BARUS, BANDAR
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MASA LALU
Oleh: Edward Simanungkalit
1. Kapur Barus
Berbicara mengenai kapur barus, maka nama itu langsung
mengingatkan kita dengan Barus, yang dalam catatan dari Arab disebut Fansur.
Produk alam yang khas ini dihasilkan dari pohon kamfer yang memiliki kandungan kristal
kapur yang berbeda dengan kapur barus dari daerah lain. Komoditi inilah yang menjadikan
nama Barus begitu terkenal di dunia. Sumber kuno menyebutkan bahwa kapur barus
memiliki peran penting dalam kaitannya dengan lalulintas perdagangan sejak abad
ke-6 M. Keberadaan kapur barus ini menjadi sumber berita bagi para pedagang/musafir
asing mengenai pelabuhan yang banyak memperdagangkannya khususnya di wilayah
barat pulau Sumatera. Kapur barus tersebut tentu berbeda dengan kapur barus
yang kita kenal sekarang, karena kapur barus yang kita kenal sekarang merupakan
barang sintetis.
Berbagai sumber menunjukkan bahwa kapur barus tidak dihasilkan
hanya di daerah Barus saja, melainkan juga di sebagian Sumatera bagian timur,
pedalaman Sumatera Utara, Brunei dan bagian lain Kalimantan, serta di bagian
selatan Semenanjung Malaysia, bahkan Jepang, Korea, Arab, dan Cina. Bila di
Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum
camphora dari keluarga Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus,
yang disebut kapur Barus atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops
aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae (Sutrisna, 2007:1).
Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang
besar minimum 70 cm dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif
sama dan rata dengan tinggi mencapai 60-70 meter (Whitten dkk.,1984:254).
Diketahui bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak
tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di
tepi sungai Cinendang (Vurren,1908:1392). Komoditi kapur barus ini berkaitan
juga dengan kemenyan yang banyak dihasilkan dari daerah yang disebut belakangan
ini.
Sumber-sumber yang memberikan data tentang komoditi dagang ini
dirasakan masih kurang, sehingga dibutuhkan sumber-sumber lain yang dapat
memberikan tambahan data tentang kapur barus dengan sumber berita-berita
tertulis dari Arab dan Cina. Beberapa sumber tertulis Arab (Sutrisna, 2007:2-3)
telah menceritakan tentang Barus/Fansur sebagai penghasil kamfer atau kapur
barus terbaik jauh pada abad ke-8 dan 9 bahkan pada abad ke-7. Al-Quran juga telah
mencatat istilah kamper/kafur. Keterangan dari sumber tertulis Arab menyebutkan
bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja melainkan juga
dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan campuran
rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah operasi
pembedahan tubuh manusia (Stephan, 2002:225-233).
Adapun sumber tertulis Cina sudah menceritakan tentang
Barus/Fansur sebagai penghasil kamfer/kapur barus terbaik jauh pada abad ke-8
dan lain-lain. Selain kapur barus ada beberapa produk alam lain yang diekspor
ke negeri Arab maupun Cina, di antaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu
eboni, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina
berupa gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal,
gelas, batu karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak
serta obat-obatan (Sutrisna, 2007:4-5).
Sumber tertulis dari Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke
beberapa pelabuhan di Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu
Marcopolo menyebut nama sebuah tempat di bagian barat Sumatera, yakni Fansur.
Disanjungnya bahwa kualitas kamper dari negeri Fansur atau Barus itu sebagai
yang terbaik di dunia dan harganyapun sangat mahal (Ambary,1998). Melalui
komoditi tersebut, maka Barus menjadi dikenal bangsa-bangsa yang berada di
belahan Barat maupun Timur. Hal ini tampak dari penyebutan kapur barus dalam
berbagai bahasa yang digunakan oleh beberapa bangsa di dunia, di antaranya
adalah: camphora (bahasa Latin/Yunani), al canfor (Spanyol),
kamphor (Jerman), campher (Inggeris), kafura (Arab), campgre (Perancis),
dan kamfora (bahasa Rusia).
Melalui sumber-sumber tertulis yang telah disinggung tadi, maka
diperoleh gambaran bahwa kapur barus merupakan komoditi dagang yang telah
dikenal para pedagang dari Arab dan Cina lebih dari seribu tahun lalu. Dalam
sejarah juga disebutkan bahwa Barus pada masa lalu merupakan pusat dagang yang telah
menjadikannya sebagai bandar internasional yang ramai dikunjungi, bukan hanya
oleh bangsa Arab dan Cina tadi, tetapi juga bangsa-bangsa lain seperti Yunani,
Spanyol, Belanda Portugis, Inggris, Korea dan Jepang. Proses perdagangan komoditi
dilakukan melalui pasar di pelabuhan maupun di daerah pedalaman. Mereka
mengekspor kapur barus dan komoditi dagang lainnya ke luar negeri melalui pelabuhan
Barus, sehingga telah terjadi kontak budaya dengan berbagai bangsa melalui
perlabuhan tersebut. Berbagai tradisi lisan Toba ada menyebutkan Barus seperti
dalam cerita Raja Uti, Sariburaja, maupun Manghuntal Sinambela yang menjadi
Raja Singamangaraja I.
2. Merosotnya Peranan Barus
Pada awal abad ke-12, Lobu Tua merupakan kawasan
multietnis di Barus ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya sesudah kota
tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi. Lucas Partanda Koestoro
dari Balai Arkeologi Medan menyebutkan bahwa hal ini didasarkan pada data tidak
adanya satu benda arkeologis yang dihasilkan setelah awal abad ke-12 tersebut. Setelah
ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni oleh
orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Meskipun
demikian, peranan Barus masih dianggap menonjol setelah dikuasai raja-raja
Batak, sehingga menjadi rebutan bagi misi dagang Portugis dan Belanda.
Tome Pires, orang Portugis yang mengelilingi
Sumatera mendarat juga di Barus pada awal
abad ke-16, mencatat Barus sebagai
pelabuhan yang ramai dan makmur. "Kami
sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga
dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa
Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Baruus). Yang
dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua," demikian catatan Pires. Tahun 1550, Belanda berhasil merebut kekuasaan perdagangan
di daerah Barus dan tahun 1618, VOC mendapatkan hak istimewa perdagangan dari
raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada bangsa Cina, India, Persia,
dan Mesir. Hegemoni Belanda dalam perdagangan di Barus ini
menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir dan pamor Barus sudah telanjur
menurun, karena para pedagang beralih ke pelabuhan lain.
Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh berdiri
pada permulaan abad ke-17. Kerajaan Aceh tersebut membangun pelabuhan di pantai
Timur Sumatera yang lebih strategis bagi jalur perdagangan, karena berhadapan
dengan Selat Melaka. Berkembangnya teknologi pembuatan kapur barus sintetis di
Eropa menjadi salah satu faktor memudarnya Barus dalam peta perdagangan dunia.
Pada awal abad ke-18, Barus benar-benar tenggelam dan menjadi pelabuhan sunyi
yang terpencil. Kehancuran Barus semakin sempurna ketika
pada tanggal 29 Desember 1948, Barus dibumihanguskan oleh pejuang kemerdekaan
Indonesia sehubungan dengan adanya kabar bahwa Belanda akan menuju Barus
setelah menguasai Sibolga. Akhirnya, Barus benar-benar dilupakan dan yang
tinggal hanya dongeng-dongeng tentang kehebatan mistik di sana ketika penulis
dua kali mengunjungi Barus pada tahun 2008 (Berbagai sumber).
Setelah jalan dari Dolok Sanggul ke Barus melalui
Pakkat dibangun akhir-akhir ini, maka Barus sudah benar-benar terbuka menambah
jalan yang sudah ada sebelumnya dari Sibolga. Jika jalan dari Barus menuju Aceh
Singkil telah bagus, maka Barus sudah benar-benar terbuka. Apalagi Bonaran
Situmeang, anak Barus itu, menjadi Bupati Tapanuli Tengah sekarang ini, maka harapan
pemekaran Barus Raya menjadi sebuah kabupaten semakin besar bagi masyarakat di
sana. ***
Telah dimuat di:
Harian BATAK POS
Edisi Sabtu, 1 Desember 2012