Pages

Monday, December 29, 2014

ASAL-USUL SUKU NIAS DITINJAU DARI ARKEOLOGI: Suku Nias Sudah Ada Sejak 12.000 Tahun Lalu?


ASAL-USUL SUKU NIAS DITINJAU DARI ARKEOLOGI

Suku Nias Sudah Ada Sejak 12.000 Tahun Lalu?

18/04/2013


Ketut Wiradnyana | Foto: NBC/Ketjel Parangdjati
NBC — Pencarian asal-usul suku Nias secara ilmiah terus dilakukan. Setelah penelitian lewat DNA, giliran arkeolog yang berbicara. Penelitian yang dilakukan selama hampir 15 tahun dari tim yang dipimpin Arkeolog Ketut Wiradnyana dari Badan Arkeologi Medan ini justru memiliki perbedaan dengan yang sebelumnya.
Penemuan didasarkan pada benda-benda purbakala yang ditemukan di Nias. Penelitian yang dimulai sejak tahun 1995 hingga 2007 ini dilakukan di tiga daerah, yakni Nias Utara, Gunungsitoli, dan Nias Selatan. Dari ketiga daerah tersebut ditemukan benda-benda purbakala yang mengindikasikan, kapan kebudayaan manusia di Pulau Nias dimulai. Penemuan benda-benda purbakala tersebut menjadi dasar kesimpulan tentang asal-usul suku Nias.
“Kami sudah keliling Nias, tetapi hanya di tiga daerah itu saya menemukan benda-benda purbakala peninggalan nenek moyang suku Nias,” kata Wiradnyana kepada NBC saat diwawancara seusai pelaksanaan Seminar Internasional Asal-Usul Suku Nias Ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala, Sabtu lalu (13/4/2013). Hasil penelitian ini merupakan salah satu materi yang disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan di Aula Santo Yakobus Laverna, Gunungsitoli.
Tidak hanya berdasarkan kajian teoretis, penentuan usia benda-benda purbakala yang ditemukan itu disertai dengan carbon dating. Ini adalah suatu teknik untuk mengetahui umur karbon yang terdapat pada makhluk hidup ataupun sisa pembakaran yang akan menjadi dasar mengetahui tahun budaya di mana sampel ditemukan.
Temuan yang Mengejutkan
Penemuan yang cukup mengejutkan dalam penelitian yang dilakukan Wiradnyana bersama tim salah satunya adalah bahwa Pulau Nias telah dihuni sebelum 12.000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan penemuan peralatan batu yang sangat sederhana, seperti kapak genggam, kapak perimbas, penetak, dan batu pukul di Daerah Aliran Sungai (DAS) Muzöi dan Sungai Sinötö di Kabupaten Nias Utara.
Peralatan semacam ini hanya ada pada masa paleolitik, yakni suatu zaman batu yang tertua dalam masa prasejarah. Sayangnya, belum ada penelitian intensif tentang benda-benda purbakala ini sehingga kapan masa paleolitik di Pulau Nias dimulai masih belum diketahui. Akan tetapi, setelah dibandingkan dengan penemuan benda purbakala di Goa Tögi Ndrawa, masa paleolitik di DAS Muzöi dan Sungai Sinötö tersebut diperkirakan lebih tua dari 12.000 tahun.
Benda-benda purbakala yang ditemukan di Goa Tögi Ndrawa, Desa Lelewönu Niko’otanö, Gunungsitoli, ini berupa alat serpihan dari batu, peralatan dari tulang, peralatan berbahan tanah dan cangkang kerang. Peninggalan ini membuktikan adanya sekelompok manusia yang pernah beraktivitas di wilayah ini, tetapi sedikit lebih maju dari masa sebelumnya. Masa yang berlangsung sekitar tahun 12.000-an tahun lalu ini disebut masa mesolitik.
Peralatan seperti ini adalah peninggalan kelompok Hoabinh yang umumnya diusung oleh ras Australomelanesoid. Hal ini didasarkan pada bentuk dan ciri khas peralatan tersebut. Kelompok Hoabinh tersebar di seluruh Asia Tenggara, China bagian selatan, dan Taiwan. Goa lain yang mengindikasikan budaya masa mesolitik adalah Goa Tögi Mbögi di Desa Binaka, Gunungsitoli Idanoi. Di goa ini ditemukan alat serpih, peralatan berbahan tanah, dan variasi sisa moluska yang memiliki kesamaan dengan penemuan di Goa Tögi Ndrawa.
Penelitian ini tentu saja mematahkan budaya megalitik (budaya batu besar) sebagai budaya tertua di Nias. Berdasarkan carbon dating, budaya megalitik Nias baru dimulai sejak 600 tahun lalu. Budaya megalitik tersebar hampir di seluruh perkampungan tua, baik di Kabupaten Nias maupun Nias Selatan.
“Ini yang orang salah paham. Berdasarkan penemuan di Muzöi sudah ada manusia di Nias sebelum 12.000 tahun lalu, tetapi kita tidak tahu darimana asalnya. Kemudian ditemukan benda purbakala pada 12.000 tahun lalu di kedua goa yang ada di Gunungsitoli yang berasal dari kebudayaan Hoabinh dengan ras Australomelanesoid,” kata Wiradnyana.
Menurut dia, ciri-ciri ras Australomelanesoid sangat berbeda dengan ras Mongoloid yang kemudian datang ke Nias Selatan. Perbedaan itu di antaranya bentuk tengkorak yang lebih lonjong dan badan atau tulang yang lebih kekar.
Mengingat begitu kuatnya folklore yang berkembang di masyarakat Nias tentang leluhur suku Nias yang turun di Börönadu, lanjut Wiradnyana, juga telah dilakukan penelitian. Dari hasil penelitian budaya megalitik itu terungkap, usia peradaban tersebut berasal dari abad ke-14. Begitu pula dengan daerah lainnya di Nias Selatan yang ternyata memiliki peradaban yang masih muda usianya.
“Rupanya manusia di sini berasal dari ras Austronesia. Ras Austronesia memiliki budaya megalitik yang datang belakangan, kemudian menyebar ke utara dan memengaruhi budaya ras Australomelanesoid atau mungkin bergabung dengan mereka,” ujar Wiradnyana.
Cikal bakal ras Austronesia ini, kata Wiradnyana, berasal dari China bagian Selatan lalu ke Taiwan kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Filipina dan Sulawesi. Paling tidak, ada 3 periode migrasi yang baru diketahui oleh para arkeolog. Hal ini berarti kemungkinan adanya migrasi lain yang perlu diteliti lebih jauh untuk memastikan asal-usul suku Nias yang sebenarnya.
Penemuan mengejutkan lainnya adalah adanya kesamaan budaya antara temuan yang terdapat di Goa Tögi Mbögi dengan budaya Toala yang berkembang di Sulawesi Selatan. Temuan tersebut berupa mata anak panah. Keberadaan budaya Toala mengindikasikan ada kelompok orang yang berbeda datang ke Nias.
Arkeologi Versus DNA
Adanya penemuan kebudayaan manusia dari berbagai masa di Pulau Nias membuat Wiradnyana sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang suku Nias tidak hanya berasal dari satu daerah seperti yang diperkirakan selama ini. Bila mengingat hasil penemuan suku Nias ditinjau dari DNA sebelumnya, bisa jadi akan membingungkan masyarakat Nias.
“Apa yang ditemukan Mannis itu kan DNA orang Nias yang dari ras Austronesia yang datangnya belakangan. Yang di Muzöi itulah manusia pertama yang sampai sekarang belum kita ketahui darimana asalnya,” kata Wiradnyana.
Menurut dia, penemuan arkeologi dan tes DNA dapat disinkronisasikan bila ditemukan tulang atau tengkorak manusia. Sayangnya, tulang atau tengkorak yang ia maksud belum ditemukan di lokasi penemuan benda-benda purbakala tersebut.
Meskipun demikian, Wiradnyana mengatakan, penelitian yang dilakukan, baik dia maupun Mannis, sama-sama bertujuan membuka jalan berikutnya untuk penelusuran lebih jauh tentang asal-usul suku Nias. Sebab, hasil DNA itu belum mampu menjawab hasil temuannya, seperti siapa dan darimana manusia yang tinggal di DAS Muzöi?
Perlu Penelitian Lebih Lanjut
Keragaman budaya dari temuan benda-benda purbakala di Nias mulai dari budaya Paleolitik, Mesolitik (Hoabinh dan Toala) dan megalitik menjadikan masyarakat Nias sebagai masyarakat yang plural. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan fisik, bahasa, bahkan budaya antara masyarakat Nias bagian Utara dan Selatan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan asal-usul suku Nias. Apalagi belum ditemukan tengkorak atau sisa tulang belulang manusia di sekitar penemuan benda-benda purbakala di daerah tersebut. Belum lagi soal jalur migrasi yang ditempuh dan relief perahu yang ditemukan di Nias menambah daftar pertanyaan darimana sesungguhnya suku Nias?
Penelitian lebih lanjut tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah di Pulau Nias sebab dana yang dibutuhkan sangat besar. Wiradnyana menyimpan harapan yang besar akan hal tersebut.
“Mudah-mudahan pemerintah daerah di Pulau Nias memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan penelitian ini sehingga masyarakat Nias dapat dengan tegas menyatakan identitas dirinya,” ujarnya.
Penemuan yang cukup mengejutkan ini tentu mengundang kontroversi dari masyarakat Nias yang memiliki pandangan masing-masing yang telah diyakini sejak lama. Namun, Wiradnyana menganggap hal itu merupakan hal yang biasa karena pemahaman masyarakat yang masih terbatas.
“Penelitian yang kita lakukan itu dilihat dari berbagai aspek tidak hanya metodologi, arkeologi, dan antropologi, tetapi juga metode fisika dan kimia melalui carbon dating untuk memvalidkan apa yang kita hasilkan sehingga benar-benar bisa diterima,” kata Wiradnyana.
Ketut Wiradnyana, lahir pada 26 April 1966 adalah peneliti arkeologi masa prasejarah. Ia bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi Medan dari tahun 1994 sampai sekarang. Ia telah melakukan berbagai penelitian di beberapa daerah di Indonesia dan sering diundang sebagai pembicara baik dalam maupun luar negeri. Salah satu temuannya yang mengundang kontroversi adalah membuka tabir sejarah dan ilmu pengetahuan dunia tentang hunian prasejarah dan migrasi yang ditemukan di Dataran Tinggi Gayo dan selama ini belum dimasukkan dalam buku sejarah Indonesia dan dunia. [ANOVERLIS HULU]

Sumber:
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2013/04/suku-nias-sudah-ada-sejak-12-000-tahun-lalu/#sthash.N0LhYPoP.dpuf

SEMINAR ASAL-USUL SUKU NIAS: Setelah 10 Tahun Diteliti, DNA Orang Nias Sama dengan Orang Taiwan


SEMINAR ASAL-USUL SUKU NIAS

Setelah 10 Tahun Diteliti, DNA Orang Nias 

Sama dengan Orang Taiwan

16/04/2013


Anoverlis Hulu, reporter NBC, saat mewawancarai Mannis van Oven, wakil dari Institute of Human Genetics Westfälische Wilhelms Universtät, Münster, Jerman, Sabtu (13/4/2013). | Foto: NBC/Ketjel Parangdjati
Pengantar RedaksiSabtu, 13 April 2013, “Seminar Asal-Usul Suku Nias Ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala” diadakan di Gunungsitoli. Hasil seminar tersebut akan dirangkum oleh reporter NBC, Anorvelis Hulu,  dalam 2 tulisan.
NBC — Darimana asal suku Nias? Tentu jawabannya pasti beragam. Secara fisik ada yang mengatakan dari China, Thailand, Vietnam, Mongolia, atau Jepang. Sementara secara tradisi lisan, ada yang mengatakan, suku Nias berasal dari langit, nidada. Berbagai pendapat lainnya dari para ahli baik dalam dan luar negeri seputar asal nenek moyang suku Nias juga cukup beragam.
Cara ilmiah pun akhirnya ditempuh untuk mengetahui asal-usul suku Nias, yakni melalui tes DNA. Penelitian ini dilakukan oleh dua peneliti asal Belanda, yakni ahli genetika Professor Ingo Kennerknecht dari University of Münster, Jerman, dan Mannis van Oven, mahasiswa S-3 bidang Biologi Molekuler Forensik, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, Belanda.
Selama 10 tahun dilakukan penelitian terhadap kecocokan DNA orang Nias dengan DNA orang-orang dari beberapa daerah lainnya. Dari hasil penelitian, DNA inilah disimpulkan kalau suku Nias berasal dari Taiwan.
Apa itu DNA?
DNA merupakan singkatan dari Deoxyribonucleic Acid atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Asam Deoksiribosa Nukleat. Dalam DNA terdapat kromosom Y dan mitokondrial DNA (mtDNA).
Kromosom Y adalah salah satu kromosom penentu jenis kelamin dan hanya laki-laki yang memiliki kromosom Y. Kromosom Y diturunkan oleh ayah kepada anak laki-laki. Oleh karena itu, kromosom Y dapat digunakan untuk menyelidiki garis keturunan ayah.
Sementara mtDNA, meski dimiliki laki-laki dan perempuan, tetapi hanya ibu yang dapat menurunkannya kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, mtDNA dapat digunakan untuk mengkaji garis keturunan ibu.
Bagaimana DNA Orang Nias Diteliti?
Sebuah foto warga Nias tempo dulu. Foto: http://ninktelaumbanua.blogspot.com
Bersama dengan Direktur Museum Pusaka Nias yang juga pemerhati sejarah Nias, Pastor Yohannes Hämmerle, Professor Ingo Kennerknecht mengumpulkan 407 sampel darah atau air liur orang Nias dari berbagai klan marga yang tersebar di beberapa wilayah di Nias. Pengumpulan sampel dilakukan pada 2002 dan 2003. Dalam hal ini, mereka dibantu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Nias.
Di Nias Selatan, sampel diambil dari kelompok bangsawan si’ulu, Fau dan Sarumaha. Sementara di Nias bagian Utara (saat itu masih belum pemekaran wilayah) sampel diambil di antaranya dari marga Hia, Ho, Daeli, Zebua, Hulu, Baeha, dan Zalukhu, serta sekelompok orang Nias lainnya yang tersebar di beberapa daerah lainnya di Nias. Dari sampel itu, DNA diekstraksi di laboratorium di Jerman. Ekstraksi itu yang kemudian dianalisis oleh Professor Ingo dan Mannis Van Oven.
Analisis dilakukan dari dua perspektif yang berbeda, yakni kromosom Y dan mtDNA. Dari kromosom Y terdapat dua variasi gen spesifik yang diteliti yakni Single-Nucleotide Polymorphisms (SNPs) dan Short Tandem Repeats (SRTs). Adapun mtDNA dirangkai dalam satu bagian yang disebut Hypervariable Segment I (HVS-I).
Dari analisis ini, mereka menemukan haplogrup. Haplogrup adalah evolusioner golongan bertipe sama, hampir sama seperti golongan darah. Di belahan dunia yang berbeda, perbedaan haplogrup juga terjadi. Haplogrup diindikasikan dengan huruf yang diikuti oleh nomor subgrup. Contoh, Haplogrup A, dapat dibagi menjadi A1, A2, A3, dan seterusnya.
Berdasarkan kajian ilmu pengetahuan, haplogrup kromosom Y di wilayah Asia Timur dan Tenggara didominasi oleh haplogrup O. Oleh karena itu, pertama-tama mereka mengidentifikasi haplogroup O dari sampel yang ada dan hasilnya semua positif. Kemudian dianalisis lagi untuk mengetahui subhaplogrup. Hal yang sama juga dilakukan pada mtDNA.
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa sampel kromosom Y tersebut 100 persen masuk kategori haplogroup O. Hal ini mengindikasikan rendahnya perbedaan genetik di Nias (khususnya dari garis keturunan ayah), tidak seperti daerah lainnya di Sumatera yang biasanya memiliki rentang haplogrup yang luas.
Pada subhaplogrup, semua sampel (kecuali satu) masuk dalam haplogrup O1a (ditandai dengan M119). Kemudian dalam haplogrup O1a, 30 persen di antaranya masuk kategori O1a2 (ditandai dengan M110). Baik M119 dan M110 ditemukan pada suku bangsa asli Taiwan dan keduanya berkaitan dengan penyebaran ras Austronesia.
Bila dilihat secara geografis, haplogrup O-M119 86 persen berada di Nias bagian tengah hingga ke utara dan jarang ditemukan di Nias bagian selatan. Dari semua populasi yang diteliti, haplogrup O-M119 mendominasi di semua tempat. Sementara,keberadaan haplogrup O-M110 di Nias Selatan mengundang tanda tanya besar karena jarang ditemukan pada populasi di daerah sekitarnya.
Perbedaan yang mencolok antara Nias Selatan dengan daerah lainnya di Pulau Nias juga terlihat dalam analisis STR kromosom Y. Belum jelas apakah perbedaan ini terjadi karena diferensiasi dini kelompok ini yang diikuti oleh pengasingan atau perbedaan populasi nenek moyangnya.
Sementara dari analisis mtDNA, ada 18 haplogrup yang ditemukan. Secara geografis, satu haplogrup ditemukan tersebar di seluruh daerah sebesar 40 persen. Haplogrup ini juga berkaitan dengan penyebaran orang Taiwan. Hampir semua haplogrup mtDNA yang terdeteksi di Nias serupa dengan suku asli Asia bagian timur (dan mungkin ras Austronesia). Hanya dua haplogrup yang mungkin berasal dari Asia Tenggara (2 persen). Meskipun demikian, ruang distribusinya tidak seekstrem pada hasil kromosom Y.
Ketika perbedaan tingkat genetika ini dibandingkan dengan populasi lainnya di luar Nias, jelas terlihat bahwa perbedaan genetika orang Nias sangat kecil dibanding populasi di Asia Timur, Tenggara dan Oceania, terutama kromosom Y-nya. Pengamatan ini mengindikasikan asal usul nenek moyang cukup kuat atau terjadinya hambatan dalam sejarah populasi orang Nias terutama kaum prianya.
Semua tipe kromosom Y dan hampir semua tipe mtDNA di Nias bisa dihubungkan dengan nenek moyang ras Austronesia yang sebagian besar berasal dari Taiwan, yang kemudian melewati Filipina dan menyebar ke Pulau-pulau di Asia Tenggara sekitar 4.000-5.000 tahun lalu. Data ini didukung juga dengan bahasa Nias yang masuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Masih Perlu Diteliti Lebih Lanjut
Hasil ini tentu saja mengundang kontroversi dari masyarakat Nias yang merasa bahwa penemuan ini belumlah sesuai dengan cerita turun-temurun nenek moyang, selain adanya perbedaan fisik dan bahasa dengan orang Taiwan.
Menanggapi hal ini, Mannis van Oven justru mengaku tidak menduga akan hal tersebut, Namun, ia sangat mengapresiasi kontroversi itu dan menganggapnya sebagai suatu keunikan tersendiri dari masyarakat Nias.
“Pengetahuan saya soal masyarakat Nias memang sangat minim. Jadi bagi saya itu tidak menjadi masalah,” tuturnya pada NBC seusai acara Seminar Asal-Usul Suku Nias Ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala, Sabtu (13/4) lalu.
Penemuan yang masih belum mencapai hasil akhir ini memang akan diteliti lebih dalam lagi. Sebab, bila dihitung secara angka, kesamaan DNA orang Nias dengan Taiwan hanya 40 persen dan sebagian kecil di Filipina. Hal ini mengindikasikan bahwa sisanya berasal dari daerah lain.
“Masih banyak yang perlu dilakukan pada penelitian DNA orang Nias ini. Saya rasa langkah pertama adalah mencari variasi genetik tambahan di luar kromosom Y dan mtDNA,” tutur Mannis. Namun, untuk saat ini, Mannis mengaku akan berkonsentrasi pada penelitian genetiknya di Papua Niugini.
Mannis van Oven lahir di Amsterdam, Belanda, pada tahun 1983. Saat ini ia menjadi mahasiswa S-3 bidang Biologi Molekuler Forensik, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, Belanda. Beberapa karya ilmiah yang pernah ia publikasikan bersama rekan-rekannya di antaranya Haplogrouping mitochondrial DNA sequences in Legal Medicine/Forensic Genetics (Pengelompokan urutan haplogrup mtDNA pada ilmu kedokteran/genetika forensik) yang diterbitkan di Jurnal Internasional Ilmu Kedokteran dan A “Copernican” reassessment of the human mitochondrial DNA tree from its root (Tinjauan kembali “Copernican” pada pohon mtDNA dari sumbernya) yang diterbitkan oleh American journal of human genetics. [ANOVERLIS HULU]

Sumber:
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2013/04/setelah-10-tahun-diteliti-dna-orang-nias-sama-dengan-orang-taiwan/#sthash.K9r6JZal.dpuf

SEMINAR ASAL-USUL SUKU NIAS: Seminar Hasil Penelitian DNA “Ono Niha” Digelar

SEMINAR ASAL-USUL SUKU NIAS

Seminar Hasil Penelitian DNA “Ono Niha” Digelar

Anoverlis Hulu, reporter NBC, saat mewawancarai Mannis van Oven, wakil dari Institute of Human Genetics Westfälische Wilhelms Universtät, Münster, Jerman, Sabtu (13/4/2013). | Foto: NBC/Ketjel Parangdjati
GUNUNGSITOLI, NBC — Seminar Internasional Asal Usul Suku Nias telah diselenggarakan pada Sabtu (13/4/2013), di Gedung Serba Guna Santo Yakobus, Gunungsitoli, Nias. Seminar hasil kerja sama antara Museum Pusaka Nias dan Yayasan Gema Budaya Nias ini dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai kalangan, antara lain budayawan, rohaniwan, pekerja sosial, guru, dan pelajar.
Tepat pukul 09.00 Seminar International Asal Usul Suku Nias dibuka oleh Wali Kota Gunungsitoli Martinus Lase diiringi oleh fanguhugö li (membuka secara resmi). Melalui kata sambuatannya, Martinus Lase mengatakan, “Visi Kota Gunungsitoli sebagai ‘Kota Samaeri’ memperlihatkan semangat untuk melestarikan bahasa dan budaya kepulauan Nias.”
Ketua panitia seminar, Sukawati Zalukhu, kepada NBC, mengatakan, “Sehari sebelumnya kami sudah melaksanakan seminar dengan tema yang sama, di Gedung Defnas, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, pada Jumat (12/4/ 2013). Banyak peserta berpendapat agar penelitian tentang asal usul suku nias dilanjutkan, bukan hanya dari sisi DNA  atau arkeologi dan budaya saja, tetapi juga dari sisi kesehatan dan lain-lain.”
Penelitian ilmiah DNA asal-usul suku Nias telah dilakukan selama 10 tahun oleh pakar DNA, Prof. Dr. Med. Ingo Kennerknecht dan Manfred Kayser dari Institute of Human Genetics Westfälische Wilhelms Universtät, Münster, Jerman, dibawakan oleh narasumber asal Belanda yang merupakan wakil dari tim peneliti tersebut, yaitu Mannis van Oven dan Dr. Sutopo, ahli DNA Nasional tamatan Jepang yang kini aktif sebagai dosen di Universitas Diponegoro, Semarang.
Berguna bagi Rohaniwan
Salah seorang peserta yang diwawancarai oleh NBC, Pendeta Ucha Gea, mengatakan, “Ada 2 pendekatan yang dijabarkan, yaitu arkeologi dan DNA. Hal ini bila terus digali dengan menggunakan metodologi penelitian, dapat memperkaya khazanah budaya Nias dan kesimpulan sebuah penelitian akan terus berkembang karena akan selalu ditinjau dan dikaji ulang.”
Ucha menambahkan, seminar ini baik sekali bila diikuti oleh rohaniwan karena dengan mengetahui asal-usul suku Nias yang merupakan wilayah dampingan yang dilayaninya maka rohaniwan tersebut dapat menemukan strategi yang tepat bagaimana melayani di tempat itu.
Seminar yang mengangkat dua hasil penelitian penting terkait penelitian ilmiah DNA dan penelitian arkeologis,antropologis, etnologis, untuk menjelaskan secara ilmiah asal-usul suku Nias yang selama ini masih merupakan misteri bagi ilmu pengetahuan dunia. [KPZ]

Sumber:
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2013/04/seminar-hasil-penelitian-dna-ono-niha-digelar/#sthash.zJWvpVLx.dpuf

Arkeolog: Tanoh Gayo sudah dihuni manusia 8430 tahun lalu

Arkeolog: Tanoh Gayo sudah dihuni manusia 8430 tahun lalu

Ketut Wiradnyana di Loyang Mendale Takengon. (LGco-Kha A Zaghlul)
Ketut Wiradnyana di Loyang Mendale Takengon. (LGco-Kha A Zaghlul)
Takengon-LintasGayo.co : Peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan Sumatera Utara  kembali mengupdate data umur temuan tentang kehidupan pra sejarah Gayo di Loyang Mendale Kecamatan Kebayakan Aceh Tengah.
Sebelumnya dinyatakan telah ada kehidupan di Loyang Mendale sekitar 7500 tahun lalu, kini dipastikan lebih tua yakni 8430 tahun yang lalu sudah ada aktivitas manusia di Loyang tersebut.
“Saya baru saja mendapat informasi dari Batan (Badan Tenaga Atom Nasional-red) jika sampel berupa tulang kaki gajah yang ditemukan disini berusia 8430 tahun lalu,” ujar Arkeolog Ketut Wiradnyana di Loyang Mendale, Jum’at 11 Juli 2014. Dijelaskan, dari analisa mereka, gajah dikomsumsi manusia saat itu selain hewan lain serta tumbuhan-tumbuhan.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga masih menunggu hasil tes DNA (deoxyribonucleic acid-red) dengan sampel tulang gigi manusia pra sejarah Loyang Mendale dan Ujung Karang dari Universitas California Santa Cruz.
Kerangka manusia pra sejarah di Loyang Ujung Karang Kecamatan Kebayakan Aceh Tengah. (LGco_d'aKa)
Kerangka manusia pra sejarah di Loyang Ujung Karang Kecamatan Kebayakan Aceh Tengah. (LGco_Khalis)
“Memang tes DNA sudah dilakukan oleh Lembaga Eikjman Jakarta dan sudah ada hasilnya, diantaranya DNA Urang Gayo sama dengan Batak, namun ada beberapa data lagi yang ingin kita dapatkan dan pihak Eikjman meminta bantuan ke California,” terang Ketut.
Seperti diberitakan media ini sebelumnya, tim Arkeolog Balar Medan kembali melakukan penelitian lanjutan di Takengon karya diyakini masih banyak data Arkeologis yang belum tergali dari tempat tersebut dan tempat-tempat lain di dataran tinggi Gayo. (Khalisuddin)

Sumber:
http://lintasgayo.co/2014/07/11/arkeolog-tanoh-gayo-sudah-dihuni-manusia-8430-tahun-lalu

Temuan Arkeologis Di Gayo Untuk Ilmu Pengetahuan Dunia


By  on July 16, 2014
0
TAKENGEN| Lintas Gayo- Temuan kerangka manusia prasejarah dan ragam benda kuno berusia ribuan tahun lalu di Loyang Mendale serta Ujung Karang, Aceh Tengah, diharap bukan hanya jadi milik warga lokal.

Namun, hendaknya keberadaannya bisa ‘disumbangkan’ bagi kepentingan ilmu pengetahuan masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Sehingga sejarah peradaban manusia dapat diketahui secara turun temurun oleh para generasi penerus.

Demikian papar, Kepala Dinas Kebudayaan dan Parawisata Provinsi Aceh, Reza Pahlevi kepada Waspada, Selasa (15/7) ketika mengunjungi sekaligus memantau kondisi ceruk temuan prasejarah. Dimana kini keberadaannnya sedang dalam proses ekskavasi lanjutan oleh tim Balar Medan.

“Kawasan lokasi ekskavasi ini ke depannya akan terus kita perhatikan. Dan harus dijadikan cagar budaya yang dilestarikan. Bagaimana mekanismenya, tentu terlebih dahulu kami melakukan koordinasi, baik dengan pihak terkait kabupaten maupun para ahli arkeologi,” sebut Reza.

Menurut dia, selain temuan kerangka dan benda kuno lainnya berusia ribuan tahun yang sangat dibutuhkan bagi menunjang pengetahuan masyarakat dunia, juga keberadaanya bisa dijadikan sebagai obyek wisata sejarah.

“Benda-benda arkeologis ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan, khususnya tentang beradaban manusia. Untuk itu, keberadaannya akan di museumkan. Dengan begitu tentu kelestariannya juga akan lebih terjamin serta lebih mudah diakses oleh siapapun yang berkepentingan untuk mempelajarinya,” ucapnya.

Kadisbudparpora Aceh Tengah, Amir Hamzah yang ikut mendampingi Kadis Budpar Aceh, menambahkan, guna membantu tim Balar Medan untuk melakukan ekskavasi lanjutan, tahun depan pihaknya akan berupaya mengusulkan dana bantuan dari daerah.

“Untuk tahun depan (2015-red) kami dari dinas berupaya mengusulkan dana tambahan guna membantu tim Balar Medan melanjutkan penelitian. Apalagi mereka juga telah menyampaikan, bahwa memperlengkap data sebelumnya, masih diperlukan survei di goa-goa di seputar danau maupun aktifitas arkeologis lainnya,” ujarnya.

Ketua tim Balar Medan, Ketut Wiranyana saat dimintai keterangannya secara bersamaan menjelaskan, sampai hari ini (Selasa-red) pihaknya belum menemukan temuan terbaru dalam ekskavasi lanjutan itu.

“Meski penelitian dan penggalian kami, terus berlanjut baik di Loyang Mendale dan Ujung Karang, namun benda arkeologis yang ada masih hasil temuan sebelumnya. Belum ada perbedaan. Tim ini juga akan terus berupaya mencari data terbaru tentang keberadaan kerangka manusia yang usianya dimungkinkan berasal dari zaman 8000-an tahun lalu. Sehingga hal itu bisa disesuaikan dengan fragmen tulang gajah berusia 8.430 tahun lalu yang diduga merupakan sisa bahan konsumsi manusia pada zaman pra sejarah,” ringkas Ketut. (cb09/ Waspada edisi Rabu 16 Juli 2014).

Sumber:
http://www.lintasgayo.com/49596/temuan-arkeologis-di-gayo-untuk-ilmu-pengetahuan-dunia.html

Wednesday, December 24, 2014

Menggali Sisa Budaya Prasejarah Merangkai Identitas Masyarakat Gayo

Menggali Sisa Budaya Prasejarah Merangkai Identitas Masyarakat Gayo

By  on October 13, 2012
Oleh : Ketut Wiradnyana*
Arkeolog Ketut Wiradnyana memaparkan hasil penelitiannya tentang manusia prasejarah Gayo.(Lintas Gayo | 007)
I.  Pendahuluan
Gayo merupakan salah satu etnis yang memiliki peran budaya prasejarah yang kuat dalam pembentukan kebudayaan di dataran tinggi Pulau Sumatera bagian utara. Berbagai bukti arkeologis telah menunjukkan adanya migrasi dan tentu juga disertai dengan budaya ke wilayah sekitarnya. Namun informasi yang berkembang sebaliknya, bahwa etnis Gayo merupakan bagian (berasal) dari etnis lain  (Batak Toba). Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat begitu gencarnya informasi yang ditampilkan, sehingga berbagai aspek ilmiah kerap diabaikan dan aspek folklor diutamakan. Atau berbagai aspek ilmiah yang lebih baru dijadikan dasar bagi legitimasi atas seluruh budaya yang ada pada masa kini dalam tataran wilayah administratif.
Tinggalan arkeologis yang dihasilkan dari serangkaian penelitian menunjukkan bahwa masyarakat prasejarah di Tanoh Gayo telah memiliki kebudayaan yang maju. Berbagai aspek kebudayaan ditemukan pada kelompok masyarakat ini dan berkesinambungan hingga masa –masa kemudian.
Identitas yang ada pada masyarakat Gayo sangat penting diketahui dari sejak proses munculnya manusia dan kebudayaan hingga masa-masa selanjutnya. Hal tersebut akan membantu mengetahui sejarah budaya masyarakat, memberikan pemahaman pluralisme dan multikulturalisme hingga menjadi jatidiri masyarakatnya.
Dalam konteks ilmu pengetahuan, situs di Tanoh Gayo memiliki peran penting, diantaranya sebagai salah satu bukti adanya migrasi Australomelanesoid di pedalaman Sumatera dan juga Austronesia di Indonesia bagian barat. Selama ini ada kecenderungan aktivitas Australomelanesoid hanya di pesisir saja dan Austronesia kerap dikaitkan dengan alur migrasi di Indonesia bagian timur.
Dalam konteks kebudayaan lokal, berbagai budaya prasejarah yang terekam, tampaknya memberikan  kontribusi yang kuat bagi kebudayaan Gayo khususnya kebudayaan pra Islam.
II.  Situs dan Data Arkeologis
Situs Loyang Mendale, Loyang Ujung Karang dan juga Putri Pukes yang berada di  Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah merupakan situs yang mengkonstribusikan data arkeologis menyangkut proses budaya yang telah berlangsung selama ini.
Survei permukaan yang dilakukan dengan menelusuri empat ceruk di kelompok Loyang Mendale menghasilkan fragmen gerabah dan alat batu. Dari temper dan teknik fragmen gerabah dimaksud menunjukkan aspek kekunaan. Sedangkan aspek teknologi serta morfologi artefak batu menunjukkan budaya yang serupa dengan Hoabinh.  Hasil survei di bawah permukaan air Danau Lut Tawar menghasilkan fragmen gerabah polos dan berhias dari budaya yang lebih muda yaitu periodisasi kolonial.
Ekskavasi di Loyang Mendale, Loyang Ujung Karang  dan Loyang Putri Pukes menghasilkan artefak yang berbahan batu, tulang, tanah liat, cangkang kerang dan lainnya. Artefak tersebut ditemukan dalam lapisan budaya yang berbeda yang mengindikasikan adanya proses babakan masa yang berkesinambungan. Adapun artefaktual  dimaksud diantaranya adalah artefak batu teridentifikasi sebagai kapak genggam, beliung dan serpih selain batu pukul. Artefak yang berbahan cangkang moluska adalah alat serpih. Sedangkan untuk artefak berbahan tanah liat merupakan fragmen periuk baik yang berhias ataupun tidak. Artefak berbahan tulang merupakan lancipan dan sudip, serta artefak berbahan taring merupakan mata kalung dan artefak yang merupakan sisa wadah yang dibuat dengan menganyam rotan.
Untuk temuan berupa ekofak diantaranya teridentifikasi sebagai tulang hewan, anjing, ular, kerbau, moluska, capit kepiting dll, sedangkan yang lainnya berupa cangkang kemiri. Sedangkan temuan yang lainnya selain arang sisa pembakaran, tanah liat terbakar (bahan gerabah) juga kerangka manusia.
Dari  6 (enam) kerangka manusia yang lengkap ditemukan di situs tersebut  teridentifikasi  3 (tiga) diantaranya berumur diatas 21 tahun dengan kerusakan gigi yang masif dan 3 (tiga) yang lainnya berumur di bawah 21 tahun. Secara umum kerangka tersebut memiliki ciri ras Mongoloid (atap tengkorak agak tinggi dan membulat dengan muka datar dan lebar) yang  menunjukkan tinggi badan antara 150-160 Cm. Kerangka –kerangka dimaksud sengaja dikubur dengan lubang kubur yang lonjong dan diberi bekal kubur. Gigi pada kerangka rata sebagai upaya pemanguran (filing).
III.   Merangkai Identitas
Sebelum 7400 ± 140 BP telah ada kelompok orang dengan ras Australomelanesoid yang tinggal di pesisir-pesisir timur Pulau Sumatera. Mereka adalah pengusung budaya  Hoabinh, yaitu sebuah budaya yang berasal dari Vietnam bagian utara yang hidup dengan mengeksploitasi biota marin (Bellwood, 2000). Peralatan batunya sangat khas yang disebut sumatralith. Alat batu ini dibuat dari kerakal yang dipangkas di seluruh sisinya, sehingga tajamannya cenderung di seluruh sisinya. Salah satu bidangnya masih menyisakan korteks, sedangkan bidang yang lainnya tidak lagi menyisakan korteks.
Di pesisir timur Sumatera hingga dataran tinggi, diindikasikan ada beberapa kelompok manusia pendukung budaya Hoabinh. Mereka hidup dengan cara berburu dan juga menangkap ikan serta mengumpulkan berbagai jenis kerang-kerangan ataupun siput sebagai bahan pangan. Pada kisaran 3.870 ± 140 BP hingga 4.120 ± 140 BP di sekitar hunian situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang ditemukan pollen polong-polongan, kacang-kacangan dan kangkung-kangkungan. Hal tersebut mengindikasikan pada masa itu mereka telah melakukan upaya bercocok tanam sederhana (Wiradnyana, 2012b).
Mereka telah membuat rumah panggung, yang ditempatkan di sekitar muara-muara sungai. Para perempuan, anak-anak dan orang tua tinggal di rumah dan para lelaki dewasa pergi berburu. Kematian dalam aktivitas perburuan menjadikan mereka mengubur si mati di lokasi perburuan. Bagi kelompok perempuan, anak-anak dan orang tua kalau meninggal, mereka dikubur di sekitar hunian. Para pemburu inilah yang kemungkinan mempunyai ide untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengingat ruang jelajah kelompok ini lebih luas dari kelompok perempuan, maka berbagai kondisi ketersediaan bahan pangan dan juga lokasi yang ideal untuk hunian dapat diketahui dengan baik oleh para pemburu.
Aspek lain dalam kaitannya dengan perpindahan wilayah hunian, diantaranya keterbatasan bahan pangan, bencana alam seperti banjir dan mungkin juga tsunami mereka berpindah dengan menyusuri sungai-sungai yang bermuara di laut di sekitar tempat tinggalnya. Sungai digunakan sebagai upaya untuk memudahkan ruang gerak baik dari perburuan maupun dari upaya perpindahan tempat hunian, dan pemilihan Loyang Mendale dan Ujung Karang sebagai tempat hunian juga dimungkinkan menggunakan akses sungai.
Pemilihan lokasi hunian di Loyang Mendale dan Ujung Karang, selain berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti tempat untuk berteduh, mengolah bahan makanan, sebagai lokasi perbengkelan  juga sebagai tempat penguburan.  Pemilihan lokasi tersebut tentu tidak lepas dari keletakkannya yang sangat ideal yaitu tersedianya gua dan ceruk yang memadai bagi tempat berteduh. Lokasi dimaksud dekat dengan sumber air danau dan juga lokasinya relatif datar sehingga ideal bagi kehidupan.
Pada sekitar 7400 ± 140 BP, mereka masih hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Binatang buruannya merupakan binatang yang banyak terdapat di sekitar hunian. Mereka melakukan pengintaian dengan menunggu binatang yang mencari minum di sekitar danau atau di depan gua yang merupakan mata air yang bermuara ke Danau Lut Tawar. Binatang buruan yang didapatkan dan juga kerang serta siput sebagian menyisakan bekas pembakaran sebagai indikasi ada yang dikonsumsi dengan cara dibakar.
Perburuan yang dilakukan kelompok laki-laki dewasa juga dimungkinkan dilengkapi dengan binatang pemburu yaitu anjing. Hal tersebut diketahui dengan adanya kerangka anjing yang masih utuh yang ditarikhkan sekitar 5040 ± 130 BP. Keberadaan kelompok-kelompok dalam kehidupan manusia pendukung budaya  Hoabinh ini mengasumsikan bahwa mereka telah mengenal struktur organisasi sosial dan struktur sosial dalam kehidupannya sekalipun belum tegas benar. Struktur organisasi sosial ditampakkan dalam pembagian kelompok pemburu dan peramu. Kelompok pemburu adalah laki-laki dewasa dan kelompok peramu adalah perempuan, anak-anak dan orang tua. Sedangkan struktur sosial dimungkinkan terjadi dalam masing masing kelompok, dimana kelompok pemburu tentu memerlukan pengorganisasian dalam menjalankan aktivitasnya. Pengorganisasian dimaksud akan menghasilkan struktur. Adanya pengelompokkan orang tua dan anak-anak dalam satu kelompok merupakan konsep yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan upaya pemahaman aspek fisik dan psikologis selain etika. Artinya pada masa itu mereka telah mempertimbangkan berbagai aspek didalam mempertahankan kelompoknya. Selain itu aspek penghormatan terhadap orang tua juga telah dikenal.
Peralatan batu yang digunakan diantaranya: alat berupa kapak genggam yang difungsikan sebagai kapak, alat serpih yang difungsikan sebagai pisau dan mortar yang difungsikan sebagai batu pukul. Kondisi peralatan batu yang ditemukan pada masa itu memiliki teknologi dan morfologi yang sama dengan ketika mereka masih hidup di pesisir Pulau Sumatera, hanya beberapa bagiannya saja mengalami perubahan diantaranya adalah ukuran atau bentuknya yang sedikit berbeda. Perbedaan dimaksud lebih dikaitkan dengan adaptasi manusianya terhadap lingkungan. Bahkan mereka masih menggunakan berbagai alat serpih yang berbahan cangkang kerang untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan pangannya. Kondisi kehidupan dengan budaya tersebut berlangsung hingga sekitar 5040 ± 130 BP.
Pada sekitar 5080 ± 120 BP telah ada kelompok manusia yang lainnya (bukan dari kelompok manusia pendukung  Hoabinh dengan ras Austomelanesoid) bermigrasi ke Tanah Gayo.  Dari aspek budaya yang ditemukan kelompok orang ini memiliki kesamaan dengan kelompok pendukung budaya Austronesia.  Begitu juga dengan ciri-ciri budaya materi seperti gerabah, memiliki ciri yang lebih universal dibandingkan dengan wilayah sebaran penutur Austronesia di tempat lainnya. Gerabah di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang memiliki ciri yang beragam, yang merupakan ciri dari budaya gerabah di Asia Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa migrasi ke wilayah Tanah Gayo telah berlangsung pada awal-awal migrasi penutur Austronesia ke arah barat menuju Sumatera. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan hasil analisa radiokarbon yang cenderung lebih tua dari hasil analisa radiokarbon di Sulawesi.
Alur migrasi Austronesia ke Tanah Gayo kemungkinan dari China Selatan ke Thailand terus ke Sumatera bagian utara. Hal ini di dasarkan atas temuan gerabah poles merah yang memiliki polahias sama dengan gerabah di Situs Ban Chiang, Thailand. Selain itu keletakan geografis yang cenderung ideal bagi pelayaran angin musim, dimana kalau kita bentangkan layar di Thailand dengan tidak mengayuh perahu maka perahu akan berlayar sendirinya ke arah Pulau Sumatera bagian utara.
Di Pulau Sumatera, kelompok ini diketahui bertempat tinggal di Loyang Ujung Karang dan mungkin juga di Loyang Mendale dan Loyang Putri Pukes, dengan unsur budaya yang lebih maju dibandingkan dengan pendukung budaya  Hoabinh. Teknologi  dan religi jelas menunjukkan kemajuan tersebut.
Hasil ekskavasi di Situs Loyang Ujung Karang diketahui bahwa mereka telah mengenal penguburan dengan membuat lubang kubur berbentuk lonjong. Mereka juga menguburkan si mati dengan cara melipat kakinya dan memberi bekal kubur berupa mata panah, wadah yang berupa dianyam dan periuk serta merentangkan si mati dengan orientasi cenderung ke arah Timur-Barat (kepala di Timur dan kaki di Barat/muka menghadap ke timur). Kondisi ini menggambarkan bahwa mereka telah mengenal aspek religi diantaranya mereka telah mempercayai ada kehidupan setelah mati sehingga mereka dibekali dengan berbagai bekal kubur. Bekal kubur juga mengindikasikan upaya mempersiapkan kehidupannya ke masa depan artinya bekal-bekal itu disiapkan untuk kehidupan yang akan dijalani. Aspek ini sangat penting untuk dikembangkan sebagai salah satu kearifan lokal yang telah ditanamkan pada masa prasejarah oleh nenek moyang orang Gayo.
Mereka juga mungkin telah mengenal konsep matahari dimana matahari terbit sebagai simbol kehidupan dan matahari tenggelam sebagai simbol kematian. Sejalan dengan itu maka arah Timur dianggap sebagai arah kehidupan dan arah Barat sebagai arah kematian. Konsep matahari tersebut tampaknya masih diterapkan pada pembangunan rumah tradisional masyarakat Gayo yang selalu membangun rumah adat dengan arah hadap ke Timur. Aspek lainnya juga tampaknya masih berlanjut seperti kepercayaan adanya roh penguasa wilayah tertentu, kepercayaan akan padi memiliki roh sehingga adanya perlakuan berupa upacara inisiasi dan adanya pemanguran gigi yang dulu juga dilakukan masyarakat Gayo tradisional (Hurgronje,1996:216).
Adanya fragmen gerabah yang berhias dan anyaman yang berbahan rotan pada sekitar 4400 ± 120 BP menggambarkan bahwa kelompok manusia masa itu telah mengenal aspek estetika dan mereka telah mengenal keterampilan yang baik dam membuat wadah. Sangat mungkin keterampilan membuat anyaman ini juga digunakan sebagai asumsi mereka telah dapat membuat jaring untuk menangkap ikan. Jaring sebagai alat yang diperlukan untuk menangkap ikan indikasinya juga terdapat pada pola hias gerabahnya. Selain itu indikasi anyaman juga menggambarkan adanya upaya membuat sesuatu dalam bentuk lembaran yang dimungkinkan sebagai bahan penutup badan misalnya.
Adanya fragmen gerabah menunjukkan bahwa kelompok manusia pada masa itu telah mengenal teknologi pembuatan gerabah. Kalau dilihat  dari aspek budaya seperti penguburan terlipat dan juga pentarikhan yang cenderung sama antara masa Mesolitik dengan Neolitik menunjukkan adanya pembauran budaya dari masa Mesolitik ke Neolitik atau dari kelompok yang mendukung budaya Hoabinh dengan kelompok yang mendukung budaya Austronesia (Wiradnyana, 2012b:99-118). Adanya pentarikhan yang tua bagi keberadaan Austronesia dan keberadaan kapak lonjong dan kapak persegi serta keberadaan fragmen gerabah dengan teknik dan pola hias yang sama dengan budaya gerabah Asia Tenggara mengasumsikan adanya migrasi awal Austronesia ke wilayah Loyang Mendale dan Ujung Karang. Hal tersebut juga ditandai dengan asumsi yang selalu melekat bahwa migrasi Austronesia yang membawa gerabah Bau-Melayu dengan kapak persegi dan migrasi yang membawa gerabah Lapita dengan kapak lonjongnya, kedua ciri gerabah tersebut semuanya ditemukan di kedua situs dimaksud
Keberadaan tengkorak kepala dengan tulang panjang serta keberadaan tulang manusia yang tidak lengkap yang selevel posisinya dengan kerangka yang terlipat menggambarkan bahwa pada sekitar 4400 ± 120 BP mereka telah mengenal konsep penguburan skunder. Tulang yang tidak lengkap yang diantaranya menyisakan fragmen rahang manusia terbakar  memiliki masa 2590 ± 120 juga mengindikasikan adanya perlakuan kembali terhadap si mati setelah dikuburkan. Konsep perlakuan tersebut merupakan penguburan yang kedua yaitu setelah mayat dikuburkan beberapa waktu di dalam tanah kemudian diangkat tulang-tulangnya untuk dikuburkan kembali atau dibakar. Konsep semacam ini kemungkinan lebih sebagai upaya penghormatan terhadap si mati. Konsep ini dalam perkembangannya dikaitkan dengan pemberian tempat yang lebih layak di alam arwah. Beberapa masyarakat tradisonal di Indonesia (masyarakat Batak Toba, Karo, Bali dan Dayak) masih melaksanakan penguburan skunder seperti ini. Keberadaan tulang kerangka manusia yang tidak lengkap (sebagian terbakar) juga ditemukan pada bagian lapisan atas situs yang juga telah dilakukan analisa radiokarbon menghasilkan pertanggalan berkisar 2590 ± 120 BP. Hal tersebut menggambarkan bahwa tradisi penguburan skunder telah berlangsung  pada masa itu dan mungkin juga berlangsung hingga masa-masa selanjutnya.
Gigi merupakan bagian dari tubuh yang sangat keras sehingga sangat awet dan lebih besar kemungkinannya untuk ditemukan jauh setelah yang bersangkutan mati (Artaria, 2009). Pengasahan pada gigi juga dilakukan kelompok manusia di Loyang Mendale dan Ujung Karang. Diasumsikan bahwa manusia pada masa itu melakukan prosesi semacam itu merupakan bentuk upacara peralihan dari anak-anak ke remaja/dewasa. Selain itu pengasahan gigi juga berkaitan dengan aspek inisiasi, yang mungkin merupakan upaya membedakan antara manusia dengan binatang buas. Binatang buas disimbolkan dengan gigi dan taring yang tajam sehingga untuk membedakannya dilakukan mutilasi tersebut. Dikenalnya konsep itu tentu tidak lepas dari upaya pemahaman akan aspek etika. Bahwa hidup itu memerlukan pengaturan dalam bentuk etika, tidak seperti binatang buas yang cenderung ganas dan buas serta jauh dari nilai kesusilaan.
Kondisi gigi kerangka di Situs Loyang Mendale yang juga telah mengalami mutilasi, bahkan lebih ekstrim perlakuannya menunjukkan bahwa ada upaya mutilasi dengan menyisakan sedikit dari seluruh gigi yang ada, atau mutilasi dilakukan berkali-kali sehingga gigi yang tersisa semakin sedikit. Proses mutilasi yang berulang tersebut dimungkinkan terjadi dengan didasarkan atas konsep struktur sosial, bahwa semakin sering dilakukan mutilasi maka orang tersebut memiliki status sosial yang lebih dibandingkan dengan orang lain. Hal itu dapat juga diartikan bahwa si mati telah dianggap telah melalui beberapa tahapan kehidupan yang kritis atau tahapan masa peralihan sehingga setiap tahapan memerlukan satu tindakan seperti halnya tahapan dalam pertanian
Pada sekitar tahun 300 masehi, ditemukan cukup banyak tulang manusia yang terbakar di Situs Loyang Mendale yang dimungkinkan sebagai bentuk penguburan skunder seperti yang ditemukan di Loyang Ujung Karang. Sedangkan untuk penguburan primer juga relatif sama hanya saja di Situs Loyang Mendale kerangka manusianya ditindih dengan batu dan dikelilingi serta berlantai batu dengan bongkahan-bongkahan kerakal hingga boulder karts. Menilik dari cara yang dilakukan pada penguburan ini (arah hadap ke Timur, terlipat kakinya) yang memiliki kesamaan dengan masa sebelumnya (penguburan pada budaya Hoabinh) tentu konsep yang diusungnya memiliki kesesuaian (Wiradnyana 2012 a). Sedangkan pada aspek kerangka yang ditindih batu merupakan bentuk penguburan yang juga kerap ditemukan di situs-situs sejaman pada budaya Austronesia di Asia Tenggara (Bellwood, 2000:245 – 325). Hal tersebut menunjukkan adanya aspek gotong royong dan juga upaya mengamankan  si mati dari gangguan binatang atau bagian dari suatu prosesi tertentu dan juga upaya memberikan wadah kubur bagi si mati. Kalau hal tersebut berkaitan dengan aspek praktis semata maka dapat dibandingkan dengan kondisi yang sama pada penguburan-penguburan sekarang ini, dimana di atas kubur diisi batuan kerikil dan sebagian lagi diisi ranting bambu, agar binatang tidak mengganggu jasad si mati yang telah dikuburkan.
Kondisi lahan dan temuan di Situs Loyang Mendale menggambarkan adanya pengaturan pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan. Jadi pada masa ini telah diatur sedemikian rupa tidak hanya berkaitan dengan aspek organisasi sosial, struktur sosial, juga aspek pengaturan ruang dan pemanfaatannya. Artinya mereka telah mengatur lahan yang ada untuk difungsikan sebagai pusat kegiatan tertentu. Seperti untuk penguburan, mereka siapkan lahannya di sekitar bagian barat, untuk aktivitas perbengkelan yaitu di sekitar bagian timur lahan dan untuk pengkonsumsian bahan makanan ataupun perapian dipusatkan di sekitar tengah lahan yang berdekatan dengan pusat perbengkelan.
Kelompok manusia masa itu telah mampu menghasilkan berbagai peralatan hidup baik berupa kapak lonjong dan kapak persegi yang diindikasikan dari temuan calon kapak persegi ataupun fragmen kapak persegi. Begitu juga dengan peralatan yang berbahan tanah liat juga diindikasikan diproduksi di situs ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelompok manusia masa itu telah hidup mandiri. Bahwa pada sekitar 5080 ± 120 BP kelompok manusia ini telah mengenal teknologi pembuatan gerabah, dan pada masa kemudian telah mengenal anyaman rotan, teknologi kapak persegi dan lonjong, penguburan terlipat dan penguburan skunder.
Adanya temuan taring berlubang yang diindikasikan sebagai mata kalung dan juga adanya gerabah dengan berbagai pola hias menunjukkan bahwa aspek estetika semakin berkembang dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pada kisaran 5080- 4400 BP aspek estetika pada pola hias gerabah hanya ditunjukkan dari pola hias gores (vertikal atau horisontal) namun pada masa sekitar 3580 ± 100 BP atau setelahnya pola hias pada gerabah semakin variatif begitu juga dengan teknik pengerjaan pola hiasnya juga semakin beragam. Adapun teknik yang digunakan diantaranya gores, tera, slip dan gabungan gores dan tera.
Estetika merupakan bagian dari kehidupan yang  penting bagi masyarakat masa lalu.estetika diindikasikan dari fragmen gerabah untuk keperluan sehari-hari yang berhias dan temuan taring hewan yang berlubang yang merupakan bagian dari sebuah kalung dan fragmen anyaman rotan. Kesua fragmen tersebut jelas menyiratkan aspek estetika didalamnya.
Fragmen keramik yang ditemukan  di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang menunjukkan masa yang jauh lebih muda yaitu sekitar abad ke-12 hingga 19, sehingga diasumsikan bahwa adanya pemanfaatan lahan tersebut berlanjut yaitu pada masa klasik dan kolonial. Pada masa ini juga diketahui adanya pola hias gerabah yang sama dengan pola hias gerabah di Situs Loyang Mendale.  Selain itu masih berlanjutnya kepercayaan animisme/dinamisme dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Gayo tradisional (Bowen,2003:44; 1998:60). Hal tersebut menggambarkan bahwa adanya budaya yang berlanjut dari masa prasejarah hingga masa-masa awal berkembangnya Islam. Selain itu pemanfaatan lokasi di Situs Loyang Ujung Karang dan juga di Situs Loyang Mendale secara terus menerus melewati berbagai tahapan budaya menjadikan lokasi itu sebagai sebuah multy component siteyang berlangsung dari masa Mesolitik, Neolitik hingga Kolonial.
Keberagaman yang telah terjadi pada manusia dan budaya di Tanah Gayo pada masa prasejarah yaitu ras Australomelanesoid yang merupakan percampuran antara ras Australoid dengan ras Mongoloid dengan budaya  Hoabinh-nya, kemudian bercampur kembali dengan ras Mongoloid dengan budaya Austronesia-nya. Percampuran tersebut memberikan andil yang besar bagi perkembangan manusia dan budaya hingga kini. Pluralisme dan Multikulturalisme pada masa kemudian kembali mewarnai masyarakat Gayo baik dengan ras Asiatik-nya atau masuknya budaya India, Islam dan Eropa. Di Situs Loyang Mendale dan Ujung Karang, aspek budayanya menunjukkan cikal bakal sebagian budaya Gayo yang ada sekarang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa ditinjau dari aspek budaya maka kerangka manusia prasejarah yang ditemukan di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang adalah nenek moyang orang Gayo.
IV.  Penutup
Hasil penelitian di Situs Loyang Mendale menunjukkan bahwa ada aktivitas manusia pendukung budaya Hoabinh pada kisaran 7400 ± 140 BP hingga 5040 ±130 BP. Pada kisaran 5080 ± 120 BP juga diketahui telah ada kelompok Austronesia yang beraktivitas di Situs Loyang Ujung Karang. Dengan beberapa aspek budaya yang berlanjut (penguburan terlipat) dan juga kesamaan masa radiokarbon pada pengusung budaya tersebut mengindikasikan kedua kelompok manusia dengan ras yang berbeda itu sangat mungkin telah berbaur.
Berbagai tinggalan Austronesia yang penting diantaranya adalah fragmen gerabah berslip merah yang ditemukan yang berkonteks dengan abu pembakaran. Abu pembakaran dimaksud ditarikhan   5080  ± 120 BP dan 4940 ± 120 BP. Pada kisaran 4400 ± 120 BP, mereka telah menguburkan si mati dengan membuat lubang kubur, mengenal estetika berupa pola hias anyaman. Untuk gerabah poles merah diketahui keberadaannya pada 3580 ± 100 BP.
Dalam kerangka budaya, menunjukkan bahwa budaya pada masa prasejarah tampaknya berlanjut pada budaya Gayo tradisional (sebelum masuknya Agama Islam).

Kepustakaan
Artaria, Myrtati. D. 2009. Antropologi Dental. Yogyakarta. Graha Ilmu
Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bowen, John. R. 1998. Religions in Practice, an Approach to The Anthropology of Religion.Washington: Allyn & Bacon
Bowen, John. R. 2003. Islam, Law and Equality in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press
Hurgronje, Snouck. C. 1996. Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20.diterjemahkan   Hatta Hasan Aman Asnah.Jakarta: Balai Pustaka
Melalatoa, M. Junus. 2003. Gayo Etnografi Budaya Malu. Jakarta Yayasan Budaya Tradisional dan Menbudpar
Simanjuntak, Truman. 2006. Pluralisme dan Multikulturalisme Dalam Prasejarah Indonesia, Penelusuran Terhadap Akar Kemajemukan Masa Kini. Jakarta: Puslitbang Arkenas
Sumijati. A. S. 1998, Nusantao dan Distribusi Gerabah Bau-Melayu, dalam makalah EHPA Cipayung 1998
Wiradnyana, Ketut, 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara, Konstribusinya Pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wiradnyana, Ketut, & Taufiqurahman S. 2011. Gayo Merangkai Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wiradnyana, Ketut, 2012a.”Indikasi Pembauran Budaya Hoabinh dan Austronesia di Pulau Sumatera Bagian Utara”, dalam  Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol XV No.1 Mei 2012. Medan: Balar Medan.
Wiradnyana, Ketut, 2012b.”Agrikultur Masa Prasejarah Di Situs Hoabinh dan Austronesia”, dalam Agrikultur Dalam Arkeologi. Medan: Balar Medan.
 —
Makalah ini disampaikan pada International Confrence Gayo Kingdom, Darulaman Suit Malaysia, 7-9 Oktober 2012
*Arkeolog di Balai Arkeologi Medan

Sumber:
http://www.lintasgayo.com/29702/menggali-sisa-budaya-prasejarah-merangkai-identitas-masyarakat-gayo.html