Tuesday, May 22, 2012

Buah Andaliman Rempah Khas Batak

Buah Andaliman Rempah Khas Batak


Buah Andaliman Khas Sumatera UtaraSalah satu jenis rempah yang pemanfaatannya hingga sekarang masih sebatas komoditas primer adalah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC). Di Indonesia, tumbuhan rempah yang satu ini hanya terdapat di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada daerah berketinggian 1.500 m dpl.
Selain di Sumatera Utara, andaliman yang masuk dalam famili Rutacea (keluarga jeruk-jerukan) terdapat di India, RRC, dan Tibet. Bentuknya mirip lada (merica) bulat kecil, berwarna hijau, tetapi jika sudah kering, agak kehitaman. Bila digigit tercium aroma minyak atsiri yang wangi dengan rasa yang khas-getir-sehingga merangsang produksi air liur.
Sesungguhnya andaliman lebih terkenal di Asia seperti di China, Jepang, Korea, dan India. Sebutan kerennya szechuan pepper. Prosea menyebutkan andaliman sebagai tumbuhan asli China. Di negeri Tirai Bambu itu andaliman dicampur untuk makanan mapo-berkuah. ‘Masyarakat Sin Jiang muslim menggerus andaliman dengan lada, ketumbar, dan garam. Semuanya disangrai-lalu dijadikan cocolan daging panggang,’ kata Wongso.
Di Jepang dan Korea andaliman dijadikan hiasan atau dipakai menambah rasa pedas pada sup dan mie. Masyarakat Gujarat, Goa, dan Maharashtra di India selalu menyelipkan andaliman sebagai bumbu ikan. Nah, karena banyak yang menyukainya, andaliman tak hanya dijajakan di pasar tradisional seperti Pasar Senen di Jakarta Pusat-seharga Rp50.000/kg-tapi ia sudah menembus negeri Abang Sam. Di sana khususnya di Asian Food Store, andaliman dijual seharga US$14,99 per ons setara Rp140.990/ons.
Tanaman Andaliman
Tanaman Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) ditemukan tumbuh liar di daerah Tapanuli dan digunakan sebagai rempah pada masakan adat Batak Angkola dan Batak Mandailing. Banyak tumbuh di tanah kering di dataran tinggi dan rendah. Tanaman yang satu ini merupakan komoditi pelengkap masakan khas orang Batak. Berbagai jenis masakan khas Batak seperti sangsang, na niura, na tinombur, atau arsik, rasanya tidak klop tanpa kehadiran andaliman.
Andaliman tumbuh sebagai pohon berbatang kuas, bukan merambat. Batang – batangnya berdahan banyak, daunnya kecil-kecil, mirip seperti bunga mawar. Di sekujur batang, ranting, dari bawah ke ujung dipenuhi duri-duri yang tajam, seperti duri mawar. Namun duri andaliman lebih besar dan kokoh. Tinggi pohon rata-rata 2-4 meter, jarang lebih dari 5 meter. Usia produktif kurang dari 7 tahun.
Buah andaliman muncul dari antara duri-duri itu, lazimnya diapit duri-duri, buah tumbuh di antara duri. Memetik andaliman perlu konsentrasi tinggi. Karena banyaknya duri. Buahnya kecil-kecil, butirannya lebih kecil dari merica. Buahnya bertangkai, lebih mudah membayangkan seperti leunca, kalau di Tatar Sunda. Ukuran andaliman kira-kira seperduapuluh leunca.
Kalau masih muda, buah berwarna hijau, dan matang berwarna merah. Dan kalau kering, hitam. Buah andaliman yang baru dipetik sebaiknya dibungkus daun pisang, sebab kalu dibiarkan terbuka, akan cepat rusak. Buahnya langsung berubah hitam, dan pecah-pecah. Biji keluar dari kulit. Menghasilkan satu kilogram andaliman sangat sulit. Memanen satu pohon besar dan berbuah lebat, butuh setengah hari.
Memanen andaliman buah perdana biasanya lebih mudah, karena tangkainya lebih panjang-panjang, sehingga lebih mudah memetik. tapi hati-hati, karena durinya biasanya masih runcing-runcing. Hasil panen maksimal buah andaliman sekitar 10-20 kg dalam sehari. Setiap memetik andaliman, tidak ada jaminan tangan tidak tertancap duri. Sekali kena, getir, perih dan nyeri luar biasa. Tidak saja sakit karena terluka, tapi karena terkenal getirnya rasa andaliman.
Manfaat Buah Andaliman
Tanpa andaliman, masakan seperti sangsang atau arsik, rasanya hambar. Ada citarasa spesifik ketika ditumbuk dengan cabai, membuat bumbu masakan menimbulkan aroma dan taste (citarasa) yang mengundang selera makan. Rasa pedas dan aroma andaliman beda dengan pedasnya cabai, sungguh pas di lidah orang Batak yang suka masakan pedas menggigit.
Andaliman diduga mengandung senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antimikroba dan antioksidan. Di bidang pangan antioksidan digunakan untuk melindungi lemak/minyak terhadap kerusakan oksidatif. Dalam kaitan dengan aplikasinya, aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh sistem pangan yang merupakan medium bagi antioksidan tersebut. Proses panas yang diterapkan pada pengolahan pangan serta pH makanan turut pula mempengaruhi kestabilan aktivitas antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak buah andaliman pada berbagai sistem pangan dan untuk mengetahui kestabilan aktivitasnya terhadap beberapa kondisi suhu dan pH.
Aktivitas antioksidan ekstrak buah andaliman dalam sistem minyak juga lebih rendah dibandingkan BHT, yang ditunjukkan dengan waktu induksi rata-rata 7.29 jam untuk ekstrak etanol, 7.02 jam untuk ekstrak heksana-etanol, 8.18 jam untuk BHT clan 6.19 jam untuk kontrol. Komponen yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan pada ekstrak buah andaliman bersifat relatif tahan panas. Pada pengujian dalam sistem aqueous, perlakuan dengan suhu 175°C selama 120 menit menurunkan faktor protektif sekitar 17 persen untuk ekstrak etanol clan 13.6 persen untuk ekstrak heksana-etanol.
Buah andaliman juga kaya akan vitamin C dan E yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Diolah dari berbagai sumber

Sumber:

Di atas danau ada danau (Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang)


Di atas danau ada danau (Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang)

Danau toba, siapa yang tak kenal danau toba? Pulau Samosir, siapa yang tak kenal keunikan pulau di tengah danau Toba itu? Pulau di atas pulau. Tapi mungkin banyak orang yang tak mengetahui hal yang tak kalah ajaibnya dari danau Toba ini, yaitu ada 2 danau kecil yang terdapat di Pulau Samosir. Dijuluki dengan nama “Danau di atas Danau“.Penjelasannya berikut ini :
Danau Sidihoni
Danau Sidihoni terletak di Kecamatan Pangururan, Pulau Samosir.Air danau ini sering berubah warnanya, dan oleh penduduk setempat perubahan warna ini dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Danau Sidihoni berjarak 8 kilometer dari Pangururan ini cukup indah. Pemandangan di sekitar danau bisa dipantulkan oleh air danau. Dikelilingi oleh bukit landai berwarna hijau muda dan deretan pohon pinus, semakin menambah keindahan. Sayang, danau berair jernih ini belum dikelola dengan baik.


Sebagian besar penduduk di sekitar danau masih memanfaatkan airnya untuk fasilitas “mandi cuci kakus” (MCK). Terbatasnya sarana prasarana transportasi juga membuat obyek wisata ini jarang mendapat kunjungan wisatawan
.
Danau Sidihoni bukan satu-satunya danau di Pulau Samosir, ada sebuah danau lagi yang lebih kecil dari Danau Sidihoni di pulau ini yang bernama Danau Aek Natonang.
Danau Aek Natonang
Danau Aek Natonang terletak di Desa Tanjungan, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir. Aksesibilitas ke danau seluas 105 hektar ini juga kurang baik. Ditambah minimnya sarana prasarana pendukung, membuat Danau Aek Natonang tidak mendapat kunjungan wisatawan dan direncanakan sebagai areal Hutan Wisata.










Sumber:
http://indoparsada.blog.com/2012/01/21/di-atas-danau-ada-danau-danau-sidihoni-dan-danau-aek-natonang/

KAPUR BARUS: POHON DAN SUMBER TERTULIS ASING


KAPUR BARUS: POHON DAN SUMBER TERTULIS ASING


Deni  Sutrisna
Balai Arkeologi Medan
1. Pengantar
Masalah dasar yang dihadapi dalam sebuah penelitian arkeologi adalah keterbatasan data, baik yang berupa artefak, ekofak, dan fitur secara secara kuantitas maupun kualitas. Temuan hasil ekskavasi memang mampu berlaku sebagai data potensial yang akan membantu memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapinya, namun karena beberapa keterbatasan yang dimilikinya maka temuan itupun hanya mampu memberikan informasi yang terbatas dalam menggambarkan kondisi masa lampau. Oleh karena itu dalam sebuah penelitian arkeologis, yang tak kalah menarik untuk dikaji adalah berita-berita lokal maupun asing. Untuk membahas tentang kapur barus misalnya, sumber dimaksud kadang memberikan keterangan berkaitan dengan keberadaan komiditas itu di masa lalu.
Sumber kuna menyebutkan bahwa kapur barus memiliki peran penting dalam kaitannya dengan lalulintas perdagangan Nusantara sejak abad ke-6 M. Ini berkenaan karena produk alam yang khas itu memiliki substansi kandungan kristal kapur yang berbeda dengan kapur barus dari daerah lain. Tidak mengherankan bila keberadaannya juga menjadi sumber berita bagi para pedagang/musafir asing mengenai institusi yang pernah menguasai beberapa pelabuhan, khususnya di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibicarakan beberapa hal tentang kapur barus, baik yang menyangkut pohon yang menghasilkannya, proses pengambilan, serta hal lain yang menyertainya dengan memanfaatkan beberapa sumber tertulis yang ada.
      
2.  Pohon dan proses pengambilan
Hasil penelitian arkeologi diharapkan dapat memperlihatkan kembali peran Barus di pesisir barat Pulau Sumatera  sebagai salah satu pusat niaga di Kepulauan Nusantara dalam konteks jaringan pertukaran internasional pada masanya (Koestoro dkk.,1999:1). Komoditi yang menjadikan nama Barus begitu dikenal di dunia adalah kapur barus atau yang disebut pula dengan kamper.
Berbagai sumber menunjukkan bahwa sebetulnya kapur barus tidak dihasilkan hanya di daerah Barus saja, melainkan juga di sebagian Sumatera bagian timur, pedalaman Sumatera Utara, Brunei dan bagian lain Kalimantan, serta di bagian selatan Semenanjung Malaysia, bahkan Jepang, Korea, Arab, dan Cina. Bila di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkannya dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, maka kamper asli dari daerah Barus,  yang disebut kapur Barus atau kapur Borneo diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae.
Istilah yang dipakai dalam bahasa beberapa bangsa di benua Eropa untuk penyebutan kamper itu dipinjam dari bahasa Arab kafur, dari kata alcanfar  (Stéphan,2002:217). Dalam beberapa bahasa terdahulu terdapat penyebutan yang hampir serupa, seperti kafura dalam bahasa Sanskerta dan kapor dalam bahasa Khmer. Berdasarkan semua alasan ini, pakar etimologi berpendapat bahwa semua penyebutan tersebut berasal dari bahasa Melayu, kapur.
Sebagian besar pohon kapur tumbuh di belahan utara garis 3° LU, dan hanya sebagian kecil yang tumbuh di bagian timur Pulau Sumatera. Pohon kapur tumbuh liar pada tanah datar – dengan serapan air yang baik – maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata (Whitten dkk.,1984:254).  Diketahui bahwa pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel (Vurren,1908:1392).
Ciri pohon kapur adalah batangnya yang tegak lurus dengan tinggi mencapai 60–70 meter dan diameter batang pohon minimum 70 cm. Kayu dari pohon kapur barus disenangi sebagai bahan bangunan dan perabot rumah karena mudah diolah, tahan lama, dan tidak termakan atau dirusak serangga perusak tiang-tiang kayu. Daunnya kecil, lonjong agak kebulat-bulatan, tulang daun sejajar, dan berakhir di ujung yang panjang. Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia ratusan tahun (Vurren,1908:1394).
Proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun dilakukan secara sembarangan sebelum menemukan sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus.
Bila kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara untuk itu.
Pada cara pertama, potongan balok kayu dimaksud dikumpulkan dan  satu-persatu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok.  Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5–2,5 kilogram kristal kapur dengan kualitas yang berbeda, yang biasanya diistilahkan dengan sebutan kapur atas dan kapur bawah (Tim Proyek Penelitian Purbakala Sumut 1997/1998). Kristal kapur yang terbaik ditemukan dalam ukuran besar berbentuk bilah-bilah kristal berwarna putih dan transparan, sedangkan kualitas yang tidak terlalu baik (rendah) disebabkan  karena dalam kristal kapur itu bercampur bahan lain berupa serbuk/serpihan kulit kayu pohon. Percampuran ini terjadi ketika kristal kapur diambil dengan cara menggaruk bagian permukaan batang. Untuk memisahan kristal kapur dari serbuk kayu dilakukan perendaman dalam air. Hasil rendaman dimasukkan dengan memakai saringan ke dalam wadah berbentuk lubang-lubang. Melalui proses penyaringan ini serbuk kayu akan tertinggal sehingga diperoleh kristal kapur murni. Adapun besarnya lubang saringan tergantung pada ukuran butiran kristal kapur. Untuk mempercepat proses dari bentuk cair menjadi bentuk kristal padat, hasil saringan itu dikeraskan dengan minyak  kapur barus melalui proses oksidasi.      
Adapun cara lain pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Untuk pengerasan kristal kapur barus, proses yang dilakukan sama pada cara yang pertama.
3.  Kapur barus dalam sumber tertulis asing
Munculnya beberapa daerah penghasil kapur barus – terutama Barus – dalam sumber tekstual selalu dikaitkan dengan tempat perniagaan kapur dan kemenyan yang berkualitas baik, paling tidak mulai abad ke-7 sampai abad ke-18 di pantai barat Sumatera (Wolters,1967). Selain Barus, kapal-kapal asing sering datang mengunjungi dan mengambil kapur barus dari Pasai, Jambi, Palembang, Lampung (Tulang Bawang dan Sekampung), serta kota-kota pantai barat Sumatera seperti Pariaman, dan Tiku. Selain kapur barus, komoditi lain yang mereka peroleh berupa emas, kelambak,  sutera, damar, madu, dan bahan makanan. Komoditi itu banyak diperdagangkan ke Malaka.
Sumber lokal berupa prasasti juga tidak sedikit memberikan sumbangan data tentang komoditi dagang. Namun informasi yang dapat diungkapkan oleh sumber lokal tersebut masih terasa belum cukup untuk memberikan penjelasan yang lengkap mengenai aspek-aspek perekonomian. Oleh karena itu sumber lain yang diharapkan dapat memberikan tambahan data, khususnya tentang kapur barus adalah berita-berita tertulis dari Arab dan Cina. Ini berkenaan dengan beberapa sumber tertulis seperti tertera di bawah ini.
 
3.1. Sumber tertulis Arab
a. Sebuah teks berjudul ahbar as si n wa l-hind (Catatan Mengenai Cina dan India) ditulis pada tahun 851 M. Catatan dengan tokoh utama bernama Sulayman ini merupakan catatan awal dalam sumber tertulis Arab tentang Fansur sebagai penghasil kamper bermutu tinggi.  Disebutkan di dalamnya antara lain adalah:
Dalam pelayaran ke Ceylon (Srilanka), di laut ini (Laut Harkand) tidak terdapat banyak pulau tetapi tiap pulau yang dijumpai cukup luas. Walaupun tidak ada informasi terinci mengenainya, namun dapat diketahui bahwa di antaranya terdapat sebuah pulau bernama Lambri dengan beberapa raja yang berkuasa. Di pulau yang mengandung banyak emas itu terdapat sebuah tempat yang bernama Fantsour (Fansur), yakni sebutan Arab untuk Barus yang menghasilkan banyak kamper bermutu tinggi (Sauvaget,1948:4–5 dalam Stéphan,2002:215) .     
b. Catatan lain yang sezaman dengan catatan di atas ditulis oleh Ibn Khordadhbeh. Karya berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik (Buku Tentang Jalan-Jalan dan Kerajaan-Kerajaan) itu ditulis dari sekitar tahun 850 M di Samarra (Irak). Kitab ini memberitahukan tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap provinsi. Tersebut di dalamnya bahwa:
Di antara Pulau Langabalos dan Pulau Kilah terdapat Pulau Balus yang dihuni oleh manusia kanibal. Pulau ini menghasilkan kamper yang bermutu tinggi, pisang, kelapa, tebu, dan beras (Ferrand,1913-1914 dalam Stéphan,2002:217).
c. Kemudian dalam kamus Lisan al’-arab  yang dibuat oleh ibn Manzur (ahli tata bahasa dari Mesir, meninggal tahun 1311 M) disebutkan bahwa istilah kafur selain berarti kamper juga dipakai untuk suatu ramuan bumbu yang diperoleh dari kafur al-tal’ (sejenis daun pohon palem), juga ada kafur al-karm yaitu sejenis daun dari pohon anggur  (Lane,1863-1893:2622 dalam Stéphan, 2002:218).
d. Juga dalam karya dua sejarawan, Ibn al-Atir (meninggal tahun 1233 M) dan Ibn al-Baladuri (meninggal tahun 1473 M) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, penakluk-penakluk Arab menemukan kamper – yang semula dikira garam – di antara rempah-rempah dan wangi-wangian hasil rampasan. Jika cerita ini benar, maka dapat dikatakan bahwa kamper sebagai komoditi yang dihasilkan pohon kapur sudah dikenal pada awal zaman berkembangnya agama Islam (Raynaud,1967:590 dalam Stéphan, 2002:218).
e. Adalah ahli geografi al-Dimaški (meninggal tahun 1325) yang mencatat dalam karyanya Nuhbat al-dahr fi a’ ga’ib al-barr wa-l-bahr (Beberapa Keajaiban di Darat dan di Laut) bahwa Fansur menghasilkan kamper yang terbaik. Selain memuat deskripsi rinci tentang cara mengambil kamper, dicatat pula bahwa kamper terbaik adalah ribahi dan fançuri  yang hanya dijumpai di bagian puncak  pohon atau dahan-dahan yang warnanya merah mengkilat (Ferrand, 1913-1914 dalam Stéphan, 2002:220).
f. Sebetulnya sebelum dikatakan dalam sumber yang disebut di atas, Al-Quran telah mencatat istilah kamper. Itu terdapat  dalam surat ke-76, Al-Insaan (manusia), yang berbunyi:
Bukanlah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut ?
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kamper/kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.
Keterangan dari sumber tertulis Arab menyebutkan bahwa kapur barus difungsikan tidak hanya untuk pewangi saja melainkan juga dalam pengobatan, membersihkan/merempahi tubuh mayat, bahan campuran rempah-rempah. Bahan ini juga banyak digunakan sebelum maupun sesudah operasi pembedahan tubuh manusia (Stéphan, 2002:225-233). 
 
3.2. Sumber tertulis Cina
a. Kronik Dinasti Liang
Dalam kronik ini digunakan istilah polü xiang untuk kamper, dan menunjuk Funan dan Langyaxiu sebagai daerah penghasilnya. Besar kemungkinan yang disebut Langyaxiu terletak di pantai timur Semenanjung Malaysia (Wolters,1967:122; Drakard,1988:56). Di Asia Tenggara, daerah ini dikenal sebagai penghasil awal Dryobalanops aromatica, sejenis kamper yang juga terdapat di Borneo dan Barus.
b. Youyang zazu,  karya Duan Chengshi (863 M).
Pada catatan tersebut kamper disebut gubu polü – kapur Barus. Deskripsi ringkas tentang pohon kamper serta cara memperolehnya menyebutkan bahwa: pohonnya setinggi 80 hingga 90 kaki dengan lingkaran batangnya dapat mencapai enam atau tujuh jengkal. Daunnya bulat dengan sisi belakang hitam dan tidak ada bunga atau buah (Han Wai Toon,1985:12 dalam Ptak,2002:123).
c. Catatan dari masa Dinasti Tang
Diketahui adanya istilah lain untuk menyebut kamper seperti jiebuluo xiang  dan jiebuluo xiang (huruf yang kedua dalam nama pertama kadangkala diganti dengan po, misalnya poluo)  (Ptak, 2002:123).
d. Pendapat Han Wai Toon
Istilah yang mewakili “kapur”  muncul lebih awal lagi, yaitu semasa Dinasti Han, disebut dalam sumber Shi ji dan Han shu, tetapi interpretasinya kurang meyakinkan (Sima Qian, Shi ji, Beijing: zonghua shuju, 1975).
e. Dalam Yu yang tsa tsu, sebuah teks Cina abad ke-9 M, tercatat suatu transkripsi dari istilah kapur barus (Wolters,1967).
f. Zhufan zhi  (1225 M) karya Zhao Rugua
Dalam karya tersebut dikatakan bahwa kamper berasal dari Borneo dan Binsu (silabel pertama menjadi ban  dalam bahasa Kanton) yang diperkirakan sama dengan Pancur (ditulis Pansur).  Nama Pancur juga muncul dalam satu sumber tertulis yang lebih muda, dengan judul Sejarah Raja-Raja Barus  (Drakard,1988). 
Kemudian dalam berita Cina lain yang berasal dari abad ke-13 juga diketahui keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan besar di wilayah barat Kepulauan Nusantara. Disebutkan bahwa Sriwijaya merupakan pelabuhan tempat penimbunan komiditi yang disinggahi perahu-perahu asing dan lokal. Ini memperlihatkan bahwa Sriwijaya telah memainkan peran sebagai pelabuhan antara (entreport).  Para pedagang mengambil kamper yang dihasilkan dari beberapa daerah di bawah pengaruhnya yaitu Pahang, Trengganu, Langkasuka di daerah pantai barat Semenanjung dan Tanah Melayu. Pasokan  kamper juga diperoleh dari Kalimantan dan daerah pesisir timur Sumatera, yang sayang sekali keberadaan tempat tumbuhnya pohon kapur di kedua daerah tersebut sejauh ini belum banyak diceritakan sebagaimana daerah Barus dan sekitarnya di wilayah pesisir barat Sumatera. Selain kapur barus ada beberapa sumberdaya alam lain yang diambil untuk diekspor ke negeri Arab maupun Cina, diantaranya kayu gaharu, gading, timah, kayu eboni, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Adapun ekspor ke negeri Cina berupa gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, gelas, batu karang, pakaian kapas, cula badak, wangi-wangian, dan bumbu masak serta obat-obatan.
Selain sumber tertulis Arab dan Cina, sumber Eropa juga mencatat perjalanan Marcopolo ke beberapa pelabuhan di Sumatera pada tahun 1291. Dalam catatan perjalanan itu disebut nama sebuah tempat di bagian barat Pulau Sumatera, yakni Fansur. Disanjungnya bahwa kualitas kamper dari negeri Fansur (toponim yang umumnya berasosiasi dengan  Barus) itu sebagai yang terbaik di dunia dan harganyapun sangat mahal (Ambary,1998).
Melalui komoditi tersebut maka negeri Barus  menjadi dikenal bangsa-bangsa di belahan Barat maupun Timur. Hal ini tampak melalui penyebutan kapur barus dalam berbagai bahasa yang digunakan oleh beberapa bangsa di dunia,  diantaranya adalah: camphora  (bahasa Latin/Yunani),  al canfor (Spanyol), kamphor (Jerman), campher (Inggeris), kafura  (Arab), campgre (Perancis), dan kamfora (bahasa Rusia), serta haboruan (bahasa Batak).
4.  Kapur barus dalam perdagangan antar bangsa
Melalui sumber tertulis diperoleh gambaran bahwa kapur barus merupakan komoditi dagang yang telah dikenal para pedagang/musafir Arab dan Cina. Dalam sejarah juga disebutkan bahwa daerah Barus pada masanya merupakan pusat dagang yang telah menjadikannya bandar internasional yang ramai dikunjungi, bukan hanya oleh kedua bangsa tersebut di atas tetapi juga bangsa lain seperti Belanda, Inggris, Korea dan Jepang (pada masa yang lebih muda).  Sementara itu diketahui pula bahwa sumber daya kapur barus,  selain dari daerah Barus ternyata juga diperoleh dari sebagian wilayah Sumatera bagian timur, Kalimantan, Brunei, dan di bagian selatan Semenanjung Malaysia. 
Keletakkan daerah-daerah di wilayah barat Kepulauan Nusantara menempati posisi strategis di persilangan hubungan Barat dan Timur jelas merupakan faktor penting bagi terbukanya hubungan pelayaran dan perdagangan dengan dunia luar. Proses transaksi dan distribusi komoditi dilakukan melalui pasar di pelabuhan maupun di daerah pedalaman. Demikian pula beberapa pelabuhan di Sumatera bagian timur dan Kalimantan melakukan kegiatan yang sama. Mereka mengekspor komoditi kapur barus dan komoditi dagang lainnya ke luar negeri melalui pelabuhan Barus di pantai barat Sumatera. Kegiatan perdagangan ini berlangsung karena didukung oleh sumber daya alam yang melimpah dengan kondisi tanah yang subur dan iklim yang tropis tempat bagi tumbuhnya tanaman bernilai ekonomis.
 
Melalui komoditi kapur barus setidaknya telah tergambar adanya kontak budaya antara penduduk setempat dengan masyarakat dunia yang kelak mengenalkannya pada budaya-budaya besar, seperti Arab, Cina, India, dan Eropa. Kontak budaya tersebut awalnya didasari oleh suatu hubungan pelayaran dan perdagangan, yang kemudian kadang juga juga dimanfaatkan untuk kepentingan lain seperti misi keagamaan. Dilihat dari latar sejarah di Sumatera khususnya dan pola perdagangan di Nusantara pada umumnya, sebagai penggerak dinamika kebudayaan, timbulnya hubungan pelayaran dan perdagangan ini disebabkan oleh: a. kebutuhan manusia akan komoditi yang menggerakkannya untuk mendapatkan melalui upaya pertukaran atau jual-beli dan kegiatan ekspor-impor terutama di daerah pesisir; b. kebutuhan manusia akan pengetahuan baru – dalam hal ini untuk mendapatkan komoditi baru atau komoditi khas yang tidak ada di daerah asalnya – juga  menggerakkannya ke luar ranah pengetahuan asalnya. Kedua jenis kebutuhan tersebut mendorong orang untuk pergi ke negara-negara lain (yang dihuni bangsa-bangsa lain) yang diantaranya terletak di seberang lautan.
Mengacu pada sumber-sumber  berita tertulis dari Arab dan Cina di atas dapat diketahui bahwa Barus dan Sriwijaya dengan beberapa daerah bawahannya pernah memegang peranan sebagai pusat perdagangan penting di masa lampau. Demikian pula dengan daerah lainnya di bagian barat Nusantara. Ramainya perdagangan di kawasan tersebut sekaligus menggambarkan adanya korelasi erat antara besarnya volume perdagangan dengan frekuensi kunjungan/kesinggahan perahu-perahu di suatu pelabuhan.  Demikian pula dengan jaringan lalulintas di sebuah negeri kepulauan di Nusantara, fungsi pelabuhan merupakan penghubung antara jalan maritim/air dan jalan darat.
5.  Penutup
Kapur  barus, nama yang cukup populer tetapi banyak orang yang sebetulnya tidak kenal akan benda dimaksud, baik menyangkut warna, bentuk, dan bahannya. Saat ini orang malah lebih kenal dengan apa yang dinamakan kamper. Bila kapur barus selalu dikaitkan dengan keberadaan Barus sebagai nama sebuah tempat di pesisir barat Sumatera, tidak demikian halnya dengan kamper.
Cukup banyak sumber tertulis asing yang menceritakan tentang kapur barus, baik menyangkut proses pengambilannya, kualitas barangnya, sekaligus juga peran strategisnya sebagai komoditas pada suatu jalur pelayaran barat–timur yang demikian ramai. Ini juga memunculkan gambaran tentang arti penting komoditi itu bagi sebuah perjalanan panjang persentuhan budaya antar bangsa yang sebagian kecil jejaknya masih dapat diperoleh dalam penelitian arkeologis yang dilakukan. Barus sebagai sebuah pelabuhan pada masanya juga dapat dilihat sebagai pintu masuk yang sangat terbuka bagi kedatangan para pedagang/musafir asing dari Barat maupun Timur.
Oleh karena itu, berkaitan dengan upaya memperkaya khasanah sejarah budaya bangsa, khususnya yang berhubungan dengan komiditas masa lalu, ke depan perlu dilakukan penelusuran kembali keberadaan kapur barus di bagian lain kepulauan Nusantara, sebagaimana disinggung dalam catatan-catatan lama yang dibuat orang asing. Ini akan memperjelas sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga keberadaannya kini, dan yang kelak dapat digunakan bagi acuan ke masa mendatang 
Daftar  Pustaka
Ambary, Hasan Muarif, 1998.   Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Drakard, Jane, 1998.  Sejarah Raja-Raja Barus, Dua Naskah dari Barus. Jakarta-Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO
Guillot, Claude, ed., 2002.  Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Koestoro, Lucas Partanda dkk., 1999. Laporan Penelitian Arkeologi Ekskavasi Permukiman Kuna Di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan)
Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Marsden, William, 1999.   Sejarah Sumatra (diterjemahan oleh A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ptak, Roderich,  2002.  Kumpulan Rujukan Cina yang Mungkin Berkaitan Dengan Daerah Barus (Dari Dinasti Tang sampai Dinasti Ming), dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. …
Stéphan, Nouha, 2002.  Kamper Dalam Sumber Arab dan Persia Produksi dan Penggunaannya, dalam Claude Guillot (ed), Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 215–220
 
Tjandrasasmita, Uka, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III, Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaa-Kerajaan Islam di Indonesia (± 1500-1800). Jakarta: Balai Pustaka
Wibisono, Sonny Chr, 1986.   Pemukiman Kuno Di Barus : Model Ekologi, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta, hal. …
Wolters, O, 1967.  Early Indonesian Commerce, Ithaca: Cornel University Press
Whitten, A.J. dkk., 1984.  The Ecology Of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Sumber:

Makam-makam Tua di Barus, Tapanuli Tengah


Makam-makam Tua di Barus, Tapanuli Tengah

Kota Barus terletak di pantai barat pulau Sumatera, sekitar 60 km disebelah utara kota Sibolgaberada di sebelah selatan Kecamatan SingkilAceh Selatan. Barus dapat dicapai dengan  menggunakan pesawat udara dari Medan ke Sibolga selama 30 menit dan dilanjutkan dengan perjalanan darat dari Sibolga selama 2 jam lagi menuju Barus. Atau bisa juga melalui perjalanan darat dengan minibus travel dari kota Medan, ke Barus selama 9 jam.

Kota Barus dan Samudera Indonesia dilihat dari Kompleks Makam Papan Tinggi

MAKAM PAPAN TINGGI
Pemakaman tua pertama yang konon dianggap paling tua berada di sebuah bukit hijau nan terpencil. Makam ini berlatar belakang panorama kota Barus dan Samudra Indonesia di sisi barat, berada diatas ketinggian 153 meter diatas permukaan laut. Badan bukit menuju makam cukup terjal, memiliki kemiringan hingga 45 derajat, cukup sulit untuk didaki. Bantuan lebih dari tujuh ratus anak tangga sepanjang 225 meter tidak mampu mengurangi rasa lelah peziarah untuk mencapai puncaknya.
Masyarakat Barus menyebutnya Makam Papan Tenggi. Dalam bahasa Indonesia diartikan Makam Papan Tinggi. Dahulu, bukit ini merupakan daerah pengambilan kayu oleh masyarakat yang akan dijadikan bilah-bilah papan. Sejak hadirnya sebuah pemakaman, maka tempat ini dinamakan Makam Papan Tinggi.
Lokasi Makam Papan Tinggi berada di sebuah bukit yang terletak di sisi timur Jalan Raya Barus – Manduamas. Secara administratif makam ini berada di dusun Lobu Tua, Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Makam Papan Tinggi merupakan kompleks pemakaman tua Islam seorang tokoh penyebar agama Islam pertama di Sumatera Utara. Pada kompleks Makam Papan Tinggi terdapat makam istimewa yang memiliki panjang 9 meter, dengan nisan setinggi 1,5 meter. Di sekeliling makam panjang terdapat beberapa makam sederhana dimana nisan makam berupa batu yang ditegakkan tanpa adanya tanda sama sekali. Makam Papan Tinggi diperkirakan didirikan ada tahun 1239 M berdasarkan tulisan yang tertera pada pilar di dekat makam panjang. Kompleks makam dikelilingi pagar dan dinaungi pohon besar. Dahulu, di depan pagar tertanam guci keramat yang mengaliri air tanpa henti meski pada musim kemarau. Kini hanya tinggal berupa lubang tanah berbentuk kotak sedalam 20 sentimeter.
Makam Syekh Mahmud di Makam Papan Tinggi
Sejarahwan kota Barus, Djamaluddin Batubara mengatakan, tokoh utama yang dimakamkan di Makam Papan Tinggi adalah Sykeh Mahmud, penyebar agama Islam yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Makam beliau berupa makam panjang, dengan batu nisan putih setinggi 1,5 meter berukir aksara Persia dan Arab kuno.

Belum diketahui secara pasti tahun kedatangan Syekh Mahmud ke tanah Barus. Namun melihat corak nisan makam dan jenis kaligrafi yang tertulis, serta unsur arkeologis lainnya, diperkirakan Syekh Mahmud telah hadir di Barus sejak abad ke-9 Masehi.

Mengenai kota Barus sendiri, dahulunya merupakan kota pelabuhan terbesar yang pernah ada di nusantara, jauh sebelum adanya Bandar Malaka dan Samudera Pasai di tanah rencong. Barus mengokohkan dirinya sebagai penghasil kapur barus (kamper) yang terkenal hingga seluruh dunia. Sehingga kota ini dinamakan Barus.

Sejarah mencatat, sejak abad ke-9 kota Barus sudah dikenal sebagai kota dagang. Di masa itu komoditi yang sangat digandrungi semisal buah pala, cengkeh, lada, kulit manis, merica, kemenyan dan kayu bulat, diperdagangkan di Barus. Konon bahan-bahan pembalseman para raja Mesir didatangkan dari Barus.

Barus yang dikenal sebagai kota perdagangan antarbangsa, sangat dimungkinkan terjadinya kotak budaya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berkenaan dengan itu pula, berdatangan rombongan mubaligh asal tanah Arab ke negeri niuntuk tujuan penyebaran agama Islam yang dilatarbelakangi perdagangan. Para mubaligh menghabiskan waktunya untuk syiar Islam di daerah baru. Mereka menopang hidupnya dengan berdagang.

Hadirnya Sykeh Mahmud di tanah Barus merupakan salah satu tesis tentang keberadaan penyebar Islam sejak agama ini pertama kali disyiarkan. Arkeolog dan ahli kaligrafi Arab kuno asal Perancis, Prof. Dr. Ludwig Kuvi menyatakan dengan tegas bahwa bukti arkeologis berupa pahatan batu nisan makam Syekh Mahmud menunjukkan beliau adalah seorang pendatang yang telah lama tinggal di Barus. Batu nisan makam Syekh Mahmud bukan batu biasa yang digunakan oleh penduduk Barus, melainkan sejenis batu yang didatangkan dari India. Maka, hampir mustahil Syekh Mahmud seorang biasa yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Barus. Ukiran batu ayat-ayat Al-Qur’an dan pesan singkat yang Nampak samar memberi isyarat bahwa beliau seorang mubaligh besar.

Teori kedatangan Syekh Mahmud di tanah Barus diperkuat dengan pembuktian yang dilakukan oleh sejarahwan Belanda, Dr. Ph. S. Van Ronkel. Sejarahwan Belanda ini menyatakan Syekh Mahmud merupakan penyebar ajaran Islam yang pertama di Tapanuli. Da’wah Syekh Mahmud berhasil menyentuh tokoh etnis Batak, Raja Guru Marsakkot, yang akhirnya memeluk agama Islam.

Salah satu ukiran batu pada nisan makam Syekh Mahmud yang berbunyi: “Fa Kullu Syai’un Halikun Illa Wajhullah” yang berarti, “Maka segala sesuatunya hancur kecuali Dzat Allah”. Menurut Djamaluddin Batubara, nilai Islam yang disampaikan Sykeh Mahmud kepada masyarakat Barus adalah ajaran Tauhid, yakni mengajak masyarakat pesisir Tapanuli untuk meng-esa-kan Tuhan, Allah SWT.

Mencermati posisi makam Syekh Mahmud yang berada di atas bukit, diperkirakan bahwa beliau adalah guru bagi pengikutnya yang dimakamkan di Makam Mahligai. Terdapat 43 makam para ulama yang berada di kompleks Makam Mahligai. Daintaranya adalah makam Syekh Rukunuddin, kompleks makam Bukit Hasan, makam Tuanku Ambar, makam Tuan Kepala Ujung, makam Tuan Sirampak, makam Tuan Tembang, makam Tuanku Kayu Manang, makam Tuanku Makhdum, makam Syekh Zainal Abidin Ilyas, makam Syekh Ahmad Khatib Siddiq, dan makam Imam Mua’azhamsyah.

Tidak mudah bersiarah ke Makam Papan Tinggi. Sebelum menaiki tangga, peziarah disyaratkan untuk bersuci di kaki bukit yang telah tersedia pancuran air. Kemudian peziarah menaiki seribu anak tangga yang dibangun permanen. Perlu ketangguhan fisik untuk menaiki anak-anak tangga yang curam dan menanjak. Namun tangguh secara fisik saja tidak cukup, diperlukan pula niat ikhlas untuk mengunjungi makam Syekh Mahmud yang berada di puncak bukit. Sebab bila niatnya tidak tulus, apalagi disertai niat syirik, maka sulit untuk dapat mencapai puncak bukit Makam Papan Tinggi.

MAKAM MAHLIGAI
Tim arkeologi dari Ecole Francaise D’extreme-Orient, Perancis yang bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua – Barus, memberikan telaah baru mengenai sejarah Islam datang ke nusantara. Adanya data-data arkeologis sekitar abad ke-9 sampai 12 Masehi, membuktikan bahwa Barus telah berkembang menjadi kota perdagangan dengan struktur masyarakat multi etnis yang terdiri dari masyarakat Batak, Minangkabau, Bengkulu, Jawa bahkan Bugis, termasuk bangsa asing dari negeri India, Arab, Cina, Tamil dan sebagian kecil Afrika.

Bukti adanya masyarakat multi etnis ini berupa temuan aneka keramik, guci dan batu mulia yang berkualitas tinggi yang telah berusisa ratusan tahun. Bukti ini menunjukkan kesejahteraan masyarakat Barus ketika itu sudah makmur.

Heterogenitas masyarakat kota Barus bertumpu kepada kehidupan ekonomi yang bersandar kepada perdagangan antar bangsa. Berbagai kooditi rempah-rempah tersedia di Barus, terutama kapur barus yang berkualitas tinggi. Letak Barus yang berhadapan dengan lautan luas memudahkan para pedagang dari berbagai negeri berdatangan. Saat itu pelabuhan Samudera Pasai belum dikenal perdagangan dunia.
Banyaknya para saudagar asal Arab yang menetap di Barus menciptakan kemakmuran yang tinggi di daerah ini. Beberapa diantara mereka pernah menjadi utusan dari Bani Umayyah untuk Kerajaan Sriwijaya, sehingga diantara kalangan saudagar Arab sendiri diangkat seorang pemimpin. Sikap terbuka, bersahabat dan kekeluargaan yang ditunjukkan oleh para penguasa bandar kepada kalangan masyarakat lokal, menjadikan mereka begitu terpandang, sehingga mampu menjalin hubungan baik dengan para raja, adipati ataupun pembesar Kerajaan Sriwijaya. Beberapa diantaranya menerima Islam sebagai keyakinan baru. Bukti kemakmuran masyarakat yang didiami saudagar Arab berupa situs makam tua bertarikh abad ke-8 Masehi yang menguatkan keberadaan komunitas Muslim mapan di Barus.

Berdasarkan teori sosiologi, pengelompokan makam yang dibangun merata dan teratur berdasarkan ukuran tertentu di daerah tertentu, membuktikan status tokoh-tokoh yang dimakamkan. Sejarah selalu mencatat, hanya orang-orang besar yang memiliki pemakaman khusus. Dengan demikian kompleks pemakaman ini membuktikan entitas masyarakat muslim di tanah Barus yang telah ada ratusan tahun silam.

Kompleks pemakaman tua ini bernama Makam Mahligai, tidak berapa jauh dari Makam Papan TInggi. Pada kompleks makam ini, terdapat 43 nsan tua yang berukir aksara Arab kuno dan Persia.
Konon, nama makam ini diambil dari sebuah istana kecil pada zaman dahulu yang dibangun oleh Tuan Syekh Abdul Khatib Siddiq. Setelah wafat, Syekh Siddiq dimakamkan di Makam Mahligai. Selain beliau, sejumlah ulama besar penyebar Islam lainnya dimakamkan disini, diantaranya Syekh Rukunuddin, Syekh Ushuluddin, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ilyas, Syekh Imam Khotib Mu’azzamsyah Biktiba’I, Syekh Syamsuddin, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum.
Ukuran makam di kompleks ini rata-rata panjangnya 7 meter, datar tanpa ornamen khusus kecuali batu nisan di kedua ujung makam. Nisan makam berbahan batu khusus berwarna coklat terlihat mulai menghitam akibat terkikis zaman. Batu nisan bertuliskan aksara Arab kuno bercampur Persia. Sebagian batu nisan memiliki kesamaan corak dengan makam para Syekh di wilayah Sumatera dan Jawa, yakni memiliki corak India.

Nisan makam Syekh Rukunuddin bertuliskan aksara Arab yang memiliki arti: “Tuan Syekh Rukunuddin, wafat malam 13 Syafar, tahun 48 Hijriah (48 H), dalam usia 102 tahun, 2 bulan, 10 hari atau Ha Min Hijratun Nabiy”. Nisan makam Syekh Rujunuddin hanya ada satu nisan, nisan beliau lainnya disimpan di museum purbakala di kota Medan sebagai bahan untuk penelitian.

Menurut beberapa keterangan sejarah, Syekh Rukunuddin melanjutkan misi dakwah Syekh Mahmud yang dimakamkan di Makam Papan TInggi. Sebagian ahli sejarah lainnya mengatakan bahwa makam yang berada di Makam Mahligai adalah murid dan pengikut Syekh Mahmud, dimana ajaran Syekh Mahmud bertumpu pada tauhid, mengesakan Allah. Belum ada perintah melaksanakan hukum-hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawakan berupa ayat-ayat Makiyyah.

Beberapa catatan pemerhati sejarah perkembangan Islam menyatakan, daerah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Rukunuddin beserta ulama lainnya dimulai dari dusun Lobu Tua kemudian bergerak ke wilayah utara, kembali ke selatan hingga di ujung bukit dimana Makam Mahligai berada. Kemudian perjalanan da’wah dilanjutkan ke arah timur hingga ke Dusun Patumangan.

Lingkungan Makam Mahligai terbilang rindang dan sejuk, dinaungi pohon besar dengan hamparan sawah membentang di sisi makam. Keadaan tanah Makam Mahligai bergelombang dan berbukit-bukit. Sebelum memasuki kawasan Makam Mahligai, peziarah disarankan bersuci sebagai penghormatan kepada tokoh-tokoh yang disemayamkan disana.
Sumber Pustaka:
  • Masjid dan Makam Bersejarah di Sumatera, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2008
  • Claude Guillot, Daniel Perret, Atika Suri Fanani (Translator), Marie-France Dupoizat, Untung Sunaryo, Heddy Surachman, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu, KPG, 2008
  • Foto-foto koleksi pribadi

Sumber:

Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup… Benarkah ???


Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup… Benarkah ???

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai.

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.


Sumber:

Barus, Kota Eksotik Penuh Sejarah dan Misteri


Barus, Kota Eksotik Penuh Sejarah dan Misteri

Kota Barus adalah sebuah kota tua di Indonesia dan sudah terkenal di seluruh dunia sekurang-kurangnya abad ke-6 Masehi berkat hasil hutan berupa kamper, dan kemenyannya.

Nama kota ini bahkan sudah muncul di sejarah peradaban Melayu semasa Hamzah Fansuri,penyair mistik terkenal di seluruh penjuru dunia pada saat itu. Kota kecil yang letaknya 75 kilometer (km) dari Kota Sibolga dan 359 km dari Kota Medan ini masih menyimpan segudang misteri.Salah satunya bisa dilihat dari sejumlah makam di daerah ini. Misteri ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para ahli sejarah dan arkeolog, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pasalnya, sebutan bagi Barus sebagai pintu masuk pertama agama Islam dan Kristen di Nusantara itu masih terus mendapat pertentangan dan perdebatan dari para ahli sejarawan dan arkeolog. Situs-situs sejarah yang ada di kota tua ini belum bisa menjawab semua dalil dan hipotesa-hipotesa serta teori-teori yang telah disampaikan oleh para ahli sejarah dan arkeolog.

Berdasakan buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi,Barus disebutkan sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks Pemakaman Mahligai, Barus,yang di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan adanya komunitas muslim di daerah ini pada era itu. Sementara Dewan Gereja-gereja di Indonesia juga mempercayai sejak tahun 645 Masehi,di daerah Barus telah masuk umat Kristen dari sekte Nestorian.

Keyakinan tersebut didasarkan pada buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Sementara itu,penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat bahwa pada abad ke-12, telah terdapat Gereja Nestorian. Penelitian terakhir dilakukan oleh tim arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua,Barus.

Hasilnya menunjukkan, sekitar abad 9-12 Masehi,Barus telah menjadi perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh,India,China,Tamil, Jawa, Batak,Minangkabau, Bugis,Bengkulu,dan sebagainya.Dasarnya adalah penemuan bendabenda berkualitas tinggi yang usianya ditaksir sudah ratusan tahun.Temuan ini juga menunjukkan kehidupan di Barus dahulu kala sangatlah makmur.

Namun,tim ini tidak dapat menyimpulkan,siapa dan dari mana orang pertama yang membawa masuk agama Islam ke daerah itu.Sebab,hasil penelitian mereka di batu nisan di Makam Mahligai dan Papan Tinggi di daerah itu,ada penulisan Kaligrafi Arab yang menerangkan karakteristik tertentu yakni China,India,dan Persia. Sejarah dan penelitianpenelitian yang dilakukan semakin mengukuhkan keistimewaan dan daya tarik Barus.

Bagi yang belum pernah mengunjungi makam bersejarah di Barus, bisa merencanakan waktu untuk berkunjung ke lokasi ini.Makam Mahligai terletak di Desa Aek Dakka. Makam ini adalah sebuah pekuburan bersejarah Syeh Rukunuddin dan Syeh Usuluddin yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada abad ke-7. Panjang kuburan ini sekitar 7 meter dan dihiasi beberapa batu nisan yang khas dan unik dengan bertuliskan bahasa Arab, Tarikh 48 H.

Sementara Makam Papan Tinggi berada di Desa Pananggahan,Kecamatan Barus Utara.Di Makam yang dikenal dengan Makam Aulia 44 atau juga Tuan Tompat inilah Syekh Mahmud bersama enam orang pengikutnya dimakamkan.Panjang makam ini 12 meter sedangkan batu nisannya setinggi 2,5 meter. Untuk mencapai lokasi kedua pemakaman ini, pengunjung masih harus mengeluarkan tenaga ekstra dengan berjalan kaki karena lokasinya berada di perbukitan.

Agar bisa sampai di Makam Papan Tinggi,ada 1.000 anak tangga yang harus dinaiki menuju puncak.Namun, sesampainya di puncak, rasa lelah berganti dengan takjub karena pengunjung langsung dimanjakan dengan pemandangan yang indah dan bisa melihat Kota Barus. Biasanya,pemakaman ini ramai dikunjungi pada akhir pekan atau liburan, baik oleh masyarakat sekitar yang datang untuk sekadar menikmati pemandangan alam yang indah maupun oleh para peziarah Islam dari kota lain.

Sayangnya,kedua makam ini terkesan ditelantarkan karena banyak nisan makam yang rusak dan bergeser.Selain itu, lokasi ini tidak didukung oleh fasilitas maupun sarana dan prasarana yang memadai. jhonny simatupang


Sumber:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452908/

Menelusuri Jejak Islam di Barus


Menelusuri Jejak Islam di Barus

Sebagai pelabuhan niaga samudera, Barus (Lobu Tua) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Bahkan ada juga yang memerkirakan lebih jauh dari itu, sekitar 5000 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Perkiraan terakhir itu didasarkan pad a temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir kuno yang salah satu bahan pengawetnya menggunakan kamper atau kapur barus. Getah kayu itu yang paling baik kualitasnya kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus. Sejarawan di era kemerdekaan, Prof Muhamad Yamin memerkira­kan perdagangan rempah-rempah diantara kamper sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia. Seorang pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus menyebutkan bahwa selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab, dan juga Tiongkok lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah. Lalu pada arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar tahun 600 M, mencatat perjalanan seorang Brahmana menacari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah-Malaysia), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvi­pa (Barus).

Pada sekitar tahun 627-643 atau tahun pertama Hijriahki kelompok pedagang Arab memasuki pelabuhan Barus. Diantara mereka tercatat nama Wahab bin Qabishah yang mendarat di Pulau Mursala pad a 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin bernama Syekh Ismail yang singgah di Barus sekitar tahun 634. Sejak itu, bangsa Arab (Islam) mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya Silsilatus Tawarikh. Berikutnya Dinasty Syailendra dari Champa (Muangthai) menaklukkan empirium Barus sekitar 850 M dan menamakan koloni itu seabagai Kalasapura. Setelah penaklukan itu, di kota pelabuhan itu berdiri koloni yang terdiri dari berbagai bangsa terpisah dari penduduk asli. Seabad setelah itu, bangsa Eropa menemukan Barus. Penjelajah terkenal Marcopolo menjejakkan kakinya di bandar perniagaan itu pada 1292 M. Sedangkan sejarawan muslim ternama, Ibnu Batutah, mengunjungi Barus pada 1345 M. Berikutnya pelaut Portugis berdagang di kota ini pad a 1469 M. Sedangkan pedagang dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, tercatat dari Srilanka, Yaman, Persia, Inggeris, dan Spanyol.

Emporium Sarus
Banyak sejarawan muslim mengaku arti penting pantai Barat Pulau Sumatera sebagai salah satu daerah awal masuknya Islam ke Nusantara. Namun belum ada kesepakatan dintara mereka, apakah Barus merupakan lokasi pertama masuknya Islam. Pandangan itu setidaknya mengemuka dalam Seminar I "Masuknya Islam di Nusantara" yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963. Dalam seminar itu, seorang sejarawan lokal, bernama Dada Meuraksa berkeyakinan Islam masuk ke Barus pad a tahun I Hujriah, berdasarkan penemuan batu nisan Syekh Rukunuddin di komplek pemakaman mahligai.

Batu nisan itu menginformasikan bahwa Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pad a tahun hamim atau hijaratun Nabi. Meuraksa menerjemahkan ha - mim itu 8-40 yang kemudian dijumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu ber­dasarkan Ilmu Falak dari kitab Tajut Mutuk. Namun pada seminar itu pandangan Meuraksa disangkal ulama terkenal Sumut saat itu, ustadz HM Arsyad Thalib Lubis. Menurut ulama pendiri AI Jam'iyatul Washliyah ini, bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan. Perbedaan itu terus berlangsung hingga belasan tahun kemudian. Baru pada 1978 sejumlah arkeolog dipirnpin Prof DR Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus. Pada penelitian terhadap nisan Syekh Rukunuddin, arkeolog dari Universitas Airlangga Surabaya itu meyakini Islam sudah masuk sejak tahun I Hijriah. Hal itu berdasarkan pada perhitungan yang menguatkan pendapat pertama oleh sejarawan local Dada Meuraksa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya.

Perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam di sekitar Barus yang bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi. Makam dengan ketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu, menurut ustadz Djamaluddin Batubara, hingga kini masih ada, namun ada yang belum bisa diterjemahkan, Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan huruf Arab. Ustadz Djamaluddin Batubara memiliki teori lain tentang keberadaan makam Syekh Mahmud yang letaknya terpencil di ketinggian bukit Papan Tinggi, Menurutnya, Syekh Mahmud berasal dari Hadramaut, Yaman, dan diperkirakan datang lebih awal dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah rasulullah Muhammad SAW di Mekkah, Masa kedatangan ulama, yang diduga masih kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa Syariat, "Itu sebabnya di makam itu belum ada penanggalan, melainkan sabda nabi SAW yang bermakna tauhid," jelas ustadz Djamaluddin. Selain itu, ketinggian makam itu disbanding 43 makam lain menjadi alasan terdahulunya kedatangan Syekh Mahmud ketimbang penyebar Islam lainnya.

Dijelaskan oleh ustadz lulusan Pondok Pesantren Purba Baru ini, Syekh Mahmud adalah merupakan penyebar Islam pertama di Barus, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya. Ke 43 makam ulama penyebar Islam itu diantaranya, makam Syekh Rukunuddin, Tuanku Batu Badan, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Makhdum, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Sidik, dan makam Imam Mua'azhansyah. Selanjutnya makam Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago, dan makam Tuanku Digaung.

Dikatakan oleh ustadz Djamaluddin, keberadaan Islam di Barus berhubungan langsung dengan Islam di Aceh. Beberapa arsip kuno menunjukkan adanya tiga ulama Islam yang menghubungkan Barus dan Aceh. Misalnya, keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin as Sumatrani, paham paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf Singkil. Diyakini banyak sejarawan Islam, kedua ulama terdahulu ber­mukim dan menyebarkan pahamnya di Barus setelah paham Wujudiah mereka mendapat serangan dari Syekh Abdul Rauf Singkil dan tidak diakui di Kerajaan Islam Samudera Pasai, Aceh.

Menurut ustadz Djamaluddin Batubara, etnik Batak dikenal sangat teguh memegang ad at istiadat melebihi apapun. Sedangkan adat istiadat mereka pegang diperkuat dengan ajaran lokal Parmalim atau Sipetebegu. Namun patut dicatat, awalnya masuknya Islam dimasa Syekh Mahmud dan 43 ulama lainnya, diperkirakan tidak ada penolakan, malah terjadi sinkretisisme simbolik. Baru pada periode kedua masuknya Islam sekitar abad 17 M, ajaran itu ditolak, karena berlawanan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat, "Jelasnya, ketika Islam tauhid atau sufistik datang, tak ada penolakan. Baru ketika Islam syariat datang masyarakat menolak," tegas Djamaluddin.


Sumber:
http://naulibasa-magz.com/index.php/web/news/index/5/1903532242