Pages

Thursday, May 29, 2014

Hasil Test DNA Batak: Toba - Karo - Simalungun

VARIASI GENETIK SUKU BATAK YANG TINGGAL DI KOTA DENPASAR DAN KABUPATEN BADUNG BERDASARKAN TIGA LOKUS MIKROSATELIT DNA AUTOSOM

INTISARI: Penelitian tentang variasi genetik menggunakan tiga lokus mikrosatelit DNA D2S1338, D13S317 dan D16S539 dilakukan untuk memperoleh ragam alel pada 76 sampel suku Batak yang tidak berhubungan keluarga yang tinggal di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Sampel DNA diektraksi dari darah menggunakan metode fenol-khloroform dan presipitasi etanol.  Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan metode PCR (SuperMix, Invitrogen). Ditemukan sebanyak 14 alel pada lokus D2S1338, 10 alel pada lokus D13S317 dan 8 alel pada lokus D16S539. Ketiga lokus menunjukkan keragaman genetik yang tinggi baik pada masing-masing lokus maupun pada pada masing-masing sub-suku Batak dengan keragaman genetik sebesar 0,8637 pada sub-suku Batak Toba, 0,7314 pada sub-suku Batak Karo dan 0,7692 pada sub-suku Batak Simalungun.
Kata kunci: DNA mikrosatelit, Suku Batak, keragaman genetik, frekuensi alel, heterozigositas
Penulis: YOSSY CAROLINA UNADI, INNA NARAYANI, I KETUT JUNITHA

Sumber:
http://www.e-jurnal.com/2013/10/variasi-genetik-suku-batak-yang-tinggal.html

Mengungkit Kembali Suku Mante

Mengungkit Kembali Suku Mante

Oleh: Aulia Fitri - 01/03/2014 - 12:55 WIB
KEBERADAAN suku Mante di pedalaman hutan-hutan Aceh memang telah menjadi isu yang sangat-sangat lama. Karena saking begitu lama hingga menjadi mitos atau isapan jempol di masyarakat Aceh saat ini, perbincangan suku ‘mistis’ ini hanya sempat populer di beberapa era baik masa raja-raja Kerajaan Aceh Darussalam dan juga masa penjajahan Belanda.


Ada sebagian orang yang menyebutnya dengan istilah kata Mante. Istilah ini sempat diperkenalkan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje. Ada juga yang menyebut dengan nama Bante. Sedangkan sebutan lainnya Aneuk Coh-coh (warga Pidie) seperti yang pernah dimuat dalam Harian Waspada secara berseri pada bulan Oktober 2012 lalu.

Beberapa kliping dari Harian Waspada tentang suku Mante masih saya simpan hingga kini. Dalam tulisan di harian tersebut, keberadaan suku Mante sempat dipertanyakan, namun fakta dari sejumlah temuan warga, baik yang pernah disebutkan di daerah pedalaman hutan belantara Pidie membuktikan bahwa populasi dari suku ini kemungkinan besar sangat tipis.

Selain di Harian Waspada, dua tahun silam ini tentu kita bisa melihat kembali atau kroscek kembali beberapa puluh tahun silam. Pada Harian Kompas (18 Desember 1987) yang pernah menurunkan berita keberadaan suku Mante di daerah pedalaman Aceh.

Jika sebagian masyarakat di Aceh Besar sempat menyebutkan bahwa keberadaan suku Mante ada di pedalaman hutan belantara, hal ini mendasar dari apa yang pernah dituliskan oleh Snouck dalam buku “De Atjehers”, walaupun dia tidak pernah melihat sendiri melainkan hanya dari omongan warga.
Tidak hanya itu, buku “Aceh Sepanjang Abad” dari Mohammad Said juga pernah menyebutkan suku Mante ini sebangsa keturunan dari orang-orang asli di Malaysia.

Hal tersebut diperkuat dari catatan James A. Matisoft yang diketahui bahwa orang asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya sejak 6.000 tahun yang lalu. Sementara, maksud dari orang asli ini menurut Paul Sidewell termasuk dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer.

Pengakuan Warga tentang Suku Mante
Mante dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berkelana dari hutan ke hutan daerah pedalaman atau pegunungan di Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, jika merunut penuturan lainnya juga berada di daerah Pidie sekitaran Tangse. Masyarakat suku terasing ini nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang.

Dari sekian banyak pengakuan tentang keberadaan suku Mante ini sering dituturkan oleh pawang hutan, dan anggota GAM yang pernah tinggal di hutan, tidak sedikit juga para mahasiswa pecinta alam yang melakukan ekspedi ke gunung-gunung di Aceh juga bertemu dengan kelompok orang-orang yang disebut mempunyai postur tubuh kecil tersebut.

“Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante, maka saya tak berani mengungkapkannya,” kata Gusnar Effendy (72) seperti pernah dimuat Harian Kompas tahun 1987 silam. Te¬tapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar bukan khayalan.

Menurut Gusnar waktu itu, kelompok atau suku Mante yang ditemukannya hidup di belantara pedalaman Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabu¬paten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam lembah,” katanya.

Gua yang dijadikan tempat tinggal kelom¬pok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang, Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang.

Sejarawan Aceh, Prof Ibrahim Alfian, pernah menyebutkan da¬lam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, pang¬gilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok su¬ku terasing setempat.

Ciri suku Mante menurut Abu Dahlan Tanoh Abee yang diceritakan oleh Teuku Anwar Amir, berkulit coklat dengan postur tubuh sekitar 150-an centi meter serta memakai gelang di leher, dan anting pemberat di telinga.

Suku Mante dan Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan di Aceh yang merajalela telah membuat banyak bencana hadir, tidak saja berdampak pada rusaknya lingkungan, melainkan juga merusak hubungan antara makhluk hidup di hutan sana. Tidak jarang gajah, harimau, dan sejumlah binatang lain harus mengungsi ke pemukiman warga.

Hal ini pula yang bisa mempengaruhi tentang keberadaan suku Mante, kelompok yang hidup di hutan pedalaman juga akan mengalami krisis yang serupa. Jika sejumlah pemaparan dan temuan telah didapatkan oleh masyarakat setempat, bukan hal aneh jika para peneliti turun ke hutan-hutan pedalaman untuk menemukan mereka dan menjalin kontak atau hubungan.

Kelangsungan hidup suku Mante tentu menjadi tanggung jawab bersama, kalau saja bisa ditemukan seperti suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia tentu akan banyak informasi di dapat. “Jika betul ditemukan keber¬adaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian.

Penemuan lainnya yang bisa dibilang mirip dengan suku Mante ini, pernah ditemukan di daerah Jambi, Palembang, dan Lampung, dimana masyarakat disana mengenal dengan sebutan ‘orang pendek‘, ditemukan bekas kakinya di daerah pedalaman hutan.

Dari sejumlah paparan yang telah dijelaskan dan berita yang pernah dipublikasi beberapa puluh tahun lalu, maka bisa dilihat penyebaran suku Mante ini sejak dulu ada di pedalaman hutan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Pidie. Tidak menutup kemungkinan, perpindahan dan tidak menetap (no maden) dari kelompok Mante ini bisa saja sudah menyebar ke daerah-daerah Aceh lainnya.

Namun, pertanyaan sekarang masih adakah mereka ditengah kelestarian hutan Aceh yang tidak lagi kondusif ini. Bagaimana dengan kepedulian kita saat ini untuk memanusiakan sesama manusia? Apakah dengan mengungkit kembali suku Mante ini hanya perkara yang lalu begitu saja dan setelah itu hilang kembali di permukaan.

Tentu saja ini bukan perkara yang mudah untuk kita selesaikan, jika peran masyarakat dan juga instansi serta pihak-pihak terkait belum begitu sadar dan mau ikut sama-sama memberikan andil untuk mencari sosok sekelompok manusia yang pernah disebut-sebut nenek moyang bangsa Aceh. Wallahu’alam. []

AULIA FITRI, narablog yang menaruh minat besar pada jurnalisme warga dan media sosial. Bersama sejumlah narablog, Ia mendirikan Aceh Blogger Community. Bisa dihubungi via @hack87 dan aulia87.wordpress.com.
-----

Akses ACEHKITA.COM versi mobile melalui telepon selular, iPhone, BlackBerry, Android, dan tablet Anda di alamat: m.acehkita.com



Sumber: 
http://www.acehkita.com/berita/opini-mengungkit-kembali-suku-mante/ 



Misteri Suku Mante/Bante/Cucu/ Aneuk Cong – Suku orang kerdil dari Aceh.

Ada kisah menarik dan mengelitik ketika saya medengar dan membaca beberapa tulisan di internet mengenai suku misterius yang ada di Aceh. Kabar yang tersiar sangat simpang siur dan merujuk ke berbagai arah referensi yang tak berujung. Suku ini memang sudah lama menjadi buah bibir, sejak jaman perang melawan kolonial dahulu kala (Frederik Hendrik van Langen, 1886) jadi memang bukan barang baru. Namun dibalik misteri kabar yang simpang siur tersebut, tentu ada secercah asa untuk memenuhi hasrat atas keingintau-an ku ini. Suku ini sudah tidak asing lagi ditelinga kawan-kawan, apalagi dikalangan kawan-kawan jurnalis, tentu.

Beberapa sumber, mereka populer dengan sebutan suku “Mante”, ada juga menyebut mereka dengan nama suku “Bante”, masyarakat Geumpang, Pidie juga memiliki sebutan yang lainnya dengan sebutan Suku “Cucu” dan “Aneuk Cong”.

Menurut salah satu sumber dikalangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang di kutip dari Cakradonya, bahwa suku Mantee yang hidup di rimba raya Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Monk Khmer dari Hindia belakang.

Dimanakah keberadaan mereka? ini secuil bagian dari misterinya, ada yang mengatakan keberadaan mereka ada di perdalaman hutan rimba Aceh Timur, ada juga mereka ada di Gampong seumileuk, letak perkampungan tersebut di kawasan hutan antara Jantho dan Tangse. hal ini dibuktikan dengan ditemukan bekas persawahan dan kuburan yang terdapat di sana. Disebut juga keberadaan mereka ada disebuah bukit di daerah Lokop, ada bekas sisa peninggalan desa/perkampungan mereka disana dan juga ada menyebut mereka ada di Gunung GEUPO, sekitar 9 jam perjalanan dari Geumpang. Malah baru-baru ini tersiar kabar tentang keberadaan mereka saat ini mendiami di hutan Leuser antara Kutacane dengan Aceh Selatan di daerah Krueng Bengkoeng. Sungguh penuh misteri.

Ada beberapa kebiasaan mereka, salah satunya mereka suka turun kesungai saat Azan Subuh berkumandang. itulah waktu yang tepat untuk melihat atau membuktikan mereka. Ada pula yang mengatakan jika hendak mencari mereka di tempat-tempat yang tersebut diatas jangan lupa membawa garam, karena mereka suka sekali dengan garam.


Sumber:
https://rinaldiad.wordpress.com/2013/10/02/misteri-suku-mantebantecucu-suku-orang-kerdil-dari-aceh/


Pengaruh Bahasa Bante Terhadap Bahasa Aceh

Penduduk asli Aceh adalah suku Bante. Dalam buku Aceh Sepanjang Abad yang ditulis oleh Mohammad Said disebutkan bahwa suku ini serumpun dengan penduduk asli semenanjung Malaysia yaitu Orang Asli. Bahasa Orang Asli termasuk dalam kelompok bahasa Mon-Khmer yaitu salah satu cabang dari rumpun bahasa Austro-Asia. Termasuk juga dalam bahasa Mon-Khmer adalah bahasa penduduk Kepulauan Nikobar di utara Pulau Weh yang kini bagian dari negara India. Namun demikian bahasa Aceh tidak termasuk dalam kelompok bahasa Mon-Khmer, tetapi termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Cam yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia.

Ada hal yang menarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti asing yaitu Paul Sidwell. Ia menemukan bahwa ada banyak kata-kata dalam bahasa Aceh yang seakar dengan kata-kata bahasa Mon-Khmer tetapi kata-kata ini tidak dijumpai dalam kelompok bahasa Cam. Nah, yang menjadi pertanyaan, dari manakah kata-kata ini berasal?

Menurut saya kata-kata ini berasal dari bahasa Bante yang merupakan penduduk asli Aceh. Seiring dengan pengaruh bahasa Aceh yang kuat, orang-orang Bante mulai meninggalkan bahasanya dan beralih menjadi penutur bahasa Aceh. Dalam proses peralihan inilah bahasa Bante meninggalkan jejaknya dalam bahasa Aceh. Masih bisakah jejak-jejak ini kita telusuri kembali. Saya yakin sangat bisa.

Dalam sebuah kesempatan, saya bertanya mengenai suku Bante pada salah seorang tokoh masyarakat dari Seulimeum yaitu Bapak H. Zainal Abidin atau sering dipanggil Yah Cek. Beliau mengatakan bahwa beliau mengetahui ada 8 buah kata yang berasal dari bahasa Bante. Namun sayangnya karena usia beliau yang sudah tua (hampir 80 tahun), beliau hanya bisa mengingat 3 kata saja yaitu:

• rhak = naik (bandingkan dengan kata “ék” yang seakar dengan kata bahasa Melayu yaitu “naik”)
• lok-lok = ?. Sukar dicari padanannya dalam bahasa Melayu, tetapi lebih kurang artinya adalah menerobos.
• khop-khop = makan (untuk anjing)

Dari penemuan yang sangat berharga ini, saya sangat yakin bahwa kita masih sangat bisa menelusuri kata-kata lainnya.

Majalah Aceh Point dalam edisi perdananya (Februari 2008) telah membahas mengenai suku Bante ini. Salah seorang narasumbernya adalah Abdul Syafi’i yang dikenal dengan panggilan Cik Alu dari kampung Jalin yang telah berusia hampir 100 tahun. Beliau merupakan salah seorang penduduk yang pernah mendiami wilayah Seumileuek di pedalaman Jantho yang merupakan kampung terakhir suku Bante. Penduduk wilayah Seumileuek pada akhirnya dipindahkan oleh Belanda ke Jalin pada tahun 1942. Dari pengakuan beliau sendiri, beliau mengatakan bahwa di desa Jalin ini masih ada keturunan suku Bante tapi mereka tidak menyadarinya lagi.

Tetapi sayangnya Majalah Aceh Point tidak sampai pada tahap meneliti bahasa Bante ini. Nah, siapa yang tertarik untuk meneliti?
Lihat pula tulisan saya: Suku Bante/Mante Penduduk Asli Aceh.

Catatan:
* Saya tidak memakai kata Mante, karena ketika saya menanyakannya pada salah seorang orang tua di kampung Seulimeum yaitu Ibrahim yang sudah berusia 80 tahun lebih, beliau bingung. Setelah saya menjelaskan maksud pertanyaan saya, barulah beliau paham. Beliau lalu menyebutkan bahwa kata yang benar adalah BANTE. Informasi yang saya peroleh dari beliau bahwa tahun 1940-an orang Bante ini semuanya sudah menjadi orang kota. Mungkin hal ini dikaitkan dengan tindakan Belanda yang memindahkan penduduk Seumileuek ke Jalin pada tahun 1942.
* Tulisan Paul Sidwell yang saya maksud adalah “Acehnese and the Aceh-Chamic Language Family” dan “Dating the separation of Acehnese and Chamic by etymological analysis of the Aceh-Chamic lexicon”


Sumber: 
http://bahasaaceh.wordpress.com/2010/10/27/pengaruh-bahasa-bante-terhadap-bahasa-aceh/

Ditemukan lagi, Suku Mante di Daerah Pedalaman Aceh

Ditemukan lagi, Suku Mante di Daerah Pedalaman Aceh

 Banda Aceh, Kompas
 Mante, kelompok masyarakat, yang berkelana di hutan-hutan pegunungan Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, kini ditemukan kembali. Warga masyarakat suku terasing yang selama ini sangat terkenal dalam kisah-kisah lama Aceh serta kebudayaan tutur setempat, nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang. Dengan demikian, suku bangsa Proto Melayu yang sudah menghuni wilayah Indonesia sebelum kedatangan suku-suku Melayu masyarakat kita sekarang ini, sisa-sisanya bertahan melewati pasangsurut zaman di hutan-hutan Aceh.

         “Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante…’,, kata Gusnar Effendy (72), seorang pawang hutan. la menambahkan; “…maka, saya tak berani mengungkapkannya.”  Te­tapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan  rombongan suku tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar bukan khayalan.

“Jika  betul ditemukan keber­adaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof  Dr Ibrahim Alfian, sejarawan, penulis buku “Perang di Jalan Allah” yang kini menjabat Dekan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nama panggilan
          Istilah Mante dikenalkan secara luas oleh Dr Snouck Hurgronje dalam karya terkenalnya De Atjehers. Mengutip keterangan yang diperolehnya dari para informannya, ia melukiskan orang Mante orang Mantran tinggal di wilayah perbukitan Mukim XXII. Malahan konon, pada pertengahan-abad XVII, ada sepasang Mante laki-perempuan ditangkap dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh. “Mereka tak mau berbicara, tak mau makan-minum yang disodorkan, hingga akhirnya mati…,” begitu Snouck Hurgronje memberikan ilustrasi.

Tetapi lewat buku yang sama ia juga menyatakan, panggilan mante akhirnya juga diberlakukan untuk menyebut mereka yang bertingkah kebodoh-bodohan dan berlaku kekanak-kanakan. Hur­gronje sendiri memang mengaku belum pernah bertemu muka de­ngan kelompok termaksud.  Kata Prof Ibrahim Alfian, “Da­lam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, pang­gilan mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok su­ku terasing setempat.” Berdasar kenyataan ini, sejarawan asal Aceh tadi menyebutkan, “…kalau memang suku tadi ditemukan kembali, penelitian ilmiah perlu dilakukan secara tuntas di samping  upaya Departemen Sosial yang mempunyai tugas antara lain, membina suku-suku terasing.

Berkelompok
       “Kalau berbohong, …silakan saya digantung,” tutur Gusnar Ef­fendy meyakinkan. Pawang hutan berusia lanjut tetapi tetap tegar ini memang sering kali menjelajah hutan dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan  tadi, ia beberapa kali bertemu dengan kelom­pok masyarakat Mante. “Mereka tinggal berkelompok, sekitar 60-an orang, besar- kecil-laki perempuan. Sayang, begitu bertemu, mereka langsung melarikan diri menghindar.”

          Masyarakat Mante yang ditemukannya tadi hidup di belantara pedalaman Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabu­paten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam  lembah.” Gua yang dijadikan tempat tinggal kelom­pok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang , Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang,


Berapa jumlah mereka yang selalu nampak bertelanjang dengan (Bersambung kehal. VIII kol. 1-2)

(Sumber: Kompas, 18 Desember 1987 hlm 1).




Mencari Jejak Suku Mante (Waspada, 13 Oktober 2012) KEBERADAAN suku Mante memang bukan sekedar mitos atau isapan jempol di Aceh, perbincangan suku yang satu ini telah ada sejak masa raja-raja dan juga era penjajahan Belanda. 
Ada sebagian orang menyebutnya dengan Mante, istilah ini pernah dikenalkan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, kemudian ada juga yang menyebut dengan nama Bante, sedangkan sebutan lainnya Aneuk Coh-coh, seperti yang bisa Anda baca dalam tulisan di atas yang pernah diturunkan oleh Harian Waspada secara berseri pada bulan Oktober 2012 lalu.
Menghindari rasa penasaran Anda, lengkapnya tulisan di atas juga saya lampirkan sebagai berikut:
Mencari Jejak Suku Mante (IST)
Mungkin keberadaan suku Mante hingga sekarang masih sering dipertanyakan oleh masyarakat Aceh, namun fakta dari sejumlah temuan warga baik yang pernah disebutkan dalam berbagai tulisan membuktikan populasi dari suku ini kemungkinan besar sangat tipis.
Tulisan yang dilansir oleh Harian Waspada, dua tahun silam ini tentu telah menguatkan beberapa tulisan lampau lainnya.
Harian Kompas, 18 Desember 1987 juga sempat menurunkan berita keberadaan suku Mante di daerah pedalaman Aceh (baca ini). Jika sebagian masyarakat di Aceh Besar sempat menyebutkan bahwa keberadaan suku ada pedalaman hutan, hal ini mendasar dari apa yang pernah dituliskan oleh Snouck dalam buku “De Atjehers”, walaupun dia tidak pernah melihat sendiri melainkan hanya dari omongan warga.
Tidak hanya itu, buku “Aceh Sepanjang Abad” dari Mohammad Said juga pernah menyebutkan suku Mante ini sebangsa keturunan dari orang-orang asli di Malaysia.
Hal tersebut diperkuat dari catatan James A. Matisoft (baca tulisannya) yang diketahui bahwa orang asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya sejak 6.000 tahun yang lalu. Sementara, maksud dari orang asli ini menurut Paul Sidewell termasuk dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer.

Pengakuan Warga tentang Suku Mante

Mante dikenal sebagai kelompok masyarakat yang berkelana dari hutan ke hutan daerah pedalaman atau pegunungan di Aceh Tenggara dan Aceh Tengah, jika merunut penuturan lainnya juga berada di daerah Pidie sekitaran Tangse. Masyarakat suku terasing ini nampaknya masih bertahan di kawasan hutan belukar sampai sekarang.
Ilustrasi suku mante karya Tauris MustafaDari sekian banyak pengakuan tentang keberadaan suku Mante ini sering dituturkan oleh pawang hutan, dan anggota GAM yang pernah tinggal di hutan, tidak sedikit juga para mahasiswa pecinta alam yang melakukan ekspedi ke gunung-gunung di Aceh juga bertemu dengan kelompok orang-orang yang disebut mempunyai postur tubuh kecil tersebut.
+/ . cw
“Semula saya masih agak ragu, apa mereka benar-benar orang Mante, maka saya tak berani mengungkapkannya,” kata Gusnar Effendy (72) seperti pernah dimuat Harian Kompas tahun 1987 silam. Te­tapi setelah ia beberapa kali berjumpa dengan rombongan suku tersebut, ia semakin yakin bahwa keberadaan suku yang pernah “hilang” ini benar-benar bukan khayalan.

Menurut Gusnar waktu itu, kelompok atau suku Mante yang ditemukannya hidup di belantara pedalaman Lokop, Kabupaten Aceh Timur. Kecuali itu Gusnar juga pernah berjumpa dengan mereka di hutan-hutan Oneng, Pintu Rimba, Rikit Gaib di Kabu­paten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. “Umumnya, tinggal di gua-gua celah gunung. Kalau siang hari berada di alur-alur sungai dalam  lembah,” katanya.

Gua yang dijadikan tempat tinggal kelom­pok terasing ini dinamakah Gua Beye, Jambur Atang, Jambur Ketibung, Jambur Ratu dan Jambur Simpang.

Sejarawan Aceh, Prof Ibrahim Alfian, pernah menyebutkan da­lam Kamus Gayo-Belanda susunan Dr GAJ Hazen, terbit tahun 1907, istilah Mante digunakan untuk sekelompok masyarakat liar yang tinggal di hutan. Sementara pada Kamus Gayo-Indonesia tulisan antropolog Nelalatoa, pang­gilan Mante juga disebutkan untuk memberi nama kelompok su­ku terasing setempat.

Ciri suku Mante menurut Abu Dahlan Tanoh Abee yang diceritakan oleh Teuku Anwar Amir, berkulit coklat dengan postur tubuh sekitar 150-an centi meter serta memakai gelang di leher, dan anting pemberat di telinga (baca ini).

Suku Mante dan Kelestarian Hutan

Kerusakan hutan di Aceh yang merajalela telah membuat banyak bencana hadir, tidak saja berdampak pada rusaknya lingkungan, melainkan juga merusak hubungan antara makhluk hidup di hutan sana. Tidak jarang gajah, harimau, dan sejumlah binatang lain harus mengungsi ke pemukiman warga.

Hal ini pula yang bisa mempengaruhi tentang keberadaan suku Mante, kelompok yang hidup di hutan pedalaman juga akan mengalami krisis yang serupa. Jika sejumlah pemaparan dan temuan telah didapatkan oleh masyarakat setempat, bukan hal aneh jika para peneliti turun ke hutan-hutan pedalaman untuk menemukan mereka dan menjalin kontak atau hubungan.
Bekas kaki orang pendek di pedalaman Kelangsungan hidup suku Mante tentu menjadi tanggung jawab bersama, jika betul mereka bisa ditemukan seperti suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia tentu akan banyak informasi di dapat. “Jika  betul ditemukan keber­adaan masyarakat Mante, itu sebuah berita besar. Semua pihak harus ikut turun tangan,” kata Prof Dr Ibrahim Alfian.

Penemuan lainnya yang bisa dibilang mirip dengan suku Mante ini, pernah ditemukan di daerah Jambi, Palembang, dan Lampung, dimana masyarakat disana mengenal dengan sebutan ‘orang pendek‘, ditemukan bekas kakinya di daerah pedalaman hutan.

Dari sejumlah paparan yang telah dijelaskan dan berita yang pernah dipublikasi beberapa puluh tahun lalu, maka bisa dilihat penyebaran suku Mante ini sejak dulu ada di pedalaman hutan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Pidie. Tidak menutup kemungkinan, perpindahan dan tidak menetap (no maden) dari kelompok Mante ini bisa saja sudah menyebar ke daerah-daerah Aceh lainnya.

Namun, pertanyaan masih adakah mereka ditengah kelestarian hutan Aceh yang tidak lagi kondusif ini. Bagaimana dengan Anda sendiri, pernahkah mendengarkan tentang kisah suku Mante ini atau istilah yang mirip seperti dijelaskan di atas. Menarik untuk saya tunggu nih.[]Semarang


Sumber: http://www.networkedblogs.com/TTVl1


Suku Aceh

Suku Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Suku Aceh
(Ureuëng Acèh)
MalahayatiSultan Iskandar MudaTeungku Chik di TiroCut Nyak DhienTeuku UmarCut Nyak MeutiaPocut BarenSultan Muhammad Daud SyahDaud BeureuehTeuku Nyak AriefTeuku Muhammad HasanAli HasjmySyarief ThayebHasan TiroIsmail Hasan MetareumSanusi JunedSurya PalohTeuku JacobJacub RaisP. Ramlee
Keumala Hayati, Sultan Iskandar Muda, Teungku Chik di Tiro, Cut Nyak Dhien
Teuku Umar, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, Sultan Muhammad Daud Syah
Daud Beureu'eh, Teuku Nyak Arief, Teuku Muhammad Hasan, Ali Hasjmy
Syarief Thayeb, Hasan Tiro, Ismail Hassan Metareum, Sanusi Juned
Surya Paloh, Teuku Jacob, Jacub Rais, P. Ramlee
Jumlah populasi
kurang lebih 5 juta
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Aceh: > 3,6 juta[1][2][3]
Bahasa
Aceh
Agama
Islam
Kelompok etnik terdekat
Melayu, Champa, Minang dan semua suku minoritas yang menetap di aceh.
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Aceh. Orang Aceh mayoritas beragama Islam. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Aceh yang merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polinesia Barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia dan berkerabat dengan bahasa Cham di Vietnam dan Kamboja. Selain di wilayah provinsi Aceh sendiri, populasi suku Aceh juga terdapat di Kedah, Malaysia[4].

Suku Aceh dikenal dengan kejayaan kerajaan Islam Aceh hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda.

Sejarah

Artikel utama: Sejarah Aceh
Asal muasal suku Aceh berasal dari suku-suku asli seperti suku Mante (Bante) dan Lhan. Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya.[5].


Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, Kamboja.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
S
edangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.

Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).

Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.

Tarian

Bahasa

Artikel utama: Bahasa Aceh
Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.

Makanan Khas

Artikel utama: Daftar makanan Aceh

Masakan

Kue/Penganan/Kudapan

  • Timphan
  • Keukarah
  • Meuseukat
  • Kanji Rumbi
  • Pulot
  • Rujak Aceh
  • Adèe

Tokoh

Artikel utama: Daftar tokoh Aceh

Referensi

  1. ^ Making Noise: The Politics of Aceh and East Timor in the Diaspora
  2. ^ Making Noise: The Politics of Aceh and East Timor in the Diaspora
  3. ^ Acehnese in New York
  4. ^ Haslinda binti Haji Hasan.Sejarah Migrasi Penduduk Acheh ke Kedah: Dalam konteks hubungan Kedah-Acheh
  5. ^ M. Zainuddin. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan. Pustaka Iskandar Muda

Lihat pula


Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aceh



Suku Bante/Mante, Penduduk Asli Aceh

Penduduk asli Aceh Besar dan sekitarnya adalah suku Bante/Mante. Para ahli berpendapat bahwa mereka sebangsa dengan Orang Asli di Malaysia. (1)

Telah diketahui bahwa Orang Asli di Malaysia telah bermigrasi setidaknya sejak 6.000 tahun yang lalu. (2)

Orang Asli ini termasuk dalam bangsa Mon-Khmer. Dan telah terbukti sekarang bahwa banyak kata-kata bahasa Aceh yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer. (3)

Ada yang mengatakan bahwa suku Bante itu adalah suku Gayo. Pernyataan ini jelas-jelas tertolak karena menurut wawancara saya dengan Teuku Anwar Amir (silakan cari di FB), beliau diceritakan oleh Abu Dahlan Tanoh Abee mengenai ciri-ciri suku Bante, yaitu:

- Berkulit coklat tua
- Tubuh pendek sekitar 150-an cm
- Memakai gelang di leher, anting pemberat di telinga, penusuk bibir.
- Perut buncit (bahasa Aceh: pruët bu’èng)
- Tidak mengenal pakaian lengkap
- Ada lagi yang saya lupa


1) Aceh Sepanjang Abad, Mohammad Said
2) Aslian: Mon-Khmer of the Malay Peninsula, James A. Matisoff
3) Dating the separation of Acehnese and Chamic by etymological analysis of the Aceh-Chamic lexicon, Paul Sidwell



Sumber: 
http://nabilberri.wordpress.com/2010/03/08/suku-bantemante-penduduk-asli-aceh/

Suku Singkil

Suku Singkil

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Singkil adalah sebuah suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota Subulussalam di provinsi Aceh.

Suku Singkil adalah suku jamee orang aceh menyebutnya, yang dalam bahasa indonesia artinya tamu, dikarenakan dahulu kala banyak dari suku-suku lain datang merantau dan berdagang serta menyebarkan agama Islam sampai menetap dan memiliki keluarga di singkil, sehingga masyarakat singkil sangat majemuk, dan suku aceh menyebutnya sebagai suku tamu atau jamee

Bahasa

Bahasa Singkil Didalam wilayah singkil terdapat 2 bahasa asli yang dipergunakan, yaitu bahasa pesisir (seperti : sibolga, tapaktuan, natal, pekan baru, minang, bengkulu, dll), bahasa hulu ( lebih mirip ke bahasa pak-pak[Sumatera Utara]]. bahasa etnis Singkil yang berkerabat dengan bahasa Pakpak di provinsi Sumatera Utara, namun etnis ini memiliki adat dan budaya yang jauh berbeda dengan Suku Pakpak. Hal ini dikarenakan suku Singkil menganut agama Islam sedangkan suku Pakpak mayoritas memeluk agama Kristen. Selain itu suku Singkil lebih banyak bercampur dengan etnis-etnis tetangga, seperti suku Aceh dan Minang.

Sumber

 

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Singkil



Bahasa Singkil

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bahasa Singkil
Basa Singkil
Dituturkan di Indonesia
Wilayah Subulussalam dan Singkil
Jumlah penutur ~ 150.000  (tidak ada tanggal)
Rumpun bahasa
Status resmi
Bahasa resmi di Indonesia
Kode-kode bahasa
ISO 639-3
Bahasa Singkil adalah sebuah bahasa yang tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa Batak Utara bersama dengan bahasa Karo, Alas, Kluet dan Pakpak. Bahasa ini dipakai oleh penduduk asli kota Subulussalam dan kabupaten Singkil daratan.

Kedudukan

Sampai saat ini bahasa Singkil masih diperselisihkan keberadaannya. Sebagian Orang etnis Pakpak berpendapat bahwa bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa Pakpak. Namun, suku Singkil sendiri menolak pandangan ini dan mengatakan bahwa bahasa Singkil adalah bahasa yang tersendiri.

Dalam kacamata etnis Pakpak tidak ada istilah Singkil, melainkan mereka menyebut suku Singkil sebagai suku Boang, sehingga sering salah diinterpretasikan sebagai Pakpak Boang. Ini suatu kekeliruan bagi etnis Pakpak yang sering menganggap sama dengan Suku Pakpak suak Boang.

Singkil tetaplah Singkil, Singkil sangat berbeda dengan Pakpak. Hanya dari bahasalah kedua etnis ini yang banyak persamaan, di samping nama marga yang sebagian di dapatkan pada kedua belahan wilayah berbatasan ini. Selain itu hampir tidak didapati persamaan yang mencolok.

Persebaran

Bahasa Singkil adalah bahasa asli penduduk yang mendiami kota Subulussalam dan kabupaten Singkil daratan. Bahasa ini juga dapat dijumpai di beberapa desa di kabupaten Aceh Tenggara.


Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Singkil

Orang Minang

O r a n g   M i n a n g

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Minangkabau
مينڠكاباو
Notable Minang 2.jpg
Tokoh Minang terkenal; dari atas ke bawah:
Jumlah populasi
Kurang lebih 8 juta (2010)
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Indonesia
[1]
       Sumatera Barat 4.281.439
       Riau 624.145
       Sumatera Utara 345.403
       DKI Jakarta 305.538
       Jawa Barat 202.203
       Jambi 168.947
       Kepulauan Riau 156.770
       Banten 86.217
       Bengkulu 73.333
       Sumatera Selatan 69.996
       Lampung 69.884
Malaysia

       Negeri Sembilan 548.000 [2]
Bahasa
Bahasa Minang, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Melayu
Agama
Islam
Kelompok etnik terdekat
Melayu
Mandailing
Kerinci
Rejang
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.[3] Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.[4]

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki,[5] serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal,[6] walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.[7]

Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia.[8][9] Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.[10]

Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis.[11] Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney,[12] dan Melbourne.[13]

Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.[14]

Etimologi


Peta yang menunjukan wilayah penganut kebudayaan Minangkabau di pulau Sumatera (warna: kuning tua).
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.

Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau,[15] yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut.[16] Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[17] bertarikh 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Begitu juga dalam Tawarikh Ming tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing.[18] Di sisi lain, nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ....[19] Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.[20] Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya.[21] Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Bendera atau marawa yang digunakan suku-suku Minangkabau.

Asal usul

Lihat pula: Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi
Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.[5] Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.[22]

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.[23] Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data.[6] Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.[5]

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.[24] Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Sebuah masjid di kecamatan Pangkalan Koto Baru, kabupaten Lima Puluh Kota dengan arsitektur khas Minangkabau sekitar tahun 1900-an.

Agama

Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman),[25] serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam,[26] masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.

Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.

Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803,[27] memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an.[28]

Randai, sebuah pertunjukan kesenian yang dimainkan secara berkelompok.

Adat dan budaya

Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.[29]

Matrilineal


Pakaian perempuan Minang dalam pesta adat atau perkawinan.
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah).[30] Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Bahasa


Aksara yang pernah diduga sebagai aksara Minangkabau.
Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu.[31][32] Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.[33][34]

Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.

Meskipun memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama.[15] Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah.[35] Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.[35]

Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal.[36] Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.[35]

Kesenian


Sebuah pertunjukan kesenian talempong, salah satu alat musik pukul tradisional Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang,[37] dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.[38]

Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.[39]

Olahraga

Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung masalah olahraga sipak rago ini.

Rumah adat


Rumah Gadang dengan dua Rangkiang di depannya.
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun.[40] Rumah adat ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.[41] Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong[42] dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni Rumah Gadang tersebut.

Hanya kaum perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.

Dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.

Perkawinan


Pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin Minangkabau.
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka.

Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya.[43] Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Masakan khas


Rendang daging sapi yang tengah dihidangkan dengan ketupat.
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya. Dengan citarasanya yang pedas, membuat masakan ini populer di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga dapat ditemukan di hampir seluruh Nusantara.[44] Di Malaysia dan Singapura, masakan ini juga sangat digemari, begitu pula dengan negara-negara lainnya. Bahkan, seni memasak yang dimiliki masyarakat Minang juga berkembang di kawasan-kawasan lain seperti Riau, Jambi, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Salah satu masakan tradisional Minang yang terkenal adalah Rendang, yang mendapat pengakuan dari seluruh dunia sebagai hidangan terlezat.[45][46] Masakan lainnya yang khas antara lain Asam Pedas, Soto Padang, Sate Padang, dan Dendeng Balado. Masakan ini umumnya dimakan langsung dengan tangan.

Masakan Minang mengandung bumbu rempah-rempah yang kaya, seperti cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang putih, dan bawang merah. Beberapa di antaranya diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang kuat, sehingga tidak mengherankan jika ada masakan Minang yang dapat bertahan lama.[47] Pada hari-hari tertentu, masakan yang dihidangkan banyak yang berbahan utama daging, terutama daging sapi, daging kambing, dan daging ayam.

Masakan ini lebih dikenal dengan sebutan Masakan Padang, begitu pula dengan restoran atau rumah makan yang khusus menyajikannya disebut Restoran Padang. Padahal dalam masyarakat Minang itu sendiri, memiliki karakteristik berbeda dalam pemilihan bahan dan proses memasak, bergantung kepada daerahnya masing-masing.

Sosial kemasyarakatan

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.[6]

Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.

Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.[3]

Nagari


Pakaian khas suku Minangkabau pada tahun 1900-an.
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.[48] Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari.

Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[6] Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.

Penghulu

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.

Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.[49] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.

Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.[50]

Kerajaan


Istana Pagaruyung sebuah legitimasi institusi kerajaan Minangkabau.
Dalam laporan De Stuers[51] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.[52] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.

Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Minangkabau perantauan


Seorang putri Minang meramaikan acara Grebeg Sudiro di Surakarta
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya.Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.[53]

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

Jumlah perantau

Kota terbanyak ditempati perantau Minang
Kota Jumlah (2010)[54] Persentase1
Pekanbaru 343.121 37,96%
Jakarta 305.538 3,18%
Seremban 282.971 50,9%[55]
Medan 181.403 8,6%
Batam 169.887 14,93%
Palembang 103.025 7,1%
Bandung 101.729 4,25%
Bandar Lampung 74.071 8,4%
Tanjung Pinang 26.249 14,01%
Banda Aceh 13.606 7,8%
Singapura 2.073 0,04%
1 Persentase dari keseluruhan populasi kota[56][57]
Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%.[57] Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.[58]
Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,96% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut.[59] Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.[60]

Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[61] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, Bengkulu, hingga Lampung.[62] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[63] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali,[64] dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10% dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.[65] Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Perantauan intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.[66]

Sebab merantau

Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[67] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[68] Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas nagari Pandai Sikek.

Faktor ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[69] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.[70]

Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.[71]

Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[72] dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.[73] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.[74]

Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.[75] Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.[76]

Faktor perang


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers.
"Orang Minang merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa".[77]
— Pendapat dari Audrey R. Kahin.
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri,[28] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam Perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926–1927.[77] Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[65] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[78] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.[51]

Merantau dalam sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa.

Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan kiprahnya

Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.[58] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.[79] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.[80][81]

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[57] Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuan Tunggang Parangan, Dato ri Bandang, Dato ri Patimang, Dato ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri, banyak melahirkan aktivis yang berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Selain menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat, orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani, Mohammad Isa, dan Rosihan Arsyad (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[82]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktivis pergerakan.

Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana dan Sutan Muhammad Zain, dua ahli tata bahasa yang melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Selain Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.

Di samping menjadi politisi dan penulis, kiprah Orang Minang juga cukup menonjol di bidang intelektualisme.[83] Kebiasaan mereka yang suka berpikir dan menelaah, telah melahirkan beberapa pakar di dunia kedokteran, humaniora, hukum, dan ekonomi, yang kesemuanya memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia. Di antara mereka yang cukup dikenal adalah Ahmad Syafii Maarif, Hazairin, Syahrir, Taufik Abdullah, dan Azrul Azwar.

Tuanku Abdul Rahman, salah seorang tokoh Minang yang berpengaruh di kawasan rantau.
Di Indonesia dan Malaysia, selain orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief Corporation), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Dorce Gamalama, Marshanda, Eva Arnaz, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Selain mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.

Di Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[84] Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang.[85] Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya adalah Ahmad Boestamam yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Parti Komunis Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia, sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris, duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah dan Abdul Rahim Ishak muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir Said menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.

Beberapa tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota parlemen Belanda.[86] Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Sementara itu Azyumardi Azra, menjadi orang pertama di luar warga negara Persemakmuran yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.[87]

Rujukan

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses 2012-08-24.
  2. ^ "Laporan Kiraan Permulaan 2010". Jabatan Perangkaan Malaysia. hlm. iv. Diarsipkan dari aslinya tanggal 2010-12-27. Diakses 2011-01-24.
  3. ^ a b De Jong, P.E de Josselin (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhartara.
  4. ^ Kingsbury, D.; Aveling, H. (2003). Autonomy and Disintegration in Indonesia. Routledge. ISBN 0-415-29737-0.
  5. ^ a b c Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
  6. ^ a b c d Batuah, A. Dt.; Madjoindo, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
  8. ^ Evers, Hans Dieter; Korff, Rüdiger (2000). Southeast Asian Urbanism. LIT Verlag Münster: Ed.2nd. hlm. 188. ISBN 3-8258-4021-2.
  9. ^ Ong, Aihwa; Peletz, Michael G. (1995). Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. University of California Press. hlm. 51. ISBN 0-520-08861-1.
  10. ^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0.
  11. ^ Graves, Elizabeth E. (1981). The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century. Itacha, New York: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
  12. ^ "Warga Minang Sidney Peduli Syiar Islam". Harian Singgalang. 2012-02-18.
  13. ^ "Indonesian Community in Victoria-Tasmania". Konsulat Jenderal Indonesia.
  14. ^ Ramli, Andriati (2008). Masakan Padang: Populer & Lezat. Niaga Swadaya. ISBN 978-979-1477-09-3.
  15. ^ a b Djamaris, Edwar (1991). Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 220–221. ISBN 978-979-1477-09-3.
  16. ^ Hill, A.H. (1960). Hikayat Raja-raja Pasai. London: Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland.
  17. ^ Brandes, J.L.A. (1902). Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op Koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, Naar Het Eenige Daarvan Bekende Handschrift, Aangetroffen in de Puri te Tjakranagara op Lombok.
  18. ^ Geoff Wade, translator, Southeast Asia in the Ming Shi-lu: an open access resource, Singapore: Asia Research Institute and the Singapore E-Press, National University of Singapore.
  19. ^ Cœdès, George (1930). Les Inscriptions Malaises de Çrivijaya. BEFEO.
  20. ^ Purbatjaraka, R.M. Ngabehi (1952). Riwajat Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembangunan.
  21. ^ Casparis, J.G. De (1956). Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru. Dinas Purbakala Republik Indonesia.
  22. ^ Raffles, T.S. (1821). Malay Annals. Penerjemah: John Leyden, Longman, Hurst, Rees, Orme, dan Brown.
  23. ^ Graves (1981). hlm. 4.
  24. ^ Andaya, L.Y. (2008). Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6.
  25. ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau 2 (2). hlm. 1–24. doi:10.2307/3350753.
  26. ^ Syamsu As, Muhammad (1996). Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Lentera Basritama. ISBN 9798880161.
  27. ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern "Ulamā" in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
  28. ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol (Terjemahan). Padang: PPIM.
  29. ^ Westenenk, L.C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59.
  30. ^ Koning, Juliette (2000). Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. Routledge. ISBN 0-7007-1156-2.
  31. ^ Simanjuntak, Mengantar (1982). Aspek Bahasa dan Pengajaran. Sarjana Enterprise.
  32. ^ Garry, J.; R., Carl; Rubino, G. (2001). Facts About the World's Languages: An Encyclopedia of the World's Major Languages, Past and Present. H.W. Wilson. ISBN 0-8242-0970-2.
  33. ^ Medan, Tamsin (1985). Bahasa Minangkabau Dialek Kubuang Tigo Baleh. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  34. ^ Nadra (2006). Rekonstruksi Bahasa Minangkabau. Andalas University Press. ISBN 979-3364-55-6.
  35. ^ a b c Khaidir Anwar (1976). "Minangkabau, Background of the Main Pioneers of Modern Standard Malay in Indonesia". Archipel 12: 77–93.
  36. ^ Sneddon, James (2003). "The 20th Century to 1945". The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: UNSW Press. hlm. 94. ISBN 0-86840-598-1.
  37. ^ Phillips, Nigel (1981). Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-23737-6.
  38. ^ Pauka, K. (1998). Theater and Martial Arts in West Sumatra: Randai and Silek of the Minangkabau. Ohio University Press. ISBN 978-0-89680-205-6.
  39. ^ Suryadi (2010). Masa Depan Seni Bersilat Lidah Minangkabau. Padang Ekspres.
  40. ^ Graves, Elizabeth E. (2007). Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-661-1.
  41. ^ Sayuti, Azinar; Abu, Rifai (1985). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. hlm. 202. Text "Sistem Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif Manusia Terhadap Lingkungan Daerah Sumatera Barat" ignored (help); Missing or empty |title= (help)
  42. ^ Navis, A.A.. Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3. Grasindo. ISBN 979-759-551-X.
  43. ^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-Siswa SMP Negeri Solok Masa Revolusi, 1946-1949.
  44. ^ Owen, Sri (1993). The Rice Book. Doubleday. ISBN 0-7112-2260-6.
  45. ^ Owen, Sri (1994). Indonesian Regional Food and Cookery Doubleday. London dan Sydney: Frances Lincoln Ltd. ISBN 978-1862056787.
  46. ^ "World's 50 Most Delicious Foods by CNN GO". 2011-09-07. Diakses 2012-05-18.
  47. ^ Pudji Rahayu, Winiati. "Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen Perusak".
  48. ^ Graves (1981). hlm. 11.
  49. ^ Stibbe (1869). Het Soekoebestuur in de Padangsche Bovenlanden. hlm. 33.
  50. ^ Graves (1981). hlm. 25.
  51. ^ a b De Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (30 Agustus 1825). Laporan Kepada Gubernur Jendral. hlm. 33. Exhibitum. 24 Agustus 1826. No. 41.
  52. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian Democracy Vol. 11. University of California Press. hlm. 25–86.
  53. ^ Graves (1981). hlm. 40.
  54. ^ "Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi DKI Jakarta". Badan Pusat Statistik. Diakses 2012-03-11.
  55. ^ "Key Summary Statistics For Local Authority Areas, Malaysia 2010". Diakses 2012-06-14.
  56. ^ Badan Pusat Statistik, Sensus 2000.
  57. ^ a b c Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration. University of Singapore.
  58. ^ a b Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
  59. ^ "Peran Budaya Melayu dan Kewirausahaan". Bappeda Kota Pekanbaru.
  60. ^ Andaya, Barbara Watson (1997). Recreating a Vision. Daratan and Kepulauan in Historical Context. hlm. 503.
  61. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  62. ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784–1847.
  63. ^ "Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah". www.rajaalihaji.com. 2008-12-24. Diakses 2011-07-22.
  64. ^ Castles, Lance (1967). Religion, Politics, and Economic Behaviour in Java: The Kudus Cigarette Industry. Yale University.
  65. ^ a b Syamdani (2009). PRRI, Pemberontakan atau Bukan. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3.
  66. ^ Poeze, Harry A. In Het Land van de Overheerser: Indonesiër in Nederland 1600-1950.
  67. ^ Radjab, Muhammad (1950). Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
  68. ^ "Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi Merantau". ANTARA. 2008-11-05. Diakses 2011-07-22.
  69. ^ Van R.W., Bemmelen (1970). The Geology of Indonesia. The Haque.
  70. ^ P., Wheatley (1961). The Golden Khersonese. Kuala Lumpur. hlm. 177–184.
  71. ^ A., Cortesao (1944). The Suma Oriental of Tome Pires. London: Hakluyt Society.
  72. ^ W., Marsden (1811). The History of Sumatra. London.
  73. ^ NA, VOC (1277). Mission to Pagaruyung. Fols. 1027r-v.
  74. ^ De Haan, F. (1896). Naar Midden Sumatra in 1684. Batavia: Albrecht & Co.
  75. ^ A., Tobler (1911). Djambi-Verslag. Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie: Verhandelingen. XLVII/3.
  76. ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
  77. ^ a b Kahin, Audrey R. (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
  78. ^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73. Missing or empty |title= (help)
  79. ^ Majalah Tempo Edisi Khusus Tahun 2000. Desember 1999.
  80. ^ Tim Wartawan Tempo (2010). 4 Serangkai Pendiri Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  81. ^ Empat pendiri Republik Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.
  82. ^ "Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan". Pos Metro Padang. 2008-10-10. Diakses 2011-07-24.[pranala nonaktif]
  83. ^ Azyumardi, Azra (2008). Membangkik Batang Tarandam, Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Mizan.
  84. ^ Cave, J.; Nicholl, R; Thomas, P. L.; Effendy, T. (1989). Syair Perang Siak: A Court Poem Presenting the State Policy of a Minangkabau Malay Royal Family in Exile. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
  85. ^ "Losing a Big Part of Our Heritage". New Straits Times.
  86. ^ "Mengenang Sastrawan Rustam Effendi". Tempo Interaktif. 1979-06-02. Diakses 2011-07-22.
  87. ^ "Sir Azra dan Islam Indonesia". Okezone.com.

Literatur

  • (Jerman) Kaiser, Astrid (1996). Mädchen und Jungen in Einer Matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau Auf Sumatra. Hamburg: Kovac. ISBN 3-86064-419-X.
  • (Jerman) Metje, Ute Marie (1995). Die Starken Frauen. Gespräche Uber Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in Indonesien. Frankfurt am Main und New York: Campus. ISBN 3-593-35409-8.
  • (Jerman) Dieter, Weigel (1998). Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Hamburg: Jahn und Ernst. ISBN 3-89407-208-3. (Erlebnisbericht).
  • (Indonesia) Navis, A.A.. Curaian Adat Minangkabau.

Lihat pula

Pranala luar

  • (Indonesia) RantauNet Milis komunitas Minangkabau yang pertama dan terbesar (sejak 1993).
  • (Indonesia) Cimbuak.net Komunitas virtual masyarakat Minangkabau di dunia maya.
  • (Indonesia) Kaskus Regional Minang Komunitas daring masyarakat Minangkabau di Kaskus.
  • (Indonesia) MinangForum.Com Forum komunitas masyarakat Minangkabau.
Bendera Kerajaan Pagaruyung Daftar suku Minangkabau
Sumber:  http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang



Daftar suku Minangkabau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan istilah suku. Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku awal yang dijadikan nama dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah[1][2]:
  1. Suku Koto
  2. Suku Piliang
  3. Suku Bodi
  4. Suku Caniago
Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto piliang dan kelarasan bodi caniago, kelarasan disini semacam sistem kekuasaan, dan dalam perkembangannya kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem aristokrat sedangkan kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.

Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.

Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa Sanskerta dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing yang tinggal menetap bersama.

Suku-suku dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan ditentukan oleh raja Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung tidak ada lagi muncul suku-suku baru di Minangkabau[1].

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.

Referensi

  1. ^ a b Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. ^ Suku dalam Etnis Minangkabau




Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_Minangkabau