, berternak, menangkap ikan, bertenun, membuat rumah, dll. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal dan terampil menanam padi, memelihara kerbau dan babi, serta memancing. Mereka  juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, bukan hanya nelayan, tetapi juga pelaut yang melayari seluruh Laut Cina dan sebagian laut-laut selatan dengan perahu yang panjang bercadik dua.

Studi Genetik Orang Toba
          Mark Lipson (2014:87) meneliti bahwa DNA Orang Toba terdiri dari: Austronesia 55%, Austroasitik 25%, dan Negrito 20%. Orang Taiwan yang datang ke Sianjurmulamula adalah suku Ami dan suku Atayal yang merupakan suku asli Taiwan. Mereka merupakan keturunan suku H’Tin dari Thailand yang merupakan pendukung kebudayaan Austroasiatik. Suku H’Tin, pendukung kebudayaan Austrosiatik ini,  mengalami percampuran dengan pendukung budaya Dong Son dari kelompok kebudayaan Austronesia. Keturunan suku H’Tin yang sudah bercampur tadi inipun bermigrasi ke Taiwan membentuk suku Ami dan Atayal, sehingga kedua suku ini merupakan campuran Austronesia dan Austroasiatik. Mereka ini juga bermigrasi sampai ke Sianjurmulamula dan bercampur lagi dengan Orang Negrito yang lebih dulu tiba di Humbang, terbukti dari DNA Orang Toba yang memiliki unsur Negrito  (Lipson, 2014:83-90).

          Akhirnya, penghuni awal Sianjurmulamula ternyata bukan keturunan penghuni langit ketujuh yang naik-turun melalui puncak Pusuk Buhit, tetapi datang dari Taiwan. Pusuk Buhit tidak ada hubungannya dengan keberadaan Orang Toba, karena Orang Toba adalah campuran antara Orang Negrito dengan Orang Taiwan. Orang Negrito jauh lebih dulu datang ke Humbang daripada orang Taiwan datang ke Sianjurmulamula, sehingga terbukti bahwa bukan dari Sianjurmulamula awal persebaran manusia. Cerita Pusuk Buhit hanyalah mitos, bukan fakta. Pusuk Buhit, Dolok Pinapan, Dolok Martimbang, Dolok Sipisopiso, Dolok Simarjarunjung, Dolok Tolong dan dolok lainnya sama kedudukannya bagi Orang Toba. Artinya, Pusuk Buhit tidak memiliki kekhususan tersendiri bagi Orang Toba. ***

Catatan Kaki:
*** ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; dan, ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; oleh Edward Simanungkalit.

Saturday, July 11, 2015

JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO

SERI MENGUBUR MITOS (6)
 
JURUS PADOMUHON LANGIT DOHOT TANO
Oleh: Edward Simanungkalit


Ada satu ungkapan yang sering juga dilontarkan ketika sedang ngobrol di lapo atau di berbagai tempat lainnya. Kalau berbicara dengan pintarnya tanpa ada batas-batas atau norma-norma cerita tersebut dan tanpa jelas ujung-pangkalnya, maka dapat diberi komentar: “Molo mangkatai bayo an, mardomu langit dohot tano dibaen.” i.e.: “Kalau bercerita dia itu, maka dapat bertemu langit dengan tanah.” Ini menggambarkan suatu cerita atau pembicaraan yang tidak jelas arah dan batas-batasnya membuat tidak dapat dibedakan lagi antara langit dengan tanah, sehingga bumi dan langit menyatu.


Dalam hal marturiturian dan martarombo masalah mardomu langit dohot tano dapat muncul, karena marturi-turian bisa dilakukan tanpa batas dan cenderung sulit dicek dan diricek. Sebagai contoh dapat penulis kemukan kisah yang penulis karang sendiri seperti berikut:

Bermula ketika Amanlompas mengawini seorang perempuan yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki benama Sidungdunglangit dan Sihuntidolok. Setelah dewasa, maka berangkatlah kedua anaknya merantau berjalan ke selatan dan mereka pun sampai di muara sungai Musi. Di sana Sidungdunglangit mengawini seorang perempuan dari daerah tersebut, sedang adiknya Sihuntidolok meneruskan perjalanan hingga menyeberang laut terus ke timur pulau Jawa. Setelah Sihuntidolok sampai di ujung timur pulau Jawa, maka dia pun mengawini seorang perempuan  daerah tersebut.

Kemudian Sidungdunglangit memperoleh seorang anak lelaki yang diberinya nama Dapunta Hyang. Setelah dewasa dan matang, maka Dapunta Hyang pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya. Sedang Sihuntidolok pun memperoleh anak lelaki yang diberinya nama Raden Wijaya. Setelah dewasa dan matang, maka Raden Wijaya pun dapat menjadi raja dari sebuah kerajaan yang didirikannya, yaitu Kerajaan Majapahit. Itulah kisah dari Sidungdunglangit dan Sihuntidolok, anak dari Amanlompas,  yang pada akhirnya, anak-anaknya menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dan Raja di Kerajaan Majapahit.

Kisah di atas  dapat kita cek dan ricek kebenarannya dengan mudah, karena sejarah Indonesia mengenai kedua kerajaan tadi sudah jelas. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Daputa Hyang mendirikan Kerajaan Sriwijaya pada  tahun 671 Masehi (671-702) dan Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 Masehi (1293-1309). Setelah kita mencocokkan data tersebut dengan kisah di atas, maka terlihat jelas betapa kacaunya kisah mengenai Sidungdunglangit dan Sihuntidolok tadi. Inilah yang penulis sebut dengan istilah ‘Jurus Padomuhon Langit dohot Tano’.
          Pikiran ini mulai timbul di dalam pikiran penulis ketika menemukan kisah tentang Si Piso Sumalim yang kejadiannya di Silindung dengan berbagai bumbu yang pada akhirnya hanya nama itu saja yang benar. Ketepatan suatu kali penulis mengelilingi ringroad pulau Samosir dan ketika melewati sebuah desa bernama Desa Hatoguan, penulis melihat sebuah monumen besar bertulisan: “MAKAM SI PISO SUMALIM DOLOK SARIBU”. Penulis pun berhenti di lapo dekat monumen tersebut dan bertanya kepada mereka yang ada di lapo itu. Mereka bercerita tentang figur Si Piso Sumalim tersebut dan ternyata sedikit pun tidak ada kesamaan dengan turituriam Si Piso Sumalim yang biasa penulis dengar atau baca sebelumnya. Hanya nama Si Piso Sumalim saja yang benar. Sejak itu penulis mulai timbul pikiran seperti di atas tadi, sehingga selalu berusaha mencari data-data valid untuk menguji kebenaran sebuah turiturian.
          Suatu malam, ketika penulis hendak menulis tetang marga Girsang di Lehu, penulis menemukan seperti yang penulis duga sebelumnya, sehingga membuat penulis tertawa terhabak-bahak sendiri setelah membacanya. Kisah itu penulis temukan di dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926:197-201) sebagai berikut:

Dikisahkan bahwa Siboro, anak dari Purba, memiliki keturunan dari Guru Tentangniaji sebanyak dua orang anak bernama Raja Langit dan Raja Ursa yang pergi jalan-jalan ke arah Dairi. Sesampainya di Tungtungbatu, kawinlah Raja Langit dan lahirlah anaknya bernama Tungtungbatu, yang menurunkan marga Purba di situ. Sedang Raja Ursa pergi ke Lehu dan kawin di sana hingga memperoleh anak bernama Raja Lehu, yang menurunkan marga Purba di situ.
Kemudian mereka berangkat ke Simalungun dan Raja Langit menetap di Langgiung Purba dan kawin di sana. Lahirlah anaknya dua orang di situ, yaitu: Raja Parultop (Datu Parulas) dan Tuan Purba. Sedang Raja Ursa pun pergi ke Nagasaribu, Simalungun dan kawin di sana. Kemudian lahirlah anaknya dua orang, yaitu: Raja Nagasaribu yang menurunkan marga Girsang, dan, Tuan Binangara yang juga marga Girsang keturunannya. Ke dalam marga Girsang ini masuk juga marga Girsang Rumaparik, Girsang Parhara, dan Girsang Silangit. ... dst. ... dst. ...  sampai halaman 201.

Setelah dikutip salah satu bagian dari buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di atas, maka dapat dicermati secara jeli dan kritis. Tentu diperlukan bahan pengetahuan lain seperti sejarah, sehingga dengan cepat dapat menggunakan angka tahun dari sumber lain, karena kisah di atas tidak punya angka tahun, sehingga si pembacanya dapat dengan mudah tersesat. Apalagi pengetahuan pembaca itu sudah diperlengkapi dengan pengetahuan mengenai ras dan genetika, maka dengan lebih cepat lagi dapat menilai kisah-kisah di dalam buku tersebut.

     Di Tungtungbatu adalah kampung marga Cibro dari Pakpak. SEJARAH ETNIS SIMALUNGUN (Agustono & Tim, 2012), mengemukakan bahwa Raja Purba Pakpak dengan gelar Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu.  Tanpa sedikitpun keraguan bahwa Tuan Pangultopultop berasal dari Tungtungbatu, sehingga marganya disebut marga Purba Pakpak dan peninggalannya pun masih ada di Tungtungbatu. Tuan Pangultopultop memerintah sebagai raja pertama dari Kerajaan Purba pada tahun 1624-1648. Raja Purba memerintah sebanyak 14 raja hingga raja terakhir Tuan Mogang yang memerintah pada tahun 1933-1947 dan meninggal pada masa revolusi sosial di Sumatera  Timur (Agustono & Tim, 2012:113-114).  Setelah Tuan Pangultopultop menjadi raja Kerajaan Purba di Simalungun, dia masih sering ke Tungtungbatu melewati Lehu, karena ada keluarganya di sana. Di Lehu, dia mengawini perempuan di sana yang melahirkan Girsang dan Girsang ini yang menurunkan marga Girsang.

     J. Tideman dalam bukunya Simaloengoen (1922;81-83) menulis bahwa seorang keturunan Girsang dari Lehu adalah pemburu rusa yang membawanya sampai ke Naga Mariah di mana rajanya adalah marga Sinaga. Melalui sebuah peristiwa perang yang dimenangkan oleh pasukan Naga Mariah atas strategi yang disarankan si Girsang, maka mereka pun menang dan si Girsang pun diberikan gelar Datu Parulas. Datu Parulas inipun menjadi menantu Raja Sinaga yang tidak memiliki putra mahkota, sehingga ketika Raja Sinaga itu meninggal, maka Datu Parulas menggantikannya menjadi Raja Girsang, yang kemudian menjadi Kerajaan Silimakuta dengan ibukota Nagasaribu. Raja Girsang ini menjadi raja sebanyak 7 generasi hingga Tuan Padiraja sebagai raja ke-7, yang meninggal pada waktu revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946 (Agustono & Tim, 2012:115-119). Datu Parulas naik tahta menjadi Raja Girsang di penghujung abad ke-18.

     Raja Langit dan Raja Ursa tidak dikenal di dalam sejarah Simalungun. Kemudian dikatakan bahwa Raja Langit memiliki anak, yaitu: Raja Parultop alias Datu Parulas dan Tuan Purba. Kedua tokoh terakhir ini adalah raja di Simalungun yang hidup dalam masa yang berbeda jauh, yaitu sekitar 150 tahun. Raja-raja di Simalungun jelas sejarahnya di mana mereka adalah raja dalam artian raja dari sebuah kerajaan di mana terakhir ada 7 kerajaan di Simalungun (1946). Sejarah tidak sama dengan turiturian (kisah). Sementara buku yang ditulis oleh W.M. Hutagalung hanyalah turiturian tanpa data tahun   yang jelas tanpa pembanding dari sumber-sumber lain. Apalagi bila diperhatikan ras dan genetika orang-orang dari daerah lain, maka akan semakin terlihat jelas betapa mustahilnya buku itu dan semakin terang-benderang terlihat jurus-jurus lain dalam usaha padomuhon langit dohot tano, yaitu jurus padomuhon langit dohot tano. DDD




Sunday, July 5, 2015

JALAN-JALAN KE LEHU

JALAN-JALAN KE LEHU
Oleh: Edward Simanungkalit *


Wisata budaya di bulan Mei 2015 kali ini adalah ke Lehu di antara Sumbul Jehe dengan Tiga Baru, Kabupaten Dairi. Buruknya jalan dari Sumbul Jehe ke Lehu membuat perjalanan tidak nyaman. Di sana mengunjungi tugu Girsang dan bertemu dengan beberapa orang marga Girsang, tetapi tidak banyak informasi yang dapat diperoleh waktu itu. Di tugu itu tertulis: “TUGU GIRSANG Br. MANIK”.

Girsang di Lehu
         Bermula ketika penulis melihat sebuah rumah berornamen Toba di daerah Balna, Kabupaten Dairi  pada tahun 2013 lalu ada ditulis: “Girsang Lehu“. Pak Girsang, pemilik rumah itu, mengatakan bahwa Girsang berasal 
dari Lehu dekat Tiga Baru termasuk Girsang yang di Silimakuta juga berasal dari Lehu. Cerita ini membuat penasaran, karena teman sebangku penulis di SMA dulu, Waldensius Girsang, abang kandung dari Juniver Girsang dan Junimart Girsang, berasal dari Silimakuta dekat Saribudolok, Kabupaten Simalungun. Uniknya lagi, marga Girsang ini tidak tercantum dalam  marga Pakpak Pegagan meskipun Lehu itu berada di daerah Pegagan dan Girsang kawin dengan berru Manik (Suku Batak Pakpak, dalam wikipedia).
       Girsang di Lehu mengatakan bahwa mereka di dalam acara adat menyebutkan Purba dari Tobamerupakan kerabatnya. Dan, kekerabatan dengan Purba Toba terpelihara dengan baik selama ini. Katanya, bahwa ada salah satu dari marga Purba yang bernama si Girsang tidak ditemukan keturunannya, sehingga dihubungkan dengan Girsang di Lehu ini tanpa memperhatikan soal waktu dari keduanya untuk melihat kesamaannya. Sementara menurut informasi dari marga Purba Toba, bahwa marga Purba Toba berkisar sekitar 14-16 generasi.

Raja Girsang Nauli Lumbantoruan
      Dalam perjalanan Sidikalang – Siborongborong, sebuah tugu terlihat dengan nama Raja Girsang Nauli Lumbantoruan di dekat Sitampurung, kabupaten Tapanuli Utara. Isterinya dua orang, yaitu boru Sianturi dan boru Manik. Uniknya, boru Manik itu memakai bulang-bulang Simalungun. Salah seorang keturunannya dengan rentang 10 generasi di dekat tugu tersebut bercerita bahwa Ompung mereka tersebut pergi meninggalkan kampung halaman oleh karena sesuatu hal tanpa diketahui kabar beritanya lagi.
          Ketika salah seorang keturunan Lumbantoruan ini berdagang ke Saribudolog pada tahun 1970-an, maka 
terjadilah pertemuan dengan marga Girsang dari Silimakuta. Singkatnya, mereka merasakan ada kesamaan dalam nama Girsang tadi dan sekaligus berkaitan juga dengan Girsang di Lehu. Risalah berberapa pertemuan mereka dengan marga Girsang dari Lehu dan Silimakuta  diperlihatkan juga. Menurut J. Tideman (Agustono & Tim, 2012:116), bahwa si  Girsang alias Datu Parulas yang menjadi Raja Silimakuta berasal dari Lehu. Ketika acara peresmian tugu Raja Girsang Nauli Lumbantoruan, maka diundang juga Girsang dari Lehu dan Silimakuta. Beberapa orang ada juga yang datang dari Girsang Lehu dan Girsang Silimakuta ke acara tersebut di Sitampurung. Ketika pesta tugu di Lehu dilaksanakan, maka pihak Lumbantoruan ini juga ikut hadir.

Purba Pakpak
         Pangultopultop merupakan raja pertama (1624-1648)  dari Kerajaan Purba di Simalungun yang berasal dari Tungtung Batu, dekat Parongil, Kabupaten Dairi (Agustono & Tim, 2012:113-114). Setelah menjadi raja, menurut Dj.M. Purba Pakpak  di Sidikalang sesuai cerita orangtuanya, bahwa Pangultopultop masih sering kembali ke Tungtung Batu melalui  Lehu,  karena isteri dan anaknya ada di sana. Di Lehu, Pangultopultop juga mengawini berru Manik yang memperoleh anak bernama Girsang. Anak Pangultopultop di Tungtung Batu bernama Cibro. Sedang perjalanan Datu Parulas Girsang dari Lehu ke Simalungun dikatakan adalah dalam rangka menemui ompungnya, yang telah menjadi Raja Purba  di Simalungun, tetapi jalan hidup membawanya menjadi Raja Silimakuta.











Penutup
       Ada 3 pihak yang dapat dihubungkan dengan Girsang dari Lehu. Pihak pertama, marga Purba yang tidak diketahui salah satu cabang keturunannya pada generasi ke-3 dari sekitar 14-16 generasi. Berdasarkan data ini, maka Girsang dari Lehu kemungkinan memiliki keturunan sekitar 11-13 generasi sekarang. Pihak kedua, marga Lumbantoruan yang kehilangan ompungnya sudah memiliki rentang 11 generasi. Berdasarkan data itu, maka Girsang dari Lehu kemungkinan memiliki keturunan 11 generasi sekarang. Pihak ketiga, marga Purba Pakpak yang ompungnya Pangultopultop sudah memiliki 17 generasi. Berdasarkan data itu, maka Girsang dari Lehu kemungkinan memiliki keturunan 16 generasi sekarang. Kemungkinan-kemungkinan tadimasih membutuhkan jawaban.
        Hitungan di atas dapat digunakan untuk memperkirakan mana yang paling mungkin, sementara penulis tidak memiliki data mengenai berapa generasi Girsang dari Lehu sekarang ini.  Penulis tidak menarik kesimpulan akhir dalam kisah Girsang dari Lehu ini, karena hal itu harus dikembalikan kepada marga yang bersangkutan. Akan tetapi,  solusi yang disarankan  lebih praktis dan akurat  untuk memastikan dari mana asalnya di masa kini  ialah cara tes DNA dengan biaya yang lebih murah. ***


(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban




Thursday, July 2, 2015

MENGENANG GUGURNYA PAHLAWAN NASIONAL: Raja Singamangaraja XII Maharaja di Negeri Toba

MENGENANG PAHLAWAN NASIONAL
Raja Singamangaraja XII Maharaja di Negeri Toba
Oleh: Edward Simanungkalit


Rabu, 17 Juni 2015, genaplah 108 tahun gugurnya Raja Singamangaraja XII di Aek Sibulbulon, Pea Raja, daerah Sionomhudon. Di sanalah Raja Singamangaraja XII gugur bersama dua orang puteranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya, Lopian. Beberapa pejuang lain termasuk pejuang Aceh turut gugur dalam pertempuran tersebut. Kemudian hari, setelah Indonesia merdeka, Raja Singamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961. Sungguh pahlawan gagah perkasa yang tetap teguh dan konsisten di dalam sikapnya bahwa Belanda harus angkat kaki!
Perang Toba (1878 dan 1883)
            Raja Sisingamangaraja XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1976 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang telah meninggal. Sementara itu LI Nommensen sudah berada di Silindung sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke Silindung pada tahun 1864.
          Masyarakat Toba adalah masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja  merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’,  sehingga Singamangaraja lah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau LI Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus individu/pengkultusan.
         Para misionaris Jerman memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang ramah menyambut mereka dengan pesta dan totor  pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan LI Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.
          Dengan cara pandang misionaris Jerman yang demikian, maka dapat dibayangkan mengenai pendekatan yang mereka lakukan di dalam pemberitaan Injil. Larangan margondang dan manortor yang diganti alat musik tiup Jerman serta mengijinkan perkawinan satu marga adalah keputusan yang fatal dan ekstrim  (Kozok, 2010). Dapat dibayangkan bahwa sikap ini akan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat Toba yang hidup di dalam sistim Huta-Horja-Bius. Apalagi Nommensen memiliki pandangan ekstrim bahwa 3-H (Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon) adalah dosa besar.
          Sebenarnya, sejak dari awal sudah ada permasalahan yang dilakukan oleh misionaris Jerman itu, karena tindakan misionaris mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868 yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Raja Singamangaraja XII (Kozok, 2010:20-21):
Kehadiran para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi Silindung”. Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Gelagat para misionaris Jerman itu sudah terlihat dari awal akan meminta bantuan Belanda meskipun secara militer dan ekonomis tidaklah menguntungkan bagi Belanda untuk menganeksasi Negeri Toba. Baru 4 tahun (1864-1868) Nommensen di Silindung sudah memperlihatkan sikap membangkang terhadap Raja Singamangaraja XII di wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka malah bertindak lebih jauh lagi dengan meminta bantuan kepada kolonial Belanda sekaligus untuk menaklukkan Negeri Toba:
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung, memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung.[4] Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka (wikipedia).
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. ... (wikipedia)
Ketika Negeri Toba dianeksi dalam Perang Toba I pada tahun 1878, ada enam penginjil di Silindung, yaitu: Johansen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua di antara mereka ialah LI Nommensen. Keenam misionaris Jerman inilah yang betanggungjawab atas penaklukan Negeri Toba sekaligus menjadi dijajah oleh kolonial Belanda.
          Semua tindakan mereka tersebut adalah atas sepengetahuan dan tentunya persetujuan dari Kantor Pusat RMG di Jerman meskipun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman. Hal ini dapat terlihat dari laporan Nommensen yang dipublisir oleh RMG di dalam majalah BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
BRMG, majalah RMG, membuat berita dengan memasukkan laporan LI Nommesen, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya gambaran Raja Singamangaraja XII dalam pandangan LI Nommensen sebagai berikut:
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada rohroh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris (Kozok, 2010:57).        
Dalam kaitan dengan masalah-masalah ini semuanya, misionaris Metzler menulis di dalam suratnya yang diterbitkan juga oleh BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen [1] bertindak secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]. ...
Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. (Kozok, 2010).
Fakta-fakta yang sengaja dikutip di atas adalah untuk membeberkan bagaimana permasalahan sebelum Perang Toba dan sebagian daripada saat Perang Toba I. Melalui fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa jelas-jelas pihak misionaris Jerman itulah yang bermasalah dengan Orang Toba dan Maharaja di Negeri Toba. Sebagai solusinya, mereka meminta bantuan Belanda untuk menaklukkan Negeri Toba untuk dikuasai oleh kolonial Belanda.
          Selanjutnya, dari surat Nommensen dan Metzler diketahui bahwa para misionaris Jerman tersebut menjadi juru bahasa melakukan penyerangan ke berbagai daerah dan kampung dan membakari rumah-rumah rakyat. Seratus lebih kampung dibakar dalam rangka bumi hangus, sehinggga membuat banyak rakyat menderita terutama ibu-ibu dan anak-anaknya yang harus tidur di hutan. Tidak terhitung yang tewasluka, dan disiksa. Mereka dipaksa membayar pampasan perang dan dipaksa bersumpah-setia kepada Belanda. Di dalam surat tersebut, berulang-ulang LI Nommensen menyebut  rakyat yang dibakari kampungnya adalah “musuh (Kozok, 2010), padahal mereka adalah bangsa Indonesia. Ketika LI Nommensen menyebut anak-anak bangsa Indonesia adalah musuhnya, maka LI Nommensenmemposisikan dirinya sebagai musuh bangsa Indonesia.  Beginilah penderitaan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh ulah para misionaris Jerman dalam Batakmission itu. Atas jasa-jasa Nommensen terhadap Belanda ini, maka Belanda memberikan hadiah berupa uang sebesar 1.000 Gulden di atas penderitaan bangsa Indonesia.
          Hasil akhir dari Perang Toba ini ialah hancurnya kekayaan budaya Toba baik seperti huta-horja-bius dan hilangnya benda-benda budaya dibawa ke Jerman dan Belanda. Banyaknya korban jiwa dan berbagai penderitaan fisik yang dialami bangsa Indonesia di Negeri Toba yang kemudian dijajah kolonial Belanda. Gugurnya Raja Singamangaraja XII bersama dua orang putranya dan seorang putrinya disertai pejuang-pejuang lainnya pada 17 Juni 1907. LI Nommensen telah melawan ketetapan Allah di dalam Alkitab (Roma 13:1-13; 1 Petrus 2:13-14, 17).  Meskipun demikian, ada satu hal yang masih tersisa dari Perang Toba, yaitu semangat juang dan kegigihan Raja Singamangaraja XII yang konsisten sampai akhir yang patut diwarisi dan diteladani masyarakat Toba di abad ke-21 ini. Jayalah Indonesia!

(*) Pemerhati Sejarah Alternatif Peradaban




Buku ini dapat dibaca di https://nommensen.wordpress.com