Pages

Wednesday, November 26, 2014

Melacak Jejak Batak di Jakarta

Melacak Jejak Batak di Jakarta

Minggu, 3 Februari 2013 | 09:13 WIB
Demi kehormatan dan kesuksesan, orang Batak lalu mengembara. Di perantauan, mereka membuat jejak berupa perkampungan Batak, gereja, dan deretan ”lapo” atau kedai Batak. 

Lapo-lapo itu berderet memanjang. Aneka menu khas Batak tertulis jelas di papan nama lapo, mulai dari ikan mas arsik, sambal teri, hingga saksang, dan panggang. Terselip di antara deretan lapo, warung mi siantar dan pedagang pisang barangan khas Medan.

Itulah sejumput suasana Sumatera Utara yang hadir di sepanjang Jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur. ”Datanglah hari Minggu, sepanjang jalan ini penuh mobil. Orang yang baru pulang dari gereja mampir makan. Wuih, penuh asap dan harum panggangan,” ujar G Marpaung (70), yang tinggal di daerah itu.

Di belakang deretan lapo-lapo itu, suasana Tanah Batak lebih kental lagi. Di sana ada perkampungan orang Batak yang disebut Kampung Mayasari (karena di situ pernah ada pul bus Mayasari Bhakti). Penghuninya adalah orang Batak Toba, Karo, Pakpak, Mandailing, Simalungun, dan Angkola.

Tidak mengherankan, lagu-lagu pop Batak senantiasa terdengar dari kampung itu. Gereja Batak bertebaran di sejumlah sudut. Saking banyaknya gereja, baru 200-an meter melangkah sudah tiga gereja terlewati.

”Warga RW 008 di sini 99,9 persen orang Batak,” kata Marpaung, yang tinggal di kampung itu sejak tahun 1969.

Kampung Mayasari merupakan salah satu jejak diaspora orang Batak di Jakarta. Di luar itu, ada kantong-kantong permukiman orang Batak lainnya di Jakarta dan sekitarnya, yakni di Pulo Mas, Kernolong, Peninggaran, Pramuka, Senen, Taman Mini Indonesia Indah, hingga Tambun (Bekasi).

”Mulanya hanya satu keluarga, nanti bertambah. Kalau sudah ada rumah makan Batak, berarti sudah banyak orang Batak di situ,” kata B Ginting (50), yang pernah tinggal di Kampung Mayasari.

Lapo dan terminal

Martogi Sitohang (42), seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. ”Nanti dia akan mencari saudaranya atau dicari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya.

Mereka tidak perlu takut tercecer di perantauan. Datang saja ke gereja, lapo, dan terminal pasti bertemu dengan saudara. ”Cukup memberi salam, menyebutkan marga, kampung, dan nomor urut silsilah. Contohnya nih, Sihombing nomor 15, setelah dicocok-cocokkan masih saudara, pintu rumah Sihombing pun pasti terbuka,” kata Martogi.

Makna kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan. Martogi mengenang ketika pertama kali merantau ke Jakarta ia mencari saudara di gereja dan lapo. Saudara yang ditemukan di perantauan itulah yang membantunya mendapatkan pekerjaan. Setelah itu, ia memberikan kabar ke kampung bahwa ia telah bertemu tulang-nya (paman).

Jika si perantau berhasil, biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan, si perantau yang sukses wajib membantu. Itu sebabnya, orang Batak di perantauan terbiasa menampung pendatang Batak di rumahnya. ”Saudara saya dan istri begitu datang ke Jakarta semua tinggal dulu di rumah saya. Setelah mereka mapan, mereka bisa membangun rumah sendiri di tempat lain,” ujar G Marpaung.

Ke Jakarta

Dengan cara itu, orang Batak di perantauan cepat berkembang. Lance Castle dalam The Ethnic Profile of Djakarta menyebutkan, orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa kebaktian berbahasa Batak pada 20 September 1919. Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.

Hingga kini, gereja di Gang Kernolong, Jakarta Pusat, itu masih digunakan jemaat Batak. Praeses HKBP Distrik DKI Jakarta Pendeta Colan WZ Pakpahan mengatakan, gereja-gereja HKBP lain di Jakarta dapat dikatakan pemekaran dari Kernolong. ”Dulu, banyak sekali orang Batak tinggal di Kernolong. Sekarang, sebagian pindah ke daerah lain di Jakarta,” ujarnya.

Tahun 1930, ada sekitar 1.300 orang Batak di Jakarta. Tahun 1963, jumlahnya berlipat menjadi 22.000 orang. Hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat, jumlah orang Batak di Jakarta mencapai 326.332 orang. Kalau ditambah orang Batak di Bogor, Tangerang, dan Bekasi jumlahnya mencengangkan.

Menurut Castle, etnis Batak termasuk kaum perantau terbesar di Indonesia. Tahun 1930, sebanyak 15,3 persen orang Batak tinggal di luar kampung halamannya. Migrasi besar-besaran terutama terjadi setelah revolusi tahun 1945-1949. Mereka menangkap peluang pendidikan dan kehidupan modern. Awalnya, mereka merantau di daerah pesisir Sumatera. Selanjutnya, mereka menargetkan Jakarta.

Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan Bungaran Antonius Simanjuntak menengarai, migrasi orang Batak keluar kampungnya didorong pandangan hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon(kekayaan). Nah, Jakarta dipandang menjanjikan itu semua.

”Begitu orang Batak sukses pulang kampung, cepat-cepatlah anak muda di kampung ikut merantau atau orangtua mengirim anaknya bersekolah supaya bisa jadi seperti orang itu. Satu sukses jadi pengacara, banyak yang ingin jadi pengacara,” katanya.

Budayawan Batak Togarma Naibaho (57) mengatakan, orang Batak umumnya memang merantau untuk sekolah dan bekerja. Pendidikan anak menjadi ukuran keberhasilan orangtua. Kasarnya, orangtua Batak rela melakukan apa saja demi pendidikan anaknya, mulai dari jual kerbau sampai kebun. Tidak heran jika pendidikan orang Batak rata-rata tinggi. ”Tahun 1970-an, pendidikan perantau Batak di Jakarta rata-rata sudah SMA,” ujar Togarma.

Sesuai dengan ucapan Togarma, Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra menuliskan, orang Batak Toba, Mandailing, dan Karo termasuk orang Indonesia berpendidikan terbaik pada abad ke-19, selain Minangkabau, Minahasa, dan Toraja.

Dengan pendidikan tinggi, orang Batak bisa masuk ke berbagai posisi. Presiden Soekarno, misalnya, banyak melibatkan orang Batak dalam pembangunan. Salah seorang di antaranya adalah Friedrich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal. Di zaman Gubernur Ali Sadikin, orang Batak dipercaya menjadi pimpinan di pos-pos pemerintahan. Belakangan, Ali Sadikin merekrut banyak sopir taksi, bus PPD, dan guru dari Tanah Batak.

Dan... berkumpullah orang Batak di Jakarta! (Indira Permanasari dan Budi Suwarna)



Editor: Egidius Patnistik






megapolitan.kompas.com/read/2013/02/03/09135265/Melacak.Jejak.Batak.di.Jakarta

'Berpetualang' Ke Dunia Roh [3]

11/1/2013

 'Berpetualang' Ke Dunia Roh [3]



Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!

Investasi untuk mati


Dari Desa Deri, kami beranjak ke Desa Kete' Kesu, yang merupakan kompleks perumahan adat suku Toraja (disebut tongkonan) milik marga Sarungaloh –tergolong  bangsawan tinggi. Meski dijadikan objek wisata, kompleks rumah adat yang kabarnya berusia ratusan tahun ini masih dihuni oleh para cucu-buyut keluarga Sarungaloh. Setidaknya ada tujuh tongkonan di Kete' Kesu ini, masing-masing memiliki sebuah lumbung padi (bentuknya mirip rumah utama, hanya lebih kecil) yang letaknya persis berhadapan di seberangnya.
  
Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu uru dan kayu nangka. Atapnya dari tumpukan bilahan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga dari samping terlihat berulir-ulir. Saking tuanya, atap-atap itu kini ditumbuhi lumut. Uniknya, seluruh bangunan berdiri tanpa menggunakan paku sama sekali. Di depan pintu rumah, terutama di rumah tetua marga, terpancang patung kepala kerbau belang dari kayu serta ayam jantan, dalam empat warna dominan: kuning, putih, hitam, dan merah (representasi dari Tuhan, surga,  'dunia bawah', dan darah/keluarga).
  
Sederet tanduk kerbau yang dideretkan secara vertikal (sesuai ukuran) juga menghiasi pintu rumah bagian depan, yang menunjukkan jumlah kerbau yang pernah dikorbankan dalam upacara kematian pada masing-masing keluarga. Makin banyak jumlahnya, makin terpandang keluarga itu di mata masyarakat. Di bagian samping rumah, juga dideretkan secara horisontal tulang-tulang rahang kerbau dan babi yang pernah dikorbankan.



  
Sepintas saya melihat sejumlah persamaan antara rumah adat Toraja dengan rumah adat Batak, yaitu sama-sama memiliki model dasar lunas perahu (di bagian atapnya). Pada suku Batak, kerbau juga memiliki posisi istimewa, yaitu sebagai 'kendaraan suci' yang mengantar arwah menuju surga, sekaligus sebagai simbol status sosial. Selain itu, karakteristik wajah kedua suku itu juga mirip, yaitu agak persegi dan terkesan 'keras'.


  
Sebagian orang Toraja memang percaya bahwa suku Toraja masih 'bersaudara' dengan suku Batak, bahkan juga dengan suku Dayak di Kalimantan –hal ini dikuatkan oleh sebuah studi antropologis. Konon, nenek moyang mereka berasal dari Indocina (Vietnam atau Kamboja). Setiba di wilayah Nusantara –dengan menumpang perahu-- mereka menyebar. Yang menetap di Sumatera menjadi suku Batak, yang ke Kalimantan jadi suku Dayak, dan yang ke Sulawesi jadi suku Toraja.
  
Jujur saja, saya agak meragukan hal itu. Menurut logika, kaum pendatang –apalagi 'manusia perahu'-- mestinya akan menetap di daerah pesisir, tak jauh dari laut. Ngapain  juga jauh-jauh mencari tempat tinggal ke daerah terpencil dan sangat sulit dijangkau?
  
Sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani dan peladang, yang memang didukung oleh kondisi tanah yang subur. Kopi dan cokelat merupakan hasil pertanian utama, yang sebagian besar diekspor ke luar negeri. Karena itu, menurut teman saya Gibson, sebenarnya penduduk Toraja rata-rata cukup kaya. Tapi, yang terlihat, banyak di antara mereka yang menjalani hidup sederhana, bahkan sangat bersahaja. 'Kemewahan' yang umum terlihat paling banter antena parabola di banyak rumah. Itu pun karena siaran televisi nasional sulit ditangkap di daerah ini tanpa bantuan parabola.
  
“Sebagian besar kekayaan kami diinvestasikan untuk biaya kematian kami kelak, baik dalam bentuk tabungan di bank, kerbau, dan tanah. Upacara kelahiran atau perkawinan boleh sederhana, tapi upacara kematian harus besar-besaran, terutama bila yang meninggal dari keluarga bangsawan. Orang Toraja percaya bahwa kematian adalah pintu gerbang untuk mencapai surga, karena itu almarhum harus 'diantar' dengan bekal yang maksimal,” Gibson menjelaskan.
  


Ada dua jenis upacara kematian. Yang pertama, Disili, terhitung paling sederhana, biasanya untuk rakyat kebanyakan, dan cukup dilakukan satu kali, yaitu saat jenasah akan dimakamkan. Bahkan, kalau tak sanggup potong kerbau, memotong 2-3 ekor babi pun cukup.
  
Yang lain adalah upacara Ma' posonglo, biasanya diselenggarakan oleh keluarga bangsawan atau keluarga kaya dan berpengaruh. Upacara inilah yang biasanya menguras banyak uang –mirip dengan upacara ngaben bangsawan di Bali-- karena harus dilakukan dua kali. Pertama, saat jenasah akan disimpan di rumah (sambil menunggu saat dimakamkan), dan kedua, saat jenasah akan dimakamkan. Pada upacara yang terakhir inilah diadakan sederet ritual, dari pembungkusan jenasah dengan kain warna merah dan emas, pengusungan keranda tinggi-tinggi (lakkian), adu kerbau, tari-tarian adat (ma' badong), dan puncaknya adalah upacara potong kerbau (sisemba).
  
Makin tinggi derajat jenasah, jumlah kerbau yang dipotong pun makin banyak, bahkan ada yang mencapai 24 ekor, belum lagi puluhan babi (dagingnya kemudian dibagikan ke seluruh penduduk kampung dan sanak kerabat). Upacara menebas kepala kerbau inilah yang kerap menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu oleh para wisatawan, bahkan sampai dimasukkan ke dalam agenda wisata nasional. Keahlian dan harga diri seorang penebas kepala kerbau (toma' tinggoro tedong) juga dipertaruhkan dalam upacara ini. Karena mereka dituntut untuk bisa menebas kepala kerbau sampai mati hanya dalam satu sebatan pisau.
  
Karena mahalnya biaya upacara kematian ini pula, menurut Ayumi Tanggo, redaksi Pesona yang asli Toraja, banyak penduduk Toraja terbelit utang. Celakanya, kadang utang itu tidak sengaja mereka buat sendiri, melainkan karena 'dipaksa'. Sebagai contoh, Anda tak boleh menolak bila ada tetangga menyumbang seekor kerbau untuk upacara kematian orang tua Anda. Tapi, sumbangan itu tidak cuma-cuma, karena pada saat ada anggota keluarga sang penyumbang yang meninggal, Anda wajib membayar utang satu ekor kerbau pula! Nah, repot, kan?


  
Setelah beristirahat sebentar di bukit Batutumonga untuk menikmati pemandangan alam yang luar biasa indah dari puncak bukit sambil menyantap durian hutan Toraja –yang saat itu baru mulai musim-- kami mengakhiri perjalanan dengan mengunjungi situs purbakala Bori' Parindung, di Kecamatan Sesean. Menurut catatan yang tertulis di papan informasi, situs ini berdiri sekitar tahun 1717.





  
Situs purbakala ini berupa peninggalan batu-batu menhir (megaliticum stones) dalam ukuran sangat besar. Ada yang lebarnya mencapai tiga kali pelukan manusia, dan tingginya sekitar tiga meter. Menurut legenda, menhir-menhir itu disusun oleh tenaga gaib para leluhur mereka di zaman dulu. “Karena, menurut logika, dengan teknologi zaman itu yang masih sangat sederhana, rasanya tak mungkin memindahkan batu-batu sebesar itu hanya dengan bantuan tenaga manusia atau kuda sekalipun,” ujar Gibson. Saya pun manggut-manggut, sambil membayangkan, mungkinkah ada seorang Obelix (teman Asterix) di Tana Toraja pada zaman itu, yang hobinya menggotong-gotong menhir?





Tina Savitri


Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=82

'Berpetualang' Ke Dunia Roh [2]

10/25/2013

 'Berpetualang' Ke Dunia Roh [2]


Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!

Negeri roh leluhur



Dari Pasar Tedong, dengan mobil sewaan, kami beranjak ke luar kota, menuju Desa Londa. Mungkin inilah yang dimaksud Gibson 'bertualang di dunia roh'. Dari kejauhan,  tampak perbukitan yang dikelilingi hutan dan sawah.  Bukit itu sepintas  terlihat seperti 'apartemen' bertingkat dengan sejumlah 'balkon' di tebing-tebingnya, di mana sejumlah anggota keluarga tampak sedang duduk-duduk santai.
  
Bukit Londa memang bukan bukit biasa, melainkan sebuah kompleks 'pemakaman' keluarga dari marga Tolengke, salah satu keluarga terkemuka di Tana Toraja. Yang terlihat seperti balkon-balkon rupanya adalah pemakaman. Setelah diupacarakan, jenasah dimasukkan ke dalam peti mati, lalu dikerek ke atas tebing untuk disemayamkan di ketinggian yang bisa mencapai 70 meter dari permukaan tanah. Sejumlah boneka dari kayu (tao-tao) –dipahat menyerupai dan seukuran manusia, pria dan wanita-- dijejerkan di 'balkon' tebing, lengkap dengan pakaiannya yang diganti setahun sekali, tentunya dengan upacara tertentu.
  
Tak hanya di tebing-tebing bukit, jenasah juga disemayamkan di dalam relung-relung gua di kaki bukit. Dengan bantuan lampu petromaks dan pemandu setempat, saya menyusuri gua yang gelap, terjal, dan lembap itu. Meski cukup siap mental –karena sudah diberitahu oleh Gibson-- tak urung saya terkaget-kaget juga saat memasukinya. Tak perlu masuk jauh ke dalam, di depan mulut gua pun sudah bergeletakan puluhan peti mati –yang masih baru maupun yang sudah lapuk.



  
Yang lebih dahsyat, dari peti-peti mati yang sudah hancur dimakan usia itu, bergeletakan tengkorak dan tulang belulang manusia. Ada yang 'nyangkut' di ceruk dinding gua, ada pula yang tergeletak begitu saja di lantai gua. Di salah satu sudut, saya melihat dua tengkorak diletakkan berdampingan. Menurut pemandu, itu adalah tengkorak sepasang pengantin baru yang terpaksa kawin lari karena tidak direstui adat, dan keduanya bunuh diri.


  
Tapi, anehnya, meski suasananya gelap dan dikelilingi tulang belulang manusia, saya tak merasa takut sedikit pun. Pasalnya, tidak seperti di Jawa yang doyan memistikasi hal-hal seperti itu, di Toraja hal itu dianggap biasa saja. Tidak ada kesan suwung, tak ada kuncen, tak ada bau dupa atau orang bersemedi, juga tak ada syarat-syarat khusus yang harus ditaati pengunjung untuk memasuki gua tersebut. Misalnya harus mengenakan pakaian tertentu. Bahkan, saya melihat sekelompok anak muda ribut dan cekikikan sembari berpose di antara tengkorak-tengkorak. Satu-satunya yang saya takutkan adalah kalau secara tak sengaja kaki saya menginjak atau menendang tulang belulang itu.
  
Meski umumnya masyarakat Toraja adalah jemaat Gereja Kristen Toraja –gereja ada di hampir setiap satu kilometer-- dalam kehidupan sehari-hari banyak di antara mereka, terutama kalangan tua, yang masih menganut kepercayaan lama, yaitu Aluk Tao Dolo (pemujaan terhadap roh leluhur). Bagi mereka, para roh leluhur itu adalah bagian dari mereka dan ada di sekitar mereka. Tak heran bila di depan tulang belulang itu umum terlihat sesajen berupa rokok, air mineral dalam botol atau gelas, serta biskuit.
  
Bahkan, bila ada anggota keluarga yang meninggal dan belum sempat dimakamkan (karena biayanya belum cukup), maka jenasahnya –sudah diawetkan dengan formalin--  disemayamkan di dalam rumah. Lamanya bisa 1-2 tahun. Karena belum dikuburkan, almarhum dianggap masih hidup, hanya sedang sakit. Karena itulah, setiap hari, tiga kali sehari, jenasah 'diberi' sepiring nasi plus lauk pauk, segelas kopi atau teh, sirih, serta rokok. Nah, kalau disuruh samen leven bersama jenasah kayak gitu, mungkin saya langsung mati berdiri!
   


Berkeliling Desa Deri adalah tujuan kami selanjutnya, lagi-lagi untuk 'berburu' kuburan, yang kali ini berupa kuburan batu yang unik. Dari kejauhan, di sepanjang jalan atau di tengah ladang, saya melihat banyak onggokan batu alam seukuran mobil. Bila Anda menemukan batu-batu yang di depannya ada salib, karangan bunga imitasi, foto-foto dalam bingkai, cuplikan doa dari Injil, dan batang-batang lilin yang sudah meleleh, dapat dipastikan itu adalah kuburan.
  
Menurut Gibson, di Tana Toraja nyaris tidak ada area pekuburan khusus seperti di daerah lain di Indonesia. Orang Toraja dari kalangan kebanyakan, bila meninggal, biasanya cukup dikuburkan di dalam batu-batu alam yang banyak berserakan. Caranya, batu itu 'dibolongi' dengan ditatah, ukurannya bisa sebesar kamar 3 X 3 meter, tergantung ukuran batunya. Konon, untuk membuat satu ruangan perlu waktu 6 bulan hingga satu tahun!
  
“Mungkin ini kebijaksanaan leluhur tentang penghematan lahan. Kalau dipakai buat kuburan seperti di daerah lain, bisa-bisa habis lahan kami untuk bertani,” ujar Gibson. Sayangnya, belakangan ini mulai bermunculan kuburan-kuburan modern dari semen dan beton. Tak jarang makam model baru itu didesain sangat mewah, lengkap dengan pilar-pilar dari batu pualam. Makam beton ini biasanya dibangun oleh orang-orang Toraja yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain. Mungkin demi alasan praktis, tapi kabarnya juga demi gengsi dan modernitas.


  
Satu kuburan batu biasanya berisi jenasah satu keluarga atau sekitar 6-8 orang. Anak perempuan dari suatu keluarga, meskipun sudah bersuami, jenasahnya tetap digabung dalam kuburan keluarga dari pihak ayah. Begitu pentingnya arti kuburan bagi masyarakat Toraja, sehingga dianggap sebagai 'rumah kedua' (tongkonan tang merambu = rumah tak berasap) mereka.
  
Bahkan, meski meninggalnya di luar negeri sekalipun, jenasah putra asli Toraja wajib dibawa pulang dan dimakamkan di kampung halamannya. Inilah salah satu yang membuat biaya kematian di Toraja sangat mahal.  


  

(bersambung)



Tina Savitri



Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=81

'Berpetualang' Ke Dunia Roh [1]

10/11/2013

 'Berpetualang' Ke Dunia Roh [1]





Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!

Setelah sekian lama menjadi cita-cita, akhirnya pada liburan long weekend Agustus lalu, saya bersama suami berhasil menginjakkan kaki di Tana Toraja, meski waktunya terhitung sangat mepet –hanya tiga hari dua malam pulang-pergi– dengan risiko tubuh bonyok kecapekan.
  
Soalnya, untuk mencapai Tana Toraja, tak ada cara lain kecuali lewat darat. Waktu tempuh minimum tujuh jam dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan –menggunakan kendaraan pribadi, sewaan, atau naik bus umum. Saya memilih naik  bus yang hampir setiap jam berangkat dari terminal Makassar. Ada beberapa perusahaan bus yang melayani trayek Makassar-Tana Toraja,  dari patas non-AC hingga yang AC dan berhenti di setiap tempat.



  
Ternyata, perkiraan tujuh jam hanya di atas kertas, dengan asumsi jalanan lancar, kondisi kendaraan tokcer, dan hari cerah. Berangkat pukul 8 pagi, melewati beberapa kota dan kabupaten, antara lain  Pangkajene, Pare Pare, dan Enrekang, perjalanan kami berkali-kali terhambat oleh lomba gerak jalan menyambut 17 Agustusan. Bahkan, di Enrekang, jalan utama ditutup sampai sore untuk gerak jalan, sehingga semua kendaraan harus lewat jalan alternatif yang memutar.  Untunglah kami cukup terhibur dengan pemandangan indah berbukit-bukit di sepanjang perjalanan, terutama saat melewati Pegunungan Nona yang sore hari tampil dengan lekuk-lekuk lerengnya yang sempurna.
  
Alhasil, hari sudah lewat senja ketika bus memasuki wilayah Tana Toraja. Dan, ternyata perjalanan belum berakhir. Berhenti sebentar di Makale (ibukota Kabupaten Tana Toraja), baru pukul 19.30 kami tiba di Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, yang merupakan  pusat budaya suku Toraja. Jika ditotal, lama perjalanan kami mencapai 11,5 jam!
  
Namun, semua kelelahan terbayar lunas pada keesokan harinya. Meski termasuk dingin –Rantepao dikelilingi pegunungan-- kami disambut pagi yang cerah tanpa kabut. Apalagi, pagi itu kami ditemani oleh Gibson Danga, pria asli Toraja yang sehari-hari bekerja sebagai guide. “Siap bertualang ke dunia roh?” ia menantang sambil tertawa. Uh, siapa takut?
  
Gibson agak menyayangkan kami baru tiba kemarin malam. “Coba datang kemarin pagi, kamu bisa lihat upacara pemakaman, meskipun hanya potong dua kerbau,” katanya. Bukannya menyesal, saya justru bersyukur. Sedahsyat apa pun kata orang upacara itu, saya tak bakal pernah bisa menikmati adegan pembantaian korban kerbau dan babi. Tak hanya ngeri melihat darah berceceran, saya juga tak tega mendengar lolong ketakutan hewan-hewan yang lehernya akan ditebas.
  


Kerbau primadona



Namun, saya beruntung karena hari itu bertepatan dengan hari pasaran kerbau (disebut Pasar Tedong), yang jatuh setiap enam hari sekali. Lapangan rumput luas di depan Pasar Bolu (pasar tradisional utama di Rantepao), yang pada hari-hari biasa lengang, hari itu semarak. Ratusan kerbau dan babi memenuhi lapangan, lengkap dengan pemilik mereka. Hari pasar kerbau ini juga menjadi atraksi bonus bagi wisatawan, terutama dari mancanegara yang jumlahnya lumayan banyak.
  
Hampir semua kerbau yang dijual besar dan gemuk. “Di sini, kerbau dipelihara dengan sangat baik, karena merupakan aset sekaligus simbol sosial orang Toraja.  Makin banyak kerbau yang dimiliki, makin terhormat dia di mata masyarakat. Karena itu, di sini kerbau tidak boleh disuruh kerja di sawah dan setiap hari dimandikan, sementara orangnya belum tentu...,” ujar Gibson, tertawa. Ia menambahkan, produsen sampo jangan bangga dulu bila produknya laris di Toraja. Soalnya, di sini kerbau rutin 'dikeramasi' pakai sampo agar kulit mereka hitam mengilat!




  
Yang langsung mencuri perhatian saya adalah sejumlah kerbau belang (hitam dan merah muda, tapi bukan kerbau bule) yang sepertinya primadona di antara yang lain, terilihat dari perlakuan istimewa kepada mereka. Selain diberi makan istimewa (termasuk diberi vitamin), tidur pun pakai kelambu supaya tidak digigit nyamuk! Kata Gibson, harga seekor kerbau belang (tedong bonga) besar dan gagah bisa mencapai Rp 100 juta rupiah per ekor, terutama menjelang upacara pemakaman. Tak heran bila patung kerbau belang menjadi maskot yang menghiasi salah satu sudut kota Rantepao.
  
Selain untuk kebutuhan upacara, kerbau juga merupakan aset berharga dalam arena adu tarung, yang tak jarang pula dijadikan arena berjudi. Bak petinju, selain rutin dilatih, para kerbau aduan ini diberi 'suplemen' khusus berupa susu-madu-telur, agar fisiknya prima.  Nama mereka pun keren-keren, mulai dari Tyson, Hollyfield, hingga... Chris John!
  

(bersambung)



Tina Savitri


Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=80

Tamara Geraldine Bicara Ulos Batak

Tamara Geraldine Bicara Ulos Batak


Ada banyak hal menarik keluar dari celotehnya ketika diajak bicara tentang ulos Batak, meskipun kadang dengan gaya yang disampaikannya lewat canda. Itulah Tamara Geraldine, salah satu selebritis Batak kelahiran Jakarta, anak kedua dari pasangan ayah L.M.Tambunan dan ibu Y.boru Sibarani. Wajah cantik dengan senyumannya yang manis dahulu kerap kita temui di beberapa acara stasiun televisi swasta sebagai presenter. Seperti dalam acara sepakbola Liga Calcio di RCTI dan kuis hiburan Go Show di TPI, selain banyak menjadi model dan bintang iklan. Belakangan dia membuat kejutan sebagai penulis dengan menerbitkan kumpulan cerita pendeknya dalam judul lumayan panjang, “ Kamu Sadar Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh kan Sayang “ dan buku keduanya tentang biografi penyanyi Yuni Sahara.

Ditemui di rumahnya dalam sebuah wawancara dengan Tapian (20/10), Tamara bertutur tentang seleranya terhadap ulos Batak. “ Saya enggak suka ulos yang terlalu colourfull, yang manik-maniknya terlalu banyak seperti jenis ulos Sadum. Saya suka dengan warna ulos yang redup karena mudah dikombinasikan. Menurut ompung saya, warna budaya Batak ini hanya ada tiga, yaitu merah, hitam dan putih. Saya suka ulos dengan tiga unsur warna itu saja paling dominan. Kalau sudah ada warna ungu dan segala macam warna, saya malas memajangnya, “ ujar Tamara.
Di rumahnya dia memajang sejumlah ulos Batak, terutama ulos-ulos yang punya nilai historis dalam hidupnya. Diantara koleksinya ada ulos yang sudah berusia seratus tahun lebih yang dia dapat dari warisan ompungnya. Dia menata ruang rumahnya dengan keseimbangan antara unsue Oriental dan unsur Batak sehubungan dengan suaminya sendiri berasal dari Vietnam.

Tien Thinh Pham, pengusaha asal Vietnam yang telah mempersuntingnya 7 tahun silam, oleh keluarga Tamara telah dirajaon bermarga Nainggolan Parhusip. Perkawinan antar suku bangsa ini oleh keluarga Tamara tidaklah terlalu bermasalah sejauh mereka mau diadati dengan adat Batak Toba.

“ Kalau kalian enggak diadatin, kalau suaminya enggak ada marganya, nanti kalau kalian diundang di pesta-pesta adat, kalian akan bingung mau duduk dimana, di paranak atau di parboru, “ujar Tamara menjelaskan alasan tuntutan keluarganya. Menurut Tamara, suaminya tidaklah terlalu sulit beradaptasi dengan adat budaya Batak, karena di negeri suaminya di Vietnam pun mengenal konsep Dalihan na Tolu seperti di Batak. Boleh jadi benar, karena memang ada teori mengatakan orang Sumatera Utara, khususnya orang Batak, cikal bakalnya datang dari Phunam dan Phunam itu dari Indocina. Dengan dirajaon menjadi Nainggolan Parhusip, kata Tamara lagi, suaminya jadi merasa punya keluarga besar disini terutama karena pertalian Dalihan na Tolu.

“ Cuma suamiku bilang orang Batak ini agak aneh. Orang Batak kalau bicara di pesta-pesta adat maupun acara penghiburan selalu dibuka dengan kata Jadi dan ditutup dengan kata Botima. Selalu begitu, diawali dengan kata Jadi lalu ditutup dengan Botima. Ada apa dengan 2 kata itu ? “ cerita Tamara tentang pengamatan suaminya terhadap gaya bicara orang Batak. Dia dan suami, sejauh waktu memungkinkan, kerap juga menghadiri undangan pesta-pesta Batak, bahkan pernah mangulosi.

“ Tapi itu dia, pernah ketika kami mau memberi ulos kepada mempelai, saya manortor, suami saya malah tari cha-cha, “ kata Tamara sambil tertawa.

Saat ditanya pengalaman paling emosional yang pernah dia alami berhubungan dengan ulos, Tamara menyebut tiga peristiwa. “ Pertama, pada saat menikah, saya dan suami diulosi. Kedua, pada saat anak saya Tjazkayaa Loedwigee Poetry tardidi, kami sekeluarga diulosi. Dan ketiga, pada waktu ompung meninggal, tradisinya kami harus rebutan ulos ompung, “ katanya sambil mengingat-ingat kembali.

“ Hanya saya enggak yakin, apa itu karena ulosnya atau karena momentnya, “ ujarnya menambahkan. Bagi Tamara, ulos Batak itu hanya sebuah identitas etnik saja. Identitas dari mana dia berasal. Tidak lebih. Karena itu dia tidak pernah memberhalakan. Hal ini menyinggung adanya sebagian sikap orang Batak yang sangat mengkultuskan ulos pemberian hula-hula, orangtua, ompung atau tulang.

“ Ompung dan orangtuaku memang paradat, tapi waktu mangulosi kami, mereka selalu bilang ulos ini hanya simbol saja. Tapi tetap kalian berjalan supaya diiringi Tuhan Yesus. Jadi jangan lihat ini sebagai benda yang mengikat atas kuasa yang lain, selain kasih Tuhan itu sendiri, “ kata Tamara menjelaskan sikap yang ditanamkan keluarganya dalam memandang ulos. Karena itu dia tidak pernah mau beli ulos yang dikerjakan dengan perhitungan hari-hari tertentu sehingga terkesan mistik dan berhala. Dia pun tak pernah berburu ulos secara khusus.

Menjawab pertanyaan Tapian tentang filosofi ulos baginya, Tamara merujuk apa yang pernah dia dengar. “ Ompung memetaforkan ulos itu sebagai selimut. Arti selimut, dia bisa kasih kehangatan kalau kita dingin, dia bisa menaungi kita dari hujan. Itu yang aku tahu, “ ujarnya. Dia mengakui tidak banyak mempelajari tentang sejarah dan filosofi ulos. Namun dimatanya ada keunikan orang Batak dalam memakai ulos. Misalnya ketika orang pergi ke tempat duka cita, ulos yang dikenakan berbeda dan berbeda lagi ketika mereka pergi ke tempat pesta.

Tetapi Tamara juga melihat ‘ keanehan’ para wanita Batak dalam berbusana ke pesta adat perkawinan. “ Lihat saja, dimana-mana pesta perkawinan para wanita Batak justru kebanyakan pake kebaya dan Songket Palembang. Datangnya ke pesta adat Batak tapi pakenya Songket Palembang, “ ujar Tamara menyayangkan. Menurut Tamara hal ini disebabkan belum ada perancang busana Batak yang dianggap betul-betul serius dan berhasil dalam menangani ulos sebagai produk fashion. Tamara kemudian membandingkannya dengan kain Batik Jawa.

“ Lihat Batik Jawa. Batik bisa dijadikan baju sehari-hari tapi juga bisa tampil glamour, tentu karena ada perancang busana yang serius mengerjakannya, “ ujar Tamara mengkritisi kalahnya pamor ulos dalam mode dan produk fashion. Demikian Tamara berbagi pandangannya kepada Tapian.

* Tulisan ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam majalah budaya Batak, TAPIAN, edisi perdana November 2007.


Sumber: http://sahalana7o.blogspot.com/



Inilah Shella Tiatira, Gadis Batak Juara di Festival Menyanyi di Vietnam

Inilah Shella Tiatira, Gadis Batak Juara di Festival Menyanyi di Vietnam

Foto Hot dan Cantik Penyanyi Shella Tiatira
Inilah Shella Tiatira, gadis Batak yang berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah musik internasional lewat keikutsertaannya dalam Festival Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) 2013 di Vietnam, Hanoi. Bersama Putri Siagian memang mewakili mewakili Indonesia di ajang festival menyanyi tersebut yang digelar di Hanoi, Vietnam, Oktober 2013 lalu.
Shella Tiatira meraih predikat The Best Performance dalam ajang festival internasional tersebut dengan membawakan lagu Mimpiku. Tak sangka Shella mengalahkan girlband asal Korea Selatan, SISTAR. Girlband tersebut dikenal dengan suara mereka yang khas serta penampilan seksi di atas panggung.
Sebelumnya, pada tahun 2012 perwakilan Indonesia berhasil meraih predikat ‘The Best Performance’ dan mendapatkan banyak pujian dari dunia internasional. Dalam ajang tahun ini, dua penyanyi ini akan menyanyikan lagu berjudul ‘Mimpiku’.
“Pastinya senang dan sama sekali nggak nyangka bisa ngalahin SISTAR dan Justice Crew (grup asal Australia). Aku sendiri bangga banget bisa jadi The Best Perfomance karena aku saingannya sama banyak negara dari Hong Kong, Cina, Thailand, Korea, dan lainnya,” cerita Shella seperti yang diberitakan Liputan6.com, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (30/9/2014).
Diakui Shella, selain suaranya yang bagus salah satu faktor yang menjadikannya The Best Perfomance yakni kostum panggung yang ia kenakan. Cewek berusia 17 tahun ini mengatakan saat itu dirinya menggunakan pakaian tradisional Indonesia dengan riasan wajah khas Tanah Air.

Tahun 2014, Tere Cia Wakili Indonesia

Seolah ingin kembali mengharumkan nama bangsa, Team Contoh selaku pelaksana mendelegasikan penyanyi bernama Tere Cia untuk menjadi wakil Indonesia. “Tahun ini agak spektakuler karena ABU ultah yang ke 50 tahun. Tahun ini digelar di Macau, China,” jelas Benny Simanjuntak selaku Eksekutif Produser Team Contoh Management, saat jumpa pers di hotel Shangri-La Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (29/8/2014) malam.
Sebanyak 14 negara se-Asia Pasific akan bersaing menunjukkan siapa penyanyi terbaik mereka, diantaranya adalah Korea, China, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Menghadapi festival internasional, Tere yang ditunjuk sebagai duta tampak sudah mempersiapkan diri dengan baik. “Persiapannya sudah matang, latihan terus. Ini kepercayaan luar biasa untuk mewakili Indonesia di Macau nanti,” ujar Tere Cia.
Di festival itu Tere akan membawakan lagu daerah Batak yang digubah ke bahasa Indonesia. Ia pun sangat yakin nama Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lainnya. “Judul lagunya Dimana Hatimu. Ini lagu Batak tapi dibikin orkestra. Kita harus yakin dan patut memberikan yang terbaik di Asia,” pungkasnya.


Sumber:
http://anekainfounik.net/2014/10/01/inilah-shella-tiatira-gadis-batak-juara-di-festival-menyanyi-di-vietnam/

Suara Gadis Batak Ini Kalahkan SISTAR & Justice Crew

Suara Gadis Batak Ini Kalahkan SISTAR & Justice Crew

By Firli Athiah Nabila 
on Oct 01, 2014 at 14:40 WIB
Liputan6.com, Jakarta Siapa sangka jika Indonesia punya gadis cantik bersuara emas seperti Shella Tiatira. Gadis Batak ini berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah musik internasional lewat keikutsertaannya dalam Festival Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU)2013 di Vietnam, Hanoi.
Shella Tiatira meraih predikat The Best Performance dalam ajang festival internasional tersebut dengan membawakan lagu Mimpiku. Tak sangka Shella mengalahkan girlband asal Korea Selatan, SISTAR. Girlband tersebut dikenal dengan suara mereka yang khas serta penampilan seksi di atas panggung.
"Pastinya senang dan sama sekali nggak nyangka bisa ngalahin SISTAR dan Justice Crew (grup asal Australia). Aku sendiri bangga banget bisa jadi The Best Perfomance karena aku saingannya sama banyak negara dari Hong Kong, Cina, Thailand, Korea, dan lainnya," cerita Shella saat berkunjung ke kantor redaksi Liputan6.com, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (30/9/2014).
Diakui Shella, selain suaranya yang bagus salah satu faktor yang menjadikannya The Best Perfomance yakni kostum panggung yang ia kenakan. Cewek berusia 17 tahun ini mengatakan saat itu dirinya menggunakan pakaian tradisional Indonesia dengan riasan wajah khas Tanah Air.
"Kostum panggungku yang buat itu Eko Tjandra, itu juga jadi salah satu faktor yang dinilai. Karena di festival itu kayaknya semua aspek diperhatikan ya. Aku bersyukur banget bisa bawa nama Indonesia," ujar Shella.
Shella Tiatira berada di bawah naungan manajemen Benny Simanjuntak. Shella bertemu dengan Benny Simanjuntak saat mengikuti audisi yang diadakan Benny Simanjuntak di Medan. Sejak saat itu, Shella diminta untuk bergabung dengan manajemen paman Jonathan Frizzy itu. (Fir/Fei)

Sumber:
http://showbiz.liputan6.com/read/2112755/suara-gadis-batak-ini-kalahkan-sistar-justice-crew

Sunday, November 16, 2014

Dua Perusahaan Tambang Lakukan Ekplorasi Kadar Emas di Taput

Dua Perusahaan Tambang Lakukan Ekplorasi Kadar Emas 

di Taput

Selasa, 6 Mei 2014 | 11:53:39


Tarutung (SIB)- Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) Alkari Purba mengakui, saat ini ada dua perusahaan tambang sedang melakukan eksplorasi dan meneliti kadar emas di tiga kecamatan di Taput yakni, Kecamatan Pahae Julu, Pahae Jae dan Purba Tua.

“Saat ini kita memberikan izin kepada dua pengusaha tambang mengeksplorasi dan meneliti kualitas dan kadar emas. Daerah yang saat ini dilakukan eksplorasi berada hanya berlokasi di tiga kecamatan saja,” ujar Alkari kepada SIB, Senin, (5/5).

Dijelaskan, dari tiga lokasi yang diteliti itu belum bisa dipastikan berapa besar kapasitas kadar emas dan usianya.

“Belum bisa dipastikan kapasitas dan usia, karena masih tahap pengeboran lokasi yang mengandung kadar emas,” ucapnya.

Alkari juga menjelaskan, dalam penelitian itu, pihaknya masih sebatas memberikan izin eksplorasi dan belum ada membicarakan terkait tindaklanjut berikutnya, termasuk menyangkut pembagian hasil produksi ketika emas tersebut sudah bisa diproduksi.

“Kita masih kerjasama eksplorasi, dan belum ada membicarakan menyangkut tindaklanjut berikutnya,” jelasnya.

Terkait batas waktu kapan selesai eksplorasi dan penelitian itu, Alkari belum bisa memastikan. ”Belum bisa dipastikan kapan selesai, karena masih banyak yang masih mereka lakukan uji coba  eksplorasi,” katanya. Tidak diperoleh informasi rinci soal kedua perusahaan tambang tersebut. (A20/f)


Sumber:
http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=13712

Mantap... Kandungan Emas Signifikan Ditemukan di Pahae Tapanuli Utara

Mantap... Kandungan Emas Signifikan Ditemukan di Pahae Tapanuli Utara
NET
PT Agincourt Resources, anak perusahaan tambang emas asal Hong Kong, G-Resources, yang mengelola Tambang Emas Martabe
JAKARTA(MAHARDIKAnews): Ini kabar yang menggembirakan bagi warga Tapanuli Utara sekitarnya. Kandungan emas signifikan ditemukan di prospek Pahae-Tapanuli Utara, sekitar 50 kilometer sebelah utara Tambang Emas Martabe.

Dalam keterangan tertulis, Selasa 27 Agustus 2013, PT Agincourt Resources, anak perusahaan tambang emas asal Hong Kong, G-Resources, yang mengelola Tambang Emas Martabe ini menyatakan sedang terus melakukan eksplorasi di wilayah pertambangan. Seperti dikutip dari Viva.co.id, cebakan tersebut ditemukan setelah perusahaan melakukan pemetaan permukaan dan pengambilan sampel batuan.

Selain itu, perusahaan juga terus melakukan pengeboran di wilayah selatan Pit Purnama dan wilayah Uluala Hulu di Tapanuli Selatan. Di bagian selatan pada kedalaman 57 meter diperoleh data 1,2 gram/ton emas dan 17 gram/ton perak, sedangkan di wilayah Uluala Hulu pada kedalaman 49,7 meter diperoleh data 4,4 gram/ton emas dan 44 gram/ton perak.

Dua buah lubang pengeboran bermata intan (diamond drill) telah pula dituntaskan dengan total kedalaman sekitar 690 meter di Prospek Tango Papa – Tapanuli Utara, 25 km sebelah utara Tambang Emas Martabe. Hasil pengeboran sedang dianalisa. 

Selain itu, penelitian metalurgi terhadap kandungan sulphide Tambang Emas Martabe tengah dilakukan. Penelitian awal dengan metode flotasi, dinyatakan mereka, memberikan hasil positif.
Biaya yang telah dikeluarkan PT Agincourt untuk kegiatan eksplorasi sepanjang semester I–2013 telah mencapai US$5 juta, dari total dana US$10 juta yang dianggarkan untuk tahun ini.

Tambang Emas Martabe terletak di sisi barat pulau Sumatera, Kecamatan Batang Toru, Propinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1.639 km2, di bawah Kontrak Karya generasi keenam ("CoW") yang ditandatangani April 1997.

Tambang Emas Martabe kini telah memiliki sumberdaya 8,05 juta oz emas dan 77 juta oz perak; ditargetkan mulai berproduksi pada awal 2013 dengan kapasitas per tahun sebesar 250.000 oz emas dan 2-3 juta oz perak berbiaya rendah.

Pemegang saham Tambang Emas Martabe adalah G-Resources Group Ltd sebesar 95 persen, sedangkan sisanya dimiliki oleh PT Artha Nugraha Agung, yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten Tapanuli Selatan dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.(R5) 



Sumber:
http://mahardikanews.com/view/Ekonomi/957/Mantap----Kandungan-Emas-Signifikan-Ditemukan-di-Pahae-Tapanuli-Utara.html#.VGhYgzSUdVE

Ladang Emas Ditemukan di Pahae Tapanuli Utara

Ladang Emas Ditemukan di Pahae Tapanuli Utara

Inda Marlina   -   Selasa, 27 Agustus 2013, 10:23 WIB












Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah cebakan mengandung emas teridentifikasi di Pahae, Tapanuli Utara, sekitar 50 Km utara tambang emas Martabe miliki PT Agincourt Resources anak usaha dari G-Resources Group Ltd. Lokasi tersebut akan menjadi lokasi eksplorasi selanjutnya pada 2014.
Sesuai dengan rilis resmi, Senin (26/8/2013), penemuan emas berdasarkan hasil dari pemetaan dan pengambilan sampel batuan. Dari penelitian yang dilakukan oleh perusahaan tambang pemegang kontrak karya sejak 1997 tersebut, mereka juga menemukan emas di tambang Purnama dan wilayah Uluala Hulu di Tapanuli selatan. 
Dari data yang tercatat oleh perusahaan asal Hong Kong itu, di bagian selatan tambang Purnama pada kedalaman 57 meter ditemukan kandungan emas sebesar 1,2 gram/ton dan 17 gram/ton perak. Di tempat yang lain yaitu eilayah Uluala Hulu Tapanuli Selatan pada kedalaman 49,7 metertercatat 4,4 gram/ton emas dan 44 gram/ton perak.
Selain pengeboran yang dilakukan di Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan di tambang Purnaman, perusahaan yang mengolah hasil tambangnya di PT Logam Mulia ini juga tengah menuntaskan pengeboran dengan kedalaman sekitar 690 meter di Tango Papa, Tapanuli Utara. Hasil pengeboran saat ini sedang dianalisa oleh tim G-Resources.
G-Resources mengeluarkan dana US$5 juta untuk eksplorasi tambang emas yang dilakukan pada semester I ini. Dana tersebut merupakan separuh dari total dana sebesar US$ yang dianggarkan untuk tahun ini. Selama kurun waktu 1 tahun antara Juli 2012 hingga Juli 2013, produksi emas mereka telah mencapai 200.000 ounces atau sebesar 5,7 ton dan perak sebesar 1 juta ounces atau sebesar 28 ton. Pada semester I tahun ini, produksi emas sebesar 133.845 troy ounces (3,8 ton) dan hasil produksi perak sebesar 626.703 troy ounces (17,8 ton). 
 Source : Inda Marlina
Editor : Sutarno

Sumber:
http://industri.bisnis.com/read/20130827/44/159008/ladang-emas-ditemukan-di-pahae-tapanuli-utara

DAERAH TERTINGGAL

DAERAH TERTINGGAL
Pengertian Daerah Tertinggal adalah daerah Kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
  1. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/ pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
  2. Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
  3. Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
  4. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
  5. Daerah Terisolasi, Rawan Konflik dan Rawan Bencana.  Daerah tertinggal secara fisik lokasinya amat terisolasi, disamping itu seringnya suatu daerah mengalami konflik sosial bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan dan banjir, dan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan enam (6) kriteria dasar dan 27 indikator utama yaitu : (i) perekonomian masyarakat, dengan indikator utama persentase keluarga miskin dan konsumsi perkapita; (ii) sumber daya manusia, dengan indikator utama angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf; (iii) prasarana (infrastruktur) dengan indikator utama jumlah jalan dengan permukaan terluas aspal/beton, jalan diperkeras, jalan tanah, dan jalan lainnya, persentase pengguna listrik, telepon dan air bersih, jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen, jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk, jumlah dokter/1000 penduduk, jumlah SD-SMP/1000 penduduk; (iv) kemampuan keuangandaerah dengan indikator utama celah fiskal, (v) aksesibilitas dengan indikator utama rata-rata jarak dari desa ke kota kabupaten, jarak ke pelayanan pendidikan, jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km dan (vi)karakteristik daerah dengan indikator utama persentase desa rawan gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya, persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa rawan konflik satu tahun terakhir.  
Dengan kriteria tersebut, maka saat ini terdapat 183 kabupaten yang dikategorikan sebagai Daerah Tertinggal di Indonesia. Daftar kabupaten tersebut telah dimasukkan dalam RPJMN 2010-2014 sebagai target Pembangunan Daerah Tertinggal. Penyebaran daerah tertinggal sebahagian besar (70%) daerah tertinggal saat ini terdapat di Kawasan Timur Indonesia. 

DAFTAR 183 KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA
(1)NAD (12 DT)
1SIMEULUE
2ACEH SINGKIL
    3 ACEH SELATAN 
    4 ACEH TIMUR 
    5 ACEH BARAT 
    6 ACEH BESAR 
    7 ACEH BARAT DAYA 
    8 GAYO LUES 
    9 NAGAN RAYA 
10 ACEH JAYA 
11 BENER MERIAH 
12 PIDIE JAYA   (DOB ) 
  (2) SUMATERA UTARA (6 DT) 
    1 NIAS 
    2 TAPANULI TENGAH 
    3 NIAS SELATAN 
    4 PAKPAK BHARAT 
    5 NIAS BARAT (DOB) 
    6 NIAS UTARA (DOB) 
  (3) SUMATERA BARAT (8 DT) 
    1 KEPULAUAN MENTAWAI 
    2 PESISIR SELATAN 
    3 SOLOK 
    4 SIJUNJUNG 
    5 PADANG PARIAMAN 
    6 SOLOK SELATAN 
    7 DHARMAS RAYA 
    8 PASAMAN BARAT 
  (4) SUMATERA SELATAN (7 DT) 
    1 OGAN KOMERING ILIR 
    2 LAHAT 
    3 MUSI RAWAS 
    4 BANYUASIN 
    5 OKU SELATAN 
    6 OGAN ILIR 
    7 EMPAT LAWANG 
  (5) BENGKULU (6 DT) 
    1 KAUR 
    2 SELUMA 
    3 MUKOMUKO 
    4 LEBONG 
    5 KEPAHIANG 
    6 BENGKULU TENGAH 
  (6) LAMPUNG (4 DT) 
    1 LAMPUNG BARAT 
    2 LAMPUNG UTARA 
    3 WAY KANAN 
    4 PESAWARAN 
  (7) BANGKA BELITUNG (1 DT) 
    1 BANGKA SELATAN 
  (8) KEPULAUAN RIAU (2 DT) 
    1 NATUNA 
    2 KEPULAUAN ANAMBAS  
(9) JAWA BARAT (2 DT) 
    1 SUKABUMI 
    2 GARUT 
(10) JAWA TIMUR (5 DT) 
    1 BONDOWOSO 
    2 SITUBONDO 
    3 BANGKALAN 
    4 SAMPANG 
    5 PAMEKASAN 
(11) BANTEN (2 DT) 
    1 PANDEGLANG 
    2 LEBAK 
(12) NTB (8 DT) 
    1 LOMBOK BARAT 
    2 LOMBOK TENGAH 
    3 LOMBOK TIMUR 
    4 SUMBAWA 
    5 DOMPU 
    6 BIMA 
    7 SUMBAWA BARAT 
    8 LOMBOK UTARA (DOB) 
(13) NTT (20 DT) 
    1 SUMBA BARAT 
    2 SUMBA TIMUR 
    3 KUPANG 
    4 TIMOR TENGAH SELATAN 
    5 TIMOR TENGAH UTARA 
    6 BELU 
    7 ALOR 
    8 LEMBATA 
    9 FLORES TIMUR 
10 SIKKA 
11 ENDE 
12 NGADA 
13 MANGGARAI 
14 ROTE NDAO 
15 MANGGARAI BARAT 
16 MANGGARAI TIMUR (DOB) 
17 NAGEKEO (DOB) 
18 SABU RAIJUA (DOB) 
19 SUMBA BARAT DAYA (DOB) 
20 SUMBA TENGAH (DOB) 
(14) KALIMANTAN BARAT (10 DT) 
    1 KAYONG UTARA 
    2 SAMBAS 
    3 BENGKAYANG 
    4 LANDAK 
    5 SANGGAU 
    6 KETAPANG 
    7 SINTANG 
    8 KAPUAS HULU 
    9 SEKADAU 
10 MELAWI 
(15) KALIMANTAN TENGAH (1 DT) 
    1 SERUYAN 
(16) KALIMANTAN SELATAN (2 DT) 
    1 BARITO KUALA 
    2 HULU SUNGAI UTARA 
(17) KALIMANTAN TIMUR (3 DT) 
    1 KUTAI BARAT 
    2 MALINAU 
    3 NUNUKAN 
(18)  SULAWESI UTARA (3 DT) 
    1 KEPULAUAN SANGIHE 
    2 KEPULAUAN TALAUD 
    3 KEPULAUAN SITARO (DOB) 
(19) SULAWESI TENGAH (10 DT) 
    1 BANGGAI KEPULAUAN 
    2 BANGGAI 
    3 MOROWALI 
    4 POSO 
    5 DONGGALA 
    6 TOLI-TOLI 
    7 BUOL 
    8 PARIGI MOUTONG 
    9 TOJO UNA-UNA 
10 SIGI (DOB) 
(20) SULAWESI SELATAN (4 DT) 
    1 SELAYAR 
    2 JENEPONTO 
    3 PANGKAJENE KEPULAUAN 
    4 TORAJA UTARA (DOB) 
(21) SULAWESI TENGGARA (9 DT) 
    1 BUTON 
    2 MUNA 
    3 KONAWE 
    4 KONAWE SELATAN 
    5 BOMBANA 
    6 WAKATOBI 
    7 KOLAKA UTARA 
    8 BUTON UTARA (DOB) 
    9 KONAWE UTARA (DOB) 
(22) GORONTALO (3 DT) 
    1 BOALEMO 
    2 POHUWATO 
    3 GORONTALO UTARA (DOB) 
(23) SULAWESI BARAT (5 DT) 
    1 MAJENE 
    2 POLEWALI MANDAR 
    3 MAMASA 
    4 MAMUJU 
    5 MAMUJU UTARA 
(24) MALUKU (8 DT) 
    1 BURU SELATAN (DOB) 
    2 MALUKU BARAT DAYA (DOB) 
    3 MALUKU TENGGARA BARAT (DOB) 
    4 MALUKU TENGAH 
    5 BURU 
    6 KEPULAUAN ARU 
    7 SERAM BAGIAN BARAT 
    8 SERAM BAGIAN TIMUR 
(25) MALUKU UTARA (7 DT) 
    1 MOROTAI (DOB) 
    2 HALMAHERA BARAT 
    3 HALMAHERA TENGAH 
    4 KEPULAUAN SULA 
    5 HALMAHERA SELATAN 
    6 HALMAHERA UTARA 
    7 HALMAHERA TIMUR 
(26) PAPUA BARAT (8 DT) 
    1 KAIMANA 
    2 TELUK WONDAMA 
    3 TELUK BINTUNI 
    4 SORONG SELATAN 
    5 SORONG 
    6 RAJA AMPAT 
    7 MAYBRAT (DOB) 
    8 TAMBRAU (DOB) 
(27) PAPUA (27 DT) 
    1 MERAUKE 
    2 JAYAWIJAYA 
    3 NABIRE 
    4 YAPEN WAROPEN 
    5 BIAK NUMFOR 
    6 PANIAI 
    7 PUNCAK JAYA 
    8 MIMIKA 
    9 BOVEN DIGOEL 
10 MAPPI 
11 ASMAT 
12 YAHUKIMO 
13 PEGUNUNGAN BINTANG 
14 TOLIKARA 
15 SARMI 
16 KEEROM 
17 WAROPEN 
18 SUPIORI 
19 DEIYAI (DOB) 
20 DOGIYAI (DOB) 
21 INTAN JAYA (DOB) 
22 LANNY JAYA (DOB) 
23 MAMBERAMO RAYA (DOB) 
24 MAMBERAMO TENGAH (DOB) 
25 NDUGA (DOB) 
26 PUNCAK (DOB) 
27 YALIMO (DOB) 


Sumber:
http://www.kemenegpdt.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal



Menteri Marwan Jafar Siap Kucurkan Dana Desa Rp 9,2 Triliun

By Fathi Mahmud 
on Nov 15, 2014 at 23:01 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp 9,2 triliun untuk 73 ribu desa di seluruh Indonesia pada Desember 2014 hingga Januari 2015. Tiap desa akan menerima dana sebesar Rp 340 juta.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar menyatakan kucuran dana desa ini bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang ditekan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
"Untuk dana desa memang sudah ditetapkan mengacu pada anggaran sesuai nota keuangan APBN kemarin. Yakni sebanyak Rp 9,2 triliun dibagi 73 ribu desa atau sekitar Rp 340 juta per desa. Maksimal Desember sampai Januari besok sudah harus dikucurkan," kata Marwan di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (15/11/2014).
Marwan saat ini sedang meminta revisi anggaran karena semakin banyaknya kebutuhan anggaran di kementeriannya. "Apalagi kita akan menjadi departemen, akan menjadi clusterdua yang membutuhkan anggaran sangat banyak," kata dia. 

Marwan menyebut daerah atau desa tertinggal itu akan menjadi prioritasnya mendapatkan anggaran lebih melalui dana kabupaten tertinggal. Dana itu nantinya bisa digunakan untuk memakmurkan warga desa.

"Dana untuk kabupaten tertinggal bisa kita berikan untuk desa yang benar benar membutuhkan perhatian serius. Sehingga mereka nantinya dapat menjadi pilot project di kabupaten untuk meningkatkan kesejahteraan mereka," papar Marwan.
Menteri Marwan mengaku akan membentuk tim khusus untuk mengawasi, mendampingi, dan memonitor keuangan setiap desa selama proses pengucuran dana desa tersebut. Hal itu untuk kelancaran dan memudahkan laporan karena tak semua aparat desa mampu mengelola maupun menyusun laporan keuangan.

"Akan ada tim khusus di setiap desa seluruh Indonesia," tukas Menteri Marwan Jafar. (Ans)