Deni Sutrisna
Balai Arkeologi Medan
1. Pengantar
Masalah dasar yang dihadapi dalam sebuah penelitian arkeologi adalah keterbatasan data, baik yang berupa artefak, ekofak, dan fitur secara secara kuantitas maupun kualitas. Temuan hasil ekskavasi memang mampu berlaku sebagai data potensial yang akan membantu memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapinya, namun karena beberapa keterbatasan yang dimilikinya maka temuan itupun hanya mampu memberikan informasi yang terbatas dalam menggambarkan kondisi masa lampau. Oleh karena itu dalam sebuah penelitian arkeologis, yang tak kalah menarik untuk dikaji adalah berita-berita lokal maupun asing. Untuk membahas tentang kapur barus misalnya, sumber dimaksud kadang memberikan keterangan berkaitan dengan keberadaan komiditas itu di masa lalu.
Sumber kuna menyebutkan bahwa kapur barus memiliki peran penting dalam kaitannya dengan lalulintas perdagangan Nusantara sejak abad ke-6 M. Ini berkenaan karena produk alam yang khas itu memiliki substansi kandungan kristal kapur yang berbeda dengan kapur barus dari daerah lain. Tidak mengherankan bila keberadaannya juga menjadi sumber berita bagi para pedagang/musafir asing mengenai institusi yang pernah menguasai beberapa pelabuhan, khususnya di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibicarakan beberapa hal tentang kapur barus, baik yang menyangkut pohon yang menghasilkannya, proses pengambilan, serta hal lain yang menyertainya dengan memanfaatkan beberapa sumber tertulis yang ada.
2. Pohon dan proses pengambilan
Hasil penelitian arkeologi diharapkan dapat memperlihatkan kembali peran Barus di pesisir barat Pulau Sumatera sebagai salah satu pusat niaga di Kepulauan Nusantara dalam konteks jaringan pertukaran internasional pada masanya (Koestoro dkk.,1999:1). Komoditi yang menjadikan nama Barus begitu dikenal di dunia adalah kapur barus atau yang disebut pula dengan kamper.
Berbagai sumber menunjukkan bahwa sebetulnya kapur barus tidak dihasilkan hanya di daerah Barus saja, melainkan juga di sebagian Sumatera bagian timur, pedalaman Sumatera Utara, Brunei dan bagian lain Kalimantan, serta di bagian selatan Semenanjung Malaysia, bahkan Jepang, Korea, Arab, dan Cina. Bila di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus, yang disebut kapur Barus atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae.
Istilah yang dipakai dalam bahasa beberapa bangsa di benua Eropa untuk penyebutan kamper itu dipinjam dari bahasa Arab kafur, dari kata alcanfar (Stéphan,2002:217). Dalam beberapa bahasa terdahulu terdapat penyebutan yang hampir serupa, seperti kafura dalam bahasa Sanskerta dan kapor dalam bahasa Khmer. Berdasarkan semua alasan ini, pakar etimologi berpendapat bahwa semua penyebutan tersebut berasal dari bahasa Melayu, kapur.
Sebagian besar pohon kapur tumbuh di belahan utara garis 3° LU, dan hanya sebagian kecil yang tumbuh di bagian timur Pulau Sumatera. Pohon kapur tumbuh liar pada tanah datar – dengan serapan air yang baik – maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata (Whitten dkk.,1984:254). Diketahui bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel (Vurren,1908:1392).
Ciri pohon kapur adalah batangnya yang tegak lurus dengan tinggi mencapai 60–70 meter dan diameter batang pohon minimum 70 cm. Kayu dari pohon kapur barus disenangi sebagai bahan bangunan dan perabot rumah karena mudah diolah, tahan lama, dan tidak termakan atau dirusak serangga perusak tiang-tiang kayu. Daunnya kecil, lonjong agak kebulat-bulatan, tulang daun sejajar, dan berakhir di ujung yang panjang. Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia ratusan tahun (Vurren,1908:1394).
Proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus.
Bila kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara untuk itu.
Pada cara pertama, potongan balok kayu dimaksud dikumpulkan dan satu-persatu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok. Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5–2,5 kilogram kristal kapur dengan kualitas yang berbeda, yang biasanya diistilahkan dengan sebutan kapur atas dan kapur bawah (Tim Proyek Penelitian Purbakala Sumut 1997/1998). Kristal kapur yang terbaik ditemukan dalam ukuran besar berbentuk bilah-bilah kristal berwarna putih dan transparan, sedangkan kualitas yang tidak terlalu baik (rendah) disebabkan karena dalam kristal kapur itu bercampur bahan lain berupa serbuk/serpihan kulit kayu pohon. Percampuran ini terjadi ketika kristal kapur diambil dengan cara menggaruk bagian permukaan batang. Untuk memisahan kristal kapur dari serbuk kayu dilakukan perendaman dalam air. Hasil rendaman dimasukkan dengan memakai saringan ke dalam wadah berbentuk lubang-lubang. Melalui proses penyaringan ini serbuk kayu akan tertinggal sehingga diperoleh kristal kapur murni. Adapun besarnya lubang saringan tergantung pada ukuran butiran kristal kapur. Untuk mempercepat proses dari bentuk cair menjadi bentuk kristal padat, hasil saringan itu dikeraskan dengan minyak kapur barus melalui proses oksidasi.
Adapun cara lain pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Untuk pengerasan kristal kapur barus, proses yang dilakukan sama pada cara yang pertama.
3. Kapur barus dalam sumber tertulis asing
Munculnya beberapa daerah penghasil kapur barus – terutama Barus – dalam sumber tekstual selalu dikaitkan dengan tempat perniagaan kapur dan kemenyan yang berkualitas baik, paling tidak mulai abad ke-7 sampai abad ke-18 di pantai barat Sumatera (Wolters,1967). Selain Barus, kapal-kapal asing sering datang mengunjungi dan mengambil kapur barus dari Pasai, Jambi, Palembang, Lampung (Tulang Bawang dan Sekampung), serta kota-kota pantai barat Sumatera seperti Pariaman, dan Tiku. Selain kapur barus, komoditi lain yang mereka peroleh berupa emas, kelambak, sutera, damar, madu, dan bahan makanan. Komoditi itu banyak diperdagangkan ke Malaka.
Sumber lokal berupa prasasti juga tidak sedikit memberikan sumbangan data tentang komoditi dagang. Namun informasi yang dapat diungkapkan oleh sumber lokal tersebut masih terasa belum cukup untuk memberikan penjelasan yang lengkap mengenai aspek-aspek perekonomian. Oleh karena itu sumber lain yang diharapkan dapat memberikan tambahan data, khususnya tentang kapur barus adalah berita-berita tertulis dari Arab dan Cina. Ini berkenaan dengan beberapa sumber tertulis seperti tertera di bawah ini.
3.1. Sumber tertulis Arab
a. Sebuah teks berjudul ahbar as si n wa l-hind (Catatan Mengenai Cina dan India) ditulis pada tahun 851 M. Catatan dengan tokoh utama bernama Sulayman ini merupakan catatan awal dalam sumber tertulis Arab tentang Fansur sebagai penghasil kamper bermutu tinggi. Disebutkan di dalamnya antara lain adalah:
Dalam pelayaran ke Ceylon (Srilanka), di laut ini (Laut Harkand) tidak terdapat banyak pulau tetapi tiap pulau yang dijumpai cukup luas. Walaupun tidak ada informasi terinci mengenainya, namun dapat diketahui bahwa di antaranya terdapat sebuah pulau bernama Lambri dengan beberapa raja yang berkuasa. Di pulau yang mengandung banyak emas itu terdapat sebuah tempat yang bernama Fantsour (Fansur), yakni sebutan Arab untuk Barus yang menghasilkan banyak kamper bermutu tinggi (Sauvaget,1948:4–5 dalam Stéphan,2002:215) .
b. Catatan lain yang sezaman dengan catatan di atas ditulis oleh Ibn Khordadhbeh. Karya berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik (Buku Tentang Jalan-Jalan dan Kerajaan-Kerajaan) itu ditulis dari sekitar tahun 850 M di Samarra (Irak). Kitab ini memberitahukan tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap provinsi. Tersebut di dalamnya bahwa:
Di antara Pulau Langabalos dan Pulau Kilah terdapat Pulau Balus yang dihuni oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu, dan beras (Ferrand,1913-1914 dalam Stéphan,2002:217).
c. Kemudian dalam kamus Lisan al’-arab yang dibuat oleh ibn Manzur (ahli tata bahasa dari Mesir, meninggal tahun 1311 M) disebutkan bahwa istilah kafur selain berarti kamper juga dipakai untuk suatu ramuan bumbu yang diperoleh dari kafur al-tal’ (sejenis daun pohon palem), juga ada kafur al-karm yaitu sejenis daun dari pohon anggur (Lane,1863-1893:2622 dalam Stéphan, 2002:218).
d. Juga dalam karya dua sejarawan, Ibn al-Atir (meninggal tahun 1233 M) dan Ibn al-Baladuri (meninggal tahun 1473 M) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, penakluk-penakluk Arab menemukan kamper – yang semula dikira garam – di antara rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan. Jika cerita ini benar, maka dapat dikatakan bahwa kamper sebagai komoditi yang dihasilkan pohon kapur sudah dikenal pada awal zaman berkembangnya agama Islam (Raynaud,1967:590 dalam Stéphan, 2002:218).
e. Adalah ahli geografi al-Dimaški (meninggal tahun 1325) yang mencatat dalam karyanya Nuhbat al-dahr fi a’ ga’ib al-barr wa-l-bahr (Beberapa Keajaiban di Darat dan di Laut) bahwa Fansur menghasilkan kamper yang terbaik. Selain memuat deskripsi rinci tentang cara mengambil kamper, dicatat pula bahwa kamper terbaik adalah ribahi dan fançuri yang hanya dijumpai di bagian puncak pohon atau dahan-dahan yang warnanya merah mengkilat (Ferrand, 1913-1914 dalam Stéphan, 2002:220).
f. Sebetulnya sebelum dikatakan dalam sumber yang disebut di atas, Al-Quran telah mencatat istilah kamper. Itu terdapat dalam surat ke-76, Al-Insaan (manusia), yang berbunyi:
Bukanlah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ?
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kamper/kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Keterangan dari sumber tertulis Arab menyebutkan bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja melainkan juga dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan campuran rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah operasi pembedahan tubuh manusia (Stéphan, 2002:225-233).
3.2. Sumber tertulis Cina
a. Kronik Dinasti Liang
Dalam kronik ini digunakan istilah polü xiang untuk kamper, dan menunjuk Funan dan Langyaxiu sebagai daerah penghasilnya. Besar kemungkinan yang disebut Langyaxiu terletak di pantai timur Semenanjung Malaysia (Wolters,1967:122; Drakard,1988:56). Di Asia Tenggara, daerah ini dikenal sebagai penghasil awal Dryobalanops aromatica, sejenis kamper yang juga terdapat di Borneo dan Barus.
b. Youyang zazu, karya Duan Chengshi (863 M).
Pada catatan tersebut kamper disebut gubu polü – kapur Barus. Deskripsi ringkas tentang pohon kamper serta cara memperolehnya menyebutkan bahwa: pohonnya setinggi 80 hingga 90 kaki dengan lingkaran batangnya dapat mencapai enam atau tujuh jengkal. Daunnya bulat dengan sisi belakang hitam dan tidak ada bunga atau buah (Han Wai Toon,1985:12 dalam Ptak,2002:123).
c. Catatan dari masa Dinasti Tang
Diketahui adanya istilah lain untuk menyebut kamper seperti jiebuluo xiang dan jiebuluo xiang (huruf yang kedua dalam nama pertama kadangkala diganti dengan po, misalnya poluo) (Ptak, 2002:123).
d. Pendapat Han Wai Toon
Istilah yang mewakili “kapur” muncul lebih awal lagi, yaitu semasa Dinasti Han, disebut dalam sumber Shi ji dan Han shu, tetapi interpretasinya kurang meyakinkan (Sima Qian, Shi ji, Beijing: zonghua shuju, 1975).
e. Dalam Yu yang tsa tsu, sebuah teks Cina abad ke-9 M, tercatat suatu transkripsi dari istilah kapur barus (Wolters,1967).
f. Zhufan zhi (1225 M) karya Zhao Rugua
Dalam karya tersebut dikatakan bahwa kamper berasal dari Borneo dan Binsu (silabel pertama menjadi ban dalam bahasa Kanton) yang diperkirakan sama dengan Pancur (ditulis Pansur). Nama Pancur juga muncul dalam satu sumber tertulis yang lebih muda, dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus (Drakard,1988).
Kemudian dalam berita Cina lain yang berasal dari abad ke-13 juga diketahui keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Disebutkan bahwa Sriwijaya merupakan pelabuhan tempat penimbunan komiditi yang disinggahi perahu-perahu asing dan lokal. Ini memperlihatkan bahwa Sriwijaya telah memainkan peran sebagai pelabuhan antara (entreport). Para pedagang mengambil kamper yang dihasilkan dari beberapa daerah di bawah pengaruhnya yaitu Pahang, Trengganu, Langkasuka di daerah pantai barat Semenanjung dan Tanah Melayu. Pasokan kamper juga diperoleh dari Kalimantan dan daerah pesisir timur Sumatera, yang sayang sekali keberadaan tempat tumbuhnya pohon kapur di kedua daerah tersebut sejauh ini belum banyak diceritakan sebagaimana daerah Barus dan sekitarnya di wilayah pesisir barat Sumatera. Selain kapur barus ada beberapa sumberdaya alam lain yang diambil untuk diekspor ke negeri Arab maupun Cina, diantaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu eboni, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina berupa gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, batu karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak serta obat-obatan.
Selain sumber tertulis Arab dan Cina, sumber Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke beberapa pelabuhan di Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu disebut nama sebuah tempat di bagian barat Pulau Sumatera, yakni Fansur. Disanjungnya bahwa kualitas kamper dari negeri Fansur (toponim yang umumnya berasosiasi dengan Barus) itu sebagai yang terbaik di dunia dan harganyapun sangat mahal (Ambary,1998).
Melalui komoditi tersebut maka negeri Barus menjadi dikenal bangsa-bangsa di belahan Barat maupun Timur. Hal ini tampak melalui penyebutan kapur barus dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh beberapa bangsa di dunia, diantaranya adalah: camphora (bahasa Latin/Yunani), al canfor (Spanyol), kamphor (Jerman), campher (Inggeris), kafura (Arab), campgre (Perancis), dan kamfora (bahasa Rusia), serta haboruan (bahasa Batak).
4. Kapur barus dalam perdagangan antar bangsa
Melalui sumber tertulis diperoleh gambaran bahwa kapur barus merupakan komoditi dagang yang telah dikenal para pedagang/musafir Arab dan Cina. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa daerah Barus pada masanya merupakan pusat dagang yang telah menjadikannya bandar internasional yang ramai dikunjungi, bukan hanya oleh kedua bangsa tersebut di atas tetapi juga bangsa lain seperti Belanda, Inggris, Korea dan Jepang (pada masa yang lebih muda). Sementara itu diketahui pula bahwa sumber daya kapur barus, selain dari daerah Barus ternyata juga diperoleh dari sebagian wilayah Sumatera bagian timur, Kalimantan, Brunei, dan di bagian selatan Semenanjung Malaysia.
Keletakkan daerah-daerah di wilayah barat Kepulauan Nusantara menempati posisi strategis di persilangan hubungan Barat dan Timur jelas merupakan faktor penting bagi terbukanya hubungan pelayaran dan perdagangan dengan dunia luar. Proses transaksi dan distribusi komoditi dilakukan melalui pasar di pelabuhan maupun di daerah pedalaman. Demikian pula beberapa pelabuhan di Sumatera bagian timur dan Kalimantan melakukan kegiatan yang sama. Mereka mengekspor komoditi kapur barus dan komoditi dagang lainnya ke luar negeri melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera. Kegiatan perdagangan ini berlangsung karena didukung oleh sumber daya alam yang melimpah dengan kondisi tanah yang subur dan iklim yang tropis tempat bagi tumbuhnya tanaman bernilai ekonomis.
Melalui komoditi kapur barus setidaknya telah tergambar adanya kontak budaya antara penduduk setempat dengan masyarakat dunia yang kelak mengenalkannya pada budaya-budaya besar, seperti Arab, Cina, India, dan Eropa. Kontak budaya tersebut awalnya didasari oleh suatu hubungan pelayaran dan perdagangan, yang kemudian kadang juga juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti misi keagamaan. Dilihat dari latar sejarah di Sumatera khususnya dan pola perdagangan di Nusantara pada umumnya, sebagai penggerak dinamika kebudayaan, timbulnya hubungan pelayaran dan perdagangan ini disebabkan oleh: a. kebutuhan manusia akan komoditi yang menggerakkannya untuk mendapatkan melalui upaya pertukaran atau jual-beli dan kegiatan ekspor-impor terutama di daerah pesisir; b. kebutuhan manusia akan pengetahuan baru – dalam hal ini untuk mendapatkan komoditi baru atau komoditi khas yang tidak ada di daerah asalnya – juga menggerakkannya ke luar ranah pengetahuan asalnya. Kedua jenis kebutuhan tersebut mendorong orang untuk pergi ke negara-negara lain (yang dihuni bangsa-bangsa lain) yang diantaranya terletak di seberang lautan.
Mengacu pada sumber-sumber berita tertulis dari Arab dan Cina di atas dapat diketahui bahwa Barus dan Sriwijaya dengan beberapa daerah bawahannya pernah memegang peranan sebagai pusat perdagangan penting di masa lampau. Demikian pula dengan daerah lainnya di bagian barat Nusantara. Ramainya perdagangan di kawasan tersebut sekaligus menggambarkan adanya korelasi erat antara besarnya volume perdagangan dengan frekuensi kunjungan/kesinggahan perahu-perahu di suatu pelabuhan. Demikian pula dengan jaringan lalulintas di sebuah negeri kepulauan di Nusantara, fungsi pelabuhan merupakan penghubung antara jalan maritim/air dan jalan darat.
5. Penutup
Kapur barus, nama yang cukup populer tetapi banyak orang yang sebetulnya tidak kenal akan benda dimaksud, baik menyangkut warna, bentuk, dan bahannya. Saat ini orang malah lebih kenal dengan apa yang dinamakan kamper. Bila kapur barus selalu dikaitkan dengan keberadaan Barus sebagai nama sebuah tempat di pesisir barat Sumatera, tidak demikian halnya dengan kamper.
Cukup banyak sumber tertulis asing yang menceritakan tentang kapur barus, baik menyangkut proses pengambilannya, kualitas barangnya, sekaligus juga peran strategisnya sebagai komoditas pada suatu jalur pelayaran barat–timur yang demikian ramai. Ini juga memunculkan gambaran tentang arti penting komoditi itu bagi sebuah perjalanan panjang persentuhan budaya antar bangsa yang sebagian kecil jejaknya masih dapat diperoleh dalam penelitian arkeologis yang dilakukan. Barus sebagai sebuah pelabuhan pada masanya juga dapat dilihat sebagai pintu masuk yang sangat terbuka bagi kedatangan para pedagang/musafir asing dari Barat maupun Timur.
Oleh karena itu, berkaitan dengan upaya memperkaya khasanah sejarah budaya bangsa, khususnya yang berhubungan dengan komiditas masa lalu, ke depan perlu dilakukan penelusuran kembali keberadaan kapur barus di bagian lain kepulauan Nusantara, sebagaimana disinggung dalam catatan-catatan lama yang dibuat orang asing. Ini akan memperjelas sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga keberadaannya kini, dan yang kelak dapat digunakan bagi acuan ke masa mendatang
Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif, 1998. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Drakard, Jane, 1998. Sejarah Raja-Raja Barus, Dua Naskah dari Barus. Jakarta-Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO
Guillot, Claude, ed., 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Koestoro, Lucas Partanda dkk., 1999. Laporan Penelitian Arkeologi Ekskavasi Permukiman Kuna Di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)
Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Marsden, William, 1999. Sejarah Sumatra (diterjemahan oleh A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ptak, Roderich, 2002. Kumpulan Rujukan Cina yang Mungkin Berkaitan Dengan Daerah Barus (Dari Dinasti Tang sampai Dinasti Ming), dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. …
Stéphan, Nouha, 2002. Kamper Dalam Sumber Arab dan Persia Produksi dan Penggunaannya, dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 215–220
Tjandrasasmita, Uka, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III, Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaa-Kerajaan Islam di Indonesia (± 1500-1800). Jakarta: Balai Pustaka
Wibisono, Sonny Chr, 1986. Pemukiman Kuno Di Barus : Model Ekologi, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, hal. …
Wolters, O, 1967. Early Indonesian Commerce, Ithaca: Cornel University Press
Whitten, A.J. dkk., 1984. The Ecology Of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Sumber: